21st Century Teacher

Bila kita baca sejumlah literatur tentang Pendidikan abad 21, maka kita akan mendapatkan sejumlah informasi tentang apa saja keterampilan yang harus dikuasai oleh insan Pendidikan—baik murid, mahasiswa, guru, dosen, trainer, atau coach. Keterampilan atau kompetensi itu pada umumnya mengerucut menjadi 4C, yaitu creativity, critical thinking, communication, dan collaboration.

Empat keterampilan tersebut tentu merupakan upaya untuk menjawab semua perubahan dan pergeseran banyak hal di era disrupsi saat ini.

Creativity and Innovation. Kreativitas dan inovasi untuk seorang guru, dosen, trainer, atau coach adalah cara terbaik untuk memberi arti lebih besar atas apa yang menjadi keahlian bidang ilmu dan keterampilannya. Inilah yang membuat seorang guru merasa lebih hidup dan bergairah. Inilah ruang pribadi yang melibatkan kekuatan mental dalam menciptakan, meramu, merangkai, menghubungkan, atau memadupadankan sejumlah aspek menjadi sesuatu yang baru dan lebih: lebih berguna, efektif, efisien, cocok, hemat, atau lebih kaya. Dengan kreativitas dan inovasi, seorang guru, dosen, trainer, atau coach akan semakin percaya diri akan bakat dominannya. Inilah ruang eksplorasi dan bermain yang menyenangkan untuk mereka.

Kurikulum di tangan guru yang kreatif akan menjadi dasar pembelajaran yang menghebatkan muridnya; RPS di tangun dosen yang kreatif akan menjadi koridor perkuliahan yang memerdekakan mahasiswanya; Hasil TNA dan Silabus di tangan trainer yang kreatif akan menjadi rambu-rambu pelatihan yang membuat para trainee menguasai dengan baik kompetensinya; Panduan coaching di tangan seorang coach yang kreatif akan mampu mewujudkan mimpi yang tak mungkin para coachee menjadi Impian yang mungkin. Kreativitas dan inovasi yang dikembangkan dengan ketulusan dan sepenuh hati oleh para guru, dosen, trainer, dan coach akan membuahkan hasil belajar yang pasti lebih baik daripada yang kering dari kreativitas dan Letterlijk (harfiah) semata. 

Critical Thinking and Problem Solving. Menurut de Bono (2007), berpikir kritis (analitis dan cermat) punya nilai tinggi pada dua tipe masyarakat. Pertama, masyarakat yang stabil. Pada masyarakat tersebut, setiap gagasan baru yang berbahaya yang dapat menyebabkan perubahan akan ditimbang dengan kritis. Kedua, masyarakat yang memiliki energi Pembangunan dan energi kreatif yang berlimpah. Keterampilan berpikir kritis dibutuhkan untuk memilih dan memilah mana hal yang bernilai dari sekian banyak gagasan yang ada.

Masalahnya, berpikir kritis bersifat reaktif. Harus ada sesuatu yang dikritisi. Padahal, usulan dan saran hanya bisa lahir dari cara berpikir yang konstruktif, kreatif, dan generatif. Itu artinya, keterampilan berpikir kritis hanya berharga bila kita juga memiliki keterampilan berpikir yang konstruktif dan kreatif. Analogi de Bono (2007:31), tidak ada gunanya memegang kendali jika kudanya tidak ada. Mengapa demikian? Bila berhenti di berpikir kritis, maka otak-otak cerdas bisa terperangkap di satu ruang dan tidak mengembangkan keterampilan berpikir yang dibutuhkan masyarakat: konstruktif dan kreatif. Tanpa dua keterampilan yang disebut terakhir, maka gagasan-gagasan baru yang dibutuhkan akan sulit muncul karena sesungguhnya mengkritik lebih mudah daripada mencipta.

Untuk menyempurnakan proses berpikir kritis dan kemudian memasuki ruang berpikir konstruktif dan kreatif agar dapat menjadi salah satu dasar untuk menyelesaikan masalah, maka seorang guru, dosen, trainer, atau coach harus terus berupaya menjadi role model dalam mempraktikkan keterampilan berpikir tersebut. Mengapa begitu? Tidak sedikit sekolah yang menganggap bahwa mengajarkan keterampilan berpikir kritis sudah cukup. Hal tersebut karena berpikir kritis cocok dengan berpikir reaktif dan cocok dengan pandangan tradisional tentang berpikir (de Bono, 2007). Oleh karena itulah, seorang guru, dosen, trainer, atau coach harus terus mengingatkan para murid, mahasiswa, trainee, dan coachee mereka bahwa keterampilan berpikir kritis hanya sebagian dari cara berpikir. Dengan demikian, keterampilan tersebut harus disandingkan dengan kemampuan berpikir konstruktif dan kreatif agar dapat menemukan ide-ide segar sebagai alternatif dan tawaran solusi atas sejumlah problematika yang mereka hadapi.

Communication adalah sebuah keterampilan yang kompleks. Bila boleh disederhanakan, inti pekerjaan seorang guru, dosen, trainer, atau coach adalah komunikasi. Indikator keberhasilan pekerjaan mereka pun atas dasar kepiawaian dalam berkomunikasi. Hanya dengan keterampilan komunikasi yang mumpunilah seorang guru, dosen, trainer, atau coach dapat menyampaikan materi pelajaran, kuliah, pelatihan, dan coaching dengan baik. Dengan demikian, keterampilan komunikasi menjadi keahlian kunci dan krusial untuk mereka: tidak ada proses pembelajaran, kuliah, pelatihan, dan coaching yang sukses tanpa proses komunikasi yang menarik, berterima, dan menyenangkan.

Communicative competence pada diri seseorang hanya mungkin tumbuh ketika yang bersangkutan memiliki linguistic competence yang memadai. Modal dasar ini menjadi sangat krusial saat ini di tengah masyarakat yang lebih lebih gandrung pada aktivitas menonton daripada membaca. Ketika keterampilan reseptif (menyimak dan membaca) pada seseorang tidak diasah dan dilatih dengan baik, maka keterampilan produktifnya pun dikhawatirkan sulit berkembang maksimal. Selain itu, communicative competence adalah dialektika antara linguistic competence dan pengalaman. Mereka yang terbiasa ada dalam ranah komunikasi konstruktif dengan sendirinya memiliki kepekaan dalam sejumlah hal tentang bagaimana membangun dan mengembangkan pola komunikasi yang produktif. Seorang guru, dosen, trainer, atau coach mutlak memerlukan keterampilan yang satu ini.

Guru, dosen, trainer, atau coach seharusnya memiliki dasar literasi yang kuat. Literasinya bukan hanya literasi lama (membaca dan menulis), tetapi juga literasi baru berupa literasi digital dan manusia. Yang pertama berkenaan dengan penguasaan yang cukup tentang bagaimana memanfaatkan kemajuan teknologi dan yang kedua tentang communicative competence.

Seorang guru, dosen, trainer, atau coach yang terbiasa membaca pasti sering mengalami proses pertemuan mental antara apa yang menjadi pengetahuan atau pengalamannya dengan dunia yang ditawarkan oleh penulis. Proses dialektika tersebut akan memberikan pengalaman intellectual exercise pada seseorang. Bila pengalaman tersebut mampu dikelola sebagai sebuah keasyikan tersendiri, maka seseorang akan meningkat rasa ingin tahunya. Itulah yang mendorong seseorang untuk bertanya. Kemauan, keberanian, dan keterampilan bertanya juga bagian dari proses memperoleh keterampilan tersebut.

Collaboration (to work together). Sejatinya, kita tidak pernah benar-benar merencanakan akan bertemu dan bekerja sama dengan siapa pun. Jejak langkah kita selama ini mengabarkan hal itu. Kerena itu adalah sebuah keniscayaan, maka kita harus siap bertemu dan bekerja sama dengan siapa pun. Untuk itu, mereka yang open minded akan lebih mudah diterima dalam dan menerima semua perbedaan—karena memang itu sebuah keniscayaan—untuk mewujudkan satu tujuan bersama. Kita membutuhkan keberanian untuk mewujudkan kolaborasi yang sesungguhnya. Mungkin memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, tetapi untuk satu tujuan bersama yang lebih besar, maka inilah jalan terbaik yang perlu kita sepakati.

Sebuah sekolah, misalnya, dapat melangsungkan proses belajar mengajar atas kerja sama atau kolaborasi banyak orang: ada manajemen (pimpinan), guru dengan berbagai macam subjek mata pelajarannya, tata usaha, petugas kebersihan, keamanan, bagian rumah tangga, petugas klinik, pengelola kantin, teknisi, petugas keamanan, dan tukang kebun. Dari semua profesi dan posisi itu yang merasa paling berharga dan berjasa untuk sekolah. Mengapa? Karena mereka hanya salah satu sekrup dan baut dalam keseluruhan sistem yang ada. Seorang pimpinan (kepala sekolah)—meskipun gelar akademiknya lebih tinggi daripada semuanya—tidak dapat merasa hebat dan paling berjasa. Demikian pula semua profesi dan posisi yang ada di sekolah. Dunia kampus, Lembaga training dan coaching juga pasti demikian pula.

Untuk menjadi salah seorang guru, dosen, trainer, atau coach dalam sebuah kolaborasi yang efektif, maka yang bersangkutan harus memiliki mental atau mindset kolaboratif yang baik dan siap untuk terus belajar berinteraksi dengan teknologi. Mengapa kolaborasi menjadi salah satu keterampilan yang sangat diperlukan di abad ke-21 ini? Menilik dari proses dan hasilnya, kolaborasi memungkinkan terwujudnya inovasi, memungkinkan terbentuknya pengetahuan kolektif yang sangat dibutuhkan oleh organisasi, kerja tim semakin solid, sistem lalu lintas informasi maksimal, kinerja tinggi, dan kemampuan menganalisis atas sejumlah aspek menjadi efektif karena data mudah diakses dalam sistem kerja yang efisien. Dengan demikian, kolaborasi memungkinkan terciptanya suasana kerja yang menyenangkan meskipun sangat dinamis.

Guru Menjawab

Dalam dunia yang tingkat turbulensinya sangat tinggi, maka guru, faculty member, trainer, atau coach dituntut untuk menjadi pribadi yang humble untuk mau terus belajar, meng-upgrade dan meng-update kompetensi, dan memantaskan diri untuk tetap bisa dan boleh menjadi profesinya saat ini. Tidak ada yang boleh berlama-lama dalam romantisme masa lalu, karena murid, mahasiswa, trainee, dan coachee yang mereka hadapi saat ini dan nanti adalah mereka yang tidak lagi hidup seperti mereka dulu hidup.

Namun demikian, sejumlah kompetensi dasar yang menjadi minimum requirements untuk terus boleh mengajar, memberi kuliah, melatih, dan meng-coaching harus tetap melekat dan ter-internalized dalam diri. Apalagi yang menyangkut aspek karakter, nilai, dan moral. Aspek moral sebagai “orang timur” masih menjadi salah satu faktor penting dalam dunia pendidikan kita. Untuk itu, seorang guru, dosen, trainer, atau coach harus berjuang sekuat tenaga untuk tetap berada di area keteladanan. Bukankah guru adalah pribadi yang digugu dan ditiru?

Sejumlah sahabat yang alumni Pondok Modern Darussalam Gontor sering menyampaikan pesan kyai mereka: Metode itu lebih penting daripada materi; Guru lebih penting daripada metode; Dan jiwa guru lebih penting daripada guru itu sendiri. Itu artinya, seorang guru bukanlah mereka yang lulus dari perguruan tinggi khusus untuk menghasilkan guru dan tenaga kependidikan, tetapi mereka yang siap menjadi insan pendidik. Insan pendidik itu bukan hanya pengajar, tetapi pribadi yang dengan segala ketulusan cintanya berupaya sekuat tenaga untuk mencerdaskan dan menghebatkan murid, mahasiswa, trainee, atau coachee mereka. Dari cinta, komitmen, dan ketulusan itulah akan lahir keteladanan yang menjadi inti pendidikan. Dengan demikian, maka berbagai perubahan apa pun yang terjadi dalam dunia pendidikan tidak akan membuat mereka kehilangan jati diri sebagai guru dengan segala cintanya sebagai pendidik.

          Wallahu a’lam bi al-shawab.

  

Depok, Maret 2024

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form