Suatu hari, saya bercerita kepada salah seorang kolega yang juga seorang faculty member, bahwa tadi saya menegur dan memperingatkan satu kelas karena mereka asyik sendiri dengan laptop dan hp sementara empat orang teman mereka sedang presentasi. Saya katakan, alangkah sedihnya bila kita sedang presentasi tapi tak seorang pun yang memperhatikan. Pada gilirannya, tidak ada yang antusias bertanya dan mengajukan pendapat. Saya ingatkan, bahwa menghormati dan menghargai teman-teman kita yang dapat giliran presentasi adalah bagian penting yang harus kita terapkan di kelas.
Mendengar hal itu, kolega saya terkejut. Saya lebih terkejut lagi
melihatnya terkejut. Lalu, dia mengatakan,”Nah, itu yang selalu saya hindari.
Saya berusaha untuk tidak sampai mengatakan hal seperti itu di kelas karena
khawatir nanti suasana belajar menjadi tidak enak seterusnya. Jadi tidak
nyaman.”
Namun, selama ini, tidak sedikit kelas yang saya tegur ketika beberapa
orang mengganggu proses belajar mengajar atau mengabaikan keterlibatan aktif
ketika belajar. Teguran, peringatan, atau nasihat yang saya sampaikan sesungguhnya
untuk mereka juga. Sebagai mahasiswa semester satu, mereka memang harus
dibentuk dengan budaya belajar yang selama ini sudah baik. Mereka berhak
mendapatkan asistensi dalam membentuk budaya belajar di perguruan tinggi sejak
awal. Saya yakin, mereka menyadari bahwa apa yang saya sampaikan bertujuan baik
untuk semua. Saya juga yakin, bila kita tulus dalam menegur, maka mereka akan
mengerti. Sesuatu yang lahir dan hadir dari hati, insya Allah akan diterima
juga dengan sepenuh hati.
Ternyata betul. Ketika saya masuk ke kelas tersebut di pekan berikutnya,
suasana presentasi jadi sangat hidup. Mereka berubah. Tidak ada satu pun yang
buka laptop dan hp bila tidak ada hubungannya dengan proses presentasi dan
diskusi. Antusiasme mereka dalam bertanya dan membantu kelompok yang sedang
presentasi juga sangat terlihat. Alhamdulillah. Ternyata, teguran yang saya
sampaikan berbuah positif. Mereka mampu menciptakan suasana presentasi dan
diskusi yang kondusif dan hidup di kesempatan setelah itu, bahkan melebihi
antusiasme kelas lain yang sejak awal sudah kondusif.
Kesan Pertama
Bounding pada pertemuan pertama adalah sesuatu yang sangat
penting dan menentukan. Pertemuan pertama sebaiknya tidak hanya diisi dengan
memperkenalkan diri, menjelaskan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) atau
RPS (Rencana Pembelajaran Semester), dan aturan main atau tata tertib
pembelajaran. Tetapi, penting juga berkenalan lebih dekat dengan mereka secara
pribadi. Oleh karena itu, saya biasa memanfaatkan pertemuan pertama untuk touch
mereka satu persatu. Ini satu kesempatan yang sangat menyenangkan dan menenangkan.
Satu hal yang nampaknya akan memberikan kesan “dekat” dengan mereka:
jika kita hafal nama mereka satu persatu. Sebagaimana juga kita akan senang
bila seseorang yang kita hormati kenal dan hafal nama kita. Mereka pun
demikian. Bahkan karena saya berusaha hafal nama semua mahasiswa di semua
kelas, mereka merasa tidak enak bila “macam-macam”. Bila dalam menerangkan dan
berinteraksi di kelas kita kerap memanggil dan menggunakan nama-nama mereka
sebagai contoh, akan menciptakan suasana nyaman dan akrab.
Ekspresi perhatian kita kepada mereka secara personal salah satunya
adalah dengan berusaha mengenal dan menghafal nama mereka. Saya ingat,
membangun kedekatan seperti ini dalam sebuah penelitian antropologi dikenal
dengan istilah rapport. Ketika akan diterjunkan oleh Prof. Parsudi
Suparlan ke Babo, Manokwari, Irian Jaya pada 1997 (sekarang Papua Barat),
pendekatan ini menjadi salah satu yang ditekankan beliau untuk terus dipelajari
dan dipahami karena saya akan tinggal bersama penduduk lokal untuk waktu yang
cukup lama. Membangun rapport adalah modal dasar yang harus saya miliki
agar proses penelitian dapat berjalan lancar. Ternyata, istilah rapport
juga digunakan Neuro Linguistic Program (NLP) sebagai salah satu “tool”
untuk memulai komunikasi dan menjalin hubungan, terutama dengan orang yang baru
dikenal.
Kedekatan tersebut harus terus dipupuk dan dirawat setiap pertemuan
dengan mereka di kelas dan di luar kelas. Oleh karena itu, setiap memulai
belajar, saya selalu mengajak mereka berdoa dan bersyukur atas umur panjang,
kesehatan, dan kesempatan yang sudah diberikan Allah. Selain itu, mereka selalu
saya ajak mendoakan kedua orang tua yang telah memberikan kasih sayang dan
banyak berkorban untuk mereka sampai hari ini. Dengan demikian, saya ajak
mereka untuk senantiasa ingat, bahwa ungkapan rasa terima kasih mereka hari ini
kepada orang tua adalah prestasi terbaik yang mampu mereka persembahkan.
Sejuk dalam Keragaman
Sejatinya, semua ruang kelas adalah heterogen. Tidak akan pernah ada
satu kelas homogen seutuhnya. Mengapa? Di sekolah negeri, suasana dan
karakteristik heterogennya sangat terasa. Di sekolah itu berkumpul mereka yang
berasal dari kelompok sosial, suku bangsa, tingkat pendidikan, agama, dan
wilayah tempat tinggal yang beragam. Mereka yang bersekolah di sekolah negeri
pasti sangat merasakan suasana plural itu dalam kelas dan lingkungan sekolah
secara umum. Oleh karena itu, mereka yang sekolah di situ sudah terbiasa hidup
di lingkungan yang sangat beragam.
Lalu, bagaimana dengan sekolah swasta atau pondok? Apakah sekolah tersebut dapat dikatakan
sebagai sekolah yang homogen? Ternyata tidak demikian. Mereka juga beragam
karena para muridnya berbeda pola asuh dalam keluarganya, tingkat status sosial
dan pendidikan keluarganya, kelompok suku bangsanya, minatnya, dan asal
wilayahnya. Jadi, meskipun guru mengajar di pondok yang santrinya banyak
berasal dari kelas menengah perkotaan, tetap saja kelasnya beragam, karena
mereka berasal dari kelompok suku bangsa, keluarga, dan pengalaman yang
berbeda. Dengan demikian, guru harus mempersiapkan diri untuk bertemu dengan
kelas heterogen dalam sejumlah aspek seberapa pun klaim homogen disematkan.
Dalam konteks ini, Clyde Kluckhohn, seorang antropolog Amerika,
mengusulkan agar para guru menghadapi setiap siswa di kelas sebagai kepribadian
yang terintegrasi. Mereka harus mengakui adanya perbedaan budaya dan setiap
nilai dapat ditelaah secara kritis di sekolah, sebagaimana di rumah atau
gereja. Oleh karena itu, guru harus mendesain kurikulum yang berakar pada
"potensi" kepribadian siswa yang mengakomodasi pertumbuhan
kepribadian siswa. (Nash dalam Spindler,
1974:11).
Kesempatan bertemu dengan murid, mahasiswa, trainee, atau coachee
dari berbagai kelompok etnis dan agama itu merupakan sebuah pengalaman menarik.
Sejumlah dialog dan diskusi cerdas dan inspiratif tidak jarang mewarnai
perjumpaan itu. Insight atas pertemuan antarkelompok etnis dan agama itu
bukan saja menjadi berkah untuk seorang guru, dosen, trainer, atau coach
sehingga semakin kaya pengalaman dan pemahaman. Untuk seorang murid, mahasiswa,
trainee, atau coachee akan menjadi pengalaman yang sangat penting
untuk bisa hadir di semua suasana keberagaman yang pasti mereka temui dalam
setiap langkah kehidupan.
Seorang mahasiswa bercerita. Dia anak pertama dari tiga bersaudara yang
semuanya perempuan. Mereka tinggal di Surabaya. Ayahnya seorang Ambon; ibunya
dari Tanah Toraja (Tator). Keluarganya mengembangkan pola komunikasi unik. Sang
Ayah dalam setiap peristiwa tutur (kepada ibu, dia, dan adik-adiknya) menggunakan
bahasa ibunya, yaitu bahasa Ambon. Uniknya, ibunya pun tetap berbahasa Tator
baik ketika berkomunikasi dengan ayah, dia, dan adik-adiknya. Yang lebih unik
lagi, meskipun ayahnya berbahasa Ambon dan Ibunya berbahasa Tator, justru dia
dan adik-adiknya harus berkomunikasi kepada keduanya dengan bahasa Jawa.
Ada lagi yang unik. Ayahnya dari Ketapang dan berbahasa Tiochiu,
sedangkan ibunya asal Jambi berbahasa Khek. Ketika ditanya apakah ia menguasai
kedua bahasa tersebut, ternyata ia hanya bisa mengerti bahasa ibunya tanpa bisa
menuturkannya. Mengapa begitu? Ia sering mendengar dan melihat ibunya
menuturkan bahasa Khek bila berkomunikasi dengan keluarga neneknya. Ia sering
berada dalam speech event yang mempergunakan bahasa itu di keluarga
besar ibunya. Tetapi, ia tetap menuturkan bahasa Indonesia di rumah, karena dituntut
demikian.
Ada juga mahasiswa yang ayahnya kelahiran Palembang berbahasa Khek dan
ibunya kelahiran Manado berbahasa Hokkian. Ia tidak bisa kedua bahasa tersebut,
karena ia lahir di Jakarta dan sejak kecil ia tidak pernah mendengar sedikit
pun ayah dan ibunya berkomunikasi dalam bahasa ibu mereka. Justru keduanya
sepakat untuk menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari mereka di
rumah. Akhirnya, ketika ditanya apakah ia menguasai bahasa ibu kedua orang
tuanya atau salah satunya, ia hanya tersenyum dan mengaku sebagai penutur
bahasa Inggris sejak kecil.
Faktanya hari ini, jutaan anak Indonesia memang tidak lagi bisa
berbahasa ibu keluarga mereka. Jangankan yang ayah ibunya berbeda kelompok suku
bangsa, yang suku bangsanya sama pun demikian. Tidak sedikit keluarga Indonesia
yang tidak lagi memandang penting penguasaan bahasa daerah, sehingga mereka
tidak merasa berkewajiban untuk memperkenalkan, mengajarkan, atau menjadikannya
sebagai sarana komunikasi sehari-hari di rumah. Berapa banyak murid yang kedua
orang tuanya bersuku bangsa Jawa, Sunda, Palembang, Minang, Batak, Bugis, Bali,
Sasak, Madura, Aceh, Tolaki, atau Betawi yang tidak lagi mampu menuturkan
bahasa ibu mereka. Generasi Z menjadi gagap ketika ditanya perihal yang satu
ini. Mereka telah menjadi generasi Indonesia yang mengglobal.
Fenomena kebahasaan yang unik di keluarga Indonesia saat ini menjadikan
suasana heterogen di ruang kelas menjadi sesuatu yang nisbi. Secara formal
kelas bisa saja terdiri atas murid dengan latar belakang kelompok suku bangsa
yang berbeda, tetapi mereka bukanlah kelompok suku bangsa itu. Mereka tidak
lagi bisa berpikir dengan bahasa daerah. Sejumlah anggapan yang melihat bahasa
daerah sebagai simbol keterbelakangan, tidak gaul, dan kalah saing dengan
bahasa nasional telah membuat bahasa daerah semakin tersingkirkan. Akhirnya,
ruang kelas kita hari ini adalah ruang kelas dengan artikulasi “zaman now”.
Murid dan mahasiswa hadir sebagai generasi global Indonesia meskipun secara
administratif mereka merupakan anak dari para orang tua yang masih mengaku
sebagai bagian dari kelompok suku bangsa tertentu.
Kelompok etnis, karakter, dan latar belakang keluarga telah membentuk
para murid, mahasiswa, atau trainee kita. Mereka tidak hadir di kelas
dari kesenyapan, tetapi jelas membawa jejak-jejak perbedaan itu dengan tegas.
Guru, dosen, atau trainer yang hanya siap mengajar tetapi abai akan keunikan
setiap murid tidak akan bertemu apa-apa di kelas kecuali kekosongan jiwa dan
kepura-puraan para muridnya. Tetapi, guru yang siap untuk menjadi pendidik,
pelatih, pengayom, dan pengasuh di tengah keberbedaan dan keragamanlah yang
akan menemukan hamparan lahan subur untuk disemai, ditanami, dipupuk, dan
dipanen. Sia-sia mengharapkan kelas yang sepenuhnya seragam karena memang tidak
akan pernah ada selama-lamanya. Lalu, bukankah justru di kelas yang beragam
dengan segala dinamikanya kita akan teruji sebagai guru, dosen, atau trainer
yang baik? Bukankah justru di ruang kelas seperti itulah kepiawaian kita dalam
mengelola kelas menjadi teruji dan terasah?
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Depok,
Juli 2024