“Prosesi wisudawan 2023-2024 memasuki ruangan, hadirin dimohon berdiri…!”
Pembawa acara memecah keheningan. Penerangan padam. Hadirin sempat
bereaksi sejenak, sebelum akhirnya muncul spot cahaya dari lampu sorot.
Dari belakang, muncul dua orang santri berseragam pramuka berjalan tegap
membawa bendera merah putih dan bendera pondok. Di belakangnya, para santri
yang akan diwisuda hari itu berbaris dua berbanjar melangkah di tengah-tengah
kursi yang diduduki para orang tua wali santri seirama musik instrumen dengan
tatapan lurus ke depan. Jasko hitam dengan selempang hitam dengan lis kuning
bertuliskan nama mereka masing-masing tersampang dari pundak kanan hingga pinggang
kiri serta kopiah hitam berlogo pondok melengkapi penampilan apik mereka hari
itu.
Mereka bergerak seirama. Barangkali pelbagai rasa berkecamuk dalam hati
mereka. Tetapi saat itu, mereka sedang ada dalam tatapan ratusan orang, maka
apa pun rasa yang muncul mereka harus tetap memantaskan diri. Ini acara resmi.
Harus hikmat. Sakral. Mereka gagah sekali. Langkah tegap dan sikap yakin mereka
menyihir seisi aula untuk tidak ada yang bergerak dan bersuara. Sejumlah
hadirin nampak merekam peristiwa ini meskipun sudah dilarang oleh panitia.
Hanya fotografer yang super sibuk mengabadikan prosesi tersebut sambil terus
bergerak mencari ruang bidik yang paling nyaman dan sudut pandang yang paling keren.
Setibanya di kursi masing-masing, para wisudawan tidak langsung duduk. Mereka
masih berdiri dengan sikap tegap dengan pandangan lurus ke depan.
“Wisudawan dan para hadirin dipersilakan duduk kembali!”
Begitulah kira-kira suasana dimulainya wisuda di salah satu pondok.
Hikmat. Elegan. Seremonial setahun sekali itu memang menjadi salah satu agenda
yang disiapkan jauh-jauh hari. Ini momen sangat penting karena biasanya para
orang tua wali santri yang mungkin selama anaknya mondok jarang punya waktu
untuk menjenguk, hari itu nampaknya harus mengalahkan sejumlah agenda untuk
bisa hadir. Oleh karena itu, pihak pondok merasa, inilah saat yang tepat untuk
memberikan pelayanan dan pencitraan terbaik agar mereka merasa nyaman dan
dihargai sebagai stakeholder utama. Bukankah momen itu menjadi momentum
yang sangat tepat untuk promosi PPDB? Bukankah ini marketing mix yang
efektif? Di sinilah peryataan wisuda adalah titik akhir dan awal menemukan
konteksnya: muara dari serangkaian proses belajar dan hulu untuk menarik
simpati calon keluarga santri untuk rentang waktu sesudahnya. Oleh karena itu,
sangat tidak masuk akal bila ada pondok tidak menjadikan momentum wisuda
sebagai sesuatu yang penting dan berharga. Pondok yang gagal menghadirkan kesan
dan pengalaman unik untuk para stakeholder utama mereka pasti akan
menyesal karena ini momen setahun sekali. Sangat disayangkan bila wisuda
dikemas sekadar dan seadanya. Itu artinya, pondok belum memahami fungsi
strategis dari acara itu dan kurang menghargai stakeholder utama dan
diri mereka sendiri. Bukankah acara wisuda adalah momentum terindah
mengartikulasikan keberadaan dan pencapaian pondok?
Lalu, bagaimana suasana wisuda di pondok Anda? Apakah Anda menemukan
suasana hikmat dan sakral itu dalam seluruh rangkaian acara yang dihadirkan?
Apakah panitia sudah berupaya sekuat tenaga untuk menghadirkan detik perdetik
acara itu sebagai pengalaman audio dan visual yang tak terlupakan? Bagaimana
mereka mendesain ruangan, mengatur tempat duduk, merancang rangkaian acara, dan
mengendalikan suasana agar dapat menghadirkan kebanggaan dan rasa sukses untuk
para wisudawan dan keluarganya? Apakah pondok telah berupaya dengan keras agar
momen tersebut tidak berlangsung dan berlalu hanya sebatas menggugurkan
kewajiban sebagai lembaga pendidikan? Apakah pondok telah berupaya maksimal
agar acara ini tidak berlangsung hanya sebagai annual activity yang akan
berulang? Apakah panitia dan pondok telah sepakat untuk menghadirkan zero
dissatisfaction dan zero complain di acara yang telah menghabiskan
tidak sedikit waktu, tenaga, dan biaya tersebut? Apakah panitia juga memikirkan
bagaimana rangkaian acara yang mereka hadirkan mampu memunculkan kesan baik dan
menyenangkan yang akan bertahan lama di hati para stakeholder utama
mereka meskipun acara itu telah selesai? Untuk itu, mari kita bincang sejenak tentang
seremonial tahunan ini barang sedikit.
Desakralisasi Wisuda
Para siswa SMP atau SMA yang pekan-pekan ini diwisuda adalah mereka yang
sudah mulai merasakan seremonial wisuda sejak Play Group atau taman
kanak-kanak. Sebagian besar dari mereka ada yang sudah pernah wisuda tahfiz
(ketika menyelesaikan hafalan Juz 30), wisuda Ummi (untuk sejumlah SD yang
menggunakan metode Ummi untuk pengajaran Al-Quránnya), wisuda Sekolah Dasar,
dan wisuda SMP (untuk mereka yang pekan ini wisuda SMA). Untuk mereka, wisuda
telah menjadi sesuatu yang sangat biasa, bukan sesuatu yang baru dan sakral
lagi. Wisuda untuk mereka bukanlah kejutan-kejutan penuh sensasi, tetapi
sekadar acara rutin yang biasa. Berbeda dengan para gen-X yang hari ini menjadi
orang tua mereka yang baru mengenal dan merasakan wisuda ketika lulus perguruan
tinggi. Jadi, memang beda rasa dan cara memaknainya.
Mereka yang diwisuda pekan-pekan ini adalah Gen-Z. Mereka generasi yang short
attention spans, generasi yang rentang perhatiannya
sangat pendek. Perhatian mereka per-spot. Mereka sulit diajak
konsentrasi dan fokus pada satu suasana untuk waktu yang lama. Mereka cepat
bosan. Hadirkan suasana yang bergerak dan berubah dengan cepat, tentu mereka
senang. Bisa dibayangkan, kesakralan wisuda gaya lama, sangat mungkin akan
menyiksa mereka. Mereka tidak terbiasa dengan beat acara yang monoton apalagi
mendengarkan orang bicara lama-lama. Lalu, seperti apa suasana ketika Gen-Z
diwisuda?
Pertama,
haru. Ini rasa semua orang. Betapa tidak! Sejumlah santri akan kembali
mengenang seperti apa proses dan dinamika yang telah dilewatinya untuk bisa
sampai di titik wisuda. Mungkin banyak drama di dalamnya. Sayangnya, tidak
selalu komedi dan romantis, tetapi bisa saja horor dan tragedi. Menariknya,
Gen-Z umumnya jarang sublim dalam berbagai suasana. Mereka terbiasa in-out seperti ketika mereka bermain gadget. Jadi, tidak
ada haru dan sedih yang terlalu, demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu,
para baby boomer dan gen-x sering tidak memahami mengapa mereka
seolah seperti tidak punya perasaan. Sejatinya, tidak demikian. Mereka hanya lebih sering
memandang rasa itu tidak selalu harus menjadi bagian dari diri mereka. Bukankah
mereka biasa skip bila satu tayangan tidak menarik minat mereka?
Kedua,
bangga. Menariknya, kebanggaan atas sebuah pencapaian tidak selalu dipandang
sebagai hasil mereka secara pribadi. Mengapa? Karena sejatinya mereka adalah pribadi
yang senang sekali berkolaborasi. Makna keberhasilan untuk mereka adalah ketika
kebersamaan mampu mewujudkan apa yang mereka harapkan. Mereka
selalu punya alasan untuk bisa menemukan cara untuk bisa berhasil bersama. Jadi,
inilah sesungguhnya yang bisa kita banggakan dari mereka: kebersamaan tanpa
batas.
Mereka boleh bangga, karena telah berhasil menaklukkan ego mereka dan memilih untuk bertahan di pondok yang penuh tantangan dengan berbagai aturan dan ketatnya agenda. Kebanggaan itu sesungguhnya milik mereka yang dengan gagah berani telah menantang diri mereka sampai akhir. Push the limit. Hari ini, barangkali mereka belum terlalu sadar sepenuhnya, bahwa yang telah mereka pilih adalah sesuatu yang besar dan bermakna untuk masa depan mereka kelak. Tetapi, ketika nanti mereka sudah ada di kehidupan yang sesungguhnya, mereka pasti akan berterima kasih kepada kedua orang tua dan para guru mereka yang telah ikhlas dan tulus membersamai mereka untuk tumbuh bersama di pondok. Di kesadaran itu nanti mereka akan semakin bangga dengan apa yang dilakukan oleh orang tua dan guru-guru mereka.
Ketiga,
sedih. Tidak sedikit orang yang sedih ketika wisuda karena itu artinya mereka
akan berpisah dengan sejumlah teman yang selama ini menjadi cyrcle
mereka. Tetapi, mereka tidak sepenuhnya demikian. Mereka adalah generasi yang authenticity
and relevance dan global perspective. Mereka senang dengan
pengalaman dunia nyata yang autentik, sesuatu yang related dengan
kehidupan nyata dan inspiratif, serta sesuatu yang berperspektif global. Jadi,
ketika kesedihan tidak related dengan sesuatu yang penting menurut
mereka (masa depan), maka itu dipandang sebagai sesuatu yang tidak terlalu relevan.
Mereka adalah generasi yang tidak terlalu baper menghadapi
perpisahan, karena pengalaman dunia maya mereka selama ini telah mengajarkan
bagaimana mereka tetap bisa terhubung dengan banyak hal lewat perangkat dan
aplikasi. Jadi, buat apa merasa sedih, bukankah selama ini mereka terbiasa
terhubung dengan sesuatu yang jauh?
Hadir di wisuda Gen-Z harus berani dan siap bertemu dengan segala hal
baru. Konsep hikmat dan sakral untuk mereka berbeda dengan apa yang pernah ada
di benak kita tentang keduanya. Bisa jadi sesuatu yang kita anggap tidak pantas
hadir di sebuah acara wisuda tetapi untuk mereka merupakan hal yang lumrah dan biasa-biasa
saja. Mungkin di benak kita ada sejumlah aturan tidak tertulis, bahwa wisuda
itu seharusnya begini dan begitu. Tetapi, mereka tidak ingin hidup mereka menjadi
rumit hanya karena sebuah pakem. Bukankah pada akhirnya kita menerima wisuda
tanpa toga seperti ketika kita memaknai wisuda identik dengan benda itu? Bukankah
kita bisa menerima ada sambungan dan komunikasi online di tengah acara
wisuda? Bukankah itu semudah kita menerima perubahan dari spanduk kain ke backdrop
digital printing lalu akhirnya digantikan tayangan layer LED yang dinamis dan
multifungsi? Nyaman dan atraktif, bukan? Oleh karena itu, agar bisa menikmati
wisuda Gen-Z dengan nyaman, open mind-lah. Jangan terperangkap
romantisme masa lalu karena dengan itu kita akan tersiksa karena benak kita
sesak dengan sejumlah complain.
Merayakan Kerja Keras
Webster’s New World Dictionary of the American
Languange (David B.
Guralnik. New York: The World Publishing Company, 1970) menyebutkan, Graduation
is a ceremony connected with graduating or being graduated from a school or
college. Seremonial ini telah menjadi kelumrahan dunia pendidikan kita. Tradisi
yang menurun dari hanya dilakukan oleh perguruan tinggi, diadopsi menjadi
tradisi di jenjang pendidikan menengah dan dasar, bahkan lembaga kursus pun
sudah memakai istilah wisuda untuk menandai selesainya satu term atau periode kursus.
Wisuda adalah wujud rasa syukur atas nikmat yang telah Allah berikan atas semua
kelancaran proses belajar selama tiga tahun. Ekspresi rasa syukur itu adalah
ruang dialogis, bukan monolog, karena proses itu dilakukan bersama.
Mari kita tilik tradisi
wisuda ini sebagai sesuatu yang unik di Indonesia. Mengapa? Karena ternyata, seremonial
wisuda tidak gratis. Ini aktivitas berbayar. Konon juga tidak murah. Oleh karena
itu, acara ini sudah disiapkan jauh-jauh hari agar bisa menabung. Artinya, ini
memang satu tradisi sangat penting dan prestise dalam praktik pendidikan kita. Yang
tidak ikut, harus siap distempel sebagai keluarga aneh, asosial, atau tidak
kooperatif. Sang murid pun merasa ada sesuatu yang kurang dalam proses
kelulusannya. Padahal, seremonial ini tidak ada hubungan langsung dengan
kualitas lulusan.
Pertama,
wisuda adalah artikulasi pencapaian dan kesuksesan. Yang diwisuda adalah mereka
yang telah menyelesaikan satu rangkaian program pendidikan: dalam konteks
pembicaraan kita adalah jenjang SMP atau SMA. Proses belajar mereka tiga tahun.
Untuk menandai, menegaskan, dan mengumumkan keberhasilan seseorang dalam
menempuh satu paket program pendidikan, maka menurut tradisi, mereka diwisuda.
Pencapaian dan keberhasilan menyelesaikan pendidikan di pondok pada hakikatnya adalah keberhasilan semua pihak. Sebagai subjek belajar santri adalah aktor utama. Keberhasilan mereka menyelesaikan tugas keaktoran itu tidak lepas dari permainan cantik para aktor dan aktris yang lain. Orang tua wali santri bisa berperan sebagai produser dan pemain pembantu sekaligus. Demikian pula dengan guru, aktor utama kedua yang perannya sangat dominan dan menentukan keberhasilan sang aktor. Kesadaran bahwa aktor membutuhkan orang lain untuk sebuah pementasan adalah ruang dialogis kesetaraan peran yang menarik. Apa pun repertoire-nya, aktor tetap butuh kostum, make-up, dan panggung dengan pencahayaan dan musik yang apik. Juga penonton.
Kedua, wisuda adalah ruang ekspresi dan apresiasi. Wisuda tidak
lagi identik dengan toga. Para Gen-Z telah memilih kostum mereka sendiri. Yang
paling unik adalah para santri akhwat. Eskpresi untuk mereka adalah juga
bermakna menyiapkan gaun khusus untuk wisuda. Itu artinya persiapan mereka
untuk itu tentu lebih lama, detil, dan mahal. Tetapi, sebagai sebuah keinginan
tradisi hal itu terus diupayakan sebagai bagian dari proses mereka menikmati
seremonial tersebut. Gaun rancangan mereka akan menjadi kebanggaan dan
identitas khusus angkatan akhwat. Percaya atau tidak, energi mereka untuk yang
satu ini pasti sangat besar karena ini menjadi salah satu puncak ekspresi akhir
mereka di pondok.
Sebagai ruang apresiasi, wisuda adalah momen yang tepat untuk memberikan
penghargaan kepada sejumlah santri yang mampu tampil di atas rata-rata untuk
sejumlah bidang. Untuk yang tidak pernah mondok, fenomena santri berprestasi adalah
informasi yang menakjubkan. Betapa tidak! Jauh dari kehangatan keluarga di
rumah pasti sudah membuat seseorang berjuang keras untuk bisa survive.
Untuk itu saja sudah membutuhkan perjuangan yang luar biasa. Tetapi, mondok bukan
sekadar mampu survive di asrama, tetapi juga harus belajar di sekolah dengan
segudang agenda yang sangat menyita waktu dan tenaga.
Nah, kalau faktanya ada sejumlah santri yang mampu tampil di atas
rata-rata, maka tentu adalah mereka yang sudah berhasil mengalahkan diri mereka
sendiri. Mereka sudah bukan santri kemarin sore, tetapi santri yang pantas
diberikan apresiasi atas segala perjuangan mereka dalam belajar. Oleh karena
itu, pada saat wisuda, sekolah merasa berkepentingan untuk memberi apresiasi
terbaik untuk mereka yang: hafal 30 juz, nilai ujian sekolah tertinggi, nilai mata
pelajarannya tinggi (matematika, ekonomi, geografi, kimia, bahasa Inggris,
bahasa Indonesia, dan lain-lain), terprogres di asrama, siswa teladan yang nilai
akademik dan nonakademiknya tertinggi, dan nilai ijazah tertinggi
Sampai di sini, apresiasi tinggi harus kita sematkan pada kerja keras dan ikhlas para guru dan asatidz. Betapa tidak! Untuk bisa mendapatkan nama-nama mereka yang pantas mendapatkan penghargaan di atas pasti membutuhkan kesadaran dan kerja keras. Tergambar proses itu berlangsung setiap saat selama tiga tahun. Sungguh sebuah pengabdian dan ungkapan kasih sayang. Tak ada yang bisa menukar ketulusan ini dengan apa pun. Biarlah doa tulus kita untuk para guru dan asatidz tercatat di langit dalam keridhoan Allah.
Ketiga, wisuda adalah performances and entertainment. Ini wilayah kreatif sekaligus rigid. Mari kita beranikan diri untuk masuk. Bismillah. Wisuda
adalah panggungnya para civitas akademika. Mereka mengundang para orang tua
wali santri dan sejumlah pihak yang selama ini membantu proses mereka. Selayaknya
seni pertunjukan, maka panggung wisuda harus mampu menampilkan sesuatu yang sakral,
hikmat sekaligus menghibur. Mengapa begitu? Kita meminta waktu mereka cukup
lama, mungkin hampir lima jam. Apakah kesediaan mereka duduk lima jam hanya
kita suguhkan sesuatu yang monoton dan tidak menarik? Sungguh kurang bijak. Panitia
dan pondok harus menggarap acara wisuda sebagai sebuah pertunjukan yang
menarik, berkesan, dan pada akhirnya menimbulkan katarsis pada undangan yang
hadir. Bila wisuda tidak menggarap sisi entertainment ini, maka panitia
dan pondok gagal menjadikan wisuda sebagai salah satu instrument marketing
mix yang menarik. Nama baik dan reputasi pondok dipertaruhkan. Oleh karena
itu, wisuda tidak boleh digarap seadanya dan dengan cara serampangan karena ini
adalah artikulasi pondok untuk masyarakat.
Sebagai pertunjukan, maka panitia dan pondok seharusnya tidak menolerasi
keteledoran dan kelalaian sedikit pun karena ditonton banyak orang. Zero complain.
Pertunjukan itu harus memuaskan. Untuk menghadirkan suasa hikmat dan menghibur
sekaligus, pondok dan panitia harus berjuang sekuat tenaga untuk mewujudkannya.
Di titik ini, pura-puralah profesional, meskipun masih amatir. Jangan sebaliknya.
Dengan begitu, pondok dan panitia harus berani men-challenge diri mereka
untuk menghadirkan yang optimal, bukan sekadar dan secukupnya saja. Asal ada. Asal
jalan. Itu tidak bisa diterima karena banyak orang sudah meluangkan waktu
mereka yang sangat berharga untuk hadir dan menyaksikan apa yang kita sajikan. Untuk
itu, panitia harus mampu mengemas acara wisuda sejak awal sampai klimaks dengan
hati-hati. Hindari betul hal-hal kecil yang bisa membuat pertunjukan kita
menjadi antiklimaks atau bahkan merusak kehikmatan acara.
Pondok dan panitia yang membiarkan mereka yang tidak siap untuk tampil
adalah pondok yang tidak mengerti bahwa momen itu adalah sesuatu yang penting
untuk PPDB mereka. Pondok yang tidak menggarap tayangan video dengan rapi dan
cantik, perpindahan satu acara ke acara lain dengan smooth,
memperhatikan ketepatan ucapan dengan tayangan, tata cahaya yang memukau, tata
suara yang menyamankan, kostum para penampil yang serasi dan tepat tujuan, musik
yang tepat dan menghanyutkan, pengisi acara yang memukau penonton, dan seluruh
narasi pertujukan dengan tertib adalah pondok yang ceroboh karena sudah menyia-nyiakan
kesempatan untuk mendapatkan credit points, nama baik, dan reputasi. Pondok
yang berlaku demikian telah memubazirkan umur (waktu), tenaga, dan uang dengan semena-mena.
Mereka gagal memanfaatkan peluang dan kesempatan emas untuk tampil mengemas segala
informasi prestasi mereka dengan cantik dan menarik. Mereka gagal
mengorkestrasi suasana yang menggairahkan menjadi kekuatan yang mampu menyihir
setiap yang hadir untuk berpihak pada mereka. Kalau setelah pertunjukan para
penonton hanya merasakan kepenatan dan kelelahan karena harus duduk selama lima
jam, maka sesungguhnya panitia telah gagal. Kalau penonton tidak merasakan
katarsis dan klimaks dari pertunjukan tersebut karena sebagian pengisi acara cengengesan
dan tidak siap tampil, maka sesungguhnya pondok telah merampok waktu dan umur
mereka hanya untuk menyuguhkan pertunjukan amatiran yang tidak berdampak dan
berkesan apa-apa. Antiklimaks. Kontraproduktif. Kosong. Melompong.
Pertunjukan adalah seni mengelola emosi. Itu membutuhkan waktu. Ketepatan
tampil dengan apik adalah salah satu kunci. Jangankan salah ucap atau salah
putar musik atau video, terlambat atau muncul terlalu cepat satu tel saja, itu
sudah aib. Sebuah pertunjukan yang apik adalah pertaruhan kerja seorang stage
manager atau stage director handal. Oleh karena itu, sesungguhnya
acara wisuda membutuhkan posisi itu. Panggung harus ada yang bertanggung jawab.
Panggung harus ada komandannya. Jangan biarkan panggung tanpa pemilik. Jangan
biarkan panggung jadi arena pasar malam. Panggung harus terkendali dengan baik,
maka pertunjukan yang apik boleh kita harapkan lahir dari situ. Ini memang
proses, tetapi kalau tidak ada upaya dan kemauan, itu artinya kita memang tidak
memahami arti dan fungsi penting sebuah wisuda. Akhirnya, benar, wisuda hanya akan terjebak
sebagai annual event tanpa ruh. Orang tidak lagi tertarik karena mereka
tidak pernah mendapatkan katarsis dan pengalaman emosional ketika hadir di
situ. Marketing mix-pun kembali masih butuh perjuangan. Semoga kita bisa rendah hati untuk
menyadari hal ini dan mempersiapkan diri untuk mempersembahkan wisuda yang
menyenangkan dan lebih keren tahun depan. Semoga. Aamiin.
Panggung sepi. Penonton terakhir pun pergi. Kini, tinggal brosur, tissue bekas, dan kenangan. Tangis dan tawa terbawa pulang.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Depok,
Mei 2024