Kesadaran akan luasnya Indonesia dan dunia ini tidak serta merta dimaknai sebagai peluang oleh setiap orang. Berbagai hambatan psikologis dan geografis masih menjadi momok untuk mengkristalkan kesadaran tersebut menjadi sikap mental untuk siap hadir dan hidup di tempat berbeda. Apalagi untuk menjadi pioneer perubahan dan pembangunan di sejumlah titik wilayah yang memang sangat membutuhkan sentuhan perubahan.
![]() |
Muhammad Akel Khatami (alumnus AQLIS) sedang belajar di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. |
Ada sejumlah hal yang membuat
fenomena tersebut terjadi. Pertama,
mental block. Program pikiran ini
mendominasi otak bawah sadar yang menghambat keinginan untuk pergi jauh dari
keluarga, tanah kelahiran, atau kota kesayangan. Program pikiran yang semula
positif tentang kampung halaman tanpa kita sadari menjadi penghambat kemajuan.
Dia menghalangi kita untuk dapat melihat kesempatan dan peluang “menjadi” di
tempat lain.
Kedua, hambatan budaya (culture
block). Tidak jelas benar apakah pepatah “mangan ora mangan sing penting kumpul” berpengaruh terhadap sikap
mental sejumlah masyarakat kita dalam menyikapi peluang menjadi pioneer perubahan di sejumlah titik
wilayah Indonesia. Yang jelas, tidak semua orang merasa nyaman untuk tinggal
dan menetap di tempat baru yang jauh dari tempatnya dilahirkan atau tempatnya
berbiak dalam keriuhan kota. Rasulullah sangat memahami kondisi mental seperti
ini. Oleh karena itulah, beliau pernah berpesan seperti yang dituturkan kembali
oleh Bukhari dan Muslim, ”Bepergian adalah bagian dari siksaan yang menghalangi
kalian dari makan, minum, dan tidur. Oleh karena itu jika salah seorang dari
kalian telah selesai dari maksud kepergiannya, maka hendaklah segera kembali
kepada keluarganya.”
Keengganan itu justru menutup
peluang untuk “menjadi” di titik berbeda atau bahkan terjauh dari posisi kita
saat ini. Apakah ini melulu berhubungan dengan keberanian atau semata-mata
berkaitan dengan tata nilai budaya? Yang jelas, hanya orang-orang yang beranilah
yang dapat melihat dan memanfaatkan peluang lingkungan dengan mengikutsertakan
dengan tegas potensi dasar yang dimilikinya. Bukankah mereka yang telah
menurunkan layar dan bergegas menuju wilayah baru yang akan menemukan sesuatu
yang baru dan menjanjikan? Ada proyeksi menarik di antara keberanian memutuskan
untuk mencoba berbiak di tempat yang baru. Anda berani tantangan?
Kita dalam Peta
Dunia
Di titik mana di
bumi ini kita dilahirkan? Di mana sekarang kita berbiak sebagai pribadi? Ke
mana saja akan kita langkahkan kaki ini di hamparan bumi Allah? Di mana kita
akan berakhir nanti? Pertanyaan-pertanyaan menantang itu tergelar dengan sangat
lugas pada fase dan langkah ini.
Siapa di antara
Anda yang hari ini tidak lagi tinggal di kota kelahiran? Sudah berapa lama Anda
tinggalkan kota tersebut? Untuk alasan apa kota itu Anda tinggalkan? Apakah
suatu hari kelak Anda masih ingin kembali ke sana? Seperti apa sekarang wajah
desa atau kota kelahiran kita itu?
Apakah muncul kerinduan ketika mengingat itu semua? Kenangan apa yang tiba-tiba menyeruak dalam
hati? Wajah dan nama-nama siapa saja yang kemudian muncul dalam benak kita
ketika kita mengingat itu semua? Subhanallah.
Sebuah catatan sejarah yang tidak akan pernah pudar dalam langkah-langkah kita
hari ini.
Memang, tidak
semua kita sangat cenderung dengan tempat lahir, tetapi mencintai kampung
halaman adalah salah satu dari sifat dasar manusiawi yang kita miliki. Quraish
Shihab (2011) menuturkan bahwa cinta tanah air adalah naluri manusia.
Rasululllah juga demikian. Sebagai manusia, beliau sangat mencintai Mekkah,
tempat kelahirannya. Beberapa saat sebelum hijrah, beliau pun berkata kepada
Mekkah,”Sesungguhnya engkau, wahai Mekkah, adalah negeri yang paling kucintai.
Seandainya pendudukmu tidak mengusirku, aku tidak akan pergi meninggalkanmu.”
Sebagai makhluk
berdimensi ruang dan waktu, seluruh fase hidup kita pasti berkaitan dengan
keduanya. Kita dihadapkan pada satu tantangan menarik. Betapa tidak! Kita
diajak untuk melihat posisi kita saat ini sebagai pribadi berdomisili. Sebagai
makhluk berdimensi ruang, kita pasti menempati satu wilayah tertentu di bumi
ini. Keterbatasan dalam kewajaran menempatkan kita pada satu wilayah pada satu
waktu. Kewajaran itu berterima dan menjadi titik gerak kita sebagai makhluk.
Pada fase ini,
kita diajak untuk berani memikirkan, merencanakan, dan pada gilirannya berani
menjejakkan kaki di sejumlah tempat yang belum pernah kita kunjungi. Sejatinya,
sebatas
apa dunia yang hadir di benak kita? Semoga dia adalah hamparan savanna atau
steppa dengan udara terbaik dalam keriangan para gembala. Semoga dia adalah
horison yang selalu memberi kabar tentang betapa gemerlapnya gemintang di
langit-langit biru nan jernih dalam nyanyi sunyi para nelayan. Semoga pula dia
adalah semua kemungkinan yang meruang dalam setiap jejak langkah kita di bumi
Allah yang terhampar maha luas ini. Allah tegaskan hal itu: “Dan Allah
menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan, supaya kamu menjalani jalan-jalan
yang luas di bumi ini”. (Q.S Nuh [71]:19-20). Selanjutnya, Allah kabarkan
satu hal: “Maka apabila
telah dilaksanakan shalat, bertebaranlah kam di muka bum; dan carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (Q.S. Al-Jumu’ah
(62): 10)
Fitrah
kemanusiaan telah menempatkan dan memaksa kita hanya ada di satu titik dalam
satu masa tertentu. Namun, justru dengan itu kita punya ruang lain untuk sampai
pada dimensi transendental yang dapat mengatasi ruang dan waktu itu sendiri.
Kekuatan pikiran telah mendorong kita untuk berani memikirkan dan merencanakan
ingin berada di titik mana pun di dunia ini pada waktu tertentu nanti. Kekuatan
visualisasi dan proyeksi yang Allah berikan kepada kita adalah sarana paripurna
buat kita untuk menempatkan diri dalam dimensi ruang dan waktu yang kita
inginkan.
Di ruang
pelatihan, ketika memasuki fase ini, kita akan diberikan sebuah peta dunia
sederhana. Kita diajak untuk memberi tanda, di mana kita dilahirkan. Dengan
demikian kita diajak mengingat kembali dari mana kita berasal, di lingkungan
seperti apa kita dibesarkan, dan dalam semangat zaman seperti apa kita
menghabiskan masa kanak-kanak. Jejak ini, meski sederhana, tetap memberi ruang
kontemplasi yang cukup signifikan untuk sebuah langkah besar dan bermakna di
hari ini dan yang akan datang.
Masih di lembar
peta yang sama, kita akan diminta untuk menandai (lebih tegasnya, ditantang)
untuk menandai ke mana saja akan kita langkahkan kaki untuk belajar, bekerja,
beribadah, dan berlibur. Apakah kita juga cukup punya ingatan kuat di kota mana
saja kita pernah singgah selama hidup ini? Catatan sejarah perjalanan hidup itu
akan melangkapi penandaan pribadi kita di peta sederhana yang diberikan.
Persoalannya bukan terletak pada apakah tapak kaki kita telah menapaki seluruh
permukaan bumi, tetapi pada seberapa besar nilai seluruh dimensi hidup yang
muncul dari segenap pengalaman itu mampu membawa kita pada keridhoan Allah
SWT.
Berbiak Bersama
Dunia
Kami bertemu ketika dia menjadi mahasiswa baru UIN Sunan Gunung Djati, Bandung pada semester ganjil 2007. Ketika itu, dia menulis di Peta Hidupnya bahwa ia ingin menjadi presiden dan kuliah di luar negeri. Sebelum lulus S1, ia sudah terbang ke dua puluh satu negara untuk sejumlah kegiatan kemahasiswaan. Bertemu dengan banyak orang dan komunitas.
Dialah Gugun Gumilar, mahasiswa
Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, UIN Sunan
Gunung Djati. Selama perkuliahannya, dia telah menjalani serangkaian perjalanan
ke sejumlah negara untuk berbagai kegiatan. Perjalanan belajar itu di antaranya
adalah mendapatkan kesempatan belajar di New York dan Washinton DC selama tiga
bulan, belajar di Rusia selama dua minggu, Malaysia selama seminggu, Singapura
seminggu, dan mengunjungi Jerman, Italia, Portugal untuk sebuah acara
kemahasiswaan. Dengan segala kesibukannya itu, justru Gugun mendapatkan energi
luar biasa untuk menuntas kuliahnya dengan IPK 3,90. Masya Allah!
Gugun telah mempersiapkan diri
menjadi bagian dari semesta yang mampu dimaknainya. Mimpinya untuk kuliah ke
luar negeri menjadi tantangan dan energi luar biasa baginya untuk menjadi dan
melakukan yang terbaik dalam studi. Bergerak dalam arti sebenarnya telah
ditunjukkan Gugun dalam menggenapi cita-citanya. Kini, ketika sejumlah jendela
itu terbuka lebar dan semesta sudah siap diarunginya, Gugun telah siap dengan
sayap kokohnya menuju ke sana. Berbiak bersama dan dalam dunia telah
menempatkan seluruh pusaran waktunya untuk menjadi bagian dari pergerakan dunia
yang mampu dikonstruksi maksimal dengan segala potensinya.
Kini, Gugun Gumilar, S.Pd., M.A., Ph.D., putra asli Purwakarta itu telah menjadi seorang pendidik, aktivis, lobbyist, penulis, dan pembicara publik. Ia juga dikenal sebagai Duta Muda PBB untuk Indonesia dan pendiri Institute of Democracy and Education (IDE) Indonesia.
Sahabat sukses yang dirahmati Allah, ada cerita cukup menarik dari salah seorang alumni pelatihan reguler di Hotel Selecta, Batu, Malang, Jawa Timur, Oktober 2005. Ketika itu hadir sebagai peserta seorang mahasiswi jurusan Teknik Elektro ITB. Ia hadir bersama sejumlah guru dari Darul Hikam, Bandung.
Dialah Adinda Ihsani Putri. Ketika
pelatihan memasuki bab perencanaan hidup, Dinda sempat berbagi di hadapan
seluruh peserta. Ia mengatakan, bahwa selama ini hidupnya hanya mengalir saja
mengikuti arus air dan tanpa perencanaan apa-apa. Untung saja, katanya, dia
sudah tersesat di jalan yang benar. Coba bayangkan bila dia tersesat di jalan
yang salah, bisa jadi ia tidak ada di ruangan tersebut.
Tersesat di jalan yang benar!
Jangan-jangan ini pulalah yang telah terjadi pada sebagian besar kehidupan
kita. Tanpa kita sadari, sejumlah hal baik selama ini kita peroleh dalam
derajat kemudahan tertentu dan tanpa rencana. Oleh karena itu, kita tidak benar-benar
menyadari bahwa pencapaian kita hakikatnya merupakan satu upaya sadar dalam
kerangka besar sebuah perencanaan hidup yang komprehensif dan holistik.
Jangan-jangan selama ini semua diperjuangkan sesaat, on the spot, dan dalam semangat “gimana besok aja!”
Kesadaran Dinda akhirnya berbuah.
Peta hidup yang ditulisnya waktu itu setidaknya menyebutkan sejumlah hal
penting: lulus kuliah, menikah, dan ingin kuliah di luar negeri. Dan subhanallah, tiga titik penting dalam
hidupnya itu berhasil ditempuhnya. Ia berhasil menyelesaikan kuliah pada tahun
2010. Beberapa bulan kemudian, ia berhasil mendapatkan beasiswa melanjutkan
kuliah S2 di Chungbuk Nation University, Korea Selatan. Kurang dari delapan
bulan setelah itu, ia menikah dengan pujaan hatinya yang sama-sama menempuh kuliah S2 di universitas yang sama. Ia dan suaminya pun sempat tinggal di
Cheongju, Chungcheongbuk-do, South Korea.
Dinda telah memilih untuk berbiak dalam dunia. Konstruksi dunia yang diinginkannya sejak bulan-bulan awal perkuliahannya di Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik ITB telah menjadi kenyataan. Ketersesatannya di jalan yang benar telah diakhiri dengan secarik kesadaran akan pentingnya sebuah perencanaan dalam kematangan. Proses itu pulalah yang mengantarkan langkah-langkah kecilnya menjadi pencapaian berarti untuk hidupnya ke depan. Termasuk ketika mendapatkan kesempatan menempuh program doktoral di kampusnya tercinta, Institut Teknologi Bandung.
Kini, Dr. Adinda Ihasani Putri menjabat sebagai Head of Renewable Energy Engineering, Fakultas Science Technology Engineering & Mathematics (STEM) Universitas Prasetiya Mulya. Ia sangat antusias pada aktivitas penelitian dan pengembangan energi terbarukan dan kendaraan listrik.
Sahabat sukses yang dirahmati Allah, ada satu lagi cerita menarik dari alumni pelatihan yang lain. Gadis manis nan cerdas ini adalah Mawapres II 2010 Fakultas Kedokteran Unpad. Almira Aliyannissa, namanya. Kini ia adalah dokter spesialis anak RS. Edelweiss, Bandung.
Suatu hari pada 2011, ia memutuskan untuk berangkat ke Belanda untuk mengikuti short courses mengenai HIV/AIDS dan International Public Health di Radboud Universiteit. Apa yang mendorongnya untuk berangkat ke Belanda? Bagaimana keputusan tersebut dapat diambilnya?
Setelah mengikuti pelatihan,
Almira semakin mengenali diri dan potensinya. Dengan demikian, ia semakin
mantap dalam merumuskan peran di masa depan dan merumuskan langkah
demi langkah untuk mencapainya. ‘Penemuan diri’ tersebut memudahkannya dalam mengambil
keputusan-keputusan penting dalam hidup. Salah satunya keputusan untuk ke
Belanda waktu itu.
Kala itu, ia telah menetapkan bidang minatnya, yaitu kedokteran remaja dan health
policy. Jadi, ketika ia mendapatkan informasi tentang short course itu, ia yakin program
tersebut dapat menunjang pencapaian mimpinya. Oleh karena itu, tanpa keraguan ia pun memutuskan untuk mengambil cuti koas sementara
dan menyusun prioritas dalam mengikuti seleksinya. Dan alhamdulillah, ia lulus dan bisa berangkat.
Gugun, Dinda, dan Almira adalah
tiga dari sejumlah alumni pelatihan yang memutuskan untuk mengambil bagian dari
gerak besar mereka di bidangnya masing-masing. Mereka berbiak bersama dunia.
Mereka telah dan sedang berusaha melipatgandakan energi sukses sampai pada
titik yang mereka inginkan. Jalan panjang yang mereka tempuh di jalur tersebut
semakin memberikan gambaran jelas, bahwa pergerakan mereka menjauh dari tempat
kelahiran dan domisili memberikan kesempatan terbaik untuk mereka mempertegas
apa yang mereka ingin dapatkan. Keberpihakan mereka kepada esensi masa depan
yang lebih baik telah memberikan mereka keberanian menempuh jalan tersebut. Allah
akan menghibur mereka dengan rahmat-Nya karena mereka termasuk orang-orang yang
melawat untuk mencari ilmu pengetahuan dan nilai itu tinggi di sisi Allah (QS. At-Taubah [9]: 112).
Inilah catatan menarik. Tanpa
sadar, mereka telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sebuah perubahan besar
yang baik untuk setidaknya satu komunitas yang gaungnya akan memberikan spirit
tidak terkirakan. Sejatinya sebuah semangat, dia akan meruang dalam semua
kesempatan dan menjumpai jiwa-jiwa merdeka yang mau dan mampu melihat dan
memanfaatkan peluang yang sebenarnya begitu besar. Ingatlah, masa depan hanya
milik mereka yang siap dan berani.
Sahabat sukses yang dirahmati
Allah, perasaan apa yang muncul di hati Anda ketika selesai membaca cerita ini?
Apakah Anda semakin membulatkan tekad untuk merantau ke sejumlah negara untuk melanjutkan
belajar? Kira-kira, negara dan kampus mana yang Anda tuju? Mengapa Anda pilih
kampus dan negara tersebut? Sejatinya, apa yang ingin Anda persembahkan untuk bangsa,
negara, dan umat setelah Anda lulus dari jurusan yang Anda ingin tekuni di
sana? Tentu banyak cerita. Tentu banyak keseruan di dalam prosesnya. Nanti kita
cerita kembali di kesempatan lain, ya.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Depok,
Juni 2024