Memotret Kesombongan Intelektual

Fenomena Satu

Ini cerita seorang teman. Awalnya tidak menarik. Tetapi setelah mendengar lebih saksama, ada sesuatu di balik kegusaran yang terekspresikan dalam ucapannya. Ia baru saja resign dari sebuah sekolah umum swasta Islam dan bergabung di salah satu lembaga dakwah. Dia diamanahi bagian pendidikan. Di posisinya, ia harus membantu merapikan beberapa aspek sejumlah unit pendidikan di situ. Salah satu yang menjadi target pembenahan adalah Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPA).

Konon, di TPA yang dikemas dengan menarik itu tengah terjadi kekisruhan akibat proses peralihan kekuasaan dari pimpinan lama ke yang baru. Yang disebut terakhir sesungguhnya adalah dua orang karyawan yang sangat dipercaya oleh pimpinan lama. Tetapi entah bagaimana kronologisnya, mereka merasa lebih capable memimpin lembaga pendidikan tersebut.

Teman ini kemudian menghubungi pimpinan baru tersebut sebagai langkah awal proses perapihan. Mulailah teman ini membuka komunikasi. Mereka bertemu di kantor pusat. Ketika bertemu, pimpinan yang perempuan sudah menampakkan gesture kurang nyaman ketika pembicaraan mulai menyentuh tentang kurikulum dan manajemen.

"Mohon maaf, Bapak pendidikannya apa, ya?"

"O, background pendidikan saya ilmu sosial, Ustadzah."

"O, kalau begitu, saya tidak harus mengikuti alur pikiran Bapak, karena Bapak tidak punya ilmu Al-Qur'an. Saya akan dengar dan menghormati mereka yang punya ilmu Al-Qur'an, Pak. Mohon maaf."

Der! Teman saya terpana. Baru kali ini ia menghadapi keterusterangan yang menyesakkan seperti itu. Jenis arogansi apa ini? Ia pun mencoba tersenyum dan memahami situasi. Lalu, ia tidak mendapatkan satu alasan pun untuk menangkis penolakan itu. Ia pun mundur.

"Baiklah, Ustadzah."

Tidak ada lagi yang perlu dijelaskan. Mereka hanya mau mendengar orang yang menurut mereka lebih tinggi ilmu Al-Qur'annya daripada mereka. Atas dasar itulah mereka merasa lebih berhak mengatur lembaga pendidikan tersebut. 

Fenomena Dua

Dalam satu kesempatan, ia ikut kumpul dengan sejumlah kader lembaga tersebut. Selepas sholat dzuhur, para asatidz saling berdiskusi tentang berbagai hal dalam perjuangan dakwah mereka. Selebihnya ada yang ngobrol santai untuk lebih saling mengenal satu sama lain.

Nah, ia ditanya oleh salah seorang kader dakwah yang memang memimpin sebuah lembaga pendidikan Al-Qur'an,"Ustadz, anak antum yang tertua kelas berapa?"

"Alhamdulillah, sudah kuliah, Ustadz."

"Masya Allah. Di mana?"

"Di Jogya, Ustadz."

"Masya Allah. Jurusan apa?"

"Dia ambil seni kuliner, Ustadz"

Ustadz itu kemudian mengernyitkan dahi.

"Kuliner kan makanan, ya? Masak?"

"Iya, Stadz."

"Lho, kok masak aja dipelajari. Buat apaan? Saya kira ambil jurusan hadits atau tafsir..."

Ia terpana. Dia jadi agak menyesal dengan keterusterangannya.

Fenomena Tiga

Ini terjadi ketika rapat online masih menyisakan ke-gaptek-an tersendiri. Suatu hari, dalam sebuah rapat online, ia harus mempresentasikan rencananya sebagai salah seorang peneliti. Salah seorang pimpinan yang diketahui baru saja menyelesaikan program doktor memintanya menjelaskan bagaimana caranya menerapkan teori triangulasi pada topik yang sedang dibahas. Ia pun menjelaskan dengan perlahan metode dan sumber data yang dapat dijadikan acuan.

Nampaknya pimpinan tersebut kurang sabar. Ia pun mengatakan,”Coba pelajari lagi teori itu agar penjelasan Antum lebih pas dan mengena.”

“Baik, Ustadz.”

Ia pun menghentikan pembicaraannya. Tetapi, ada kejadian menarik. Semua peserta meeting  terdiam dan menyimak dengan saksama. Saya juga penasaran, mengapa moderator juga terdiam dan tak mempersilakan pembicara lain untuk menyampaikan presentasinya. Saya pasang telinga dekat-dekat. Ternyata,…ups

Doktor baru itu ternyata tengah membicarakannya bersama seorang perempuan, mungkin istrinya, di seberang sana.

“Aku kira dia bisa, ternyata enggak!” Suara sang doktor baru itu terdengar jelas sekali.

“Dia belum ngerti, kali..,” suara istrinya.

“Saya pikir dia pinter, ternyata…ha ha ha…”

Setengah lusin peserta meeting nampaknya menyimak dengan jelas. Tidak ada yang komentar. Hening beberapa jenak. Sesaat kemudian, kami melihat tanda microphone di media meeting online pun tercoret, tanda tidak aktif lagi. Saya yakin, semua peserta meeting menghela napas hampir bersamaan. Agak sesak juga mendengar pergunjingan tentang kapasitas seorang staf oleh atasan langsung dan istrinya. Ah, mengapa juga istrinya jadi ikut campur? Tapi sudahlah, itu bukan domain kita untuk mengomentarinya.  

Tiga fenomena di atas memperlihatkan kepada kita bentuk arogansi seseorang yang merasa dirinya lebih baik daripada orang lain karena ilmu dan kepandaiannya. Yang menarik, fenomena itu justru muncul di antara mereka yang sangat memahami bahaya ujub yang dapat merusak hubungan  karena mereka cenderung merendahkan dan meremehkan orang lain. Hal inilah yang dikisahkan Allah pada QS: Al-Kahf (18:32-39).

Sombong itu Sombong

Ada sejumlah catatan tentang kesombongan intelektual. Pertama, nyaman bila ada di antara orang-orang yang dianggapnya lebih rendah pendidikannya. Sejujurnya, mereka seperti orang bodoh secara intelektual. Mereka merasa tahu segalanya sehingga seringkali menggurui dan merendahkan orang lain yang dianggap lebih rendah intelektualnya. Seharusnya, yang pandai berterima kasih kepada mereka yang kurang pandai; Yang cantik berterima kasih kepada yang kurang cantik; Yang tinggi berterima kasih kepada yang pendek; Yang kaya berterima kasih kepada yang miskin. Keseimbangan itulah fitrah dunia dan tidak boleh jadi alasan untuk merasa lebih hebat daripada yang lain karena sejatinya hanya Allah yang sanggup menciptakan keadaan tersebut.

Ada satu prinsip menarik di Talents Mapping: tingkatkan keunggulan, siasati keterbatasan. Tetapi itu tidak berarti kita boleh merendahkan orang lain yang tidak sama disiplinnya dengan kita. Justru kita diberi kesadaran, bahwa kita tidak unggul di semua bidang. Kita membutuhkan orang lain untuk saling melengkapi. Lagi pula, bukankah keterampilan yang harus dimiliki di abad XXI ini adalah sinergi dan kolaborasi? Bukankah tingkat interdepedensi kita sebagai individu sangat besar?

Kedua, kesombongan intelektual dapat menjadi sifat buruk individu, kolektif, dan organisasi. Bila di tataran individu kita tidak berhasil menekan karakter ini, maka secara kolektif dan organisasi kita akan merugi. Karena kejayaan sebuah organisasi adalah akumulasi dari sukses individu yang ada di dalamnya. Bila secara karakter individu yang tumbuh dan ditumbuhkan adalah kesombongan, maka organisasi pun akan mencerminkan hal yang sama. Akhirnya, tidak mustahil ada sekolah, pondok, atau kampus yang merasa lebih hebat daripada sekolah, pondok, atau kampus lain. Mereka terus berlomba mengekalkan kondisi dan persepsi tersebut di kepala setiap civitas akademika. Ini tentu musibah besar dalam dunia pendidikan.

Ketiga, jangan-jangan mereka yang terjangkit penyakit kesombongan intelektual karena "mainnya kurang jauh". Mereka jarang atau tidak pernah eksis di sebuah organisasi, kampus, pondok, atau sekolah dengan keragaman yang nyata. Mereka senang seperti katak dalam tempurung, sehingga mereka kerap ingin menciptakan situasi yang terus bisa mereka kendalikan. Ini tentu sesuatu yang kurang menarik, karena akan kehilangan power bila tidak ada di lingkungan mereka sendiri. Inilah kerangka berpikir yang menyesatkan karena menganggap kecerdasannya lebih unggul daripada orang lain, pengetahuannya tidak dapat dikalahkan, dan menilai orang lain berdasarkan kecerdasannya.

Ruang Insaf

Dulu di kampus sejumlah dosen terjangkiti penyakit ini. Mereka saling menyombongkan almamater mereka masing-masing. Gengsi kampus mereka di luar negeri menjadi kebanggaan. Akhirnya, situasi itu pun merugikan mahasiswa karena setiap dosen merasa punya hegemoni keilmuannya masing-masing dan tidak jarang menolak kebenaran dari dosen yang lain. Satu topik penelitian yang sudah di-ACC oleh satu dosen, misalnya, dapat dengan mudah dimentahkan oleh dosen yang lain hanya karena mereka beda almamater. Mengerikan, ya…

Menurut Imam Ghazali, kesombongan intelektual memang jauh lebih mudah menyerang para ilmuwan dan kaum cerdik pandai daripada orang awam. Hal itu karena dua sebab. Pertama, mereka sangat sulit untuk tidak membanggakan diri. Kedua, mereka sering merasa pakar dalam bidang tertentu; dan karena kepakarannya itulah, mereka lantas merasa superior. Perasaan superioritas inilah yang sering membuat mereka bersikap sombong dan arogan. (Ihya' 'Ulum al-Din, 3/367).

Ilmu memang sesuatu yang sangat dihargai di mata manusia dan dalam pandangan Allah. Agama juga memberikan penghargaan yang tinggi kepada mereka yang berilmu. Tetapi, justru karena penghargaan dan legitimasi agama itulah maka para ilmuwan sangat potensial dan rentan untuk menjadi sombong. Untuk itu, Imam Ghazali menyebutkan dua penawarnya. Pertama, mereka harus belajar sekuat tenaga untuk bersikap rendah hati dengan tidak mengklaim paling tahu dan paling benar. Mengapa? Karena klaim seperti ini akan dekat dengan sikap menuhankan diri sendiri dan sangat berlawanan dengan doa yang diajarkan Allah kepada para nabi: Rabbi Zidni 'Ilman (Ya Tuhan, tambahkan kepadaku ilmu pengetahuan). Selain itu, sangat kontradiktif dengan firman Allah: Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui. (QS Yusuf: 76).

Kedua, mereka harus menyadari bahwa di pundak mereka ada tugas dan tanggung jawab yang berat. Mereka harus selalu konsisten dan komitmen untuk selalu berpihak kepada kebenaran bukan kepada kekayaan dan kekuasaan. Mereka harus selalu siap mempergunakan ilmu yang dimilikinya sebagai problem solving untuk semua masalah yang dihadapi umat.

Mereka seharusnya sadar bahwa mereka pernah ada di titik yang sama dengan yang lain. Jangan-jangan mereka yang arogan hari ini adalah mereka yang lupa bahwa ilmu adalah amanah. Amanah yang tidak tertunaikan bisa berat urusannya di hari pembalasan. Jangan-jangan, mereka juga tidak berani melihat kenyataan bahwa sejatinya ketidaksempurnaan selalu menyertai langkah mereka seberapa pun berilmunya mereka. Bukankah Allah pernah mengingatkan kita semua: "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri". (QS Luqman; 18). Semoga saja kesombongan itu bukan karena ingin lari dari kenyataan karena sesungguhnya kesombongan adalah pakaian Allah, bukan pakaian manusia. Semoga Allah pelihara kita dari sikap ujub dan membanggakan diri. Aamiin...

Wallahu a'lam bishawab

 

Depok, Agustus 2024

 

 

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form