Ketika Anak Pondok Pulang

Ini catatan libur semester ganjil para santri. Mereka pulang setelah berjuang satu semester di pondok. Kerinduan pada suasana rumah kembali terobati. Apalagi momen liburan semester ganjil selalu bertepatan dengan pergantian tahun. Semakin lengkaplah kehadiran mereka di antara orang-orang yang mengasihi mereka. Tak jarang ada sejumlah acara khusus diadakan keluarga, mumpung mereka sedang pulang.

Ada yang dapat jatah libur tiga pekan, tetapi ada juga yang hanya dua pekan. Sejatinya, waktu itu menjadi sangat singkat dirasakan karena mereka punya segudang rencana selama liburan. Tetapi, dengan terbatasnya waktu, tidak sedikit yang memang langsung tancap gas di awal waktu libur agar masih punya waktu untuk istirahat sebelum harus kembali lagi ke pondok.

Kita tidak tahu persis, seperti apa wajah kerinduan keluarga kepada mereka. Perjumpaan yang hanya beberapa jam ketika penjengukan setiap bulannya memang tidak mungkin mampu mengakomodasi rasa itu sepenuhnya. Ada banyak cerita tertunda; Ada banyak canda terlupa. Oleh karena itu, waktu libur semester seperti sekarang ini memang sangat dinanti. Sejumlah agenda liburan pun sudah disusun jauh-jauh hari sebelum mereka pulang, lengkap dengan rundown acara tiap harinya.

Kembali ke Rumah

Pulang ke rumah untuk santri adalah sebuah kebahagiaan yang tidak terperikan. Tetapi, adakah santri yang tidak pernah pulang sama sekali selama mondok? Konon kabarnya ada. Luar biasa tabungan rindu dan kekuatan mental mereka untuk tetap berjauhan dengan keluarga tercinta ketika kesempatan kumpul bersama mereka ada.

Mari kita bicara tentang santri yang pulang. Santri Gen-Z pulang umumnya akan bertemu lagi dengan gadget dan game kesukaannya karena memang itu dunia mereka. Mereka akan banyak menghabiskan waktu untuk mabar dengan teman-teman dan saudara-saudaranya. Pola relasi mereka memang unik. Kedekatan dan kehangatan relasi antarmereka memang tidak bisa diukur dengan apa yang dulu menjadi kebiasaan ayah bundanya. Tiap zaman memang punya gayanya masing-masing.

Santri Gen-Z yang pulang ke rumah akan bertemu dengan suasana rumah yang untuk beberapa bulan ditinggalkannya. Ketika waktu liburan sekolah tiba, biasanya mereka punya kesempatan bertemu dan berkumpul dengan para sepupu mereka, baik yang juga pulang dari pondoknya atau yang tidak mondok. Meskipun pertemuan itu pasti diisi dengan mabar yang seru, mereka tetap harus diberikan ruang untuk meneruskan dan mempraktikkan kebiasaan ibadah yang setiap hari mereka lakukan di pondok

Ada sejumlah hal menarik dari fenomena santri pulang ke rumah. Pertama, adab anak pondok kepada kedua orang tua, adik-kakak, dan para sepupu menjadi satu hal yang sangat penting diperhatikan. Esensi mereka dipondokkan adalah mendapatkan kesempatan dan lingkungan terbaik untuk mengenal, menyemai, dan mempraktikkan adab-adab berdasarkan akhlakul karimah sesuai tuntunan Rasulullah. Oleh karena itu, sikap santun, lembut, dan penuh kasih sayang kepada orang-orang yang mereka cintai menjadi salah satu indikator keberhasilan mereka.

Kedua, keistiqomahan beribadah. Ketika belum mondok, bisa jadi mereka adalah sosok yang perlu pendampingan ekstra untuk melaksanakan ibadah. Tetapi ketika beberapa tahun mondok, orang tua dan keluarga terdekat berharap terjadi perubahan dan keistiqomahan yang signifikan dalam hal ini. Dengan demikian, para santri punya kesempatan membuat kedua orang tuanya tersenyum manakala mereka tetap bangun sebelum subuh dengan konsisten, tetap puasa sunah, tilawah yang terjaga, dan istiqomah sholat berjamaah di masjid.

Anak pondok identik dengan penguasaan ilmu al-qur'annya. Makhorijul huruf dan tajwid mereka dianggap lebih baik daripada mereka yang tidak mondok. Oleh karena itu, manakala ada kesempatan kumpul dengan keluarga besar, mereka selalu disediakan panggung untuk jadi imam sholat, memimpin dzikir, dan memberikan kultum setelah sholat subuh berjamaah. Kesempatan tersebut harus dilihat sebagai ruang pembuktian atas apa yang telah mereka capai selama mondok.

Ketiga, apakah anak Anda yang mondok dan sekarang pulang ke rumah senantiasa mempraktikkan budaya 5R (Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, Rajin) yang telah mereka pelajari di pondok? Selain membekali santri dengan Mutaba'ah Yaumiyah yang mewajibkan para santri men-chek list dan mencatat seluruh ibadah wajib dan sunahnya selama liburan, sebaiknya pondok juga membekali mereka dengan buku tugas dalam membantu orang tua. Santri harus harus kembali ke rumah sebagai sosok yang sudah penuh dengan kesadaran untuk menjadi pribadi yang santun, siap dan cekatan untuk birrul walidain, dan serius mempraktikkan budaya 5R yang sudah diajarkan dan dibudayakan di pondok. Mereka seharusnya dibekali dengan catatan keterlibatan aktif dalam semua aktivitas yang meringankan pekerjaan rumah ayah dan ibu di rumah: mencuci dan menyeterika baju, menyapu dan mengepel lantai, mencuci piring, membantu ibu membeli bahan makanan dan memasak, membantu ayah membetulkan kran yang rusak, mengganti bohlam lampu yang putus, membersihkan halaman rumah, atau membeli air minum gallon dan menempatkannya di dispenser yang kosong, dan lain sebagainya.

Keberjarakan antara mereka dengan sejumlah pekerjaan rutin di rumah selama ini harus dipangkas sedemikian rupa agar mereka tidak menjadi asing dengan keluarga dan lingkungannya sendiri. Pendidikan yang baik memang tidak boleh menjauhkan seseorang dari kehidupan keluarga dan lingkungannya. Apalagi selama ini, pendidikan di pondok pasti sangat menekankan konsep birrul walidain dengan baik. Oleh karena itu, membekali mereka dengan buku saku check list atau to do list apa saja yang bisa dan telah mereka lakukan selama di rumah selama liburan merupakan sarana yang sangat bermanfaat.

Kembali ke Masjid

Malam Ahad pekan ketiga Desember. Sholat Maghrib  di masjid lebih rame daripada biasanya. Apa pasal? Ternyata hari itu hampir semua anak-anak di RW kami yang sedang mondok sudah pulang liburan. Mereka yang mondok di Yogya, Sukabumi, Subang, Anyer, dan Bogor sudah pulang. Mereka kembali kumpul di masjid tempat mereka biasanya bermain sebelum berangkat mondok beberapa bulan lalu. Kali ini, meskipun tidak janjian, mereka hadir di masjid dengan gamis masing-masing. Vibesnya dapet banget. Masya Allah…

Fenomena sejumlah kelas menengah perkotaan yang kini lebih memilih boarding school dibandingkan dengan sekolah negeri atau swasta di dekat rumah menjadi salah satu hal menarik untuk dicermati. Bila dulu ada semacam pola “perjalanan anak Depok”—SDN Anyelir -> SMPN 2 -> SMAN 1 -> Universitas Indonesia -> Sudirman (untuk kerja)—kini pola itu telah mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Perubahan itu menandai dimulainya kesadaran-kesadaran baru dalam kehidupan mereka. Apakah itu dipicu oleh kekhawatiran perihal suasana pergaulan anak sekarang? Apakah para orang tua itu merasa lebih safety menyekolahkan anak mereka di sana? Apakah itu artinya kehidupan kelas menengah perkotaan hari ini lebih religious? Apakah kehidupan kelas menengah perkotaan semakin sibuk sehingga merasa tidak punya banyak waktu untuk membersamai putra-putrinya tumbuh bersama di rumah? Apakah konsep masa depan untuk mereka juga sudah bergeser?

Apa pun jawaban atas sejumlah pertanyaan di atas, faktanya hari ini anak-anak usia SMP dan SMA itu belajar di sekolah berasrama yang jaraknya puluhan sampai ratusan kilometer dari rumah mereka di Depok. Mereka pun kembali bertemu dan kumpul di masjid, tempat mereka berinteraksi sehari-hari. Selanjutnya, ini sejumlah catatan.

Pertama, mereka yang pulang dari pondok dapat menjadi contoh yang baik untuk para juniornya yang masih SD yang saat ini masih sering terlihat bermain dan kumpul di masjid. Cara mereka berpakaian (umumnya bergamis) dan ketertiban mereka dalam mengikuti sholat berjamaah tentu dilihat dan diperhatikan oleh para junior mereka. Cerita-cerita tentang keseruan dunia pondok tentu menambah rasa penasaran para yunior yang sudah atau belum punya niat untuk mondok tahun ajaran yang akan datang.

Dengan semakin banyak yang mondok tentu memberi kesan yang baik bahwa mondok itu asyik. Apalagi sebagian dari mereka kerap tampil sebagai imam sholat Maghrib, Isya, atau Subuh. Dengan bacaan yang tertib dan tajwid yang terjaga baik menjadi daya tarik tersediri, bukan hanya untuk para orang tua yang menjadi makmum tetapi juga untuk para yunior mereka. Adab yang mereka perlihatkan di masjid akan menjadi daya tarik tersendiri untuk mereka yang sebentar lagi lulus SD. Inilah iklan pondok yang sangat efektif.

Kedua, sejumlah pengurus DKM yang bertemu mereka umumnya akan bertanya,”Sudah hafal berapa juz?” Inilah sterotype itu: setiap yang mondok, pasti menghafal Al-Qurán; Setiap yang menghafal Al-Qurán, siap untuk jadi imam sholat. Memang, para santri yang pulang untuk liburan senantiasa disediakan “panggung” untuk menjadi imam sholat rawatib. Orang tuanya yang jadi makmum pun deg-deg-der: senang, bangga, dan was-was. Mereka khawatir putra mereka grogi atau tajwid bacaan quránnya ada yang kurang pas. Tetapi, inilah kesempatan untuk menunjukkan hasil belajar beberapa bulan di pondok. Bukan untuk show off, tetapi lebih pada rasa bersyukur atas pencapaian yang sudah mereka dapatkan.

Ketiga, kehadiran para santri yang pulang itu telah menambah kesemarakan di masjid. Fenomena ini akan sangat menarik bila para pengurus DKM mampu melihatnya sebagai sebuah peluang dakwah. Para santri itu sejatinya sudah bisa dikader untuk menjadi pengurus masjid di masa yang akan datang, meskipun memang mereka belum tentu tinggal di kompleks sampai mereka menikah dan berkeluarga. Tetapi, ini kita bicara tentang penyiapan kader umat, bukan kader satu atau dua masjid semata. Caranya, mereka diberi kesempatan dan tanggung jawab. Memang sifatnya sangat sementara, yaitu selama mereka ada di rumah.

Tentu hal ini tidak dapat berlangsung dengan sendirinya dan tiba-tiba. DKM harus punya konsep kaderisasi. Tanpa konsep kaderisasi yang jelas, terukur, dan tertib maka masjid (umat) akan terus kehilangan kesempatan menjaring calon-calon pemimpinnya. Hal ini harus menjadi concern para pengurus DKM dan jamaah masjid. Para pengurus DKM yang ada saat ini tidak bisa lagi dikatakan muda. Oleh karena itu, sudah waktunya para pengurus memiliki konsep kaderisasi. Setidaknya, mereka dengan sadar dan sengaja memberikan tantangan, amanah, dan tanggung jawab kepada para santri yang hari ini mondok untuk mulai mengambil peran. Setiap orang ada masanya; Setiap masa ada orangnya.

Dengan demikian, harus ada kesadaran dan keinginan untuk membuatkan mereka road map kaderisasi agar pada waktunya nanti mereka siap menerima tongkat estafet kepengurusan masjid (kepemimpinan umat berbasis masjid) yang harus terus bergulir dengan segala dinamika dan tantangannya. Ayo, jangan lelah untuk memberi kesempatan dan mendampingi mereka. Para Gen-Z itu memang bukan kita puluhan tahun yang lalu. Mereka memang anak zaman yang punya orientasi dan “bahasanya” sendiri. Tetapi, mereka harus tetap diberi ruang ekspresi sesuai dengan semangat zamannya. Tentu, tetap dengan sentuhan dan perhatian kasih sayang kita sebagai orang tua dan senior mereka. Jadi, jangan lelah mendampingi; Jangan lelah mengasistensi. Sejatinya, mereka bukan generasi strawberry, tetapi para pemuda Islam yang siap ditempa dengan semangat jihad dan dakwah dengan segala tantangan dan dinamikanya.

Fenomena santri pulang untuk liburan pada akhirnya menjadi tanggung jawab semua elemen pendidikan: keluarga, pondok, dan masjid (masyarakat). Partisipasi dunia pendidikan pada tataran keluarga sudah sangat semarak. Oleh karena itu, pondok juga harus hadir dengan sejumlah strategi dan tools terbaiknya agar para santri mereka tidak lepas kendali ketika sudah pulang ke rumah. Kerja sama apik dengan orang tua dan keluarga itu sudah pasti. Untuk itu, memang perlu dibuatkan aplikasi yang menarik agar pelaksanaan dan pelaporan mutabaáh yaumiyah tidak selalu bermakna beban tetapi tetap menjadi ruang ibadah bersama dalam rentang jarak yang berbeda. Masyarakat (jamaah masjid) pun seharusnya tidak memandang fenomena pulangnya santri sebagai rutinitas yang biasa, tetapi sebagai kesempatan untuk melaksanakan dan mewujudkan konsep kepemimpinan dan kaderisasi. Dengan demikian, semua elemen siap dengan peran masing-masing, tidak mendadak, dan terencana dengan baik dan tertib.

Sekarang mereka sudah kembali ke pondok. Semoga pada saat perpulangan Ramadhan dan Syawal nanti, kita sebagai orang tua, pengasuh pondok, dan pengurus DKM sudah siap dengan paket terintegrasinya untuk mengasistensi mereka yang pulang dengan semua kelengkapan program. Mari kita sadari, peradaban Islam tidak dibangun instant dan tiba-tiba, tetapi harus direncanakan, didesain, dan dieksekusi dengan segala kebijakan dan semangat. Belum terlambat. Kita masih bisa mempersiapkan mereka sebagai mujahid dan mujahidah di zaman mereka.

Allahu Akbar!

Wallahu a'lam bishawab

Depok, Januari 2025

  

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form