Halo, Kamu Siapa?

 “Pak, saya punya tiga pertanyaan. Tolong Bapak jawab dengan jawaban yang berbeda. Nah, kalau ada orang bertanya, siapa Bapak? Bapak akan jawab apa?”

“Saya? Saya pegawai PLN.”

“Siapakah Bapak?”

“Pegawai PLN!”

“Siapakah Bapak?”

“Saya pegawai PLN yang sebentar lagi pensiun.”

“Terima kasih banyak, Pak!”

Siapa kita hari ini? Pertanyaan sederhana ini ternyata membutuhkan jawaban yang membuat sejumlah para peserta pelatihan gelagapan. Betapa tidak! Kita selama ini hanya mengenal istilah peran ganda, dan itu pun sangat beraroma gender. Kita luput menyadari bahwa sesungguhnya secara fitrah kita tidak mungkin hanya memiliki satu atau dua peran. Sangat mustahil.

Kuasi Identitas

Kabar buruknya, tidak sedikit orang gugup dan gagap untuk punya dunia lain selain dunia kerja. Identitas buat mereka adalah status kepegawaian. Yang ada di benak banyak orang adalah pekerjaan dan pekerjaan karena mereka berprinsip pekerjaanlah yang telah membuat ia bisa beli ini beli itu, bisa ke sini dan ke situ, makan ini dan makan itu, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, wajar bila karier adalah segala-galanya. Semua harus tunduk demi karier dan pekerjaan.

Setiap peserta pelatihan diajak untuk menyelami siapa dirinya di hadapan realitas kehidupannya. Seseorang tidak mungkin mampu membatasi peran sosial yang inheren bersama keberadaan dan kedudukannya sebagai makhluk individual dan sosial. Sebagai makhluk, seseorang adalah hamba dan khalifah Allah: seorang anak dari kedua orangtuanya; mungkin juga seorang suami atau istri dari seseorang; seorang paman dari sejumlah keponakan; seorang karyawan dari sebuah perusahaan; seorang ayah untuk anak-anaknya; salah satu jamaah sebuah majelis zikir. atau juga seorang mahasiswa program doktor di sebuah universitas. Begitu seterusnya.

Namun, kehidupan sering kali menempatkan kita pada banyak kondisi yang tidak menguntungkan, karena tidak ada keseimbangan di dalamnya. Hidup yang multidimensi tidak berbanding lurus dengan ketersediaan waktu, tenaga, dan kesempatan serta kemauan kita untuk memenuhinya. Oleh karena itu, kita acap kali dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit dalam hal pemanfatan waktu, tenaga, dan kesempatan itu. Pada banyak kasus, sejumlah orang kemudian lebih memilih bermain di zona aman yang memang langsung berhubungan dengan aktivitas bekerja: berkarier dan mencari uang untuk keberlangsungan kehidupan.

Di sejumlah kelas yang lain, potret ini tanpa disadari membuat banyak orang insyaf kalau selama ini mereka banyak mengabaikan sejumlah hal alamiah dalam hidup mereka. Tidak sedikit juga di antara kita yang terlalu sibuk atau asyik di satu dimensi saja dan melupakan dimensi yang lain. Asyik mengejar karier boleh saja, tetapi mesti diingat bahwa semua ada takarannya. Alangkah bijaksana bila sambil sibuk bekerja dan mengejar karier seseorang juga memberi ruang dalam hidupnya untuk menikah dan membangun sebuah rumah tangga sebagai sebuah kewajaran manusiawi.

Bukankah akan menjadi oase yang menyejukkan, manakala kita juga menjadwalkan diri untuk shalat berjamaah di masjid, menyempatkan diri mempelajari tafsir Al-Quran dan menargetkan hafalan beberapa juz. Sungguh menyenangkan, bila kita tetap punya slot waktu untuk shalat berjamaah bersama keluarga, mengunjungi rumah atau makam orangtua bersama mereka, atau menikmati makan siang di antara hamparan rumput hijau di sebuah kaki bukit favorit keluarga. Kita pasti senang, bila di hari libur, dapat menghadiri rapat RT dan bersama dengan para tetangga membersihkan saluran air dan membuat taman bermain untuk anak-anak di kompleks perumahan tempat tinggal kita.

Seorang peserta pada sebuah pelatihan di Indragiri Hilir, Riau, tertegun setelah mengisi lembar kerja tentang potret masa kininya. Ia merenung. Terlihat dari pohon keseimbangannya rimbun di beberapa bagian tetapi kering kerontang di bagian yang lain. Bahkan, yang paling meranggas justru kehidupan bermasyarakat. Ia lalu berujar, "Waduh, nanti kalau saya meninggal, yang akan menggotong saya siapa, ya?" Pertanyaan yang terkesan agak miris itu meluncur begitu saja ketika ia menyadari bahwa selama ini ia hampir tidak punya waktu untuk bersosialisasi di lingkungan rumahnya.

Apakah itu juga potret kita? Kehidupan dengan segala agendanya hampir-hampir meminta lebih daripada porsi yang seharusnya. Sejumlah sendi lumpuh di hadapan kesibukan. Akhirnya, sudah tidak jelas lagi: kita terjebak atau sengaja menjebakkan diri dalam situasi seperti itu. Mengapa begitu? Karena diam-diam kita sering membela ego kita bahwa segala kesibukan berkarier adalah alasan yang paling ampuh untuk tidak menghadiri kerja bakti, pengajian bulanan, olah raga bersama, atau kumpul-kumpul keluarga. Rasanya, kalau sudah urusan dinas atau pekerjaan semua harus tunduk dan maklum. Come on…betulkah begitu?

Sebuah Kerinduan

Malang, Agustus 2005. Kami mendapatkan kejadian menarik tentang pentingnya keseimbangan dalam kehidupan.

Seorang pengusaha sukses dari Jawa Tengah dengan sangat antusias berbagi tentang keberhasilan bisnis perusahaannya yang meroket. la tampak sangat bahagia, bangga, dan bersemangat. Matanya berbinar-binar ketika menuturkan keberhasilan lembaga keuangan yang dipimpinnya.

Namun, yang terjadi tiga hari kemudian sungguh berbeda 180 derajat. Saat itu, ia meminta waktu untuk menyampaikan sesuatu. Meskipun mikrofon sudah di tangan, ia tidak kunjung mengucapkan sepatah kata pun. Suasana pun senyap. Menunggu. Manakala ia mulai berbicara, ternyata ia hanya sanggup mengucapkan dua kata: anak saleh. Setelah itu, ia tenggelam dalam haru dan tak mampu lagi berkata-kata. Kesunyian seketika menyergap dan menghanyutkan kami semua.

Kejadian tersebut bisa menjadi iktibar bagi kita. Keberhasilan dalam karier dan pekerjaan memang impian kita. Tetapi, kebutuhan dan kerinduan akan hadirnya seorang anak adalah soal lain. Betapa yang pertama tidak mungkin menutupi kebutuhan akan yang kedua. Gelombang kehampaan itulah yang tampaknya tengah kami rasakan bersama isak tangisnya pagi itu. Betapa kerinduan akan hadirnya seorang putra setelah 16 tahun berumah tangga tidak mungkin tergantikan. Kerinduan itu hampir saja menempatkan kesuksesan karier menjadi sia-sia dalam kehidupannya. Kini, di usianya yang hampir 60 tahun, keseimbangan itu pun hadir dengan putranya yang belum genap 10 tahun.

Wasiat Suci

Cerita ini terjadi di kelas reguler Lembang 2006. Kali ini tentang seorang pengusaha sukses asal Bandung. Sebut saja namanya Kang Agus. Ia berlatih bersama istri dan seorang anak gadisnya yang baru kelas 1 SMA.

Kang Agus selalu ingin meningkatkan derajat keimanan dan keikhlasan sebagai upaya lebih merimbunkan pohon keseimbang an hidupnya. Pengusaha berusia sekitar 50-an tahun ini telah membuat seisi kelas terpana dalam syukur dan haru.

Pagi itu, di hari ketiga pelatihan, Kang Agus meminta waktu untuk bicara. Dengan perlahan, bening, dan tegas, ia menyampaikan wasiat penting kepada istrinya. Dengan disaksikan anak gadisnya yang terbalut bisu, ia mengatakan bahwa mulai bulan depan, ZIS (zakat, infak, dan sedekah) 20% akan diambil dari seluruh keuntungan sembilan perusahaan miliknya. Ia juga berwasiat, jika ia meninggal dunia lebih dulu, hal itu harus tetap diteruskan oleh istri dan anak-anaknya.

Istri Kang Agus rupanya juga tidak mau kalah. Ia menyatakan siap menunaikan wasiat suaminya. Luar biasa. Sebuah adegan edukatif yang berharga untuk putri mereka. Kerinduan untuk lebih merimbunkan sisi spiritual, emosional, dan hidup bermasyarakat dari keseluruhan dahan dan ranting kehidupannya, menjadi oasis yang tak pernah kering. Nilai-nilai keimanan dan kemanusiaan telah mengejawantah dan terus bersemi dalam jiwa setiap insan yang mau menerima sinyal-sinyal keilahian sebagai jalan takwa yang dipilihkan dan dipilihnya.

Nah, bagaimana dengan cabang dan ranting dari pohon keseimbangan kita? Akankah kita biarkan ia meranggas di tengah kerimbunan cabang dan ranting yang lainnya? Apakah kesadaran akan pentingnya hidup seimbang telah benar-benar membuat Anda lebih terbuka atas segala kemungkinan yang terjadi akibat semua pola relasi yang kita bangun selama ini? Lalu, apakah hidup kita sudah seimbang sekarang? Kalau belum, pasti Anda tahu di ranting yang mana yang rimbun dan yang mana yang meranggas, bukan? Jadi, tunggu apalagi?

Halo, Kamu siapa?

Wallahu a’lam bi al-shawab.

Depok, Juni 2024

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form