Mengapa guru menjadi
profesi yang sangat mulia dan bergengsi? Ini pertanyaan menarik. Dari sekian
banyak penjelasan di sejumlah literature tentang mengapa guru menjadi salah
satu profesi yang menarik, ada penjelasan dari aspek sosiologis-antropologis
yang cukup unik di buku Umar Kayam, Para Priyayi
(Pustaka Utama Grafiti, 1992).
Pada buku itu, Kayam mengajak kita larut dan menyelami lika-liku kehidupan
seorang guru di zaman kolonial Belanda. Anda yang kenal dan akrab dengan gaya
bertuturnya Kayam pasti akan senang dan gembira membaca bagaimana dengan sangat
piawai Kayam menggambarkan kehidupan keluarga guru pada saat itu.
Fahrizal (Horison, Maret 2001) ketika mengulas
buku tersebut menulis:
Barangkali, bukan tanpa alasan Kayam memilih
Sastro, yang mengawali debut kepriyayiannya sebagai guru bantu. Dalam kisah
ini, dialah tokoh yang seluruh hidupnya merupakan adegan dalam scenario besar
dunia priyayi sebagai konsekuensi logis sebuah pilihan sadar.
Pintu gerbang itu adalah guru. Demikianlah
adanya. Pemberian beslit guru bantu kepada Sastro telah menjadi inisiasi untuk
memasuki dunia priyayi. Mengapa guru? Karena priyayi berarti orang terpandang
yang dilihat dari kepintarannya.
Memang, pada zaman Belanda guru adalah
profesi prestisius, karena bisa mengantarkan orang ke dunia kepriyayian.
Gajinya saja seratus sepuluh gulden. Jumlah itu, menurut empu pendidikan
Indonesia, Slamet Iman Santoso, lebih besar daripada gaji dokter. Bisa
dibayangkan, dengan gaji sebesar itu, seorang guru adalah orang yang sangat
berkecukupan di zamannya. Apalagi Sastro menuruti nasihat bapaknya untuk tidak
tergantung pada gaji saja. Ia masih bertani sedikit-sedikit. Paling tidak,
untuk keperluan dapur dan perut, ia tidak perlu berpikir lagi. Oleh karena itu,
ia memanfaatkan tegalan belakang rumah sebagai sarana bercocok tanam
keluarganya.
Guru adalah priyayi. Masya Allah. Jadi, Anda priyayi,
Sahabatku, sebuah strata sosial terpandang di Jawa pada zaman Belanda. Sebuah
posisi terhormat di masyarakat. Bukan karena (hanya) kekayaannya, tetapi karena
kepandaian, kepedulian, dan kebijaksanaannya. Dialah tempat orang bertanya dan menanti jawaban.
Dialah tempat orang meniru perbuatannya. Dialah panutan: digugu dan ditiru.
Lalu, kalau hari ini
Anda bertanya,”Itu kan dulu, Pak. Lah kalau sekarang?” Sekarang pun sama. Guru
adalah posisi terhormat di masyarakat. Dia dipandang karena kepintaran dan
kepandaiannya. Dia (masih tetap) tempat orang bertanya dan menanti jawaban. Dia
tempat orang meniru dan belajar.
“Lalu, soal gaji,
itu. Piye, Pak?”
Itu tidak lagi
menjadi sepenting kepintaran dan kepandaian seorang guru. Umar Kayam pun
mengatakan, kalau mau kaya jangan jadi guru. Tetapi, jadilah Mbakul! Pedagang. Saudagar. Nah, yang
ini tempat orang meminta (uang). Tempat orang meminjam (uang). Tempat orang
minta dan minjam modal (uang).
Namun, betulkah pada
saat ini kita hanya ingin membicarakan soal gaji guru? Rasanya jangan. Nanti
kita mentok dan akhirnya kita melupakan kedudukan penting seorang guru. Nanti
tanpa kita sadari, kita justru mendistori kemuliaan seorang guru. Akhirnya, kita
terjebak pada ruang pesimistis. Dan kalau sudah begitu, kita pasti tidak lagi
mampu berpikir jernih apalagi kreatif. Nauzubillah
min zalik.
Dalam kilas sejarah,
republik ini pun didesain, dibentuk, dan didirikan oleh para guru. Bukankah
para founding father, bapak-bapak
pendiri republik ini adalah seorang guru? Betapa strategis dan bermaknanya
kedudukan dan fungsi seorang guru. Mengapa guru? Naah, betul, kan, akhirnya
muncul lagi pertanyaan itu. Karena memang guru dilahirkan (dan dibentuk) untuk
menjadi pendobrak, penerang, dan penuntun untuk masyarakatnya.
Sejarah bangsa ini mencatat dengan tinta emas
nama-nama yang telah menjadi peletak dasar berdirinya republik ini: H.O. S. Tjokroaminoto, Ki Hajar Dewantoro, dan Haji
Agus Salim. Mereka para guru. Merekalah pendobrak. Mereka pulalah sumber
inspirasi untuk para penggerak dan pendiri republik ini. Dari merekalah lahir
para pemimpin-pemimpin besar yang pada gilirannya nanti menjadi penentu
berdirinya negara ini. Bukankah itu fakta sejarah yang tidak bisa dielakkan?
Latif dalam Pendidikan yang Berkebudayaan (2020:4)
mengulas secara mendalam perihal peran guru dan pendidikan Indonesia. Pada satu
bagian, Latif menulis:
Hingga akhir abad ke-19, peran guru dalam mempromosikan wacana kemajuan sangatlah menonjol, setidaknya
karena dua alasan. Profesi guru pada masa itu menghimpun porsi terbesar dari
orang-orang pribumi berpendidikan terbaik, dan sebagai pendidik mereka
terpanggil untuk mengemban misi suci untuk mencerahkan saudara-saudara
sebangsanya. Selain itu, profesi guru kurang dihargai dibanding posisi
administratif, sehingga menstimulasi mereka untuk menjadi artikulator konsep
kemajuan, dalam rangka menjadikannya sebagai tolok ukur baru dalam menentukan
privilese sosial. Gagasan kemajuan dan kritik kaum guru terhadap kondisi yang
ada diartikulasikan melalui media cetak dan berbagai perkumpulan yang mereka
dirikan, seperti Soeloeh Pengadjar (sejak 1887) dan Taman Pengadjar (sejak
1899), serta perkumpulan guru yang paling berpengaruh, Mufakat Guru, dengan
keanggotaan di berbagai kabupaten di Jawa.
Oleh karena itu,
berbicara tentang guru adalah pembicaraan yang sangat serius. Inilah
pembicaraan yang hanya boleh disambi oleh sesuatu yang tidak bisa ditunda dan
diwakilkan. Mengapa? Kemuliaan dan kedudukan yang spesial dalam seluruh
kehidupan berbangsa dan bernegara kita sangat bergantung kepada mereka yang
mampu dan terampil mengajarkan, mendidik, membentuk, dan mengarahkan para anak
bangsa. Merekalah pelita dalam kegelapan. Merekalah the source of inspiration.
Untuk itu, mari kita diskusi soal
ini. Mengapa guru memiliki posisi yang sangat strategis di masyarakat. Pertama,
guru belajar tentang ilmu, sesuatu yang tidak diberikan Allah kepada semua
orang. Tentu Anda sepakat dengan statement
yang mengatakan, jangan habiskan waktu dan umur kita hanya untuk mengejar
sesuatu yang sudah pasti diberikan Allah kepada semua orang. Apa itu? Rezeki
(mungkin dalam pengertian sempit). Tetapi, habiskanlah waktu, usia, dan
kesempatan itu untuk mendapatkan sesuatu yang tidak Allah berikan kepada semua
orang. Apa itu? Ilmu.
Dengan ilmu, seorang
guru belajar apa, mengapa, dan bagaimana yang seharusnya. Ketika yang lain
tidak concern tentang sesuatu yang
normatif, seorang guru justru menjadikan itu sebagai bagian penting dari
bangunan keilmuannya. Dengan begitu, ia dapat membaca, menjelaskan, dan
membentuk fenomena dan gejala. Itulah sebabnya dia bisa memberikan jawaban atas
sejumlah pertanyaan yang biasa berkembang di masyarakat sesuai dengan bidang
ilmu yang dikuasainya.
Allah SWT memang akan
mengangkat derajat mereka yang beriman dan berilmu (QS. Al-Mujadalah [58]:
11). Pantaslah jika Imam Syafi’I
mengatakan, siapa yang ingin sukses di dunia, harus berilmu, siapa yang ingin
sukses di akhirat, hendaklah dengan ilmu, dan siapa yang ingin sukses keduanya,
juga dengan ilmu.
Kedua, guru dibekali
metodologi dalam memperoleh pengetahuan dan penerapannya. Ini sesuatu yang
sangat spesial. Guru memiliki kemampuan dan keterampilan untuk menjadi problem solver. Bukankah ini posisi yang
sangat strategis? Kemampuan melihat fenomena karena ilmunya, Guru juga dibekali
sebuah keterampilan dan cara berpikir yang tidak setiap orang memilikinya.
Kemampuan berpikir
ini menjadi sangat penting untuk semua orang. Nikmat Allah berupa otak yang
maha canggih dan hati serta qalbu yang maha lembut dan peka tidak akan banyak
manfaatnya bila tidak dilatih dan distimulus dengan metodologi serta cara
berpikir yang benar. Nah, keterampilan ini hanya bisa diperoleh dari seorang
guru.
Ketiga, guru memberikan
visi dan pandangan jauh ke depan. Mengapa Sukarno, Semaun, dan Kartosuwirjo
mampu menjadi sahabat yang saling bahu membahu membangun republik ini pada
kesempatan pertama? Karena di rumah peradaban (rumah H.O.S. Tjokroaminoto)
mereka digembleng, dibentuk, dan diajarkan bagaimana menjadi manusia di atas
rata-rata. Mereka dididik untuk menjadi pemimpin. Inilah rumah kepemimpinan
yang pertama dalam sejarah Indonesia.
Kemampuan dan
kesabaran seorang guru dalam mendidik dan membentuk para muridnya jugalah yang
pada akhirnya membentuk para pendiri bangsa ini. Sukarno dan teman-teman
dibentuk oleh sebuah suasana dan lingkungan belajar yang sangat mendukung untuk
tumbuhnya jiwa kepedulian, kebangsaan, dan keberpihakan pada rakyat. Mereka
bukan saja diajarkan tetapi juga dididik dan dibentuk. Tidak berhenti sampai di
situ, mereka juga diberikan sejumlah alternatif jalan agar apa yang telah
menjadi ilmu dan pengetahuan serta pemahaman mereka bermanfaat di ranah
empiris: perjuangan memerdekakan bangsa Indonesia.
Bukankah ini berawal
dari seorang guru? Mengapa Sukarno tidak belajar kepada seorang pedagang atau
saudagar? Bukankah pada saat itu negara perlu modal untuk berdiri dan merdeka?
Mengapa justru ia tinggal di rumah seorang guru dan tidak tinggal di rumah seorang
pedagang? Jawabannya kurang lebih karena di rumah kepemimpinan itulah mereka
mendapatkan tempaan yang mustahil mampu diberikan oleh seorang pedagang.
Gemblengan dan bentukan seorang guru pasti sangat berbeda dengan gemblengan
seorang pedagang. Jiwa seorang guru seharusnya berbeda dengan jiwa seorang
pedagang.
Fakta sejarah ini
mengirim sinyal kuat kepada kita semua bahwa republik ini didirikan atas dasar
sebuah ide dan kesadaran. Gagasan merdeka muncul karena proses belajar.
Kesadaran akan kebutuhan untuk bisa mengatur hidup dan menentukan nasib sendiri
di bumi pertiwi ini bermula dari pendidikan. Itu semua karena peran guru.
Proses belajar bersama gurulah yang membentuk para pendiri negara ini memiliki
keterampilan berpikir kritis, menumbuhkan kesadaran nasionalisme, dan
pentingnya harga diri sebagai bangsa merdeka.
Wallahu
a’lam bi al-shawab.
Depok, Maret
2024