Take and Give

Suatu hari, seorang peserta pelatihan sharing di kelas tentang kekecewaannya atas perlakuan seorang teman yang sering dibantunya. Peserta yang lain menyimak dengan saksama. Kami ingat satu kalimatnya yang menarik,”Sakitnya itu bukan karena merasa dikhianati, tapi karena saya "merasa" telah memperlakukannya dengan baik.” Jadi, sebaiknya "lupakan" kebaikan apa pun yang kita berikan pada orang”. Bagaimana caranya?

Merasa dikhianati padahal telah memperlakukan seseorang dengan baik: Menerima dan memberi. Ini pointnya! Bukankah ini artikulasi lain untuk take and give? Lalu, di mana masalahnya? Bukankah konsep itu telah familiar di telinga dan menjadi artikulasi banyak orang?

Resiprokal Konsep

Sepintas, konsep ini nampak wajar dalam frame resiprokal: kita menerima dan memberi, mirip seperti konsep sebab akibat. Tetapi, betulkah harus demikian? Jangan-jangan konsep ini telah meracuni otak kita. Jangan-jangan, kita sudah terjebak dan merasa seakan-akan, pertama, kita mendapat dulu baru memberi; Kita kaya dulu baru mau beramal; Kita merasa bener dulu baru mau berdakwah; Kita dapat perlakuan baik dulu baru mau berbuat baik kepada orang. Padahal, seharusnya tidak selalu demikian: kita memberi dulu baru mendapatkan; Kita menanam dulu baru memanen; Kita belajar dulu baru berilmu, dan kita terus berproses dalam kebaikan sambil terus menebar kemanfaatan untuk semesta.  

Kedua, jangan-jangan konsep itu telah merasuk dalam pikiran kita bahwa kita harus menerima (sesuatu) setelah memberi. Ini yang seringkali membuat banyak orang sakit hati dan merasa dikhianati. Tidak sedikit pada akhirnya orang menunggu untuk mendapatkan atau diberi sesuatu atas dasar apa yang telah dilakukan atau diberikan kepada orang lain. Banyak orang kecewa karena sudah banyak memberi tapi balasannya tidak sepadan.

Ketiga, konsep resiprokal seringkali menuntut kesamaan posisi dalam hubungan antarinsan. Tetapi siapa nyana kalau ternyata konsep itu tidak jarang berakhir pada sebuah jalan buntu. Pada sejumlah kondisi, perbedaan kesempatan dan status sosial tidak memungkinkan hal itu terjadi. Ada orang yang ditakdirkan lebih banyak berperan sebagai pemberi dan di sisi lain ada sekelompok orang yang karena kekurangberuntungannya lebih banyak menjadi pihak penerima. Lalu, apakah ini menjadi masalah?  Seharusnya tidak. Justru itulah ladang amal. Bukankah Allah telah mengingatkan kita,”Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena ria kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. Al Baqarah [2]: 264).

Memelihara Keikhlasan

Pernahkah Anda memberi sesuatu atau melakukan sesuatu dengan sadar mengharapkan sesuatu pula? Pernahkah Anda merancang sebuah program, aksi, atau gerakan memang dengan sadar ingin mendapatkan sesuatu karena di benak Anda ada konsep "kalau saya sudah memberi maka saya boleh menerima"? Atau lebih bahaya lagi, bila muncul di benak kita, setelah memberi maka merasa berhak untuk mengambil,"ini tidak seberapa dibandingkan dengan apa yang sudah saya berikan untuk negara ini!" atau  "lho, saya kan sudah banyak berbuat untuk negara ini, apa salahnya?". Padahal, pemberian bukanlah piutang. Lagi pula Rasulullah telah mengingatkan kita,”Orang yang memamerkan perbuatan baiknya, maka pada hari kiamat Allah akan memamerkan kepada makhluk-Nya dengan mengejek dan mengecilkannya.” (HR. Ahmad).

Akhirnya, tanpa kita sadari, penerapan konsep ini menyesatkan banyak pikiran. Pertama, orang tidak mau merencanakan dan melakukan sesuatu bila sadar tidak banyak menguntungkannya. Hari ini, orang cenderung tidak lagi tertarik untuk berpikir tentang legacy. Kalau bisa dibayar kontan, itu lebih baik. Sekarang. Semuanya. Sahabat, bila pikiran ini menyerang, mari cepat-cepat kita kembali menyadari bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang paling banyak manfaatnya untuk orang lain. 

Kedua, berpikir hanya kekinian, sektoral, dan parsial. Orang tidak lagi terbiasa menempatkan segala sesuatu pada tataran yang lebih mulia melebihi transaksi material dan positivistik semata. Sesuatu yang bersifat transendental menjadi barang mewah karena hal itu jelas mensyaratkan adanya belief akan sesuatu yang gaib. Sebagian orang memang masih percaya pada hukum kekekalan energi. Namun, untuk sebagian yang lain, imbalan atas segala kebaikan kalau bisa kontan dan sekarang mengapa harus dicicil dan besok? Oleh karena itu, mari kita berjuang untuk tetap semangat berpikir holistik dan jangka panjang serta bertindak benar atas dasar keduanya sehingga keikhlasan, kesabaran, dan kebesaran jiwa kita berkontribusi pada perjuangan peradaban.

Ketiga, konsep itu semakin menantang kita untuk tetap istiqomah mewujudkan rasa syukur dan keikhlasan dalam berpikir dan berbuat.  Kehidupan sosial saat ini sangat mungkin menarik kita untuk lebih sering dan lebih dulu berpikir transaksional.  Tetapi, dengan upaya maksimal mendekatkan diri pada apa yang Allah ridhoi, maka perjuangan untuk menjadi mukhlisin bukanlah hal yang mustahil.

Pada akhirnya, keistiqomahan akan senantiasa menjadi energi buat kita untuk berbuat yang terbaik untuk kemanusiaan. Ada tidaknya imbalan dan balasan dari perbuatan baik itu mari kita kembalikan kepada keridhoan Allah sebagai sumber kehidupan. Kita pasti sepakat, semakin kita menginsyafi bahwa “sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan mati kita hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam,” (QS. Al An’aam [6]:162), maka seluruh aktivitas kebaikan kita hanyalah langkah tak berarti dibandingkan dengan semua kenikmatan hidup yang telah kita peroleh selama ini. Oleh karena itu, tidak ada cara lain untuk dapat pulang kampung ke negeri akhirat sebagai pemenang, kita harus memumpunkan energi pada satu titik: Allah SWT. Wa Allah A’lam bish-shawab.

Depok, Februari 2024

  

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form