“Aku gak keberatan dan bahkan
senang kalian memiliki penghidupan yang lebih baik hari ini. Punya penghasilan
tinggi sekarang. Tetapi, meskipun begitu, mbok
ya…jangan jumawa,” begitu nasihat seorang mentor ketika kami mengadakan pelatihan
di Lombok pada 2012.
“Aku gak mau kamu kehilangan
kerendahhatian, Zal, apa pun pencapaianmu,” begitu nasihatnya menutup sesi sharing
siang itu.
Aku tersentak. Betapa tidak. Contoh yang
diangkatnya sebagai ilustrasi ada di depan mata. Nyata. Walau pun diliputi rasa
tak percaya, tak urung aku merenung. Apa sesungguhnya kerendahhatian itu?
Mengapa orang pada saat tertentu dapat kehilangan sikap itu? Bagaimana agar
sikap itu tetap dapat kita pertahankan dalam diri?
Candu Reputasi
Webster’s
New World Dictionary of The American Language (1970)
memaknai humble (rendah hati) sebagai
having or showing a consciousness of one's defects or
shortcomings not proud;
not self-assertive;
modest. Sedangkan Webster’s New Dictionary of Synonyms (1973)
menambahkannya dengan it also be applied
to homes, occupations, interests, and ways of life. Sikap tidak sombong, tidak menonjolkan diri,
dan sederhana ternyata sangat dibutuhkan di rumah, kantor, organisasi, dan
sebagai sikap hidup.
Lalu, mengapa pada banyak kesempatan kita
seperti kedodoran mempertahankan kerendahhatian itu? Paling tidak ada sejumlah
sebab. Pertama, kebanggaan yang menyesatkan. Setiap manusia memiliki
“keterikatan psikologis” pada titik berangkatnya. Proses “menjadi” telah menempatkan manusia
pada begitu banyak posisi dan pencapaian. Selisih pencapaian antarorang per
orang itulah yang tanpa disadari terkomparasi. Bila tidak hati-hati, maka
selisih itu yang pada gilirannya menggoda kita untuk mulai tepuk dada. Padahal,
Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong dan membanggakan diri (QS. An-Nisa’ [4]: 36, Luqman [31]: 18, dan
Al-Hadid [57]: 23).
Kedua,
hati yang lebih cenderung dan berorientasi pada dunia. Memang, siapa yang
berani menyangkal keindahan dunia ini? Tetapi, siapa pula yang berani berkata
tidak padanya? Hanya mereka yang beriman paripurnalah yang senantiasa mampu
menjadikan dunia ini sebagai sarana untuk membangun akhiratnya. Merekalah yang
telah belajar bersikap dengan benar terhadap dunia. Merekalah yang tetap
memelihara akhlaknya kepada Allah meski reputasi, prestasi, dan pencapaian dunia
menggodanya sedemikian rupa karena mereka sadar, itu hanya sementara dan fana. Ibnu
Umar berkata, suatu hari Rasulullah SAW
pernah berdekatan dan memegang pundakku
sambil bersabda,”Jadilah engkau di dunia ini seolah-olah orang asing atau seperti
orang yang menyebrang jalan karena Cinta
kepada dunia merupakan pangkal dari segala kesalahan dan kejahatan”.
Ketiga,
niatnya memang bukan kolektif, tetapi individual. Ketika pencapaian diperoleh
atas dasar selalu berusaha tampil manis dan bernas di hadapan pimpinan, maka
seseorang tak segan menggunakan otak, cara pandang, dan pendekatan orang lain
untuk itu. Ia pandai memanfaatkan segala situasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi
dan namanya sendiri, meskipun mulanya sejumlah program itu digembar-gemborkan sebagai
sesuatu yang komunal dan kolektif. Kalau pun gagal, ia akan mengalamatkan
kegagalan itu pada progres kolektif dan situasional. Ia tidak terlalu peduli,
karena secara pribadi, ia telah mendapatkan sesuatu dari apa yang dilakukannya.
Tidak semua orang punya kemampuan ini. Menarik, bukan?
Oase Silaturahim
Pencapaian dan prestasi adalah ranah
sosial. Bagaimana mungkin kita bisa mengukur prestasi tanpa relasi komunal?
Kondisi lebih dan kurang dalam satuan bersamalah yang pada akhirnya terkukuhkan
menjadi reputasi dan pencapaian. Namun, apa gunanya semua itu kalau pada
akhirnya justru menjauhkan kita dari makna persaudaraan yang sesungguhnya?
Setidaknya ada tiga hal menarik untuk
dicermati. Pertama, tetap menyadari bahwa apa pun pencapaian dan prestasi
kita bukanlah produk individu. Kita tidak bisa meraih apa pun sendiri. Kita
butuh orang lain, siapa pun itu. Kita butuh silaturahim. Maka ketika gelombang
dahsyat bernama kesombongan datang mendompleng pencapaian itu, ada baiknya
cepat-cepat kita kembali. Jangan beri kesempatan semua itu merongrong
kebersamaan dan rasa nyaman.
Seorang peserta pun sharing
di ruang kelas. Dulu, ia punya seorang teman. Suatu ketika, yang bersangkutan
dapat promosi untuk menjadi direktur di salah satu sekolah tinggi di sebuah
kota. Karena merasa akan men-set-up kampus dari awal, maka ia sibuk
meminta sejumlah konsep pengembangan kurikulum, pola pembinaan mahasiswa, dan sejumlah best practice yang
bisa diterapkannya di kampus baru tersebut dari sejumlah orang. Singkat
cerita, yang bersangkutan sukses menjadikan sekolah tinggi itu seperti yang diinginkan
ownernya. Ia pun semakin naik daun dan bergelimang kebanggaan. Seiring dengan
membanjirnya pujian dari para stakeholder, tenggelam jugalah
jalinan silaturahimnya dengan orang-orang yang dulu sudah memberikannya
sejumlah “bekal” ketika ia hendak berangkat. Ia lupa diri, bahkan kini ia berani
menyebut karier sang mentor mandeg dan tidak berkembang.
Kedua, perlunya
menjaga keseimbangan. Ketika silaturahim
mulai terusik, itulah kesempatan untuk kembali.
Ketika keseimbangan terkoyak, itulah waktunya kita memaknai ulang nikmat Allah
dengan cara yang benar.
Barangkali
kita masih ingat, apa yang dikemukakan Brian Dyson, tentang keseimbangan hidup.
Menurutnya, hidup seperti pemain akrobat dengan lima bola. Bola itu mewakili pekerjaan,
keluarga, kesehatan, sahabat, dan semangat.. Kita harus tetap menjaga semua
bola itu di udara dan jangan sampai ada yang terjatuh. Bila satu saat, kita terpaksa
harus melepaskan salah satu di antaranya, lepaskanlah pekerjaan karena ia adalah bola karet. Bila jatuh, ia akan
melambung kembali. Namun, keluarga, kesehatan,
sahabat, dan semangat adalah bola kaca. Jika jatuh, mereka akan hancur
berantakan. Jangan kecewakan keluarga dan sahabat hanya demi menjaga gengsi
reputasi. Mereka tidak pantas menerima wajah kesombongan kita, Sahabat. Rasulullah
pun mencontohkan, bila ingin sukses milikilah sahabat. Bila satu saat mereka merasa tidak nyaman, itulah signal
agar kita cepat-cepat kembali.
Ketiga,
berangkatlah dari niat yang tulus. Ketulusan itu urusan hati, bukan otak
semata. Mereka yang tulus adalah yang tidak selalu berusaha memonetisasi semua
relasi yang muncul dalam aktivitas kerja bersama. Mereka tidak sedang membangun
image dengan memanfaatkan posisi dan predikatnya dalam sebuah
organisasi. Kedengarannya naif, ya? Tetapi, zaman sekarang, memanfaatkan posisi
dan situasi telah dianggap lumrah, sehingga mereka yang tidak melakukannya dianggap
naif dan bahkan bodoh.
Mereka yang “cerdas” (atau licik?) akan
senantiasa memperjuangkan nama dan reputasi pribadinya atas dasar itu semua. Apalagi
kalau ia beruntung mendapatkan kesempatan ada di situasi symbiosis mutualisme,
maka ia akan dengan leluasa memainkan perannya. Apakah ia bersalah? Tidak. Dia
betul. Dia tidak berbohong. Dia hanya tidak menceritakan semuanya karena tidak
ada yang pernah bertanya. Tetapi, apakah kalau ditanya ia akan cerita jujur?
Belum tentu. Karena ia ingin menikmati keberhasilannya menguasai hati banyak
orang yang merasa kagum dengan apa yang dilakukannya meskipun sejatinya itu
sebuah kelumrahan transaksional.
Akhirnya, sesi
berbagi hari itu memberikan kesempatan kepada semua peserta untuk sama-sama insyaf, apa pun
pencapaian kita hari ini jangan sampai membuat kita kehilangan kerendahhatian.
Kita tidak akan sampai pada titik yang sekarang tanpa proses, tanpa sejumlah
orang yang pernah bersama kita dan memberikan sentuhan suksesnya untuk kita. Siapa
yang merasa istimewa dan membanggakan diri akhirnya terlalaikan dan
terjerembab. Dia yang rendah hati dan terus berjihad dalam ketawadhuan akan
memperoleh janji Allah. Mari kita ingat pesan Rasulullah,”Tidak akan berkurang
harta seseorang dengan bershadaqah, tidak akan bertambah maaf dari Allah kecuali
kemuliaan, dan tidak ada sikap rendah hati seseorang pada Allah kecuali akan ditinggikan
derajatnya (HR Muslim). Wallahu a’lam bi
al-shawab.
Depok,
Maret 2024