Skenario 3B Indonesia

         “Selamat pagi pemirsa. Kami hadir di pagi yang cerah ini untuk menemani Anda menikmati secangkir kopi dengan sejumlah berita yang tengah hangat di seputar kita. Kita mulai dari Cibinong. Seorang pelajar tewas karena luka tusuk ketika terlibat tawuran dua sekolah. Sementara itu, di Cianjur, seorang pelajar SMK merampok minimarket karena kecanduan judi online dan terlilit utang. Masih dari Jawa Barat, Satuan Reserse Narkoba Polres Cimahi mengamankan 17 pelajar SMA yang mengonsumsi narkoba.”

“Kita berlanjut ke Jawa Timur. Satu keluarga guru SD di Malang bunuh diri karena terbebani utang. Sedangkan dari Sampang, seorang siswi SMA kelas X melahirkan di kelas ketika mengikuti ujian sekolah. Kita beralih ke Kepulauan Riau. Warga Rempang bentrok dengan aparat karena menolak proyek Rempang Eco-city Xinyi Group senilai Rp400 triliun. Terakhir, berita hangat dari ibu kota: korupsi tambang timah ilegal di lahan PT Timah merugikan negara sebesar Rp271 triliun. Itulah rangkuman tujuh berita hangat yang akan kami hadirkan di ruang keluarga Anda di akhir pekan ini. Kita ikuti berita selangkapnya…”

Apa yang ada di benak Anda setelah menonton tayangan berita di atas? Anda heran? Tidak habis pikir? Kaget? Kalau kita pindah ke saluran yang lain, bisa jadi kita akan bertemu dengan lebih banyak berita yang memprihatinkan. Banyak sekali generasi muda yang konon menjadi bagian dari bonus demografi Indonesia justru hari ini terlibat pembunuhan, penyalahgunaan narkoba, tawuran maut, seks bebas, kecanduan judi, dan merampok. Sementara para seniornya, asyik korupsi dan main proyek dengan mengabaikan aspek keadilan dan kewarasan. Akhirnya, sebagai bangsa, hari ini kita menjadi terbiasa menonton tayangan atau membaca berita-berita serupa itu. Kita jadi membiasa. Jadi, berapa berita baik dan menggembirakan dari sepuluh berita yang Anda temui untuk pertama kali di media masa atau media sosial hari ini?

Skenario Indonesia

Indonesia adalah sebuah negara besar. Luas wilayahnya setara dengan Benua Amerika dan 27 negara Uni Eropa. Jumlah penduduknya nomor empat terbesar di dunia. Kekayaan alam dan sumber daya pendukungnya pun luar biasa. Berbagai potensi ini menjadikan Indonesia sangat berpeluang menjadi salah satu pemimpin peradaban.

Namun, sayang, masih banyak persoalan dalam negeri yang sampai kini belum mendapatkan penyelesaian yang serius. Masih banyak anak Indonesia putus sekolah di usia dini, angka stunting masih tinggi, pendidikan semakin mahal, jumlah pengangguran semakin meningkat, dan orang miskin masih 25 juta lebih pada 2023. Itu artinya tujuan didirikannya negara Republik Indonesia yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa masih jauh dari harapan. Oleh karena itu, melihat semua yang terjadi, ada skenario 3B yang bisa terjadi di Indonesia.

Pertama, Indonesia bangkrut. Bila tujuh berita di atas hanya merupakan puncak gunung es, maka sesungguhnya kondisi sosial ekonomi kita memang sedang tidak baik-baik saja. Bila kemiskinan belum bisa dikurangi dengan signifikan, banyak pihak saling menyalahkan atas kondisi yang terjadi, gizi buruk di sejumlah daerah yang menyebabkan stunting belum terselesaikan dengan baik, tawuran terus terjadi di sejumlah tempat dan kelompok, kriminalitas terus meningkat, penyalahgunaan dan perdagangan narkoba merajalela, dan korupsi ugal-ugalan di kalangan pejabat, maka tidak mustahil Indonesia akan bangkrut. Apa yang bisa diharapkan dari sebuah negara bangkrut?

Kedua, Indonesia bubar. Jika kondisi-kondisi di atas tidak mampu teratasi dengan baik dan bijak, maka Indonesia bisa terjebak di situasi yang serba sulit. Ketika tingkat kepercayaan antarpemegang amanah dan antarkelompok terjun bebas sehingga masing-masing saling curiga, maka itu artinya kesepakatan kita untuk tetap bersatu sebagai negara bangsa mendapatkan ujian yang sangat serius. Ketika korupsi dan ketidakadilan karena keserakahan dan hubbud dunya semakin membabi buta dan tidak terkendali, maka sangat mungkin kita berada di titik nadir dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kata-kata manis dari siapa pun pada akhirnya tidak cukup untuk mengobati luka dan kecewa yang terlanjur menganga. Akhirnya, kelak anak cucu kita hanya bisa bernostalgia,”Dulu, di zaman kakek-nenek saya, ada lho negara bernama Indonesia”. Bukankah dulu Sriwijaya dan Majapahit juga adalah sebuah negara besar yang sangat disegani di Nusantara?

Ketiga, mengapa hari ini kita masih tetap istiqomah dan tak kenal lelah untuk tetap menjadi guru, pedagang, pengusaha, birokrat, dan eksekutif yang jujur dan amanah, karena kita masih punya harapan Allah akan memberikan kita kesempatan untuk mendesain dan melakoni skenario ketiga. Apa itu? Indonesia bangkit, maju, adil dan Makmur, unggul, dan memimpin bangkitnya peradaban baru, bukan hanya di Asia tetapi juga di dunia. Bukankah kita masih punya para pelajar dan mahasiswa di seluruh pelosok negeri yang tetap semangat belajar untuk menjadi orang yang cerdas meskipun kondisi mereka sangat penuh keterbatasan? Bukankah kita masih bisa melihat keikhlasan dan ketabahan para nelayan dan petani yang tetap melaut meskipun di tengah kelangkaan dan tak menentunya solar dan pupuk dengan lahan pertanian yang kian susut karena kapitalisasi semakin merajalela? Kita masih bisa berharap kepada sejumlah orang baik, jujur, dan soleh di negeri yang kita cintai ini.

Tiga Strategi

Untuk itu, tidak ada cara lain, kita harus mau dan mampu menyatukan niat tulus dan ikhlas kita untuk bangsa ini. Tidak ada yang lebih mengenal diri kita dibandingkan kita sendiri. Oleh karena itu, solusi terbaik untuk semua persoalan bangsa sejatinya harus lahir dari keluhuran budi dan kebesaran jiwa para pemangku kebijakan. Karena di pundak merekalah amanah penderitaan rakyat dititipkan. Kesejahteraan jutaan anak dan remaja butuh sekolah menggantungkan harapan kepada seperangkat kebijakan yang berpihak kepada mereka. Rakyat adalah pemilik sah republik ini. Oleh karena itu, berilah mereka kesempatan untuk dapat berdiri di atas kaki mereka sendiri dengan segala rasa percaya diri yang membanggakan.

Ada tawaran tiga strategi yang dapat dijadikan alternatif solusi atas sejumlah persoalan di negeri ini. Pertama, meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Kesempatan belajar harus dibuka aksesnya dengan seluas-luasnya kepada semua anak bangsa sehingga pada gilirannya nanti mereka dapat menjadi jalan sukses untuk keluarga mereka. Satu sarjana satu keluarga nampaknya masih menarik untuk sebuah program berkelanjutan. Oleh karena itu, tentu sejumlah kebijakan tentang keterjangkauan biaya pendidikan tinggi harus diperhatikan. Pendidikan itu kebutuhan primer, bukan sekunder apalagi tersier. Tidak ada satu pun bangsa maju di dunia ini tanpa memperhatikan pemerataan kesempatan dan peningkatan kualitas pendidikannya. Dengan demikian, proses perubahan mindset ke arah yang lebih positif dan kondusif masih bisa kita harapkan tumbuh subur bersamaan dengan teraksesnya pendidikan tinggi untuk semua keluarga Indoneia. Bayangkan, bukankah sangat menarik bila nanti masyarakat Indonesia adalah mereka yang punya empat kecerdasan yang saling melengkapi: spiritual, emosional, intelegensia, dan adversity quotient?

Kedua, petakan dan tingkatkan keunggulan lokal sebagai langkah nyata keberpihakan negara terhadap sektor riil dan mengembangkan ekonomi kerakyatan. Sejumlah aspek sudah bisa disebutkan, misalnya jagung (Gorontalo), industri kapal (Surabaya), jasa dan industri (Batam), sawit (Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan Papua), karet (Sumatera Barat, Kalimantan Timur), kakao (Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Selatan), kacang (Pati), pariwisata (Bali, NTT, NTB, dan Tanah Toraja). Kita bisa mencontoh Belanda dengan tulipnya dan Selandia Baru dengan peternakan domba dan sapinya. Mengapa ini penting dan strategis? Dengan memetakan keunggulan lokal, maka pemerintah dan pelaku ekonomi fokus dengan seluruh aspek pengembangan yang nyata di daerah tersebut. Pendidikan, misalnya. Di Gorotalo sebaiknya memang diperbanyak SMK dan politeknik yang membekali para siswa dan mahasiswa mereka untuk mampu mengelola dan mengolah hasil pertanian jagung yang melimpah. Dengan demikian, konsep link and match pun menemukan konteksnya. Selain itu, dengan industri yang terus dikembangkan untuk skala nasional, maka kebutuhan jagung akan konstan sehingga harga jual jagung petani akan tetap tinggi kapan pun mereka panen. Dengan demikian, setiap daerah punya kesempatan untuk memikirkan pengembangan daerah mereka masing-masing dengan maksimal sesuai keunggulan.

Ketiga, memfasilitasi peningkatan nilai tambah. Suatu hari, ketika melatih di Indragiri Hilir, saya mendapati sejumlah keluarga sedang menjemur pinang di halaman rumah mereka. Saya penasaran. Lalu, saya bertanya kepada salah seorang bapak yang sedang menata pinang-pinang tersebut di tampah. Ternyata, mereka sedang menanti tengkulak datang. Mereka menjual ke tengkulak yang akan menjual kembali pinang tersebut ke pabrik pembuatan pewarna batik. Saya termenung, apakah proses pengolahan pinang menjadi pewarna batik sangat rumit dan membutuhkan mesin yang canggih dan mahal? Kalau tidak, mengapa pihak pemda tidak mengambil inisiatif untuk membantu para petani pinang tersebut dengan mendirikan sentra industri rakyat, sehingga sentuhan teknologi memungkinkan proses petik-olah-olah-olah-jual dapat terwujudkan? Selama ini mereka petik langsung jual. Akhirnya, tidak ada nilai tambah dari komoditas yang mereka jual tersebut. Harga tetap rendah dan bahkan ada kemungkinan turun.

Negara memang harus hadir di sini. Di antaranya adalah dengan membuka akses pasar yang terbuka, baik lokal maupun global. Demikian pula mendorong tersedianya modal kerja yang bersumber dari keterlibatan aktif masyarakat melalui lembaga-lembaga keuangan mikro yang dekat dengan kepentingan rakyat. Selain itu, ketersediaan infrastruktur yang memadai dan terpelihara baik akan menjadi salah satu sebab lancarnya distribusi hasil pertanian dan peternakan. Ini akan sangat membantu petani dan peternak agar produksi mereka cepat terserap pasar dan industri. Akhirnya, diperlukan layanan birokrasi yang sigap dan amanah. Dengan demikian, aktivitas ekonomi rakyat adalah aktivitas seluruh elemen masyarakat yang saling terintegrasi. Itulah ekosistem.

Mengapa sejumlah program cerdas itu penting? Karena menurut hasil penelitian Bank Dunia, kemajuan suatu bangsa paling banyak ditentukan oleh inovasi dan kreativitas yang mencapai 45 persen. Ini berkaitan erat dengan pembangunan sumber daya manusia. Faktor selanjutnya adalah networking 25 persen, teknologi 20 persen, dan sumber daya alam 10 persen. Ternyata, sumber daya alam hanya menyumbang 10 persen bagi kemajuan suatu bangsa. Oleh karena itu, peningkatan mutu pendidikan seharusnya tidak dapat diabaikan lagi. Seluruh anak bangsa harus diberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk sekolah dan mendapatkan pendidikan tinggi. Untuk itu, harus diwujudkan sinergi dan kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat. Pendidikan memang tanggung jawab bersama dan semua pihak.

Selain itu, penting juga memperhatikan apa yang telah ditulis oleh Lawrence E. Harrison dalam bukunya Who Prospers: How Cultural Values Shape Economic And Political Success (New York: Basic Books, 1993). Di buku itu, Harrison menulis bahwa nilai atau sikap suatu bangsa sangat mempengaruhi kemajuan bangsa tersebut. Pertama, radius of trust. Di negara maju, radius of trust sangat luas. Mereka umumnya optimis, positif dan saling mendukung. Sedangkan di negara berkembang atau miskin, radius of trust-nya sempit artinya rakyatnya cenderung pesimis, negatif, dan saling menjatuhkan. Kedua, sistem dan etika hukum di negara maju sangat jelas dan dipatuhi. Sedangkan di negara berkembang dan miskin sering kali tidak jelas dan mudah dilanggar. Ketiga, aspek kewenangan dan jabatan. Di negara maju jabatan digunakan untuk melayani rakyat, sehingga pejabatnya hidup sederhana dan setara dengan rakyat. Sedangkan di negara berkembang dan miskin, jabatan itu adalah alat dan kesempatan untuk memperkaya diri, keluarga, dan kelompoknya sehingga pejabatnya hidup mewah dan eksklusif. Keempat, kerja keras di negara maju dipandang mulia dan memberikan kebahagiaan. Berbeda dengan di negara miskin, kerja keras dipandang hina dan membawa rasa susah. Kelima, orientasi tentang waktu. Di negara maju, mereka hidup berencana dan berpikir jangka panjang. Itulah sebabnya budaya menabung sangat berkembang. Sedangkan di negara berkembang atau miskin umumnya rakyat tidak berencana dan berpikir jangka pendek serta cenderung hedonis.

Bangsa besar itu adalah yang bijaksana belajar dari perjalanan sejarahnya. Proses menjadi bangsa besar sangat penting untuk dialami oleh manusia Indonesia agar secara kolektif kita punya pengalaman tentang itu. Tentu kita harus bersabar dalam proses dan dinamikanya karena setiap zaman akan memberikan tawaran-tawaran yang tidak sederhana kepada setiap anak kandungnya. Anak kandung zaman ini adalah mereka yang lahir sebagar digital natives. Oleh karena itu, generasi x dan milenial harus berbesar hati dan bersabar untuk dapat berdialog dan terus berkomunikasi dari hati ke hati dengan para Gen-Z agar mau belajar dari sejarah, menikmati gelombang perubahan yang memang dahsyat dan cepat, dan menerima tantangan untuk menjadi para pemimpin yang amanah. Semoga sebagai bangsa, kita cepat mau belajar memperbaiki diri agar sejarah tidak mencatat kita sebagai bangsa yang gagal dan telah merampok hak hidup anak dan cucu kita kelak. Bukankah kita tidak ingin menjadi duri dalam daging?

Wallahu a’lam bi al-shawab.

Depok, Juni 2024

 

 

 

 

1 Comments

  1. TIDAK ADA SOLUSI UNTUK INDONESIA, KECUALI 1...
    REVOLUSI TOTAL, REBUT KEKUASAAN DARI PEMIMPIN DZOLIM... KEMBALIKAN LAGI KEPADA UUD 45 DAN PANCASILA. HUKUM PARA PEN6KHI4N47 BANGSA...

    ReplyDelete
Previous Post Next Post

Contact Form