Cerdas Sang Idola

Sesungguhnya, apa persamaan dan perbedaan penyebutan di antara para guru? Uraian ini tidak bermaksud untuk menarik garis pembeda, tetapi hanya sekadar upaya memperjelas tentang ranah pengabdian yang nanti erat kaitannya dengan tingkat tantangan dan tanggung jawabnya.

Mari kita mulai dari persamaan di antara guru, dosen, dan trainer. Pertama, ketiganya sama-sama berhubungan dengan manusia: mengajar, mendidik, dan melatih manusia.  Mereka bekerja tidak berhadapan dan bersama mesin, tetapi manusia. Hasil kerja mereka juga tidak selalu langsung terlihat, tetapi bertempo.  Meskipun mereka bisa bertemu orang yang sama, tetapi pasti dalam suasana yang berbeda. Mereka tidak sepenuhnya bisa mengendalikan orang yang mereka ajar, didik, dan latih. Mereka hanya bisa berusaha tampil sebaik mungkin tetapi tetap dengan hasil yang tidak dapat mereka manipulasi.

Sebelum kita bicarakan lebih lanjut perihal ketiga profesi tersebut, ada baiknya kita mencoba melihat definsinya.  Di Webster’s New World Dictionary of The American  Language (Guralnik (Ed), 1970), dapat kita jumpai definisi mengajar, mendidik, dan melatih. Mengajar (teach) adalah kata dasar dan umum untuk penanaman pengetahuan atau keterampilan. Mendidik (educate) aktivitas pengembangan keterampilan melalui latihan dan karakter (adab) yang disampaikan secara formal dan sistematis. Melatih (train) aktivitas pengembangan keterampilan tertentu, bakat khusus, dan ketangkasan melalui latihan yang penuh disiplin.

Sejatinya, ketiganya (guru, dosen, dan trainer) melakukan tiga aktivitas tersebut di atas. Namun, terdapat nuansa perbedaan dalam pelaksanaan dan praktiknya di lapangan. Inilah pemahaman umum yang muncul di masyarakat. Guru (ustadz) yang ranah tugasnya di sekolah (pesantren atau boarding school) dan berhadapan dengan siswa (santri) lebih banyak dilekatkan dengan dua aktivitas: mengajar dan mendidik; Dosen (faculty member) yang bekerja di kampus dianggap lebih banyak mengajar mahasiswa daripada mendidik; Trainer yang bekerja di ruang dan tempat pelatihan dianggap lebih banyak melatih peserta pelatihan daripada mengajar. Bahkan tidak sedikit yang mengatakan, bila trainer lebih banyak aspek mengajarnya tidak ubahnya seperti dosen.

Kedua, sama-sama membutuhkan kecerdasan: intelligence, emotional, spiritual dan Adversity Quotient. Mengapa untuk menjadi guru seseorang harus memiliki begitu banyak kecerdasan? Jawabannya ada di nomor satu. Yup! Karena yang dihadapi oleh guru, dosen, dan trainer adalah manusia. Manusia yang dihadapi bukanlah objek tetapi subjek yang belajar. Kompleksitas manusia sebagai makhluk paling sempurna menjadikan segala sesuatu yang menyangkut dirinya tidak bisa sekadarnya. Nilai kesempurnaan yang melekat pada manusia hanya mungkin didekati oleh mereka yang mengerti bagaimana mengajar makhluk cerdas itu.

Empat Kecerdasan

Intelligence Quotient (kecerdasan intelektual) mutlak diperlukan untuk menjadi seorang guru. Bagaimana mungkin seseorang akan mengajar dan mendidik serta melatih kalau ia tidak memiliki kecerdasan intelektual? Kecerdasan ini disebut juga kecerdasan rasional. Dengan kecerdasan inilah seorang guru dapat memecahkan masalah logika dan strategis. Semakin tinggi IQ seseorang, semakin tinggi pula kecerdasannya. Kecerdasan ini pulalah yang dulu pernah menjadi ukuran kesuksesan seseorang. Semakin tinggi IQ seseorang, akan semakin sukses dalam hidup. Paling tidak, itulah yang menjadi “jaminan” sejumlah psikolog yang masih sangat percaya bahwa otoritas kemampuan otak adalah segalanya.

Ternyata, di atas iQ, masih ada temuan kecerdasan yang sangat penting, yaitu Emotional Quotient (kecerdasan emosional). Mengapa seorang guru harus memiliki kecerdasan ini? Karena, manusia yang dihadapi sebagai murid, mahasiswa, dan peserta training tidak hanya punya kemampuan berpikir tetapi juga kemampuan merasa. Untuk itulah, ia harus membekali dirinya dengan kecerdasan tersebut. Guru yang kecerdasan emosionalnya baik akan mampu mengolah perasaan dalam menjalankan tugasnya. Menurut Goleman, Emotional Quotient merupakan persyaratan dasar untuk menggunakan Intelligence Quotient secara efektif. Dengan kata lain, jika bagian-bagian otak untuk merasa telah rusak, manusia tidak dapat berpikir secara efektif. Oleh karena itu, guru tidak bisa hanya mengandalkan Intelligence Quotient dalam mengajar dan melatih apalagi untuk mendidik.

Ternyata, dua kecerdasan tersebut belum cukup. Seorang guru juga harus memiliki kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient). Belum lengkap kecerdasan manusia tanpa kecerdasan spiritual. Zohar dan Marshall (2001) mengatakan kecerdasan ini diperlukan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai; Kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya; Kecerdasan untuk menilai apakah tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna atau tidak bila dibandingkan dengan yang lain. Mereka berdua berpendapat bahwa Spiritual Quotient merupakan landasan yang diperlukan untuk memfungsikan Intelligence dan Emotional Quotient secara efektif. Inilah kecerdasan tertinggi manusia.

Ada satu lagi kecerdasan yang harus dimiliki oleh seorang guru. Apa itu? Adversity Quotient (kecerdasan adversitas). Menurut Stoltz, dengan kecerdasan ini seorang guru dapat mengubah hambatan menjadi peluang. Kecerdasan ini merupakan penentu seberapa jauh kita bertahan dalam menghadapi dan mengatasi kesulitan. Ini sangat menarik. Mengapa? Tidak sedikit orang pintar pada akhirnya menemukan kegagalan dalam hidupnya karena ternyata ia tidak sabar dan gigih serta cepat menyerah dalam menghadapi sejumlah persoalan dan masalah dalam hidupnya. Kemampuan untuk akrab masalah dan menyiasatinya menjadi salah satu kunci keberhasilan seorang guru. Bukankah ia tidak hanya akan bertemu dengan kelas yang kondusif sepanjang tahun? Bukankah ia tempat bertanya? Kalau sebagai tempat bertanya ternyata tidak memiliki kecerdasan ini jelas akan membuatnya tersiksa dan tidak mampu tampil sebagai dirinya yang utuh.

Aktor Tak Sempurna

Pertanyaannya, betulkah ada orang sempurna dengan keempat kecerdasan itu untuk pantas menjadi guru? Lalu, bagaimana seorang guru memiliki kesempatan untuk meng-upgrade dirinya agar memiliki empat kecerdasan tersebut? Bukankah pada gilirannya mereka sublim bersama ketidaksempurnaan dan memiliki sejumlah masalah sebagai manusia biasa? Bagaimana ia menyiasati ketidaksempurnaan dirinya untuk tetap bisa menjadi guru? Bagaimana ia harus memadukan keempat kecerdasan tersebut sebagai sebuah kekuatan yang efektif dalam menjalankan tugasnya?

Benar. Tidak ada orang yang sempurna dengan tingkat kecerdasan yang sama di empat ranah tersebut. Itu pasti. Namun, ada ruang siasat untuk dinamika dan komposisi yang pas. Ini sebuah keniscayaan. Pada gilirannya, bagaimana sang guru mampu meramu dan menyiasati kelemahannya dengan menonjolkan atau memaksimalkan keunggulannya.

Inilah pentingnya pendidikan dan pengalaman untuk seorang guru. Sebagaimana jiwa dan keterampilan seorang pemimpin yang dapat disiapkan dan dipupuk, seorang guru pun sebaiknya telah melewati proses pendidikan dan penggemblengan yang cukup agar keempat kecerdasan tersebut dimilikinya dalam kadar yang cukup. Ini proses dan laku batin (proses mental) yang sangat menarik untuk dipelajari.

Kekayaan batin dan pengalaman hidup seorang guru ditambah dengan sejumlah metodologi berlatih yang tepat dan baik setidaknya mampu membekali seseorang menjadi seorang guru yang baik. Semua pasti membutuhkan proses. Namun, ada yang prosesnya cepat dan ada yang lambat. Mereka yang cepat adalah mereka yang sudah memiliki bekal empat kecerdasan tadi dan telah melewati serangkaian ujian dan pembekalan metodologi.

Ini menjadi sesuatu yang sangat menarik dan menantang. Seorang guru memang harus menjadi manusia di atas rata-rata karena ia akan mengajar, mendidik, dan melatih anak manusia yang memiliki kompleksitas pikir dan rasa. Pada praktiknya, komposisi yang pas sesuai takaran atau minimal requirement memang perlu agar profesi guru bukanlah sesuatu yang utopia atau mencari manusia sempurna. Namun, kita pasti sepakat bahwa seorang guru haruslah dia yang cerdas secara intelektual (logika), sehat psikologinya, iman dan tauhidnya baik, dan memiliki kegigihan dalam berjuang.

Dengan bekal seperti ini, seseorang akan percaya diri dan bermartabat serta siap untuk berdiri di depan kelas untuk mendampingi para siswa, mahasiswa, dan peserta pelatihannya mempelajari dan mempraktikkan sesuatu. Orang tua murid, sebagai stakeholdernya, pasti akan merasa aman dan nyaman menitipkan putra-putrinya kepada guru dengan persyaratan minimal tersebut. Mereka pasti yakin, anak mereka akan ada di lingkungan orang-orang yang cerdas secara logika, psikis, keimanan, dan daya juang. Pada gilirannya nanti, mereka tidak akan keberatan atau bahkan bangga kalau anak mereka mengidolakan salah satu dari guru-guru mereka di sekolah karena memang mereka pantas dan layak jadi idola dan panutan.

Wallahu a’lam bi al-shawab.

 

Depok, Maret 2024

 

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form