Ruang kelas adalah panggung untuk guru, dosen, dan trainer. Di ruang itulah, mereka berbagi pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan. Selain itu, mereka juga menyampaikan seperangkat nilai, pemaknaan, dan filosofi dari sejumlah hal yang menjadi subjek pembelajaran. Tentu saja, tidak lupa mereka selipkan motivasi, humor, dan cerita inspiratif di antara antusiasme dan semangat yang muncul dan dimunculkan di dalamnya.
Cerita tentang ruang kelas adalah cerita tentang berbagai kemungkinan relasi dan rasa. Tak kan pernah habis cerita kita tentang ruang itu. Berbagai kenangan tertambat dan abadi di sana: kegembiraan dan keceriaan tentu (seharusnya) mendominasi.Namun, tak urung ada pula kecemasan, ketakutan, dan
juga kekecewaan pernah mewarnai keberadaannya. Perjalanan waktu menjadi saksi
bahwa ada yang datang dan pergi dengan berbagai pencapaian dan prestasi. Bukan
hanya untuk angka tetapi untuk sebuah proses "menjadi" yang unik dan
kian mahal pada setiap pribadi.
Sebagai sebuah entitas dan pranata penting dalam
kehidupan manusia, pendidikan mengalami perubahan dalam pasang surut zaman.
Makna keberadaan dan fungsi ruang kelas pun tidak lagi sama. Ini pasti menarik
untuk didiskusikan karena di ruang itulah pendidikan melangsungkan dan
mengejawantahkan aktivitas utamanya.
Panggung
Kesadaran
Keberadaan ruang kelas adalah sebuah kelumrahan dalam
dunia pendidikan. Aktivitas pendidikan di sekolah dan kampus sebagian besar
dilakukan di ruang kelas, tentu dengan berbagai definisi operasional yang bisa
berbeda untuk tiap unit pendidikan itu. Ruang kelas tidak selalu merujuk pada
batasan fisik dan benda tetapi juga dapat berupa batas imajiner dan abstrak
sesuai kesepakatan.
Mari kita diskusi tentang ruang kelas. Pertama,
ruang kelas yang nyaman dan menginspirasi adalah ruang kelas yang memungkinkan
setiap peserta didik merasa berdaya dan termotivasi untuk menemukan fitur unik
yang telah Allah install dalam dirinya. Ini sebuah proses yang
sesungguhnya tidak sesederhana yang dibayangkan.
Mengapa? Karena pada umumnya, kita belum mendapatkan
asistensi yang cukup oleh lingkungan terdekat untuk mengenalinya sejak dini.
Oleh karena itulah, di ruang itu diperlukan seorang guru yang tidak hanya individualitation
dan responsibility tetapi juga communicator, learner, developer,
dan maximizer.
Setelah itu, di ruang yang sama, pastikan para siswa
merasa tertantang untuk mengembangkan dan menjadikan fitur unik mereka sebagai
dasar aktivitas produktifnya.
Temani mereka menemukan cara agar bakat dominan
mereka menemukan ladang subur dalam seluruh proses belajar yang memang sangat
berbatas waktu. Biarkanlah mereka berproses dengan benar meskipun sederhana.
Bukankah dengan seperti ini setiap peserta didik akan merasakan kemerdekaan?
Kedua,
sebagai panggung, ruang kelas adalah ruang ekspresi atas semangat mencari
kebenaran. Siswa bukan figuran, mereka juga aktor utama. Peran mereka
sama pentingnya dengan guru. Guru dan siswa berbagi peran sesuai porsi dan
kedudukan. Dalam sejumlah pementasan, topeng adakalanya diperlukan.
Namun, topeng tidak sama dengan kepura-puraan. Karena
kepura-puraan hanya akan berjodoh dengan ketidaktulusan. Jadi, jujur dan
hadirlah dengan keutuhan, bukan dengan kepura-puraan. Jalinlah front stage
dan back stage dengan indah dan manis agar panggung menjadi lebih
bermakna.
Untuk para guru, dosen, dan trainer, jangan pernah
lupa. Kita di panggung sekarang. Peran kita telanjang di hadapan semesta. Yang
bersembunyi di balik topeng, akan lelah di tengah perjalanan. Yang
berdusta demi reputasi, akan tenggelam digulung sejarah keserakahan. Sejatinya,
atas amanah mulia untuk menjadi teladanlah mengapa kita berupaya keras agar
jujur dengan kehadiran yang utuh.
Ruang kelas adalah panggung, tetapi bukan panggung
monolog tempat guru tebar pesona dan ngoceh sendiri sejak mulai belajar
sampai bel akhir berbunyi. Ruang kelas adalah sebentuk kehangatan pertemuan
puluhan dunia dan persepsi tentang sesuatu yang penting dibicarakan dan
bermakna untuk kehidupan.
Sebagai ruang dialogis, di situ bertemu dunia lintas
generasi untuk menciptakan berbagai pemahaman dan pemaknaan baru yang
senantiasa menawarkan berbagai optimisme. Bisa jadi, ruang kelas menjadi
benteng terakhir pendidikan, karena di luar sana siswa susah payah mencari
teladan. Oleh karena itu, dialog yang tergelar pun seharusnya dapat saling
membesarkan dan mengapresiasi.
Ceritanya harus happy dan romantis, bukan
horor apalagi tragedi. Bila yang mempertemukan kita hanya kepentingan dan
kebutuhan, adab dan keluhuran budi jadi dongeng semata. Ruang kelas pun mati!
Aku terserang kantuk. Tak terasa hampir 12 purnama
kulukis senyummu di antara topeng, skenario yang belum rampung, properti
seadanya, dan tata panggung sederhana. Ketika cahaya menangkap kegusaranmu,
masa lalu dan mimpi tiba-tiba berkelindan dan kau sembunyi di balik cadar
waktu. Lakon ini terlalu berliku. Tetapi kita tidak pernah berani
mengakhirinya. Ketika penonton terakhir meninggalkan kursinya, aku berbisik
pada Goffman: bolehkah kukawinkan penamu seperti hendak kutawarkan juga pada
Chomsky?
Ketiga,
ruang kelas adalah tempat merayakan kegembiraan dan pencapaian. Siswa tidak
perlu tahu konsep yang kompleks tentang belajar dan mengajar. Yang mereka
butuhkan dan dengan semangat ingin mereka jalani adalah berproses dengan
bahagia dengan segala dinamika pencapaian.
Mereka ingin belajar dengan gembira. Inilah
titik berangkat yang menyenangkan dalam belajar. Kegembiraan dan keceriaan yang
terarah akan membantu kelas menjadi fokus dan kondusif. Jangan rusak suasana
dan kehangatan ini dengan sejumlah ketidaksiapan karena kurang persiapan.
Tidak ada yang lebih menyenangkan dalam belajar
ketika guru dan siswa sudah berada dalam satu frekuensi yang sama. Proses
penyamaan frekuensi menjadi sangat penting dilakukan. Uniknya, tidak ada
resep yang manjur untuk semua situasi dan kondisi. Semua sangat situasional dan
bergantung kepada kepekaan dan ketulusan sang guru dalam membaca kecenderungan
yang muncul di kelas yang dihadapinya.
Untuk itulah pentingnya guru yang memiliki bakat belief,
ideation, learner, adaptability, dan positivity. Mari belajar
memperbesar kesadaran kita sebagai guru, dosen, dan trainer yang mengedepankan
pelayanan dengan cinta.
Mereka anak zaman yang bertemu segala idealisme dan
keluhuran budimu. Mereka tidak sedang bermain-main dengan hidup, tetapi mereka
justru sedang menikmati dan sedang mencari cara, bagaimana mereka hidup. Sosok
dan kehadiranmulah yang menjadi salah satu jawaban penting dalam rentang waktu
yang ada. Itu artinya, engkau harus siap dan berani, juga harus sabar dan
penuh cinta. Hanya dengan itulah, engkau mampu menghidupkan dan menyemarakkan
ruang kelas dengan segala catatan emas dalam merayakan keberhasilan dan
prestasi mereka.
Keteladanan
itu keren
Pendidikan adalah produk dan pranata kebudayaan.
Tidak ada proses berbudaya tanpa belajar. Pendidikan dan sekolah menjadi salah
satu bentuk wujud pemahaman dan kesepakatan tersebut.
Dengan demikian, kita sama-sama dapat menjaga agar
sistem pengetahuan, bahasa, kemasyarakatan, teknologi, sistem mata pencaharian,
sistem religi, dan kesenian sebagai bangsa dapat terwarisi dengan baik kepada
mereka yang hadir setelah kita dan akan melanjutkan perjuangan.
Oleh karena itu, pertama, kurikulum
boleh berganti. Pendekatan, metode, dan teknik bisa bertukar dan direvisi
setiap saat. Namun, guru tidak (boleh) mati. Guru menjadi nadi pendidikan.
Begitu sentral dan pentingnya peran dan kedudukannya, guru harus terus tumbuh
bersama perubahan yang terjadi. Kalau pun pada akhirnya guru tidak bisa dan
tidak mampu bersaing dengan perubahan itu, setidaknya ia mampu menjadi pemberi
makna pertama di ruang kelas. Bukankah dengan demikian para siswa merasa
ditemani dan diasistensi dengan baik dalam kesubliman mereka dalam zaman serba
instan ini?
Tidak ada yang abadi di dunia ini, kecuali perubahan.
Oleh karena itu, guru yang tidak mau berubah akan menjadi fosil (tetapi tidak
akan berubah menjadi minyak sampai kapan pun) dan ditinggalkan. Kalau guru slow
respon terhadap perubahan yang ada maka ia akan digulung oleh perubahan
tersebut.
Oleh karena itu, tidak ada cara lain, guru harus
berubah dan menginisiasi perubahan dengan baik dan terencana kalau tidak ingin
ditinggalkan dan ditenggelamkan oleh perubahan itu sendiri. Namun ingat, yang
berbahaya dalam zaman serba cepat ini adalah mereka yang tidak mau berubah dan
yang selalu berubah-ubah.
Memaknai relasi kemanusiaan dalam bingkai pendidikan
sangat menarik. Seorang guru dengan segala kelebihan dan keterbatasannya adalah
pribadi yang secara sadar menyediakan kelapangan hati untuk bertemu dan
menerima kehadiran para siswanya dengan berbagai karakter.
Ia harus tampil bukan sebagai dirinya yang lain
tetapi hadir dalam seluruh sisi terbaik yang Allah titipkan. Ia tidak harus
hadir sebagai orang lain tetapi senantiasa berusaha meruang dalam semua bentuk
perjumpaan proses belajar mengajar.
Kedua, ketika perubahan teknologi informasi tidak dapat dicegah, maka ada kesadaran yang harus diterima: guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber pengetahuan dan informasi. Kemampuan dan kecepatan para siswa untuk mengakses informasi harus mampu dijadikan sebuah keberkahan. Jangan jadikan itu sebagai pesaing (karena kita tidak akan mampu) tetapi mari jadikan sebagai berkah zaman. Pergunakan itu sebagai penguat apa yang dengan segala cinta kita hadirkan untuk mereka.
Justru di sinilah kebutuhan akan guru kembali
menguat. Mereka bisa saja tersesat dan kehabisan umur tanpa tujuan bila tidak
dibimbing mempergunakan segala kemudahan dan fasilitas itu. Transformasi
pendidikan tidak lagi menerima guru yang hanya mampu mentransfer pengetahuan
dan informasi.
Mereka dituntut naik kelas menjadi pendidik. Mengapa
begitu? Kalau hanya itu pekerjaan guru, sudah lama para siswa akan eksodus
meninggalkan ruang kelas karena mereka mampu mendapatkan apa yang
diinformasikan sang guru lebih cepat dan lebih lengkap dari google. Oleh
karena itu, semua pasti sepakat, untuk mengajarkan ilmu, guru dan ruang kelas
cukup. Tetapi untuk menanamkan keimanan dan keadaban, perlu pendidik dan
keteladanan.
Ketiga, jangan
mengartikulasikan sesuatu yang sama berulang-ulang dan dengan cara yang sama
pula. Bukankah rasa bosan telah menjadi teror dan hantu nomor satu di ruang
kelas? Oleh kerena itu, cari dan temukanlah sesuatu yang baru. Yang segar
dan kontekstual untuk topik yang dibicarakan. Cari dan temukan pula cara
penyampaian yang berbeda.
Artikulasikan dan ekspresikan apa yang ingin dan
perlu disampaikan dengan cara yang keren karena mereka adalah anak-anak yang
keren. Bukankah kita juga guru, dosen, dan trainer yang keren?
Referensi dan diskusi boleh saja kita miliki, tetapi
ruang kelas adalah soal keyakinan dan suasana. Yang mampu menghidupi dan
memaknainya adalah mereka yang hadir seutuhnya. Siapa lagi kalau bukan
guru inspiratif yang mendidik sepenuh hati. Orang boleh berteori panjang lebar
soal bagaimana mengelola kelas yang efektif dan produktif, tetapi guru yang
senantiasa mengartikulasikan setiap materi pelajaran dengan penuh cinta tidak
akan kekurangan cara untuk menyapa dan menyentuh hati para siswanya.
Semoga kesempatan
berbiak di ruang-ruang kelas pada satu episode waktu selalu menjadi energi
untuk tetap berkontribusi pada peradaban. Mari belajar memaknai setiap
artikulasi keteladanan sehingga ia pantas menjadi representasi dari apa yang
mampu kita genapkan. Semoga Allah ridho dengan segala perjuangan ini. Aamiin. Wallahu a’lam bi al-shawab.