Anda pernah membaca rambu itu di jalan raya? Apa yang terbayang? Apa yang Anda lakukan setelah membacanya? Dalam pemahaman umum, pemasang rambu ingin kita menjaga jarak antarkendaraan agar bila terjadi sesuatu tetap ada dalam radius aman.
Lalu, mengapa di ruang kelas ini kita membahas rambu lalu lintas itu? Apa perlunya? Ternyata, rasa aman tidak hanya kita butuhkan di jalan raya, tetapi juga dalam sejumlah aspek kehidupan kita, termasuk di ruang kelas. Siapa yang sudah merasa aman? Siapa pula yang ragu kalau dirinya sudah aman? Atau Anda lebih memilih nyaman daripada aman? Mari kita diskusi.Aman dalam Kenyamanan
Mana yang cenderung Anda pilih: aman atau
nyaman? Apakah ada yang aman tetapi tidak nyaman? Atau sebaliknya? Kenyamanan seringkali
memberikan ruang kreatif yang maksimal kepada mereka yang menyadarinya. Tetapi,
kenyamanan tidak selalu identik dengan rasa aman. Lho? Apakah ada kenyamanan
yang tidak aman? Ada.
Pertama,
nyaman dalam kesubliman yang menipu. Kesubliman
kita pada dunia adalah fitrah. Kemampuan untuk berjarak dengan dunia pun juga fitrah.
Mengapa? Karena kita adalah juga makhluk ruhani (QS.Shaad [38]: 71-72). Sebagai
makhluk ruhani, kita berkemampuan untuk mengambil jarak itu. Kemauan dan kemampuan
itu harus terus kita pupuk dan pelihara agar terhindar dari penyakit hubbuddunya.
Rasulullah pernah mengatakan sesungguhnya di antara yang paling aku takutkan
atas kalian sepeninggalku adalah ketika dibukakan atas kalian keindahan dunia dan
perhiasannya. Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (HR. Bukhari dan Muslim).
Jadi, wajar bila Ali bin Abi Thalib memperingatkan kita, "Kuasai dunia dan
pimpinlah dia. Letakkan dia di tanganmu tetapi jangan menyimpannya di hatimu!"
Kedua, nyaman
dalam persekutuan yang membutatulikan. Bermasyarakat dan berkumpul adalah fitrah
kemanusian. Persekutuan yang diridhoi Allah adalah ketika kita bersama
orang-orang yang benar (saleh) (QS. At
Taubah [9]: 119). Yaitu, mereka yang beriman kepada Allah dan hari penghabisan, menyuruh kepada yang ma'ruf,
dan mencegah yang munkar dan bersegera mengerjakan berbagai Kebajikan (QS. Al-Imran [3]: 114).
Namun, tidak semua persahabatan dan perkumpulan
membawa kita pada titik itu. Sangat mungkin, kita bertemu atau bahkan asyik masyuk
pada persekutuan yang diam-diam atau bahkan terang-terangan mengajak kita pada kecenderungan
selain Allah. Untuk yang satu ini, mari kita ambil jarak, siapa pun yang mengajak,
karena Allah sudah menggariskan:...jangan
tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran karena sesungguhnya siksa Allah
amat berat(QS. Al-Maidah [5]: 2).
Ketiga, nyaman
dalam kemaksiatan yang menjerumuskan. Bila seorang mukmin berbuat satu dosa, maka hatinya ternoda hitam. Bila dia bertobat,
hatinya akan kembali bersih. Namun, bila melakukan dosa lagi, noktah itu pun
bertambah hingga menutupi hatinya (HR Tarmidzi). Kegelapan apa yang lebih pekat
daripada hati seorang pendosa? Itulah kegelapan yang sempurna. Celakanya, bila kesombongan
senantiasa menghibur, bertambah lamalah ia dalam dunia tanpa cahaya. Nauzubillahi min zalik.
Memperjuangkan Cinta
Kemauan untuk bangkit senantiasa diberikan
ruang oleh Allah. Perjuangan menjadikan sebuah kenyamanan tetap dalam koridor aman
akan dimudahkan. Sekarang, mari kita melangkah.
Pertama, ambillah
jarak dan keluarlah. Mari kita hampiri dunia dalam jarak aman dan nyaman. Anda akan
lebih utuh dan objektif memandang dunia (organisasi, perusahaan, masyarakat)
Anda pada jarak tertentu. Sudut pandang itu memungkinkan kita untuk dapat memilih
strategi terbaik. Yang sublim biasanya sulit untuk menilai. Kesubliman tidak selalu
berbanding lurus dengan apresiasi dan rasa syukur. Rasa syukur yang benar adalah
tindakan nyata, gerak perbaikan, dan karya inovatif. Mari syukuri kesubliman
yang tetap memberi ruang kritis demi kreativitas.
Kedua, belajarlah
untuk berjarak. Larut pada banyak situasi dan relasi seringkali membuat kita tidak
punya kesempatan untuk menggenapkan mimpi sendiri. Benarkah hidup kita hanya akan
menjadi bagian dari perwujudan impian orang lain? Tentu tidak. Kita ingin menjadi
aktor dalam semua kapasitas dan kapabilitas yang paling mungkin. Belajarlah berjarak
dalam ketawadukan dengan tetap respek kepada semua orang yang bermakna dalam hidup
kita. Bukankah cinta adalah ruang maha luas untuk setiap pribadi menjadi yang
terbaik di bidang dan tempat yang paling diminatinya? Kehormatan tidak terletak
pada larut dalam kesetiaan yang menjemukan tanpa pilihan tetapi ruang dialog
yang cerdas untuk tumbuh dalam semua kemungkinan fitrah kemanusiaan. Biarlah kita
tumbuh dalam sikap kritis yang membangun untuk berkarya daripada tetap ada dalam
kepengapan sikap seolah-olah dan cenderung hipokrit.
Ketiga, perjuangkan
cinta untuk keberkahan. Relasi antarinsan dengan jarak aman dan nyaman akan memberikan
ruang privasi yang cukup kepada setiap pribadi untuk berkembang dengan maksimal
secara sosial dan psikis. Kemampuan kita untuk “keluar-masuk” pada jarak aman itulah
yang justru akan memperkaya kita dengan kerinduan dalam kewajaran. Ya, jarak akan
memberikan kita kesempatan merasakan kembali rasa itu: rindu. Mari kita perjuangkan
jarak aman itu tidak hanya sebatas nyaman tetapi juga untuk cinta. Dengan itulah
kita belajar istiqomah dengan apa yang dulu kita komitmenkan dengan penuh kesadaran.
Bukankah Anda juga ingin punya rasa rindu yang wajar dan manusiawi? Untuk itu,
mari kita perjuangkan jarak aman, jarak nyaman, dan jarak cinta untuk keberkahan.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Depok,
Maret 2024