Shakespeare pernah mengatakan, “Apalah arti sebuah nama?” Benarkah? Ruang kelas pelatihan sore itu bergairah dengan tema ini. Mari kita diskusikan barang sedikit. Setiap orang tua akan mencarikan nama terbaik untuk anaknya. Mengapa begitu? Nama adalah doa dan konstruksi harapan. Itulah sejatinya, nama kita adalah doa terindah dari ayah dan ibu. Pertanyaannya sekarang, apakah kita sudah berjuang menggenapkan doa itu? Atau tanpa disadari kita justru seringkali mengkhianatinya?
Mengapa nama harus diperjuangkan? Seperti halnya agama, nama adalah achievement status, pencapaian. Kita harus melakukan banyak hal bila ingin punya nama; kita harus istiqomah pada jalan kebaikan untuk tetap punya nama baik. Ia bukan ascribe status seperti halnya kelompok suku bangsa. Bukankah pada banyak kasus nama baik tidak serta merta terwariskan begitu saja? Bukankah ahli waris harus berjuang sekuat tenaga agar nama baik keluarga mereka tetap dapat dipertahankan?Risalah Nama
Nama adalah title. Judul. Merk. Sebagai salah satu pranata penting dalam
kehidupan seorang manusia, nama merepresentasi makna hidup pemiliknya. Ini
menarik, paling tidak sejumlah hal dapat kita catat. Pertama, nama adalah
produk budaya dan jejak sejarah. Lain tempat biasanya lain pula kecenderungan
dan pola pemberian nama. Ini sangat dipengaruhi oleh kebiasaan dan nilai utama
yang hidup dalam masyarakat. Selain itu, sejumlah pahlawan dan tokoh inspiratif
untuk masyarakat yang bersangkutan besar kemungkinan namanya akan ditiru.
Mereka umumnya menjadi idola karena berbagai macam sebab: keilmuannya,
kharismanya, perjuangannya, keistiqomahannya, atau kesalehannya. Orang tua
berharap anaknya akan memiliki sejumlah sifat yang mereka suka dari tokoh
tersebut.
Kedua,
nama adalah identitas, kebanggaan, dan keunikan yang melekat sampai mati.
Meskipun jumlahnya telah mencapai 6 milyar lebih, belum ada manusia yang diberi
nama dengan deretan angka seperti barcode. Itu menunjukkan, nama inherent dengan keberadaan seseorang. Setelah wajah, inilah yang
lebih dahulu dicari orang dalam semua urusan public: di laman dan papan pengumuman kelulusan ujian masuk apa pun
bahkan pemenang undian berhadiah. Nama itu pula yang nanti tetap akan dipanggil
ketika mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita di hadapan Allah. Masya Allah!
Ketiga, nama adalah pelafalan zaman. Nama anak sekarang bagus-bagus dan saking bagusnya, kita perlu konsentrasi khusus untuk mengucapkannya. Itulah kreativitas zaman meskipun tetap mengacu pada nilai-nilai dasar dan aspek kesejarahan. Bukankah nama berulang dan melintas zaman? Tentu kita masih ingat ada paguyuban para pemilik nama Asep (PAD; Paguyuban Asep Dunia), Sugeng (Paguyuban Sugeng), Agus (AABI: Agus-Agus Bersaudara Indonesia), Bambang (Persaudaraan Bambang Sedunia), atau Endang (JEC: Jogya Endang Club), bukan?
Menyelamatkan Nama
Harimau mati meninggalkan belang; gajah
mati meninggalkan gading. Manusia mati meninggalkan apa? Nama baik, legacy, dan kenangan indah berupa amal
soleh yang tetap bermanfaat untuk kehidupan umat yang sekarang dan yang akan
datang.
Kehidupan berputar dan bergilir. Kini
kita insyafi, nama bukan sekadar reputasi tetapi perjuangan untuk menempatkan sang
empunya pada maqam terbaik. Untuk itu
ada sejumlah hal menarik dapat kita catat. Pertama, setiap orang punya
kesempatan dan hak yang sama mencatatkan namanya di "langit" karena
mencari nama sering diartikan mencari
kemuliaan. Semua orang harusnya termotivasi untuk menjadi makhluk terbaik di
hadapan Sang Maha Pencipta. Sayangnya, tidak semua orang memperoleh
keberuntungan mendapatkan nama baik berupa prestasi hakiki sebagai manusia.
Kedua,
dalam mencari nama, seseorang tidak boleh menenggelamkan dan membuat buruk nama
orang lain, apalagi sampai membunuh karakter orang lain. Kesadaran bahwa kita
sama di hadapan Allah SWT seharusnya memberi ruang kontemplasi yang cukup untuk
mereka yang senantiasa merasa lebih bermakna karena gelar, keturunan, usia, kedudukan,
pendidikan, pengalaman, dan status sosial. Seharusnya, jangan tumbuh anggapan,
mengekploitasi potensi sekeliling itu menjadi sah atas semua predikat yang ada.
Setiap orang boleh berjuang untuk namanya tetapi tetap dalam koridor muamalah
yang baik.
Ketiga,
nama baik adalah pelayanan, pengorbanan, dan proses. Demi menjaga nama,
sejumlah produsen mobil menarik produknya yang ternyata cacat. Dalam konteks
itulah kita mengenal sebutan “produk gagal”. Dengan artikulasi berbeda, untuk
mempertahankan nama baik dan elektabilitas, sebuah partai politik dapat me-recall kadernya yang korupsi dari lembaga legislatif.
Namun, manusia tidak bisa seperti itu. Bila
seseorang “dinilai gagal” menunaikan tugas kemanusiaannya karena menjadi ahli
maksiat dan kejahatan, orang tua tidak mungkin me-recall-nya untuk menjadi tiada. Ia akan tetap hidup dengan harapan
tetap memiliki kesempatan untuk “kembali” ke fitrah penciptaannya sebagai
manusia.
Keempat,
nama baik itu standar moralitas. Tentu kita masih ingat peribahasa ini:
“sekali lancung keujian seumur hidup orang tak percaya”. Nampaknya peribahasa
ini sudah mulai terkoreksi. Mengapa? Buktinya, seberapa banyak orang yang
namanya rusak karena korupsi, berkhianat pada bangsa dan negara, berzina, dan tindak kemaksiatan dan kekejian lain
sekarang masih bisa tersenyum dan dipercaya. Mereka tetap dapat jadi public figure dan pejabat publik.
Masyarakat menerima mereka seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Gejala apakah
ini? Apakah karena masyarakat sudah kehilangan standar nilai dan tidak lagi melihat
keburukan sebagai keburukan ansich tetapi
sebagai sebuah proses? Innalillahi…
Sahabat Sukses yang dirahmati Allah, setiap
orang boleh berjuang untuk namanya. Setiap orang berhak mendapatkan bagian dari
apa yang diupayakannya. Namun demikian, tetaplah menjaga kehormatan diri (al-‘iffah) agar perjuangan mencari nama
dalam perjalanan waktu tidak melayang sia-sia. Bukankah pada akhirnya,
kemenangan akhir (husnul khatimah)
pula yang kita cari?
Wa Allah A’lam bish-shawab.