Menggerakkan Pengetahuan

    Pada sebuah kelas pelatihan di Bogor beberapa tahun lalu, ada seorang peserta berusia sekitar 25-an tahun. Ia menulis, buku yang berpengaruh pada hidupnya adalah buku tentang pernikahan dini. Membaca itu, saya bertanya, "Mbak, usia berapa menikahnya?"

    Ia terlihat bingung dan menjawab, "Lho, memangnya kalau saya tulis buku itu berpengaruh, saya juga harus nikah muda juga, gitu?" Nah lho, sekarang, gantian saya yang bingung.

     Saya jadi teringat taksonomi Bloom: hubungan antara pengetahuan (knowledge-kognitif), nilai (value-afektif),  dan tingkah laku (behavior-psikomotor). Betulkah sebagai manusia, kita tanpa sadar membuat jarak antara pengetahuan, pemahaman, dan tingkah laku? Mengapa pada sejumlah hal akhirnya kita lebih senang "mengoleksi" pengetahuan (ilmu) dan pemahaman (nilai) daripada mengeluarkan energi yang sama untuk menjadikannya sebagai landasan atau koridor untuk bertingkah laku dan berbuat?

    Ketika sejumlah pertanyaan di atas terlintas, saya teringat ketika pada satu kesempatan saya ditegur oleh guru saya, Profesor Parsudi Suparlan (alm) ketika kami, para mahasiswanya yang akan diberangkatkan ke Papua, kumpul di rumah beliau di Ciputat. Melihat satu ruangan penuh dengan rak buku mirip di perpustakaan Pusat Bahasa kala itu, saya pun berseloroh,”Prof, banyak banget koleksi bukunya.”

    “Koleksi? Ini bukan koleksi! Ini kerja!” sergah beliau dengan gaya khasnya.

    Saya terdiam. Gak enak hati. Salah tingkah. Saat itu, saya sadar, saya telah salah memilih diksi. Sejak itu, saya tidak berani lagi mengomentari kumpulan buku orang lain sebagai koleksi. Namun demikian, saya bersyukur telah diingatkan sehingga dapat pemahaman baru: buku itu (seharusnya) bukan untuk dikoleksi, tetapi harus menjadi bagian dari proses berpikir, sikap, kerja, dan tingkah laku kita. Buat apa ribuan buku terpampang dan berjejer rapi di lemari bagus di rumah kalau ternyata tidak hampir separuhnya yang kita baca (sampai tuntas) dan sebagian besar, jangankan menjadi bagian dari dasar tingkah laku, berpikir, dan bertingkah laku, dibaca saja belum. Mungkin satu ungkapan sakti sering menjadi tempat sembunyi: belum sempat.

    Mari kita diskusi serba sedikit tentang ini. Siapa tahu akhirnya kita mendapatkan energi untuk mulai menggerakkan apa yang telah menjadi pengetahuan di hati nurani kita. Bukankah ilmu hanya akan bermakna setelah diamalkan? Bukankah wujud amal yang baik adalah implementasi dari ilmu yang mumpuni?

Terlenakan Informasi

    Manusia kini dikepung dan dibombardir informasi. Revolusi teknologi informasi (media sosial) telah menempatkan manusia sebagai sasaran utama. Tidak ada ruang sembunyi. Tidak ada tempat kompromi. Informasi merangsek dan mendesak pada tempat dan waktu yang selama ini tidak dimasukinya.

    Situasinya menjadi kian rumit, ketika manusia salah menempatkan dirinya. Pertama, tidak sedikit orang terpuaskan hanya sebagai pengumpul dan pengoleksi informasi. Informasi memang penting. Namun, dalam konteks perubahan mind set dan tingkah laku, penumpukan informasi saja tidak cukup. Pengetahuan dan pemahaman itu harus terejawantahkan dan teraktualisasikan lewat perbuatan yang sejalan dengan keduanya.

    Kedua, orang terjebak hanya pada kemampuannya memahami. Inilah satu tingkat di atas menerima informasi, baik pada tataran teks maupun konteks. Namun, memahami sebagai langkah awal untuk sebuah tindakan dengan memahami hanya untuk memahami semata jelas berbeda. Yang pertama, akan memberikan ruang untuk mengambil sejumlah keputusan berbuat, sedangkan yang kedua tetap berpusar di wilayah mental sebagai pengetahuan. 

    Pada saat yang sama, manusia perlu berbuat agar apa yang diinginkan, dipikirkan,  dan diyakininya menjadi kenyataan. Untuk itu, ia memerlukan pemahaman atas informasi yang diterimanya. Namun pada kenyataannya, tidak semua informasi dan pemahaman berkorelasi langsung terhadap perilaku. Knowledge tidak serta merta membawa kita pada pemahaman nilai sikap (afeksi) dan tindakan (psikomotor). Keberjarakan inilah yang melahirkan upaya untuk menyelaraskan apa yang diterima otak dan hati dengan apa yang menjadi tingkah laku.  

Mereduksi Keberjarakan

    Kebenaran harus diperjuangkan agar menjadi kenyataan dan tata laku karena peradaban tidak dibentuk hanya dari setumpuk pengetahuan dan pemahaman belaka. Peradaban juga tidak berhenti pada informasi yang terus menerus dimanuipulasi sebagai alat pencitraan orang perorang untuk reputasi dan motivasi. Ia harus terus didorong menjadi sebuah sistem rujukan bertingkah laku.

    Untuk itulah, ada beberapa hal menarik. Pertama, kita perlu keberanian, keterampilan berpikir, kemauan, dan komitmen untuk menjadikan a set of knowledge dan a set of value yang sudah teruji kebenarannya untuk menjadi way of life, sistem bertingkah laku. Ia jangan hanya menghuni ingatan sebagai sampah dan terartikulasikan sebagai cerita dan retorika semata.

    Nilai pada gilirannya harus diterima dan dicerna sebagai sistem berpikir dan bertindak. Setiap orang harus bergegas untuk menjadikannya sebagai bagian dari apa yang harus dipraktikkan. Kebenaran harus menggerakkan, nyata, dan ada. Bila tidak, apa jadinya bila informasi dan nilai berupa ajaran agama, misalnya, ikut tereduksi hanya menjadi setumpuk informasi? Jangan-jangan, surga dan neraka hanya akan dianggap sebagai informasi belaka. Naudzubillahi min dzalik.

    Kedua, marilah kita belajar dan berproses dengan benar. Sudah saatnya kita harus cerdas ketika berhadapan dengan informasi. Kita harus dapat memilah mana informasi yang boleh kita terima sambil lalu dan mana yang harus masuk tataran afeksi untuk kemudian kita praktikkan. Tidak semua informasi harus ditanggapi, tetapi juga tidak setiap pemahaman harus kita tinggalkan.

    Bila ikut training adalah sebuah proses belajar untuk mengubah tingkah laku, maka sudah waktunya kita menghargai pengalaman dan waktu yang kita pergunakan untuk itu. Mari kita mulai untuk belajar menempatkan pengetahuan dan pemahaman menjadi sesuatu yang menggerakkan. Bukankah nilai dan fitrah kemanusiaan tidak hanya terletak pada apa yang kita pikirkan, tetapi juga pada apa yang kita lakukan atas dasar pemahaman itu? Wa Allah A’lam bish-shawab.

                                                   Depok, Februari 2024


Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form