Secarik Cinta Angkatan Pertama SMP-SMA Al-Izhar Pondok Labu

     Dua puluh Sembilan dan dua puluh enam tahun sejak mereka lulus dari SMP dan SMA Al-Izhar Pondok Labu (AIPL). Hampir tiga dekade. Sebuah rentang waktu yang telah mereka pergunakan untuk berproses dalam kehidupan dengan segala dinamikanya. Kini, dengan tagline Cerita Lama Baru Ketemu (CLBK), angkatan pertama SMP dan SMA AlPL kembali kumpul. Tentu, kumpulnya mereka hari ini berbeda ketika masih berseragam putih biru atau putih abu. Kini mereka adalah pribadi-pribadi matang dengan pencapaian karier dan bisnis mereka yang luar biasa.

Menatap mata, senyum, dan keramahan mereka, kita akan merasakan ketulusan mereka menyelenggarakan reuni itu untuk para guru mereka. Sebagian besar dari mereka sejatinya juga sangat jarang bertemu, atau bahkan baru bertemu kembali sejak lulus SMP atau SMA, tetapi mereka tidak menjadikan acara tersebut untuk asyik atau sibuk sendiri sesama mereka. Mereka menyapa, duduk, dan ngobrol dengan hangat dengan seluruh guru. Mereka sambangi satu persatu dan berpindah dari satu meja ke meja yang lain untuk menyapa dan menyalami orang-orang yang dulu pernah mewarnai kehidupan remaja mereka. Sungguh sebuah pertemuan atas tabungan rindu yang luar biasa. Rentang waktu hampir tiga puluh tahun telah menumbuhkan rasa yang hanya bisa dijelaskan dalam tatapan mata, jabat tangan erat, pelukan hangat, sambil bertanya kabar tentang keluarga inti dan keluarga orang tua mereka sekarang. Betapa sebuah pemandangan yang menyentuh dan membesarkan hati.

Menjemput Kenangan

Awalnya adalah ide. Ide untuk kembali kumpul sebagai angkatan pertama. Waktunya memang nampaknya tepat, karena hampir tiga puluh tahun, tiga dekade. Sebuah rentang waktu yang bisa dijadikan patokan untuk menilai keberhasilan sebuah proses pendidikan. Mereka yang berkumpul, belajar, dan berproses bersama di AIPL ketika memasuki masa pubertas pertama dan meninggalkan kompleks itu setelah menyelesaikan masa putih abu-abu menyadari bahwa proses itu telah membentuk mereka bukan lagi hanya sekadar teman sekolah, tetapi sudah seperti keluarga. Bahkan tidak sedikit di antara mereka memang hadir di AIPL sejak taman kanak-kanak. Jadi, wajar kenangan akan AIPL adalah kenangan tentang sepertiga masa hidup mereka hari ini.

Pertama, pertemanan masa remaja selalu indah. Keindahan berbagi keceriaan dengan segala dinamikanya—persahabatan, gejolak mencari jati diri, atau cinta monyet—adalah hari-hari yang pasti sulit mereka lupakan. Masa pubertas pertama mereka lewati bersama. Energi remaja mereka bertemu dengan sejumlah program yang menantang dari sekolah sehingga kebersamaan mereka bukan hanya di kelas, tetapi juga di banyak aktivitas yang memungkinkan mereka semakin solid sebagai satu keluarga. Konsekuensinya, sejumlah keusilan khas remaja zaman itu pun tak luput dari keseharian. Itu dengan besar hati mereka ungkapkan ketika bertemu, tentu dengan bentuk kesadaran mendalam tentang apa, mengapa, dan bagaimana semua itu pada akhirnya yang telah membentuk mereka sebagai pribadi-pribadi tangguh hari ini.

Kedua, sejatinya, angkatan pertama SMP dan SMA AIPL adalah Gen-X akhir (1965-1980). Dari 63 alumni SMP, misalnya, 45 orang lahir pada 1980. Bahkan ada 13 orang lahir pada 1979 dan satu orang pada 1978.  Mereka adalah generasi yang harus menghadapi perubahan besar dalam kehidupan manusia modern karena merupakan masa-masa awal penggunaan komputer dan internet. Dengan demikian, mereka sebenarnya adalah generasi yang tangguh karena sukses menghadapi dan sublim bersama perubahan-perubahan besar tersebut. Selain itu, umumnya mereka memiliki karakter yang mandiri dan loyal, sadar citra, ketenaran, dan juga uang tentunya sehingga mereka ditantang untuk kerja keras agar punya positioning jelas dalam karier dan bisnis.

Ketiga, sebagai anak pertama, merekalah pembuka jalan untuk para adik-adik kelas. Waktu itu, mereka harus banyak tampil di sejumlah event kompetitif untuk mengibarkan bendera AIPL di antara sekolah-sekolah lain di rayon Cilandak dan Jakarta Selatan. Amanah dan tanggung jawab itu mereka ambil dengan keberanian dan kehormatan. Sejumlah event olah raga dan seni mereka ikuti dengan gagah berani agar masyarakat semakin mengenal AIPL. Bahkan ketika itu, AIPL juga memutuskan untuk menyelenggarakan event mandiri yang sangat menarik di cabang atletik. Puluhan sekolah hadir dan berpartisipasi sebagai peserta. Pesta atletik pertama kala itu benar-benar menjadi salah satu ajang pembuktian angkatan pertama yang sangat fenomenal.  

Ungkapan Cinta

Mereka bukan Gen-Z. Untuk mereka, rasa rindu adalah sesuatu, karena mereka bukan generasi yang tumbuh bersama gadget. Pola relasi antarmereka pun sangat berbeda dengan Gen-Z, termasuk makna pertemanan dan persahabatan. Oleh karena itu, sangat wajar bila kedekatan mereka dengan para guru menjadi sesuatu yang boleh dikatakan sangat spesial. Sifat hubungan langsung dan bertemu telah menciptakan kedekatan yang khas. Guru sebagai pendengar, mentor, dan pembimbing masih menemukan wujudnya kala itu. Kalau pun pada akhirnya hari ini semua harus terkoreksi, itu tentu karena keduanya tidak lagi berproses di frekuensi dan kanvas yang sama.

Mari kita tengok keseruan bersama mereka. Pertama, Bani Maulana Mulia mewakili seluruh angkatan pertama menyampaikan ungkapan terima kasih dan cinta mereka kepada para guru SMP dan SMA AIPL yang sempat hadir. Sebagian besar para guru yang hadir sudah pensiun dari AIPL. Tetapi, mereka memang tampak masih segar dan sehat. Untuk itulah, Bani mengungkapkan rasa syukurnya kepada Allah bahwa guru-guru yang mereka sayangi masih bisa hadir dalam kesehatan yang baik untuk kumpul kembali bersama mereka. Para murid yang dulu kumpul di usia 13-18 tahun di sekolah, kini rata-rata sudah berusia 44-45 tahun. Artinya, mereka sedang ada di puncak karier dengan segala dinamikia kehidupannya. Rasa rindu dan cinta bertemu kesungguhan untuk Ikhlas menengok masa lalu untuk kemudian menjadikannya energi untuk masa depan yang lebih baik dan cemerlang. Jadi, wajarlah bila pertemuan di Urban Forest Fatmawati itu menjadi sangat spesial.  

Kedua, relasi antara guru dan murid pun bergeser. Memang, ketika dulu mereka menjadi murid, jarak usia mereka dengan para guru rata-rata 10-15 tahun. Setidaknya ada 10 orang guru SMP masuk generasi Baby Boomer (1946-1964), selebihnya Gen-X awal. Bahkan, ketika mereka SMP, sebagian besar guru mereka saat itu belum menikah dan tinggal bersama di asrama yang disediakan sekolah. Maka, praktis mereka memikirkan dan mendiskusikan AIPL dan para muridnya sepanjang waktu. Kini, menyaksikan para murid mereka sudah menjadi pribadi-pribadi yang matang dengan segala pencapaiannya, rasanya janggal kalau tetap memanggil mereka dengan “anak-anak”. Oleh karena itu, Pak Tato Hendarto yang mewakili para guru yang hadir pun lebih memilih memanggil mereka dengan sebutan “adik-adik”. Namun, dengan apa pun panggilan itu berganti, di hati mereka yang tulus tetap terpatri kesabaran dan keikhlasan para guru dalam mendidik dan membentuk mereka. Itulah goresan cinta yang tak mungkin mereka lupa.

Ketiga, pertemuan takdir. Mengapa disebut demikian? Angkatan pertama SMP bertemu dengan guru-guru yang ketika kuliah dulu merupakan para mahasiswa berprestasi dan aktivis. Di era 90-an, menjadi pegawai negeri bukanlah pilihan menarik. Oleh karena itu, para alumni terbaik dari sejumlah perguruan tinggi penghasil tenaga pendidikan diserap oleh sekolah swasta Islam dengan konsep modern. Oleh karena itu, sekolah-sekolah seperti Al-Izhar, Pembangunan Jaya, Al-Azhar, Al-Ikhlash, dan lain-lain menjadi tujuan. Kalau sekarang, ketika menjadi pegawai negeri menjadi salah satu alternatif utama sejumlah calon guru, maka sekolah-sekolah swasta Islam mendapatkan competitor untuk mendapatkan para calon guru terbaik. Inilah rahasia waktu. Kita dipertemukan di Al-Izhar dalam kurun waktu yang memang Allah pilihkan.

Keempat, ada untungnya murid AIPL tidak terlalu banyak dalam satu kelas. Dengan demikian pola relasi yang terbangun antara guru-orang tua murid-sekolah sangat khas. Kedekatan emosional dan keakraban antara guru dengan para orang tua wali murid di Al-Izhar telah menciptakan atmosfer pendidikan yang sangat kondusif. Sinergi dan kolaborasi antara guru dan orang tua wali murid memang menjadi kunci sukses berbagai program inti dan pengayaan selama ini. Apalagi, tidak sedikit keluarga yang menyekolahkan sejumlah anaknya di AIPL juga. Di angkatan pertama saja beberapa orang adik mereka juga sekolah di AIPL. Dengan demikian, tingkat keakraban antara guru dan orang tua murid sudah terjalin dengan sangat harmonis. Inilah kekayaan dan modal sosial yang sangat berharga untuk keberhasilan AIPL. Oleh karena itu, ketika acara reuni berlangsung, sangat lazim terdengar sejumlah guru bertanya ke sejumlah murid,”Mama dan papa apa kabar? Salam, ya…!” Kedekatan itu nyata. Angkatan pertama pasti sangat sadar dan mengerti tentang ini.

Mengadakan reuni itu sejatinya tidak sederhana. Ia membutuhkan keikhlasan karena memerlukan biaya, waktu, dan tenaga. Menariknya, angkatan pertama AIPL tidak menjadikan ide untuk kumpul itu sebagai beban, justru sebaliknya, itu menjadi tantangan untuk saling sinergi, kolaborasi, dan kontribusi. Sebagai pribadi-pribadi yang sedang banyak mengemban amanah di ranah masing-masing, mereka telah Ikhlas menghimpun segalanya agar temu kangen itu terwujud. Persiapan untuk saling bersinergi terlihat dari apa yang mereka siapkan: sejumlah hidangan, hadiah permainan, dan doorprize berasal dari berbagai usaha bisnis mereka semua. Masya Allah. Tentu di titik ini pun rasa bangga dan haru sudah pasti menyergap hati 25 guru yang hadir.

Angkatan pertama SMP-SMA AIPL telah mengekspresikan rasa rindu, cinta, dan apresiasi mereka untuk para guru tercinta mereka lewat sebuah reuni yang sangat hangat dan menyenangkan. Cerita Lama Baru Ketemu (CLBK) yang mereka pilih sebagai tema reuni telah mengingatkan kita semua bahwa kita pernah Allah kumpulkan pada satu waktu, tempat, dan relasi indah. Kita pernah berproses bersama di Al-Izhar Pondok Labu. Benar apa yang Bani sampaikan, sudah sepantasnya kita berterima kasih kepada Bapak Bustanil Arifin dan Ibu Suhardani Arifin yang telah mendirikan Al-Izhar Pondok Labu sehingga pertemuan dan proses indah tiga puluh tahun lalu bisa terjadi. Akhirnya, kita menyadari, sebaik-baiknya rindu adalah dia yang tetap punya harapan bertemu muaranya; Sebaik-baiknya harapan adalah dia yang datang sebelum rindu menipis di tepian hati. Semoga Allah ridho dengan persahabatan dan kekeluargaan kita semua. Aamiin…

Beri aku waktu, Sebelum kaupergi

Meninggalkan sekolah ini, ‘tuk terakhir kali

Jujur kukatakan, Berat kurasakan

Kalau harus ditinggalkan, anakku tersayang

Kutahu, engkau akan pergi

Kan kau wujudkan cita-citamu yang jadi mimpiku

Selamat jalan, anak tersayang

Kini kau tahu, aku cinta padamu...

Walau terkadang kusangat benci padamu

Namun selalu rindumu datang mengganggu...

 

Wallahu a'lam bishawab

Depok, September 2024

 



Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form