"Ciek, duo, tigo, ampek!" Seru Sutan di depan kelas.
"Eh, Sutan,
pelan-pelan, dong...!" Teman-temannya protes.
"Oke... Nah, gini.
Angkat tangan kanan, telapaknya mengepal. Kemudian digerak-gerakkan sambil
menyebutkan angka ini...Ciek, Duo, Tigo, Ampek. Kemudian ganti tangan kiri,
digerakkan juga seperti tadi. Setelah itu, kaki kanan digerakkan seirama ucapan
kita. Terakhir kaki kiri diiringi ucapan yang sama. Bisa, kan?"
"Ayo, kita coba!" ujar
Nathan.
"Ayo...kayaknya mudah," timpal
Daniel.
"Oke...siap, ya?"
"Kita mulai dari tangan kanan...ciek, duo, tigo, ampek. Tangan kiri, ciek, duo, tigo, ampek. Kaki kanan, Ciek, duo, tigo, ampek. Kaki kiri, ciek, duo, tigo, ampek. Baguuuss...!" Sutan tepuk tangan
"Ha ha ha....," sekelas
tertawa.
"Naaah, sekarang kita ulangi
gerakan yang tadi, tapi hitungannya sampai duo saja...ciek, duo. Setelah
selesai, kita ulangi satu set gerakannya, tapi kali ini hanya ciek saja.
Oke, ya?"
"Siaaaap!" Serentak kelas
bersuara. Mereka semangat sekali.
"Siaaaappp! Ciek, duo,
tigo, ampek...ciek, duo, tigo, ampek. Ciek, duo...ciek duo... ciek...ciek...ciek...ciek....!!”
"Ha ha ha...seruuu!! Tengkiyu,
Sutan...!” Tepuk tangan pun bergemuruh.
Begitulah, pagi itu kelas Civilazation
of Pluralism semarak. Sejumlah mahasiswa maju mewakili kelompok sukunya
masing-masing: Aceh, Batak, Minang, Palembang, Sunda, Betawi, Jawa, Bugis,
Ambon, Lombok, dan yang tak kalah seru adalah para mahasiswa keturunan
Tionghoa. Mereka sangat antusias. Mereka senang sekali. Sebagian dari mereka
maju mewakili para penutur bahasa Hokkian, Khek, dan Tiochiu.
Pokoknya, pagi itu, mereka mengenal
keunikan dan kekayaan kelompok suku bangsa di Indonesia dalam pokok bahasan “Ethnic
Diversity and National Integration” melalui permainan menyebutkan angka.
Bahkan ketika waktu selesai, mereka masih ramai bercanda...
"It Ji Sa Si!"
"Hiji, Dua, Tilu,
Opat!"
"Jit, Nyi, Sam, Shi!"
Mengapa permainan ice breaking
sesederhana itu menjadi sangat menarik? Karena sesungguhnya, sebagian besar dari mereka sudah sangat
berjarak dengan suasana yang menggunakan bahasa daerah. Mereka tahu kalau
mereka berasal dari satu atau dua kelompok suku bangsa, tetapi selama ini hal
itu hanya sebatas mengetahui. Barangkali juga tidak semuanya sadar kalau mereka
memiliki kekayaan berupa bahasa daerah yang unik. Kalau pun sadar, belum tentu
mereka mengerti untuk apa memunculkan kembali identitas kesukubangsaan itu
dalam konteks pergaulan mereka hari ini.
Entitas Berjarak
Salah satu yang membuat Indonesia
kaya adalah beragamnya kelompok suku bangsa. Inilah salah satu alasan mengapa
menjadi orang Indonesia harus open mind dan terbuka, karena kita memang
hidup di antara orang-orang yang berbeda: kelompok suku bangsa, ras, agama, dan
kepercayaan. Oleh karena itu, sejatinya kita harus bersyukur bahwa sejak kecil
kita telah diajarkan oleh lingkungan kita bahwa kita tidak sendiri. Kita hidup
bersama saudara-saudara kita yang lain dari berbagai daerah di Indonesia dan
tentu hal itulah yang membuat kita bangga sebagai bangsa yang besar.
Ketika kita menyadari bahwa kita
berbeda kelompok suku bangsa, maka saat itulah kita bersyukur dan bangga telah
memiliki bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Kita bisa bayangkan, apa
jadinya komunikasi antarkita akan terjadi dan berlangsung dengan baik penuh
pengertian kalau masing-masing kita tidak mengerti bahasa satu sama lain. Tentu
persatuan Indonesia tidak akan pernah kita capai karena kita masih merasa
sebagai orang yang berbeda. Selain itu, ketika menyadari kita berbeda, pasti
kita muncul rasa bangga sebagai bangsa karena para founding fathers kita
telah berhasil meletakkan dasar-dasar kuat untuk menjadi negara bangsa ke dalam
jiwa kita semua. Bila menilik sejarah dan perjalanan sejumlah negara di belahan
bumi yang lain, maka persatuan yang kita miliki hari ini adalah benar-benar anugerah
Tuhan yang luar biasa untuk bangsa kita. Betapa tidak! Kita diberikan
kelembutan hati untuk mau hidup berdampingan dengan orang-orang yang berbeda
bahasa, ras, agama, dan kepercayaan. Padahal di negara lain, berbeda bahasa
saja telah membuat mereka sulit menemukan titik temu, apalagi persatuan.
Tentu kita juga menyadari bahwa
perjuangan untuk menyatukan berbagai kelompok suku bangsa itu juga bukan
pekerjaan yang mudah. Kondisi alam yang berbeda dengan sendirinya akan membentuk karakter dan kebiasaan yang berbeda. Etnisitas adalah identifikasi yang dilakukan oleh diri sendiri dan orang lain. Kelompok suku bangsa memiliki adat kebiasaan yang telah turun-temurun tentu akan berusaha tetap eksis dengan mempertahankan apa yang telah menjadi budaya mereka. Itu sangat wajar dan manusiawi. Oleh karena itu, mari kita pelihara hasil perjuangan para
fouding fathers kita ini dengan tetap dan terus menjaga persaudaraan sesama
anak bangsa.
Lalu, bagaimana hari ini, Gen-Z
memandang etnisitas? Apakah mereka masih peduli soal itu? Apakah perbedaan
kelompok suku bangsa tetap menjadi satu isu penting? Lalu, mengapa pula hal ini
menjadi sesuatu yang penting untuk dibahas hari ini?
Bahasa Daerah
Sebagai mahasiswa yang Gen-Z
(upss...atau tepatnya Gen-Z yang mahasiswa, ya?), apa pendapat Anda tentang
etnisitas atau kelompok suku bangsa? Masih relevankah kita bicarakan hal itu
sekarang? Kalau relevan, apa kira-kira identitas kesukubangsaan yang hari ini Anda
rasakan masih melekat dalam kehidupan Anda? Mengapa penting kita mengetahui
akar kelompok suku bangsa di tengah zaman global sekarang ini? Apa saja hal
yang paling dekat dengan kehidupan kita hari ini tentang persoalan kelompok
suku bangsa?
Salah satu aspek yang paling nyata dan
dekat dalam kehidupan kita hari ini dari kesukubangsaan adalah bahasa daerah. Tetapi,
kekayaan bangsa yang satu ini nampak tidak lagi diperhatikan. Sering diabaikan.
Tidak diperhatikan karena mungkin dianggap tidak banyak fungsional di zaman artificial
intelegence saat ini. Identitas kesukubangsaan saja tidak relevan, apalagi
mengetahui lebih jauh soal bahasa daerah. Wow…benarkah begitu? Mari kita
diskusi sedikit.
Ada sejumlah catatan menarik soal
bahasa daerah dan mahasiswa. Pertama, ada yang masih fasih. Hal
itu karena memang bahasa itu digunakan di rumah, tentu karena kedua orang
tuanya berasal dari kelompok suku bangsa yang sama. Misalnya, sama-sama Jawa, Minang,
atau Batak. Lalu, apakah domisili menjadi salah satu faktor yang menentukan mengapa mereka
masih fasih berbahasa daerah? Bisa iya, bisa tidak. Tidak ada jaminan yang
tinggal di Jakarta atau kota besar lain dengan sendirinya melupakan bahasa daerah. Ternyata, tidak sedikit
mereka yang tinggal di Jakarta ternyata masih fasih berbahasa daerah karena masih
dipakai aktif di rumah dan sejak kecil diperkenalkan dan diajarkan. Salah satu atau kedua orang tuanya masih menjadi penutur aktif bahasa tersebut di rumah.
Ketiga, tidak
mengerti sama sekali. Hal ini karena bahasa itu tidak diperkenalkan sejak
kecil, tidak diajarkan, tidak digunakan sama sekali di rumah karena kedua orang
tua mereka juga sudah tidak bisa berbahasa daerah. Atau ada alasan lain, keduanya
sepakat untuk mempergunakan bahasa lain. Dari sejumlah diskusi, tidak sedikit orang tua tidak lagi memandang mengajarkan bahasa daerah sebagai sesuatu yang penting dan strategis. Pengalaman mereka selama ini, dengan tidak lagi menuturkan bahasa daerah, mereka tetap bisa survive dalam pergaulan dan komunikasi sehari-hari, termasuk dalam menjalankan bisnis mereka. Oleh karena itu, sangat wajar bila seorang ayah penutur bahasa Hokkian
dan ibu penutur Tiochiu sepakat, komunikasi di rumah pakai bahasa Indonesia
saja.
Ada cerita menarik perihal
penguasaan bahasa daerah di kalangan mahasiswa. Seorang mahasiswi yang tinggal
di Surabaya punya seorang ibu bersuku bangsa Tanah Toraja (Tator) dan ayahnya
orang Ambon. Keluarga itu punya pola komunikasi yang menarik dan unik. Apa
pasal? Bila ayahnya berbicara dengan ibunya pakai bahasa Ambon, ibunya menjawab
dengan bahasa tator. Demikian pula sebaliknya. Ada lagi yang menarik, ketika
dalam komunikasi sehari-hari di rumah mereka berdua mempergunakan bahasa daerah
masing-masing, tetapi semua anaknya harus menjawabnya dengan bahasa Jawa. Fenomena
kebahasaan di keluarga tersebut sangat unik. Itu artinya, semua anggota
keluarga harus memahami setidaknya tiga bahasa daerah: Ambon, Tator, dan Jawa.
Tetapi, mereka hanya aktif pada satu bahasa daerah dan sama-sama pasif pada
bahasa daerah yang lain.
Ada lagi fenomena kebahasaan yang
cukup menarik. Ada seorang mahasiswa tinggal di Jakarta. Ayahnya adalah penutur
Hokkian dan Ibunya penutur Khek, sedangkan dia tidak bisa kedua bahasa tersebut.
Mengapa? Karena mereka sepakat untuk mempergunakan bahasa Inggris. Jadi, ketika
ditanya tentang bahasa daerah, ia pun menampilkan raut wajah yang jenaka.
Ada juga fenomena kebahasaan yang
lain. Seorang mahasiswa yang tinggal di Jogya punya ayah penutur Khek dan ibu
penutur Tiochiu. Ia tidak pernah diajarkan kedua bahasa tersebut. Kedua orang
tuanya juga tidak pernah menggunakan bahasa daerahnya di rumah. Mereka adalah
penutur bahasa Jawa yang sangat aktif. Lengkap dengan kemedokannya. Sampai
akhirnya yang bersangkutan sering menertawakan dirinya sendiri,"Saya
bingung, Pak. Katanya saya orang Chinese, tetapi Hokkian saya tidak bisa, Khek
juga tidak bisa, Tiochiu juga begitu, Mandarin apalagi. Justru saya bisanya
bahasa Jawa. Jadi, saya ini orang Chinese atau Jawa, ya, Pak?"
Bagaimana menurut Anda?
Kearifan Lokal
Ada satu topik bahasan di mata
kuliah Civilization of Pluralism yang sangat menarik, yaitu kearifan
lokal. Kearifan lokal adalah berbagai nilai yang diciptakan, dikembangkan, dan
dipertahankan oleh kelompok suku bangsa tertentu sebagai identitas atau
kepribadian yang berasal dari nilai luhur budaya masyarakat setempat. Setidaknya
ada tiga kearifan lokal yang dibahas dalam mata kuliah ini, yaitu Berkat dari
Liyan, Rekonsiliasi Lembata, dan Tongkonan Toraja.
Yang pertama adalah Berkat
dari Liyan, sebuah kearifan lokal dari Jawa Timur. Kearifan lokal ini bicara
tentang tradisi penduduk desa di Gresik yang biasa menyediakan kendi berisi air
minum dan gelasnya di depan rumah. Air kendi tersebut memang sengaja diletakkan
di situ agar orang yang sedang dalam perjalanan dapat melepas dahaga tanpa
merasa sungkan untuk kemudian berlalu lagi meneruskan perjalanan. Para musafir
itu orang asing. Mereka tidak diketahui dari mana dan hendak ke mana. Tetapi,
buat penduduk desa itu tidak jadi soal. Liyan atau orang asing itu tetap
diberikan kesempatan yang sama untuk menikmati kesegaran air kendi. Akhirnya,
dari kearifan lokal itulah muncul salah satu falsafah masyarakat Jawa: Urip
iku mung mampir ngombe. Hidup itu seperti orang mampir untuk minum dan
setelah itu kembali berjalan menuju destinasinya. Hidup itu hanya sebentar.
singkat. Jadi, kalau sudah tahu hidup itu hanya singkat, maka kita tidak boleh
mentang-mentang, ojo dumeh. Mengapa? Karena kita akan
mempertanggungjawabkan segalanya. Ada hidup setelah mati. Berkat dari liyan
mengajarkan kepada kita hikmah, pelajaran, dan keberkahan dari memberi minum
orang asing. Memang sederhana, hanya memberi mereka minum, tetapi boleh jadi
justru itulah yang memang sangat dibutuhkan dalam kelelahan dan kepenatannya
setelah berjalan jauh.
Kedua, rekonsiliasi Lembata. Ini adalah ritus rekonsiliasi dari suku Lembata di Nusa Tenggara Timur. Kearifan lokal ini bercerita tentang bagaimana masyarakat lembata menyelesaikan kasus pembunuhan yang melibatkan dua keluarga dengan sebuah upacara grati najan (memanggil nama). Nama siapa? Nama orang yang dibunuh yang disematkan kepada salah seorang anggota keluarga pembunuh. Tujuannya untuk membangkitkan atau menghidupkan kembali jiwa orang yang tidak bersalah yang dibunuh secara keji. Upacara ini sebagai penanda perdamaian dua keluarga yang terlibat pertikaian. Memaafkan tanpa melupakan.
Namun, rekonsiliasi ala Lembata nampaknya sulit bila diterapkan untuk rekonsiliasi nasional. Untuk menyelesaikan kasus pelanggaran
HAM berat, misalnya. Mengapa sulit dilaksanakan? Karena proses rekonsiliasi ini hanya mungkin berawal dari pengakuan para pelaku atas apa yang telah mereka lakukan di masa silam. Pengakuan tersebut menjadi riil dalam proses pemanggilan nama smeiknating (korban) dan memberikan namanya kepada salah seorang anak dalam suku (keluarga). Dengan demikian, korban akan selalu dikenang. Anak yang menanggalkan nama lamanya dan mengenakan nama baru tersebut ibaran monumen yang memberikan wawasan etis: niewieder, tak pernah boleh terjadi lagi kejahatan serupa di masa depan. Pertanyaannya, apakah mungkin kita menuntut para pelaku pelanggaran HAM berat untuk
mengakui semua perbuatan jahat mereka setelah puluhan tahun menjadi rahasia? Tidak mungkin bukan?
Ketiga, tongkonan Toraja. Ini kearifan lokal tentang kerukunan suku Toraja dalam naungan rumah adat mereka, rumah besar mereka, Tongkonan. Nilai persatuan dalam budaya Toraja ditunjukkan dalam falsafah hidup mereka: misa kada dipotuo pantan kada dipomate. Satu hati kita hidup, tetapi mempertahankan pendapat masing-masing kita akan menuju kebinasaan. Mirip dengan pepatah, bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Persatuan untuk mereka memang sebuah keniscayaan, bahkan mereka seringkali mengabaikan nilai lain hanya untuk kebersamaan. Orang yang berusaha mewujudkan persatuan berarti menciptakan karapasan (kedamaian dan keharmonisan hidup). Oleh karena itu, bagi orang Toraja tidak ada persatuan tanpa karapasan. Tidak ada kedamaian tanpa kebenaran; Tidak ada keharmonisan tanpa keadilan.
Anak yang dibesarkan dalam tongkonan adalah anak tongkonan yang harus mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingannya pribadi. Bila ketika dewasa para anak tongkonan merantau ke seluruh penjuru dunia, ingatlah mereka tetap anak tongkonan yang dibesarkan dalam satu naungan persaudaraan dan persatuan. Demikianlah para leluhur orang Toraja mengajarkan anak keturunan mereka untuk tetap menjaga rasa persaudaraan dan persatuan di antara mereka meskipun mereka telah meraih kesuksesan apa pun di tanah rantau.
Ketiga kearifan lokal ini merupakan pencerminan perwujudan nilai-nilai Pancasila: kemanusiaan dan persatuan. Masih banyak kearifan lokal dari seluruh kelompok suku di Indonesia yang pada dasarnya merupakan sumber nilai-nilai yang dikristalkan dalam naskah Pancasila yang kita kenal hari ini. Oleh karena itulah disebutkan bahwa Pancasila adalah pengejawantahan dan wujud nilai-nilai luhur yang selama berabad-abad dipraktikkan rakyat Indonesia di berbagai wilayah dan kelompok suku bangsa yang tersebar luar di seluruh Nusantara.
Sekarang, seperti apa kearifan lokal dari suku bangsa Anda? Tentang apa kearifan lokal yang Anda kenal tersebut? Makna dan pelajaran hidup apa yang dapat kita petik dari kearifan lokal tersebut? Apakah kearifan lokal tersebut masih dipercaya dan dipraktikkan dalam masyarakat Anda? Kalau masih apa alasannya dan demikian pula kalau sudah ditinggalkan? Lalu, setelah kita diskusikan tentang bahasa daerah dan kearifan lokal, apa korelasi dan konsekuensi logis kita untuk menjadi Indonesia? Bagaimana menjadi Indonesia versi Gen-Z? Bagaimana proses Anda menjadi anak Indonesia dengan segala keutuhan dan keautentikan sebagai Gen-Z?
Depok, Mei 2024