Ada satu permainan menarik yang biasa saya berikan di kelas pelatihan untuk mengawali materi ini. Untuk mendapatkan efek rame, bagi dua kelas dengan jumlah peserta relatif sama. Dua kelompok tersebut diminta berdiri berhadapan. Kepada setiap peserta diberikan secarik kertas koran bekas. Minta mereka untuk merobeknya menjadi dua sama besar. Lalu, mereka pegang dan angkat, satu lembar di tangan kanan dan satu di tangan kiri. Dengan serempak, mereka meremas kertas tersebut sampai menjadi bulatan seperti dua buah bola kertas.
“Sahabat-sahabat, sekarang, angkat tangan kiri kita. Nah, dengan kekuatan penuh, ke arah mana saja, dan boleh juga dengan teriakan...silakan lemparkan bola kertas yang ada di tangan kiri kita. Baik...siap-siap, ya....Tiga...dua...satu...Go!”“Huaaaah! Ha ha ha”
Semua peserta dengan masing-masing teriakan dan gayanya
melempar dengan kekuatan dan arah yang mereka suka. Ada yang sengaja melempar
temannya, ada yang melempar tempat kosong, dan ada juga yang sama sekali tidak
tau ke mana ia harus melempar.
“Sahabat, apa yang Anda rasakan?”
“Puas!”
“Plong!”
“Bingung, Pak!”
“Ha ha ha, begitu,
ya...baik, ada lagi yang Sahabat-sahabat rasakan?”
“Asyik, Pak, bisa nimpuk
teman. Ha ha ha.”
“Bagaimana, Bu, apa yang Ibu rasakan?” tanya saya kepada
seorang ibu yang duduk paling depan.
“Kaget, Pak. Ada tiga kertas kena kepala kepala saya. Ha
ha ha.”
“Ayo, siapa, nih, yang ngelempar Bu Tuti? Ha ha ha. Gak
sengaja, ya...”
“Ha ha ha, Baik. Terima kasih banyak, Sahabat-sahabat.
Nah, sekarang, silakan angkat tangan kanan kita. Dengan cara masing-masing,
silakan lemparkan kertas tersebut sampai masuk ke kotak kardus di depan ini. Oke, siap, ya.
Lima...empat...tiga...dua...satu...Go!”
Serentak mereka bergerak. Bermacam-macam cara, gaya, dan
jarak yang dipilih untuk memasukkan bola kertasnya ke kardus yang dimaksud. Ada
yang sangat yakin dan melempar dari tempat berdirinya semula. Ada yang maju dua
langkah dan melayangkan bola kertasnya seperti memasukkan bola basket ke
keranjang. Ada yang sambil berlari sambil nombok
(gaya slam dunk). Ada yang
berjalan mendekati kardus itu dan kemudian dengan enteng sambil senyum
memasukkannya. Ada yang berteriak dan melempar sekuat tenaga ke dalam kardus,
padahal jaraknya dekat sekali. Ha ha ha. Macam-macam. Yang jelas, semua berusaha
dengan cara dan gaya masing-masing memasukkan bola kertasnya. Lalu, dengan
senyum senang, mereka kembali ke tempat duduk masing-masing.
“Sahabat sukses yang dirahmati Allah, terima kasih. Luar
biasa. Semuanya senang dan antusias. Nah, sekarang, mari kita lihat. Apa yang
sahabat-sahabat rasakan pada lemparan pertama dan kedua?”
“lemparan pertama gak ada sasarannya, Pak!”
“Yang pertama tidak terarah.”
“Yang pertama lebih enak, Pak, karena bisa ngelempar teman. Ha ha ha.”
“Yang pertama, bingung, Pak, mau ngelempar ke mana.”
“O, begitu...baik..sekarang, yang kedua bagaimana?”
“Gak capek, Pak, karena gak perlu mikir. Jalan saja,
dekati kardus, dan langsung bisa lempar. Masuk.”
“Ada sasarannya, Pak. Ada target!”
“Langsung masuk.”
Sahabat sukses yang dirahmati Allah, benar, pada lemparan
pertama, tidak ada titik tuju. Inilah yang menyebabkan orang terpancing jadi
nyeleneh: melempar teman atau melempar sejauh mungkin dengan sekuat tenaga.
Sedangkan pada lemparan kedua, fenomena itu tidak lagi terlihat. Semua orang
berusaha sebaik mungkin—dengan metode yang dipilihnya sendiri—agar bola kertas
di tangan kanannya masuk kardus dengan baik.
Apa hikmah yang bisa kita ambil dari simulasi yang
sederhana tadi? Ternyata, melakukan sesuatu tanpa tujuan dan target akan terasa
hambar dan mubadzir. Tenaga dan waktu terkuras untuk sesuatu yang tidak jelas
sasarannya. Sedangkan bila ada target,
semua bisa diperhitungkan, tenaga dan cara sangat bisa disesuaikan. Dengan
demikian, target menentukan banyak hal: metode, waktu, biaya, dan strategi.
Akan halnya tenaga, menarik ketika kita pinjam analogi
pada tertandingan tinju. Sebuah pukulan yang tidak menemui sasaran (target)
justru yang akan lebih banyak menguras tenaga dibandingkan dengan pukulan yang
menemui sasaran. Bila ini kerap terjadi, maka dapat dibayangkan, sang petinju
pasti akan lebih dulu kehabisan tenaga. Nah, bukankah hal yang sama juga dapat
terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari?
Seringkali, tanpa kita sadari kita menyibukkan diri ke
dalam begitu banyak kegiatan. Sejumlah kegiatan kita ikuti dengan pembagian
waktu, tenaga, dan dana yang kita upayakan tanpa rencana. Alhasil? Kita jadi
tidak maksimal di satu aspek pun. Kita
sepertinya sangat sibuk tapi tidak produktif.
Kita seperti kehabisan waktu tapi ternyata hasil kerja tidak efektif dan
maksimal. Tidak mustahil kegagalan akan lebih dekat menghampiri kita.
“Baik, terima kasih. Sekarang, apa yang paling jelas
terlihat dari lemparan pertama?”
“Sampah, Pak.”
“Sampah, ya. Bagaimana agar ruangan ini tidak lagi ada
sampah?”
“Ya, dibersihkan, Pak.”
“O, begitu,
bagaimana cara membersihkannya?”
“Langsung aja dipungutin, Pak.”
“O, begitu. Apakah sekarang ruangan kita sudah bersih?”
“Belum, Pak.”
“Lho, kenapa?”
“Belum dibersihkan.”
“Mengapa belum dibersihkan?”
“he he he...ayo, teman-teman..”
Sejumlah peserta kemudian bergegas menjadi pioneer untuk mulai membersihkan sampah
bola kertas yang berserakan di lantai. Mereka mulai memunguti dan kemudian
memasukkannya ke kardus yang masih ada di lantai. Sejumlah bola kertas yang ada
di kolong kursi pun mereka bersihkan bersama.
Pilih dan Istiqomahlah
Ada sejumlah catatan yang nampaknya cukup menarik untuk kita
simak.
Pertama, mereka yang tidak punya pilihan yang memadai dan pantas dipilih. Seharusnya kondisi ini memang tidak boleh terjadi. Mengapa? Sebelum sampai pada titik memilih, sejatinya setiap peserta sudah selesai melakukan eksplorasi peluang yang dimilikinya. Dengan mencatatkan seluruh peluang yang mungkin dapat mereka jalani sebagai bidang karir, pengabdian, dan lahan berkarya, seseorang akan merasa memiliki tantangan untuk memilih satu di antaranya.
Mengapa mereka tidak maksimal bereksplorasi? Penyebabnya bermacam-macam. Setidaknya, pertama, belum terbiasa mengeksplor diri. Kedua, malas untuk “masuk” ke dalam diri. Ketiga, kurang memahami bahwa menghargai diri sendiri itu juga perlu. Keempat, kurang antusias memanfaatkan moment berlatih bersama. Bisa jadi, alasan itu pun sulit terartikulasikan karena memang sangat sulit terdeteksi dengan akurat. Demikian, setidaknya.
Menghadapi kelompok ini, mari kita dampingi dengan penuh kesabaran. Mari kita bicara dengan bahasa mereka. Siapa sajakah mereka? Pertama, mereka bisa saja tenaga-tenaga operator dari sebuah industri besar. Mereka tidak pernah diajak dialog tentang apa pun apalagi tentang masa depan oleh atasan langsung. Mereka belum di-orangke. Akhirnya, mereka gagap luar biasa. Ada rasa minder akut ketika diajak mengeksplore diri. Kedua, sangat mungkin mereka yang telah mapan di satu posisi. Mereka memandang aktivitas ini tidak bermanfaat karena merasa tanpa proses itu pun mereka sudah sukses. Sahabat, merekalah yang tersesat di jalan yang benar.
Kedua, mereka yang dihantui rasa takut salah pilih. Apakah ini bagian dari trauma masa lalu? Bisa iya, bisa tidak. Bila karena yang pertama, kita bisa ajak yang bersangkutan berdiskusi. Ini sumber belajar. Tapi, bila yang kedua, bisa jadi ini ketakutan tanpa dasar. Mari kita dampingi mereka agar tidak terjebak pada situasi yang mereka sendiri tidak mengerti mengapa mereka begitu.
Sejatinya, siapa di antara kita yang pilihannya selalu tepat dan benar pada semua kesempatan memilih? Kita punya cerita sendiri-sendiri tentang yang satu ini karena tidak ada yang sempurna dalam seluruh pandangan dan pemikiran manusia. Oleh karena itu, mari kita jadikan salah dalam memilih itu menjadi bagian dari proses belajar.
Ketiga, belum ikhlas memilih. Mereka biasanya berpikir, masa’ sih, saya gak bisa dan gak boleh melakukan yang ini, yang ini, yang ini, dan yang ini. Padahal, saya berpotensi juga di situ. Padahal saya bisa juga, lho. Padahal, yang ini saya bisa; Yang ini saya sanggup; Yang ini saya pernah lakukan; Yang ini saya punya pengalaman. Saya pasti bisa melakukannya. Jadi, mengapa saya harus memilih?
Peserta tipe ini adalah mereka yang justru sangat lancar—terlalu lancar bahkan—menuliskan daftar peluang mereka. Daftar peluang mereka umumnya sangat banyak karena mereka merasa yakin bisa melakoni berbagai bidang. Mungkin juga mereka terkecoh dengan konsep multitalent. Akhirnya mereka beranggapan, apa salahnya punya banyak pilihan? Apa salahnya melirik dunia lain kalau kita mampu melakukannya? Bukankah ada peribahasa sambil menyelam minum air?
Memilih untuk tipe ini tidak harus satu. Bukankah memilih lebih dari satu tidak dosa dan bukankah itu juga merupakan satu pilihan? Mereka tidak dapat dikatakan serakah, karena boleh jadi masyarakat kita dengan segala kecenderungannya lebih banyak melahirkan tipe orang-orang seperti ini. Bukankah wacana nyambi menjadi salah satu jalan keluar dari berbagai kebutuhan: materi, network, dan aktualisasi diri? Senang ada di berbagai komunitas adalah juga sebuah kebutuhan. Sayang, dong, dengan sejumlah bakat dan pengalaman saya selama ini kalau saya harus memilih satu. Eman-eman! Dengan demikian, pada kelompok ini, bukan memilih yang jadi persoalan, tetapi ketika harus memilih satu, itu yang menjadi masalah.
Pada titiknya, kelompok inilah yang paling banyak mengalami kebingungan dalam memilih. Mereka sering merasa tidak nyaman ketika diajak untuk memilih. Mengapa merasa tidak nyaman? Karena, ada dalam suasana ragu itu sangat tidak menyenangkan. Padahal untuk keluar dari kebingungan itu kita perlu tahu jalan keluarnya. Ya, mirip ada di labirin. Boleh jadi sepanjang hidupnya mereka sering menghindari situasi-situasi yang mengharuskan mereka memilih. Padahal, kalau mau jujur, apa iya bisa begitu terus menerus? Bukankah konon hidup itu adalah pilihan. So....??? Wa Allah A’lambish-shawab.
Depok, Maret
2024