Apakah pondok atau boarding school tempat Anda berkhidmat punya visi dan misi? Kalau punya, apakah Anda pernah membaca atau mendengarnya? Kalau pernah, apakah Anda masih ingat dan bisa menyebutkannya sekarang? Kalau masih ingat, apa kira-kira tiga aktivitas yang secara langsung membantu perwujudan dari keduanya? Anda pasti bisa menyebutkan lebih banyak dari itu, kan? Memang seharusnya demikian.
Lalu, mengapa pembicaraan ini kita awali dengan membahas visi, misi, dan
nilai? Karena ketiganya memberikan kerangka acuan bagi seluruh elemen organisasi
dalam proses pengambilan keputusan, baik bagi pimpinan maupun staf. Ketiganya
merupakan landasan terbentuknya budaya organisasi. Tentang yang terakhir, mari
kita diskusikan barang sedikit agar kesadaran kita tentang pentingnya
menguatkan budaya organisasi menjadikan pondok kita tetap mengorbit di garis
edar yang sudah kita niat dan rencanakan sejak awal pendiriannya. Tentu kita
sepakat, budaya organisasi yang sehat, efektif, dan unggul akan menjadikan
pondok tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga akan menjadi salah satu pondok
yang patut dicontoh dan diteladani dalam sejumlah aspeknya.
Transformasi Pondok
Zamakhsyari Dhofier (1981) menyebutkan
lima elemen dasar suatu pesantren: pondok, masjid, santri, pengajaran
kitab-kitab Islam klasik karangan ulama-ulama tertentu, dan kiyai. Kelima
elemen yang mendasari tradisi pesantren tersebut merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Dahulu, pondok sebagai tempat tinggal para santri, tidak persis sama
dengan sistem asrama. Mengapa? Karena, penghuni pondok diikat oleh hubungannya
dengan kiyai yang memiliki otoritas mutlak yang mengatur tingkah laku seluruh
penghuni berdasarkan ajaran-ajaran yang termuat dalam kitab-kitab klasik
tersebut. Ini berarti, kehidupan pondok merupakan proses sosialisasi yang terus
menerus sebagai hasil interaksi antarlima komponen di atas. Gusdur, sebagaimana
dikutip Dhofier, pernah menulis bahwa tradisi pesantren pada dasarnya adalah
kultur sosial religius sebagai hasil interaksi kehidupan pondok, masjid,
santri, ajaran-ajaran ulama-ulama terdahulu yang tertuang dalam kitab-kitab
klasik, dan kehidupan kiyai.
Sedangkan kiyai menurut Dhofier adalah progenitor atau cikal
bakal dan elemen paling pokok dari sebuah pesantren. Berkembang tidaknya sebuah
pesantren bergantung kepada kepiawaian sang kiyai. Di satu sisi, kelangsungan
hidup sebuah pesantren bergantung pula pada kemampuan pesantren yang
bersangkutan untuk mendapatkan kiyai baru bila kiyainya wafat. Ini soal
kaderisasi kepemimpinan. Hal ini telah dipikirkan oleh para kiyai. Oleh karena
itu, sarana pokok yang dipakai oleh para kiyai untuk memelihara tradisi pesantren
adalah dengan cara membina solidaritas dan kerjasama antarkiyai. Kerjasama
mereka dalam hal ini adalah mengembangkan tiga hal, pertama,
tradisi untuk membina anggota keluarga terdekat agar memiliki potensi untuk
menggantikan kepemimpinannya. Kedua, suatu jalinan aliansi
perkawinan endogamous (endogamy) antara keluarga-keluarga kiyai. Ketiga,
suatu tradisi transmisi intelektual antarkiyai dan keluarga terdekatnya.
Fenomena tradisi pesantren seperti di atas sekarang nampaknya sudah
banyak yang bergeser. Meskipun besar kemungkinan tradisi, gaya kepemimpinan,
dan pola kaderisasi semacam itu masih tetap dipegang teguh oleh sejumlah
pesantren, tetapi di sejumlah tempat saat ini kondisinya sudah jauh berubah. Masyarakat
pada gilirannya mengenal bentuk “pesantren model baru”, yaitu sekolah (umum)
berasrama atau yang dikenal luas sebagai boarding school. Bila image
pesantren dulu adalah tempat sekolah mereka yang memang ingin belajar ilmu
agama, diminati kalangan menengah ke bawah, atau tempat “menitipkan” anak
kurang disiplin, berbeda dengan boarding school. Yang disebut terakhir
justru berimage sebuah kompleks sekolah dengan fasilitasnya yang lengkap,
diminati oleh kelompok menengah atas, dan untuk sejumlah sekolah justru sangat
ketat ujian saringan masuknya.
Mari kita lihat juga dari lima elemen pokok pesantren. Ada pondok,
masjid, santri, pengajaran kitab-kitab Islam klasik karangan ulama-ulama
tertentu, dan kiyai. Di boarding school, tiga elemen pertama tetap ada
dan menjadi elemen penting, sedangkan dua terakhir nampaknya tidak (selalu) ada
dan mengalami pergeseran. Pengajaran kitab-kitab Islam klasik karangan para
ulama nampaknya tidak lagi ada. Justru yang menjadi daya tarik sebuah boarding
school adalah program Al-Quránnya: tahsin, tafsir, tahfidz, dan tadabbur.
Untuk dua dekade terakhir, program tahfidz masih menjadi primadona banyak boarding
school.
Mereka berlomba-lomba menawarkan program itu kepada kelas menengah Islam
perkotaan. Penawaran itu nampaknya disambut baik. Masyarakat berlomba-lomba
memupuk impian agar kelak anaknya bisa menjadi hafidz dan hafidzah. Pucuk
dicinta ulam tiba. Akhirnya, berjamurlah pondok-pondok tahfidz, dengan program
selingan kegiatan akademik. Bahkan, sekarang, ketika program tahfidz sudah
menjadi kelumrahan, maka sejumlah pondok menawarkan sanadisasi (program sanad)
untuk bacaan dan hafalan al-Qurán. Untuk itulah mereka sengaja mendatangkan
sejumlah syeikh dari Timur Tengah sebagai pemegang sanad surah tertentu, matan
tajwid, atau matan qiraat.
Setelah tahfidz “membiasa”, maka mulai bermunculanlah sekolah berasrama
yang menawarkan muatan yang dipandang punya diferensiasi, kekinian, dan marketable,
seperti misalnya Information technology
(IT), adab, agro, entrepreneur, dan lain-lain. Para pengelola nampaknya
cerdas melihat peluang pasar dan atau mencoba menciptakan pasar mereka sendiri
di antara kelaziman yang ada tentang apa yang dijual sebuah boarding school.
Termasuk dalam hal ini adalah sejumlah paket menarik lainnya, seperti belajar
beberapa bulan di Mekkah dan Madinah, keliling beberapa negara Asia-Eropa,
belajar satu tahun di Eropa, mengambil sertifikasi dan sanadisasi di negara asalnya,
dan sejumlah paket menarik lainnya.
Keberadaan kiyai pun tidak lagi menjadi elemen paling penting seperti di
pesantren. Bahkan untuk banyak boarding school, sosok kiyai memang tidak
dikenal. Fungsi kepemimpinannya kini sudah digantikan oleh mudir, direktur,
atau ketua yayasan. Mereka di ketiga posisi ini pun pada umumnya dipanggil
“ustadz” bukan “kiyai”. Besar kemungkinan mereka paham, bahwa sebutan itu
merujuk pada sosok sentral dari sebuah pesantren beberapa puluh tahun yang
lalu. Pergeseran itu dengan sendirinya mengubah pola pengambilan keputusan yang
tidak lagi hanya berpusat pada satu orang, tetapi pada sistem manajemen (kolektif
kolegial). Dengan artikulasi yang lugas, mereka mengatakan,”Pondok kami tidak
menjual figur, tetapi sistem, program, dan alumni.”
Boarding school
yang “masih punya” sosok kiyai di samping sosok mudir, direktur, atau ketua
yayasan adalah sebuah keberuntungan dan keberkahan. Tetapi, umumnya, fungsi beliau
lebih sebagai ruh, simbol, atau role model, bukan pengambil kebijakan
atau keputusan tertinggi dan mutlak lagi. Atau dengan kata lain, wilayah edar
beliau ada di maqam yang tinggi (sakral) dan tidak lagi tergoda atau
disibukkan dengan sesuatu yang operasional dan teknis (profan). Mengapa? Salah
satu alasan menarik adalah agar sistem yang dibangun mendapatkan jam terbang
yang memadai sebagai sebuah energi dan mesin dalam menggerakkan semua elemen untuk
membentuk budaya organisasi yang teruji dan unggul.
Pembentukan
Nilai
Budaya organisasi (organizational culture) sangat penting untuk sebuah pondok. Pondok yang ingin tetap eksis dengan segala pencapaian terbaiknya harus memperhatikan bagaimana budaya mereka dibentuk, disosialisasikan, dan diadaptasikan terus menerus untuk menjawab tantangan zaman. Apa yang menjadi headline dan keren sepuluh tahun lalu, hari ini mungkin hanya menjadi catatan kaki dan kurang dilirik. Apa yang ngetrend sepuluh tahun lalu, bisa jadi hari ini justru sudah tidak dikenal orang. Bila pondok hanya mengartikulasikan hal yang sama dan berulang-ulang tanpa peduli dengan perkembangan zaman, maka itu artinya mereka siap kehilangan diri mereka sendiri. Oleh karena itu, mari kita diskusi sedikit.
Budaya organisasi sangat
penting, karena, pertama, ia adalah wajah dan keberadaan pondok
itu sendiri. Program, prestasi, dan wujud kampus (fisik) sebuah pondok adalah front
stage dan surface structure dari seperangkat values dan belief
yang disepakati oleh sebuah organisasi dan kemudian melatarbelakangi
berbagai keputusan strategis dan penting yang melahirkan itu semua. Di titik
inilah kita menyadari, bahwa bila kita mengamati, meniru, dan memodifikasi apa
yang menjadi pencapaian sebuah pondok hasilnya tidak persis sama karena kita
tidak memahami back stage atau deep structure yang menjadi motif dan
ruh atas sejumlah keputusan yang melatarbelakangi pencapaian atau prestasi
tersebut. Kita tidak memahami bagaimana mekanisme dan strategi mereka mengoptimalisasi
potensi yang mereka miliki sehingga menjadi kekuatan untuk meraih prestasi
tersebut. Kita tidak memahami dengan baik, bagaimana mekanisme pengambilan keputusan
yang terjadi di antara mereka, termasuk dalam hal ini alur kerja dan pengaturan
waktunya.
Kedua,
sejumlah teman bertanya, apa perlunya corporate culture dipelajari dan
diterapkan di sebuah pondok? Saya katakan, karena ada ancaman bangkrut di situ.
Bangkrut? Betul. Apakah Anda pernah mendengar ada sekolah atau pondok tutup
karena tidak lagi diminati masyarakat? Apakah Anda pernah mendengar ada sebuah
sekolah atau pondok tidak maju-maju karena salah urus dan organisasinya morat-marit?
Apakah ada pondok yang hidup segan mati tak mau? Oleh karena itu, selagi ada
ancaman bangkrut, maka setiap organisasi harus sadar akan pentingnya membentuk
dan mengembangkan budaya organisasi yang sehat dan unggul. Sampai di sini, saya
jadi teringat ketika dulu mendampingi kementerian atau pemda dan BUMN mempertajam
budaya organisasi mereka. Kepada yang pertama, saya hanya perlu bicara penyerapan
anggaran, tetapi kepada yang kedua, saya harus bicara perihal efisiensi karena
mereka punya ancaman untuk bangkrut.
Sandra Dawson (1996:141)
membuka pembicaraan tentang budaya organisasi dengan mengacu pada nilai-nilai
dan keyakinan bersama yang menjadi ciri khas suatu organisasi. Hofstede,
sebagaimana dikutip Dawson, menegaskan bahwa kebudayaan adalah pemrograman
pikiran kolektif (pola berpikir, merasa, dan bertindak) yang membedakan anggota
suatu kelompok dengan kelompok lain. Ketiga program pikiran kolektif tersebut
pada umumnya dirumuskan dan di-share oleh pendiri atau pucuk pimpinan organisasi.
Dalam sebuah organisasi,
ada nilai inti, keyakinan, dan asumsi bersama. Keragaman “nilai-nilai dan
keyakinan bersama” tersebut dianggap ada pada setiap organisasi setidaknya pada
tingkat tertentu. Hubungan antara nilai-nilai yang dianut orang-orang dalam praktik
organisasi, struktur, teknologi, dan strategi organisasi bersifat kompleks dan
interaktif. Semua itu akan menjadi semakin menarik dalam konteks Indonesia yang
plural: kelompok suku bangsa, status sosial, pendidikan, atau kota-desa. Kompleksitas
masyarakat Indonesia telah memberi warna tersendiri pada corak dan ragam
(komunikasi) organisasi yang dibangun dan dikembangkan.
Sekarang, mari kita
lihat bagaimana budaya dapat diungkapkan dan diciptakan serta dinamikanya dalam
sebuah organisasi. Pertama, general practices. Bagian ini
meliputi ritual, cerita, bahasa, dan simbol. Nilai-nilai terungkap dalam
simbol-simbol yang digunakan oleh organisasi; Pada saat yang sama, simbol-simbol
itu juga membentuk nilai-nilai. Logo, lagu mars, atau hymne menjadi
sarana penting pengodifikasi nilai-nilai yang dipilih sebagai identitas. Ritual
di sini bisa berupa morning spirit, majelis tadzkir mingguan, wisuda,
tasmi’ akbar, rapat kerja, atau festival tahunan pondok adalah sarana
mengartikulasikan nilai-nilai sekaligus merekayasa perubahan nilai. Desain, bentuk
dan kelengkapan ruang kelas, asrama, masjid, dapur dan ruang makan, GOR, sarana
olah raga, lapangan parkir, dan desain tata ruang kampus dan lingkungan sekitar
merupakan implementasi dan ekspresi serta sekaligus pencipta nilai-nilai pondok.
Pilihan kata, idiom, logika
bahasa, dan gaya komunikasi pimpinan juga menjadi pembentuk nilai-nilai. Gaya bahasa
yang lebih banyak akomodatif, yes man, asal bapak senang, ingin terlihat
bijaksana, berbunga-bunga, atau lebih banyak puja-puji sering kali merusak makna
komunikasi yang sesungguhnya. Orang jadi terbiasa dengan klise dan sangat menghindari
kelugasan tanpa disadari membentuk komunitas yang tidak otentik, tidak terbiasa
berpikir kritis, dan hanya ingin menuturkan yang sekiranya disenangi atasan. Apa
jadinya sebuah organisasi bila suasana komunikasi yang terbangun terjejali
begitu banyak topeng? Nilai-nilai apa yang ingin dibangun dalam kepungan
kata-kata yang tersubordinat?
Kedua,
human resource management practice. Operasional dan sistem penghargaan
termasuk gaji, promosi dan tunjangan, kesempatan pelatihan dan pendidikan, penilaian
dan manajemen kinerja, rekrutmen dan seleksi adalah hasil dan implementasi nilai
sekaligus pembentuk nilai-nilai. Di sinilah sering kali paradox: kesenjangan
antara praktik dan nilai. Di satu sisi, pondok mungkin berbicara tentang berbagai
hal yang ideal dan menjanjikan, pelayanan terbaik jangka panjang dan loyalitas,
namun para asatidz masih sering dihadapkan pada ruang kosong antara harapan dan
realita. Setiap pondok tentu punya ruang komprominya masing-masing. Jauh
panggang dari api.
Ketiga,
structure. Apa yang menjadi PR di bagian kedua adalah sesuatu yang juga
terjadi di struktur. Suasana paradoks juga terjadi di sini: antara nilai-nilai
yang diungkapkan pimpinan dan lapisan berikutnya dalam struktur. Nilai tinggi atau
prioritas mungkin diberikan pada pemeliharaan sistem komunikasi internal,
pentingnya inovasi dan kreativitas, berani ambil risiko dan pemupukan entrepreneurship,
namun bagaimana mungkin semua artikulasi mimpi itu akan menjadi kenyataan bila prosedur
pengeluaran keuangan masih sangat birokratis dan melemahkan semangat.
Keempat,
technology. Kita juga harus mempertimbangkan hubungan antara nilai dan
teknologi, seperti yang terlihat dalam pengembangan kurikulum dan proses
pembelajaran di pondok. Kita memang tidak ingin dinilai atau terlihat kurang
update (kudet) atau gagap teknologi (gaptek). Oleh karena itu, bersahabat
dengan teknologi dalam sejumlah aktivitas pembelajaran adalah sebuah langkah
bijaksana di zaman sekarang. Namun, teknologi jangan sampai justru mematikan
nilai-nilai perjuangan literasi (membaca dan menulis), menggerus keguyuban
antarsantri, atau menumpulkan keterampilan dan semangat berproses dalam mencari
informasi, referensi, dan dokumentasi di luar media online.
Kelima,
strategy. Ini terlihat dalam pilihan program unggulan apa yang dengan
serius dihasilkan dan dijual sebagai ciri khas pondok. Keputusan itu harus mencerminkan
nilai-nilai utama, bukan nilai-nilai segelintir orang. Punya pilihan sendiri
itu keren dan percaya diri, tetapi pilihan dengan ikut-ikutan tidak akan
membuat nyaman semua orang di pondok karena sesungguhnya itu bukan kesepakatan.
Pilihan akan ciri khas haruslah sesuatu yang dikuasai secara baik oleh sebagian
besar orang di pondok. Bila sejumlah hal itu bisa diatasi, maka itulah strategi
untuk merekonstruksi nilai-nilai yang cenderung terberai-berai karena beda
kepentingan.
Proses menemukan dan
membentuk nilai-nilai adalah pintu masuk untuk lebih memahami karakter sebuah
organisasi. Ukuran keefektifan sebuah budaya organisasi di pondok adalah
ukuran-ukuran yang tersepakati bersama: banyak santrinya, tinggi prestasinya,
nyaman lingkungan alam dan sosialnya, rendahnya turn-over tenaga
kerjanya, banyak sumbangsihnya kepada lingkungan terdekat, finansialnya sehat,
bermunculannya sejumlah unit usaha sebagai bagian dari perkembangan idealisme
pendidikan, tersiapkannya metode kaderisasi yang tepat, menjadi trendsetter
beberapa unggulan pondok, menjadi rujukan dan tempat belajar bersama, dan
beberapa ciri yang lain. Yang paling tahu tentang pondok kita adalah kita
sendiri, juga ukuran-ukuran kesuksesannya. Kita tidak mungkin memakai baju
orang lain agar terlihat gagah atau cantik. Tetapi, tentu kita sepakat, ada
kriteria-kriteria umum yang sangat gamblang untuk mengukur sejauh mana budaya organisasi
yang kita kembangkan efektif atau tidak. Semua tentu maklum. Semua tentu mengerti.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Depok, April 2024
Daftar Pustaka
Dawson, Sandra. Analysing
Organisations. London: Macmillan Press, 1996.
Dhofier, Zamakhsyari. “Tradisi Pesantren: Suatu Studi tentang Peran Kiyai dalam Memelihara dan Mengembangkan Ideologi Islam Tradisional”. Prisma, No. 2 – Februari. Jakarta: LP3ES, 1981.
Masya Allah , tulisannya sangat membangun ustadz. Dimana semua pihak , terkhusus para pimpinan wajib terus belajar dan bersiap untuk berinovasi dan menyusun langkah2 untuk tetap bertahan
ReplyDeleteMasya Allah. Syukron, Ustadz. Semoga kita bisa saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran.
DeleteBarakallahu fiikum Ustaz..
ReplyDeleteAamiin ya Robbana. Syukron, Ustadz...
DeleteMasyaAllah bermanfaat tadz.. jariyah Barakallahufiik
ReplyDeleteAlhamdulillah kalau bermanfaat, Ustadz. Wafiikbarakallah. Aamiin... Syukron...
Delete