Menjadi Musyrif Profesional

     Siapa yang ditelepon orang tua santri untuk sekadar menanyakan kondisi putranya di pondok? Musyrif. Siapa yang kerap ditemui dan dimintai ceritanya perihal perkembangan putranya ketika waktu berkunjung atau penjengukan? Musyrif. Siapa yang update informasi dan kiriman fotonya senantiasa dinantikan oleh para orang tua wali santri di group WhatsApp atau telegram? Musyrif. Kepada siapa orang tua minta tolong untuk mengantarkan anaknya ke klinik bila sewaktu-waktu putranya demam? Musyrif. Nama dan nomor hp siapa yang dicantumkan bila orang tua mengirim sesuatu untuk putranya di pondok? Musyrif. Siapa yang diharapkan menerima kiriman makan Ahad siang di pekan pertama? Musyrif. Kepada siapa biasanya orang tua menitipkan uang saku (tambahan) untuk putranya? Musyrif.

      Pertanyaan di atas akan masih panjang bila diteruskan. Musyrif atau wali asrama punya peran sangat strategis di pondok atau sebuah boarding school (selanjutnya disebut pondok saja). Mereka adalah pendamping dan pembimbing, pengganti orang tua, dan penghubung antara kepala asrama, kepala sekolah, dan orang tua dengan santri. Memang aturan dan budaya tiap pondok pasti berbeda, tetapi semua pasti sepakat bahwa pengasuhan merupakan domain sangat vital karena mereka yang langsung mengawasi dan membimbing para santri di asrama. Santri belajar berbagai aspek kemandirian, tenggang rasa, kebersamaan, kepemimpinan, dan kesetiakawanan di kamar dan di asrama. Pembicaraan kita ini pada umumnya lebih cocok untuk pondok yang fungsi pengasuhannya di-handle oleh musyrif, bukan oleh santri senior.

         Kualifikasi Musyrif

Beberapa persoalan yang viral tentang sejumlah kasus bullying yang sampai memakan korban di pondok memang membuat semua pihak prihatian. Sontak masyarakat mempertanyakan peran dan fungsi musyrif di situ. Karena kita tidak sedang menuding dan menghakimi posisi itu, maka ada baiknya kita tilik peluang dan sosok ideal seorang musyrif. Bukan sebagai utopia, tetapi sebagai bahan diskusi untuk memulai sesuatu yang baru.

Pertama, musyrif sama penting dan sepadan dengan guru bidang studi. Mindset pengelola dan pimpian pondok harus sepakat dulu tentang ini. Membentuk musyrif profesional merupakan tanggung jawab semua elemen penyelenggaraan pendidikan di pondok. Musyrif bukan untuk “batu lompatan” ketika posisi guru mata pelajaran atau tempat lain di manajemen tidak tersedia. Musyrif bukan posisi sementara, sambil lalu, atau pelengkap, tetapi profesi yang membutuhkan dedikasi, profesionalisme keilmuan, dan pengalaman. Jadi, menyerahkan posisi musyrif definitif kepada santri pengabdian atau magang sebaiknya dipertimbangkan kembali. Ini bukan hanya soal angka dan struktur, tetapi soal tanggung jawab dan amanah.

Kualifikasi pendidikan seorang musyrif seharusnya sama dengan guru mata pelajaran. Mengapa harus demikian? Karena keduanya berbagi tanggung jawab yang sama beratnya: guru bidang studi diamanahi untuk mendidik santri untuk punya adab dan keunggulan dalam bidang akademik; Musyrif diamanahi untuk mendidik santri agar beradab dan dewasa dalam bertauhid, bermasyarakat, dan kemampuan untuk saling membesarkan dalam sinergi dan kolaborasi di asrama. Kesadaran akan penting dan strategisnya fungsi dan peran musyrif akan berdampak pada kesempatan pengembangkan diri yang sama dengan guru bidang studi untuk kebutuhan pelatihan dan pembekalan berjenjang dan berkesinambungan. Dengan demikian, pandangan dan sikap positif para musyrif semakin bertambah karena posisi tawar mereka sangat baik.

Kedua, musyrif profesional harus memiliki communicative competence yang baik. Mengapa demikian? Karena sehari-harinya, para orang tua santri lebih banyak berkomunikasi dengan mereka daripada dengan walikelas, apalagi dengan guru bidang studi. Mereka umumnya akan bertemu walikelas pada saat pembagian raport atau untuk keperluan khusus akademik. Tetapi tidak begitu dengan musyrif. Komunikasi mereka sangat intensif karena para musyriflah yang bersentuhan langsung dengan keseharian putra-putri mereka. Jadi, wajar bila seorang musyrif harus piawai berkomunikasi dengan para orang tua wali santri. Musyrif itu wajah dan duta pondok. Bila musyrif bekerja sepenuh hati dan pelayanannya membuat orang tua nyaman, maka nama baik pondok dengan sendirinya naik. Bila trust dan respect sudah diperoleh, maka pencapaian PPDB selesai dengan sendirinya.  

Seorang musyrif profesional harus memantaskan dirinya untuk mampu berkomunikasi efektif kepada dua belah pihak yang sama-sama mempunyai kepentingan atas kehadirannya: santri dan orang tua wali mereka. Untuk itulah kepiawaian seorang musyrif dalam berkomunikasi sangat mutlak, tanpa debat. Sikap akomodatif tentu menarik dan itu bagian dari Layanan Cinta di Sekolah, tetapi dalam konteks pendidikan, tidak semua keinginan santri dan orang tua menjadi satu-satunya pilihan yang harus diluluskan. Musyrif bukan subordinat dalam relasi dengan orang tua dan santri. Oleh karena itu, tentu ada ruang kompromi yang harus terus diupayakan atas dasar sejumlah aturan main yang telah disepakati. Ingat, bukan win-win solution yang harus diperjuangkan, tetapi kepantasan-kepantasan dalam koridor pendidikan Islam dan tata tertib sekolah yang harus dihormati. Oleh karena itulah, maka formulasinya adalah win-win-win solution: santri menang, orang tua menang, dan pondok juga menang. Bagaimana caranya itu? Hanya mereka yang sublim dan mencintai profesinya sebagai musyrif dengan sepenuh hatilah yang mampu menjawab dan mempraktikkannya.

Ketiga, fungsi kepengasuhan adalah salah satu inti penyelenggaraan pondok. Oleh karena itu, untuk menjadi musyrif profesional, seseorang harus menguasai psikologi perkembangan anak. Bagaimana mungkin seorang musyrif mampu menghadapi puluhan anak yang menjadi tanggung jawab kepengasuhannya tanpa ilmu. Yang kita layani adalah calon-calon intelektual yang ulama dan ulama yang intelek, tentu pondok tidak akan mungkin gegabah menyerahkan tanggung jawab itu kepada mereka yang belum atau bahkan tidak memenuhi syarat.

Sebagaimana juga seorang guru, seorang musyrif profesional haruslah memiliki empat kecerdasan: intelligence, emotional, spiritual dan Adversity Quotient. Kepemilikan kecerdasan emosional pada seorang musyrif menjadi salah satu yang menarik untuk didalami. Mengapa? Sejujurnya profesi ini adalah profesi penuh tekanan. Tiga pihak harus dijaga kepentingannya: orang tua, santri, dan pondok atau sekolah. Dalam beberapa kesempatan, sangat mungkin seorang musyrif harus berhadapan dengan sejumlah pilihan yang sama beratnya. Dia harus adil. Tidak boleh baper. Tidak boleh merasa tertekan. Pada situasi seperti ini, mereka yang tidak memiliki kecerdasan emosional bisa saja tidak cermat dalam memutuskan satu perkara dan ingin cepat-cepat keluar dari situasi seperti itu. Padahal, ia harus adil dan tenang karena ketiga kepentingan itu sama haknya.

Keempat, seorang musyrif profesional sebaiknya memiliki sejumlah bakat dominan yang mendukung. Merujuk pada 34 bakat pada Talents Mapping, maka alangkah baiknya bila seorang musyrif yang ingin dipekerjakan oleh pondok memiliki sejumlah bakat berikut. Pada bagian interpersonal-influencing (mempengaruhi), ia setidaknya berbakat communication; Sedangkan interpersonal-relating (bekerja sama), akan menarik bila ia berbakat positivity, developer, includer, harmony, adaptability, individualization, connectedness, dan empathy. Pada bagian intrapersonal-thinking (berpikir), akan sangat membantu bila ia berbakat strategic, analytical, learner, dan input; Sedangkan intrapersonal-striving (semangat), setidaknya ia memiliki bakat restorative, discipline, consistency, achiever, responsibility, dan belief.

Namun, pasti tidak ada kandidat yang bisa diterima pondok bila terlalu ideal begitu. Cukuplah ia memiliki kecakapan komunikasi, empati, cepat beradaptasi, cerdas strategi, senang mengumpulkan informasi, senang melayani orang lain, dan bertanggung jawab. Insya Allah sosok yang memiliki bakat dominan yang seperti itu ada dan insya Allah bisa menjadi calon musyrif yang baik.  

Mitra Cerdas

Bila kesadaran bahwa musyrif itu pengasuh dan pembimbing, maka ia harus sosok yang berilmu dan menyenangkan secara personal. Santri senang “bersahabat” dengannya. orang tua wali santri nyaman dengan pelayanan tulusnya, dan pondok sangat terbantu dengan kecakapannya mewujudkan misi pondok dan berbagai informasi menarik yang dimilikinya. Oleh karena itu, setidaknya ada dua hal yang menarik untuk dikembangkan di pondok.

Pertama, musyrif dengan kualifikasi seperti di atas sangat cocok sebagai mitra guru Bimbingan Konseling, walikelas, dan guru bidang studi. Mengapa begitu? Ia gudang informasi penting dan menarik tentang santri. Sejumlah informasi yang tidak terekam secara formal di sekolah pada saat registrasi dimilikinya. Dengan demikian, BK mendapatkan amunisi sangat menarik untuk bahan analisis dan sejumlah luaran yang akan diinformasikan kepada orang tua wali santri dan sekolah sebagai temuan yang komprehensif dan integratif.

Informasi strategis juga dibutuhkan oleh manajemen atau yayasan, misalnya untuk bagian keuangan, filantropi, litbang, dan pengembangan SDM. Tidak sedikit mitra cerdas yang digagas pondok gayung bersambut dengan potensi yang dimiliki sejumlah orang tua wali santri. Demikian pula sebaliknya. Dengan demikian, informasi pendahuluan yang tidak confidential dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan untuk proses pengambilan keputusan di tataran manajemen.   

Kedua¸ ada satu layanan menarik bisa kita peroleh dari musyrif profesional. Apa itu? Presentasi tentang anak bimbingnya di hadapan walikelas dan guru bidang studi yang akan mengajar di kelas 8, 9, 11, dan 12. Bila musyrifnya selama di SMP atau Tsanawiyah sama, maka guru bidang studi yang akan mengajar di kelas 8 dan 9 akan sangat bersyukur mendapatkan gambaran tentang sejumlah hal yang akan banyak membantunya dalam mengelola kelas. Demikian pula guru bidang studi yang akan mengajar di kelas 11 dan 12. Informasi komprehensif tentang potensi, keunggulan, keterbatasan, dan sejumlah informasi penting lainnya tentang santri pasti akan sangat membantu.

Inilah salah satu layanan cinta yang bisa diterapkan di pondok. Guru bidang studi—yang barangkali baru akan mengajar di kelas 8, 9, 11, atau 12—akan memiliki gambaran kurang lebih tentang kondisi santri atau kelas yang akan diasuhnya selama tahun belajar berjalan. Bila pondok memiliki pendekatan yang individual—meskipun tidak murni—akan sangat terbantu dengan apa yang bisa dilakukan oleh musyrif. Informasi komprehensif tersebut juga akan menjadi bahan presentasi yang sangat menarik bila disampaikan kepada orang tua wali santri sebagai laporan tahunan perkembangan ibadah, akademik, dan hubungan sosial putra-putrinya. Dengan begitu, orang tua dapat ambil ancang-ancang ke peminatan apa putra-putrinya akan melanjutkan sekolah atau kuliahnya.  

Inilah salah satu upaya menelaah kedudukan, fungsi, dan peran strategis bagian kepengasuhan di pondok. Ini sebentuk tawaran, sehingga musyrif atau waliasrama tidak sekadar ada dalam struktur dan kerja, tetapi luput kita perhatikan peran penting dan sumbangsih yang bisa diberikan untuk diri dan pondok tempatnya berkhidmad. Akhirnya, semua berpulang kepada konsep yang dipercaya oleh para pimpinan pondok, termasuk culture yang sudah turun-temurun menjadi faktor sukses selama ini. Semoga berterima dan menjadi bahan diskusi. Wallahu a’lam bi al-shawab.

                                                                 Depok, April 2024

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form