Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran. (QS. Al ‘Asr [103])
Ada empat konsep kita dapatkan dari surat Al-Ásr, yaitu
beriman, beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling
menasihati dalam kesabaran. Ketika waktu sebagai sebuah entitas bersifat tetap
dan manusia yang sublim di dalamnya yang terus mengalami perubahan dan
dinamika, maka harus ada sesuatu yang dilakukan oleh manusia agar ia tidak
merugi pada akhirnya. Oleh karena itu, manusia selalu berpikir bagaimana
mewujudkan masa depan yang gilang gemilang karena waktunya sangat terbatas: 24
jam, 1440 menit, dan 86.400 detik sehari. Lalu, masa depan seperti apa yang ingin
kita wujudkan, Sahabatku?
Sebuah
pertanyaan mendasar yang dapat dipastikan ada pada diri setiap orang. Dan
jawaban dari pertanyaan tersebut adalah masa depan ideal. Semua orang ingin
mewujudkan masa depan ideal seperti yang ada dalam imajinasinya. Lantas,
bagaimana sesungguhnya masa depan ideal itu?
Masa depan ideal adalah ketika
seseorang mampu mewujudkan keselamatan, kebahagiaan, kesuksesan, dan kemuliaan
dalam rentang hidupnya di dunia (dan akhirat). Semua itu sebetulnya berintikan
pada satu hal: keuntungan. Kita ingin selalu mendapatkan keuntungan dalam hidup
ini dan tidak pernah ingin merugi. Lalu, apa kunci utama yang harus dimiliki
seseorang agar ia selalu beruntung dan tak pernah merugi?
Ada empat hal utama yang mesti
dimiliki dan diraih seorang manusia agar hidupnya tidak merugi dan sia-sia:
iman, amal, ilmu, dan akhlak. Iman sebagai bentuk keyakinan, amal sebagai tindakan nyata, ilmu sebagai pengetahuan tentang
banyak hal, dan akhlak sebagai karakter atau kepribadian luhur.
Dari titik berbeda, kita bisa
menempatkan keempat hal tersebut sebagai panduan untuk meraih masa depan.
Sekarang, mari kita bicarakan serba sedikit empat pilar yang dapat membuat masa
depan kita lebih bermakna.
Yang Beriman Selamat
Dr. Laurence Brown adalah seorang ateis. Pada suatu hari, ia membuat keputusan besar dalam
hidupnya: memeluk agama Islam. Ketika memutuskan
berislam, ia merasakan kedamaian dan kenyamanan yang luar biasa. Tetapi, pada
saat yang sama, kehidupannya menjadi kacau. Orangtuanya yang ateis tidak
mengerti alasannya masuk Islam. Mereka merasa kehilangan anak. Ia pun dilarang
mengunjungi mereka, dilarang menelpon, menulis surat dan kartu pos, email, atau
apa pun.
Kehidupannya berubah. Kini ia
tinggal di sebuah apartemen studio yang disewanya mingguan yang tangga,
elevator, dan lantainya berderit-derit seperti menjerit ketika diinjak. Kita bisa bayangkan bagaimana
kualitasnya dan siapa saja orang-orang yang tinggal di sana. Tidak hanya itu, ia juga berbagi tempat dengan
teman-teman lain yang diceraikan istri-istri mereka dan sedang menjalani
kesulitan hidup.
Namun, lucunya, justru itulah
hari-hari yang paling menyenangkan dalam hidupku. Aku berpikir, “Apa yang salah
denganku?” Maksudku, kalau di film-film, ketika kau bercerai, kau merasa begitu
sedih, mulai meninju-ninju tembok dan mungkin sengaja menabrakkan mobilmu. Tapi
saat itu aku bahagia. Bahkan itulah salah satu hari paling menyenangkan dalam
hidupku.
Aku ingat, sebelum menjadi muslim,
aku shalat Istikharah, meminta petunjuk. Aku meminta Allah untuk memilihkan dan
menuntunku kepada yang terbaik dan membuatku senang dengannya. Setelah itu aku
menyadari kasih sayang Pencipta ketika dia menjawab do’a kita, betapa utuh Dia
menjawabnya. Karena Dia telah memilihkan yang terbaik bagiku. Bukan hanya itu,
bahkan dalam kejadian yang seharusnya membuatku tidak menyukainya, Dia
membuatku bahagia.
Pencipta kita memfirmankan
kebenaran. Kita dijanjikan, bila kita menyerahkan segala sesuatu atas nama
Allah, Dia akan menggantikannya dengan yang lebih baik. Ketika aku menjadi
muslim, aku bercerai. Tetapi Allah memberiku istri yang lain. Aku kehilangan anakku karena putusan
pengadilan, tetapi Allah memberiku anak yang lain dan sebuah keluarga yang baru.
Aku dikeluarkan dari pekerjaanku
karena prasangka anti-Muslim di dinas kemiliteran, tempatku bekerja. Namun, Allah memberiku
pekerjaan lain yang berkali-kali lipat lebih baik. Ketika aku kehilangan rumah karena
perceraian, Allah memberiku rumah baru di kota suci Madinah. Ketika aku kehilangan kekayaan, Allah
melipatgandakan kekayaanku. Aku sama sekali tidak merasa kehilangan karena Allah menggantikannya
dengan yang lebih baik. Akhirnya orangtuaku mau bicara lagi denganku.
Hubunganku dengan mereka pun menjadi lebih baik daripada sebelumnya.
Jadi, tidak ada seorangpun yang
menyerahkan sesuatu demi kepentingan Allah kecuali Allah akan memberimu yang
lebih baik. Mungkin ada masa-masa sulit yang harus engkau lalui sebelum engkau mendapatkan manfaatnya. Tetapi, ketika engkau mendapatkan manfaatnya, Subhanallah, engkau akan menyadari kasih sayang
yang utuh dari Sang Pencipta.
Yang Beramal Bahagia
Elizabeth W Dunn, Profesor dari
University of British Columbia, Vancouver, melakukan penelitian terhadap 632
orang Amerika dari seluruh wilayah negara bagian. Mereka yang terpilih
rata-rata bergaji USD 20.000 - 50.000. Dunn menanyakan jumlah pendapatan, cara
mereka menghabiskannya, dan kebiasaan beramal.
Hasilnya? Kebahagiaan tidak
berhubungan dengan jumlah uang yang diperoleh. Mereka justru merasa sangat
bahagia ketika dapat beramal dengan uang yang mereka terima. Untuk mencari tahu
hubungan antara beramal dan kebahagiaan, Dunn mengkhususkan penelitian kepada
16 orang warga Boston.
Ke-16 orang tersebut terpilih
karena mereka mendapatkan bonus gaji per bulan. Sebelum mendapatkan bonus, Dunn
mencari tahu tingkat kebahagiaan mereka. Setelah enam minggu dan mendapatkan
bonus, Dunn kembali bertanya ke mana bonus itu mereka habiskan dan bagaimana
tingkat kebahagiaan mereka.
"Ternyata sekali lagi, ada
perbedaan besar antara yang menghabiskan bonus untuk kesenangan sendiri dengan
yang menggunakan uangnya sebagian untuk beramal," kata Dunn. Untuk mencari
bukti yang lebih kuat, Dunn mencoba mengalihkan penelitian kepada mahasiswa
University of British Columbia,Vancouver. Seluruh mahasiswa di kelasnya,
diberikan amplop berisi uang dan menginstruksikan sebagian dari mereka untuk
menghabiskannya sendiri.
"Sementara itu, sebagian lagi
diinstruksikan untuk beramal," terang Dunn. Hebatnya, mahasiswa yang
menggunakan uangnya untuk beramal justru lebih terlihat bahagia daripada
mahasiswa yang menghabiskannya untuk diri sendiri. Dunn lebih lanjut
mengatakan, saat ini orang memang lebih banyak beranggapan bahwa menggunakan
uang untuk diri sendiri akan lebih membahagiakan.
Anggapan tersebut, menurut Dunn,
salah besar karena ukuran yang digunakan adalah ukuran materi. "Padahal,
materi bukanlah ukuran kebahagiaan. Jadi jika ingin mencerahkan hari-harimu,
cobalah untuk menggunakan sebagian uangmu untuk beramal dan usahakan
melakukannya dengan senyuman," kata Dunn.
Yang Berilmu Sukses
Sukses adalah aktualisasi potensi
yang diberikan Tuhan kepada kita untuk menghasilkan sesuatu yang manfaatnya
lebih panjang dari usia kita.
Bila yang menjadi titik awal
pembicaraan adalah potensi, maka tidak ada satu pun manusia yang boleh gagal.
Seluruh perangkat untuk meraih kesuksesan telah diberikan Allah kepada semua
orang dengan proporsinya masing-masing (QS An Nahl [16]: 78, Al Mukminuun [23]:
78, dan Al-Mulk [67]: 23). Persoalannya adalah bagaimana setiap orang
memaksimalkan pemanfaatan semua perangkat tersebut mencapai titik optimal makna
kemanusiaannya. Bagaimana pula ilmu
pengetahun (IQ) menjadi seperangkat pencapaian yang bukan saja bermakna di
dunia tapi juga memberi cahaya untuk akhirat kita?
Ilmu
bukan sekadar pengetahuan semata. Ilmu adalah alat (tools) yang aktif mendorong
pada suatu tindakan dan membangkitkan potensi diri ke tingkat maksimal. Karena
itu, ilmu menjadi sesuatu yang penting. Tidak ada kemajuan tanpa didasari ilmu.
Tidak ada perubahan kearah yang lebih baik tanpa dilandasi ilmu. Dan tidak ada
keberhasilan atau kesuksesan yang tidak didasari oleh ilmu. Ilmu adalah cahaya
penerang bagi manusia.
Sahabat,
kerinduan setiap manusia pada kesuksesan pada dasarnya kerinduan pada kondisi
kehidupan bercahaya ilmu. Sukses kita menjalani kehidupan ini sangat bergantung
seberapa banyak penguasaan dan pengamalan ilmu yang kita miliki. Pepatah
Arab mengatakan,”Siapa saja yang
menginginkan kehidupan dunia, maka ia harus memiliki ilmu.
Siapa saja yang menginginkan kehidupan akhirat maka harus
dengan ilmu. Dan siapa saja
yang
menginginkan keduanya maka itu pun
harus dengan ilmu”.
Yang Berakhlak Mulia
Menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary (2001), mulia (noble) dimaknai sebagai having fine personal qualities that people
admire, such as courage, honesty, and care for other. Ada tiga kata kunci
pada definisi di atas: keberanian (courage),
kejujuran (honesty), dan kepedulian (care). Ketiganya mestilah menjadi satu
kesatuan utuh dalam pribadi seseorang. Golden karakter ini menjadi prasyarat
yang harus ada.
Kejujuran tanpa keberanian menjadi
mandul. Kejujuran dan keberanian pun tidak akan berfungsi maksimal dan bermakna
apa-apa tanpa kepedulian. Kepedulian menjadi kunci dari semua karakter utama
yang kita perlukan dalam kehidupan. Karena hanya dengan kepedulianlah semua
karakter utama bermuara. Kalaulah pada satu masyarakat banyak orang jujur dan
berani tetapi bila mereka tidak peduli, maka tidak akan tercipta tatanan
masyarakat yang kita inginkan. Oleh karena itu, untuk menjadi pribadi yang
mulia maka kita harus berjuang terus memupuk rasa peduli dalam diri kita.
Karakter itulah yang mengikat dan menggerakkan semua karakter baik yang telah
kita miliki.
Kita
perlu peduli karena kita makhluk sosial yang sehari-hari berinteraksi dengan
sesame. Kita juga peduli karena kita ingin menciptakan kehidupan sosial yang
baik dan kondusif. Kita ingin melakukan kontrol sosial agar roda kehidupan
berada di jalur yang benar. Kita tidak ingin kehidupan tercemar oleh
virus-virus yang merusak hingga pada gilirannya menghancurkan kehidupan.
Salah
satu yang terbesar dalam hal ini adalah aktivitas amar ma'ruf nahi munkar. Inilah ajakan untuk mengerjakan hal-hal
yang baik dan mencegah perbuatan buruk di masyarakat. Allah menegaskan: Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang
mungkar, dan beriman kepada Allah. (QS Ali Imran [3]: 110)
Amar makruf, nahi mungkar, dan beriman kepada Allah
adalah syarat utama untuk menjadi manusia terbaik dan teristimewa, tidak hanya
di mata manusia, tetapi juga—terlebih—di mata Allah. Manusia harus melakukan
tiga hal tersebut untuk bisa disebut sebagai manusia terbaik.
Quraish
Shihab mengatakan, ada
tiga syarat harus dipenuhi untuk mendapatkan kedudukan sebagai umat
terbaik, yaitu amar makruf, nahi munkar, dan bersatu
dalam berpegang pada tali Allah. Umar bin Khatab pun menegaskan,”Siapa saja yang
ingin meraih keistimewaan ini, hendaklah dia memenuhi syarat yang ditetapkan
Allah tersebut.”
Islam sangat menekankan pentingnya melakukan amal
makruf nahi mungkar dalam kehidupan sosial. Para ulama bahkan menyebutnya
sebagai kewajiban personal, yaitu setiap individu wajib melakukan hal itu
sesuai dengan kapasitas dan perang masing-masing dalam pelbagai sektor
kehidupan. Mereka dituntut untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari
kemungkaran.
Ajakan dan seruan yang pertama tampaknya on the track dalam masyarakat kita. Bertebarannya sosok penyeru dan
begitu banyak event dalam berbagai
ukuran anggaran menjadi indikasi tersendiri untuk yang satu ini. Namun,
persoalan justru ada pada ajakan dan perintah yang kedua “nahi mungkar”. Entah
mengapa hari ini kita sering kali terjebak pada berbagai macam perasaan yang
semestinya tidak muncul: pakewuh, tidak mau ganggu urusan orang, atau tidak
ingin dikatakan cari muka.
Menarik sekaligus memprihatinkan
menilik kehidupan kita hari ini. Bila terhadap bawahan, adik, kemenakan, anak,
atau yunior kita sudah pakewuh,
apalagi bila yang melakukan kemungkaran itu adalah atasan, kakak, orang tua,
atau senior kita. Kita gagal mengambil banyak peran strategis di sini. Kita
gagal menjadi pemain yang baik untuk peran penting ini.
Kita bisa melihat kondisi kita saat ini, mengalami krisis moral dan krisis integritas
karena kehilangan keberanian (courage),
kejujuran (honesty), dan kepedulian (care) itu tadi. Alih-alih belajar dan
memupuk diri untuk menjadi pribadi dan kelompok dengan ketiganya, justru tidak
sedikit akhirnya—mungkin frustrasi atau melihat peluang karena berbagai
kelemahan sistemik dari pranata masyarakat—tidak sedikit yang akhirnya ikut nimbrung sebagai pemain. Naudzubillahi
mindzalik. Akhirnya, kita kehilangan kemuliaan. Wajah yang hak dan bathil
akhirnya samar-samar, abu-abu. Secara umum, inilah yang mengaburkan mata umat.
Jadi, masa depan seperti apa yang kita inginkan? Untuk
menjawabnya, mari kita pakai gerakan dan ucapan. Pertama-tama, letakkan telapak
tangan kanan di dada kiri sebagai simbol iman di dada sambil mengucapkan
“Selamat”; Buka kedua telapak tangan di depan dada seperti orang memberi
sesuatu kepada orang lain sambil mengucapkan “Bahagia”; Kedua lengan ditarik ke
belakang sisi kanan-kiri sambil mengepalkan kedua telapak tangan sambil
mengucapkan “sukses”; dan mengulurkan kedua lengan ke depan sambil membuka
kedua telapak tangan seperti orang berdoa sambil mengucapkan “mulia”. Masa
depan yang kita inginkan adalah yang selamat, bahagia, sukses, dan mulia. Untuk
itu, kita harus beriman, beramal, berilmu, dan berakhlak. Inilah konsep masa
depan yang kita inginkan.
Wallahu a’lam bi al-shawab.