“Mengapa rakyat di sejumlah negara monarki, seperti di Timur Tengah umumnya makmur, sedangkan rakyat kita di negara demokrasi miskin-miskin? Katanya demokrasi lebih menjanjikan kemakmuran?”
“Bagaimana solusinya, bila seseorang mendapatkan legitimasi demokratis
tetapi tidak mendapatkan legitimasi etis?”
“Kita sudah Merdeka 79 tahun, tetapi masih banyak orang miskin, pengangguran, sekolah mahal, dan keadilan tajam ke bawah tumpul ke atas, apakah itu artinya negara kita sudah gagal karena tidak mampu mencapai tujuannya yang tercantum di alinea keempat Pembukaan UUD 1945?”
“Mengapa Indonesia masih menerapkan hukuman mati? Bukankah itu
bertentangan dengan HAM?”
“Apa pendapat kelompok Anda tentang LGBT? Betulkah kita harus menerima
LGBT atas dasar HAM?”
Sekadar memunculkan lima dari sekian banyak pertanyaan kritis yang
muncul dalam presentasi kelompok di sejumlah kelas Civic Education. Mata
kuliah ini bermaksud memberikan pemahaman konsep-konsep dasar tentang negara,
demokrasi, kedaulatan, dan kewarganegaraan kepada para mahasiswa. Mereka diharapkan
menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga negara sehingga kelak mampu
berkontribusi positif untuk kemajuan bangsa dan negara. Berbagai persoalan
besar di Indonesia seperti korupsi, pelanggaran HAM, perusakan lingkungan, dan dampak
globalisasi juga dibahas dan didiskusikan. Mahasiswa diajak memikirkan upaya
konkret berupa proyek tugas akhir untuk membangun kampus yang berintegritas dan
menghormati sesama.
Sejatinya, mata kuliah ini adalah mata kuliah yang dirancang untuk
tingkat partisipasi yang tinggi dari mahasiswa. Hal ini bisa dilihat, bahwa dari
16 pertemuan, 10 pertemuan digunakan untuk presentasi kelompok. Itu artinya
mahasiswa yang aktif menyimak presentasi dan bertanya bila ada kesempatan adalah
mereka yang beruntung. Ia sadar tidak mungkin dapat membaca semua materi dengan
detil. Justru dengan tekun dan fokus mengikuti presentasi yang kelompok lain ia
akan terbantu dalam memahami materi yang tidak menjadi fokus kelompoknya.
Dengan demikian, setiap orang punya kesempatan membantu dan dibantu oleh orang
lain. Inilah resiprokal yang menarik.
Etika Politik
Menariknya, mata kuliah ini bernama Etika Politik. Etika telah menjadi
salah satu diksi popular pada pilpres yang baru lalu. Para mahasiswa yang
belajar mata kuliah ini beruntung karena mereka belajar konsepnya di kelas dan
menemukan praktiknya di masyarakat dalam waktu yang sama. Apa yang mereka
pelajari sebagai teori bisa langsung mereka lihat dan bandingkan praktiknya
dalam kehidupan bernegara kita. Oleh karena itu, sejumlah konsep yang
disampaikan dalam presentasi tidak sedikit yang dihubungkan secara empiris oleh
sejumlah mahasiswa.
”Secara teori memang demikian, tetapi untuk praktiknya masih bisa
diperdebatkan”, begitu ujar sejumlah mahasiswa ketika menjawab pertanyaan. Itu
artinya, mereka telah melihat ada kesenjangan antara teori yang mereka pelajari
di buku dan didiskusikan di kelas dengan fakta dan kenyataannya di tataran
praksis. Ini sebuah kesempatan belajar yang sangat berharga. Mereka belajar memahami,
bahwa untuk mau dan mampu serta berani menegakkan teori dan aturan main yang
jujur, adil, dan transparan dalam mengelola negara ternyata membutuhkan perjuangan
dan pengorbanan yang luar biasa
Pada dasarnya, etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi
politis kehidupan manusia. Begitu Franz Magnis-Suseno membuka buku Etika
Politik (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama: 1987). Buku inilah yang menjadi
referensi utama mata kuliah Civic Education. Di Prakata, ia menulis,
bahwa yang menjadi pokok bahasan buku tersebut adalah legitimasi etis kekuasaan
politik. Sangat menarik: legitimasi etis adalah keabsahan wewenang kekuasaan
politik dari segi norma-norma moral. Apakah hari ini ada kekuasaan politik yang
diperoleh dengan cara-cara yang justru menabrak kepatutan norma-norma moral?
Mari kita tengok apa yang dipelajari mahasiswa. Pertama,
mata kuliah ini adalah mata kuliah wajib universitas untuk semua mahasiswa
baru. Ini sangat menarik dan strategis. Dunia Gen-Z bertemu dengan dunia yang
sangat serius: dunia ketatanegaraan yang mengharuskan mereka banyak membaca dan
menganalisis. Tentu ini sarat tantangan. Sejumlah topik yang harus mereka baca,
diskusi, dan presentasikan adalah negara dan legitimasi, bentuk-bentuk
Legitimasi, cita-cita negara hukum demokratis modern, tugas negara, tanggung
jawab sosial negara, negara dan ideologi, hak asasi manusia, dan integritas
dalam globalisasi.
Kedua, warga negara yang baik itu yang memahami positioning-nya
dalam negara, tahu dan kewajiban, tidak apatis dan abai dengan kondisi ipoleksosbud
negaranya, dan mau mempelajari positioning negaranya di dunia. Sebagai mahasiswa
apa yang bisa mereka mainkan dengan maksimal sebagai wujud cinta tanah air dan
bangsa? Aktivitas apa yang paling dibutuhkan oleh masyarakat agar sebagai agent
of change, mereka mau menyerap dan mampu mengakomodasi serta mewujudkan aspirasi
masyarakat? Mereka bisa belajar dari semangat para senior mereka dulu dalam
melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Ketiga, mereka adalah pemimpin bangsa pada 10, 15, 20, atau
25 tahun yang akan datang. Untuk itu, mereka harus melek politik. Mengapa
begitu? Etika Politik-nya Romo Magnis yang mereka baca, diskusi, dan
presentasikan membuka wawasan mereka perihal untuk apa sesungguhnya negara
didirikan, dikelola, dan diarahkan. Sebagai calon intelektual muda, mereka
diharapkan memiliki pemahaman yang baik perihal konsep dan praktik bernegara
sehingga dapat menilai dengan jernih dan mempersiapkan dengan matang
langkah-langkah kontributif untuk bangsa dan negara di masa yang akan datang. Mereka
tidak boleh terjebak pada ketidakpedulian karena kalau pun mereka nanti jadi
pelaku ekonomi (pengusaha), tentu mereka membutuhkan masyarakat yang sehat
dengan daya beli yang kompetitif sehingga mereka akan semangat menjalankan
bisnis yang sehat. Apa yang dapat mereka harapkan bila menjadi pengusaha di
tengah masyarakat yang sakit dan tidak punya daya beli sama sekali?
Kampanye Antikorupsi
Setelah selesai paruh pertama perkuliahan, mahasiswa akan dibagi ke
dalam delapan kelompok besar. Ada dua projek menantang sebagai tugas akhir
kelompok: kampanye antikorupsi dan pembuatan film pendek dengan mengambil
inspirasi dari sejumlah tokoh antikorupsi dan pejuang HAM. Tugas akhir ini
sangat menarik dan up to date karena mahasiswa langsung diberikan
kesempatan mengekspesikan ketidaksetujuan dan kebencian mereka atas perilaku
koruptif (terutama dalam praktik penyelenggaraan negara), termasuk KKN, dalam
bentuk kampanye kreatif di lingkungan kampus. Setelah mereka menyusun proposal
dengan rinci, mereka diberikan waktu dan ruang untuk melaksanakan kampanye
dialogis dan kreatif. Di sinilah kekompakan kelompok diuji, sejauh mana mereka
mampu memunculkan ide kreatif, merencanakan langkah-langkah eksekusi, melaksanakan
kampanye, dan mengevaluasi tingkat keberhasilannya. Kampanye antikorupsi yang
mereka lakukan adalah sarana belajar yang sangat tepat dan efektif karena
mereka terlibat dalam sebuah gerakan keberpihakan. Nilai luhur ini harus sampai
pesannya ke dalam sanubari mereka sebagai Gen-Z yang peduli pada bangsa dan
negaranya.
Ada sejumlah hal menarik dapat kita catat. Pertama, mereka
belajar untuk sadar mengapa korupsi, kolusi, dan nepotisme sangat berbahaya
untuk keberlangsungan hidup bernegara? Mengapa mereka harus diedukasi
pentingnya mengenal sejak dini sejumlah perilaku koruptif yang kalau tidak dikenali
dan ditreatment akan menjadi sikap mental yang laten dan merusak. Sejak awal
mereka sudah harus berpihak pada cara-cara terpuji bila ingin menjadi orang
sukses di bidang masing-masing. Mereka harus punya pengetahuan, keterampilan,
dan kompetensi yang cocok dengan sifat produktif (bakat) mereka sehingga dapat easy
dan enjoy dalam menjalankan profesi sehingga dapat menjadi excellence
dan kemudian dapat menghasilkan (earn): prestasi, penghasilan, atau
penghargaan.
Kedua, kampanye antikorupsi dan pembuatan film pendek
inspirasi pejuang HAM akan memberikan ruang kesadaran bahwa kepemimpinan
nasional itu titik simpul yang penting. Kepemimpinan nasional itu sangat vital
karena dari merekalah nilai-nilai luhur bangsa dipraktikkan dan menjadi teladan
untuk para mahasiswa. Para Gen-Z butuh keteladanan. Mereka akan terus berjarak
dengan sejumlah sumber kearifan dan keluhuran budaya bangsa kalau kita tidak
membantu mereka memendekkan jarak tersebut. Kita tidak bisa membiarkan mereka
mencari sendiri dengan risiko tersesat pada berbagai hoax. Oleh karena
itu, agar mereka tidak tersesat dan terjebak situasi rumit, lebih baik para senior
dan pemimpin bangsa berjuang sekuat tenaga agar bisa memberi dan menjadi
contoh. Jangan justru sebaliknya. Mengapa begitu? Bila para pimpinan bangsa ini
abai, permisif, dan sangat gandrung pada praktik KKN dan menghalalkan segala cara
untuk berkuasa, maka eksesnya di akar rumput bisa sangat berbahaya. Akhirnya,
kondisi sosial, ekonomi, dan budaya kita dalam kondisi yang sangat riskan dan
mengkhawatirkan.
Ketiga, keutuhan nilai adalah keutuhan Indonesia. Mereka adalah
Gen-Z dengan segala karakteristiknya. Oleh karena itu, seharusnya para senior
mereka yang hari ini sedang menjalankan berbagai fungsi dan peran selalu siap
untuk menjadi agen agar berbagai nilai kebaikan tetap tersambung dengan baik
kepada mereka. Nilai-nilai kearifan lokal dan bangunan kebudayaan kita
seharusnya ditata dengan baik melalui berbagai pranata sosial dan budaya yang
ada. Setiap kita hari ini punya kewajiban untuk menjaga seluruh konstruksi
nilai itu agar nasionalisme kita tetap terpelihara dan terjaga sampai kepada
mereka. Gen-Z yang mahasiswa hari ini memerlukan ruang ekspresi sesuai dengan
aspirasi zaman, tetapi tetap dengan berbagai alur dan jalan yang telah kita pagari
dengan berbagai nilai kearifan dan keutuhan bangsa sehingga mereka tetap merasa
satu apa pun yang hari ini menjadi kiprah mereka.
Keempat, politik itu visi. Tidak semua stimulus mampu direspon
dengan bijak oleh mereka. Oleh karena itu, berbagai agenda politik dalam tata kelola
bernegara seharusnya menampilkan wajah kedewasaan. Seharusnya bukan kearoganan,
ujaran tanpa pertanggungjawaban, manuver tanpa etika, penghalalan berbagai
cara, atau sikap hipokrit dalam relasi berpolitik bisa ditekan dan diminimalisasi.
Sebagai senior dan pemimpin, kita punya tanggung jawab pada mereka. Merekalah
sesungguhnya pemilik sah republik ini. Tugas kita sekadar menjadi salah satu
mata rantai peradaban Indonesia yang luhur. Dengan demikian, mereka akan
mendapatkan contoh yang elegan dan sejuk bagaimana seharusnya menjadi politisi
dan berpolitik di negara demokrasi ini. Politik adalah visi bukan kekotoran
tanpa pertanggungjawaban. Generasi ini akan banyak belajar dari semua yang
mereka dengar, lihat, dan rasakan selama beberapa bulan ini. Sungguh sayang
bila pada gilirannya, mereka tidak mendapatkan kesempatan belajar sesuatu yang
berharga sebagai calon pemimpin masa depan.
Kelima, harus ada trust agar Gen-Z tidak apatis. Setiap
masa ada orangnya, setiap orang ada masanya. Sepuluh, lima belas, atau dua
puluh tahun yang akan datang, merekalah yang akan menggantikan peran dan fungsi
yang hari ini kita pegang. Untuk itu, alangkah bijaknya untuk bisa memberi
mereka ruang belajar dan magang di sejumlah kesempatan. Mereka harus kita
asistensi dengan baik agar pada saatnya nanti siap menerima tongkat estafet
kepemimpinan bangsa. Oleh karena itu, Gen-Z yang hari ini menjadi mahasiswa harus
terus berjuang menempa dan memantaskan diri—seperti juga para senior dan para pemimpin
hari ini—agar bila waktu itu tiba semua siap mengambil alih posisi-posisi
strategis di bangsa ini untuk melanjutkan perjalanannya.
Belajar etika politik pada dasarnya juga adalah belajar memilih jalan
yang benar. Sidney
Hook pernah menerangkan tentang etika di buku Percakapan dengan Sidney
Hook tentang 4 Masalah FIlsafat yang disusun Harsja W. Bachtiar dan
diterbitkan Penerbit Djambatan pada 1976. Hook mengatakan, bahwa semua manusia sepakat
mengenai apa yang baik dan apa yang buruk daripada mengenai mengapa hal-hal
tersebut baik dan mengapa buruk. Masalah etis bukan pertentangan antara yang
baik dan buruk, melainkan sebagai pertentangan antara baik dan baik, antara
benar dan benar, serta antara yang baik dan yang benar. Oleh karena itu, tingkat
kedewasaan kita dalam dunia etika—apalagi yang berhubungan dengan politik,
kekuasaan, dan bernegara—sangat perlu untuk terus diperjuangkan. Bukan untuk next election, tetapi untuk next generation. Semoga para
mahasiswa dapat mengambil hikmah, pengalaman, dan pelajaran berharga dari serangkaian diskusi, presentasi, kampanye
antikorupsi, dan proses kreatif dalam membuat sebuah short movie. Semoga…
Wallahu a'lam bishawab
Depok, September 2024
Artikel yang sangat menarik untuk dibaca 👍
ReplyDeletesaya setuju
Delete