Ruang Insaf untuk Guru

Guru adalah aktor utama dalam pendidikan. Dia bukan pemain pembantu apalagi figuran. Seluruh aktivitas guru adalah peran penting. Seluruh skenario dunia pendidikan pasti melibatkan guru. Tidak ada guru, tidak ada proses belajar mengajar. Tidak ada guru, tidak ada pendidikan. Semua paham dan maklum itu.

Sekarang, mari kita bicara perihal sosok seorang guru. Siapa yang kita bicarakan sebagai guru di sini? Sejujurnya, kita tidak ingin terjebak pada pembicaraan teknis. Namun, sebagai sebuah upaya pemetaan betapa luasnya cakupan guru, baiklah kita sebutkan serba sedikit.

Sebutan guru pada umumnya merujuk kepada orang yang mendidik dan mengajar. Sejatinya, sebutan itu tidak harus merujuk guru sebagai profesi di satu lembaga pendidikan tertentu. Mereka bisa ada di mana saja: di PAUD, TK, SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi, lembaga kursus, atau lembaga training. Mereka juga bisa ada di Raudhatul Athfal (RA), Bustanul Athfal (BA), Tarbiyatul Athfal (TA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), maupun pesantren. Panggilan dan sebutan untuk mereka pun beragam:  guru, ustadz (ustadzah), dosen, faculty member, instruktur, juga trainer.

Intinya, semua orang yang mengajarkan dan mencontohkan sesuatu dalam proses belajar mengajar dan pendidikan, di mana pun tempatnya, apa pun sebutan dan panggilannya, dialah guru. Dia mendidik dan mengajarkan sesuatu. Dia membimbing dan mengarahkan. Siapa yang dididik dan diajar? Anak manusia. Masya Allah. Sebuah kedudukan yang mulia dan tinggi.

Ketika ranah tugas dan tanggung jawabnya berbeda-beda, maka syarat dan kualifikasi mereka pun berbeda-beda. Ada yang harus sekolah khusus, punya strata dan keterampilan tertentu, atau punya pengalaman yang berhubungan dengan bidang yang diajarkannya.

Mari kita diskusi serba sedikit. Pertama, kualifikasi seharusnya berbanding lurus dengan prestasi dan kebahagiaan. Tidak semua orang bisa mengajar dan menjadi guru TK, SD, SMP, SMP, perguruan tinggi, lembaga kursus, atau lembaga training. TIdak semua orang bisa mengajar di mana pun. Tidak ada guru hebat di semua jenjang dan jenis pendidikan. Berarti, tidak ada guru yang pas dan cocok untuk semua umur dan jenjang pendidikan. Semua punya ruang dan kavlingnya masing-masing. Dengan demikian, seharusnya, tidak ada yang boleh merasa paling hebat dan berjasa dalam mendidik dan mengajar seorang anak. Dengan perkataan lain, seharusnya, tidak ada yang boleh merasa paling bergengsi dan paling hebat dalam tugasnya sebagai guru.

Seorang sahabat, sangat berprestasi dan happy ketika mengajar di SMA. Berbagai karya inovasi dan prestasi berhasil diraihnya. Penghargaan dan puja-puji pun diterima. Sekolah dan orang tua pun bahagia. Tetapi, ketika pada suatu ketika ia dipindahkan oleh yayasan untuk mengajar di SD kelas 1. Mulailah timbul masalah. Ia merasa kesulitan. Jangankan prestasi dan inovasi, untuk memenuhi target minimal kurikulum saja ia terengah-engah. Berbagai complain pun berdatangan. Akhirnya, ia dinilai gagal.

Seorang doktor lulusan luar negeri sangat cemerlang kariernya di kampus. Jabatan akademik dan strukturalnya pun semakin menanjak. Sebentar lagi gelar professor pun di tangan. Tulisan dan bukunya jadi rujukan dunia pendidikan. Ia menjadi pembicara hebat di berbagai seminar dalam dan luar negeri. Namun, suatu saat, ketika diundang untuk memberikan kuliah umum kepada sejumlah siswa SMP, ia mati kutu. Tak seorang anak pun memperhatikan kehadiran dan apa yang dibicarakannya. Berkali-kali ia menampakkan kegusarannya dengan bersuara keras dan mengingatkan agar para siswa diam dan memperhatikannya. Berkali-kali pula ia menghela napas dan mengeringkan wajahnya yang berkeringat di ruangan berpendingin. Ia nampak sangat frustrasi. Ternyata, prestasi dan reputasinya selama ini tidak bermakna sama sekali di hadapan siswa SMP.

 Kualifikasi sangat penting. Bukan saja kualifikasi pendidikan tetapi juga mental dan bakat. Yang disebut terakhir nanti akan kita bicarakan secara lebih mendalam di bagian yang lain. Dua contoh di atas mengisyaratkan kepada kita, bahwa kualifikasi bukan semata-mata soal pendidikan, tetapi keterpanggilan dan keberterimaan yang berbeda. Di sinilah bertemu kemauan dan kemampuan bukan hanya karena penempatan dan penugasan. Tidak ada dan tidak berguna kesombongan intelektual pada situasi seperti itu.

Pada gilirannya, tantangan dan tingkat kesulitan punya kadarnya sendiri-sendiri. Bukan mentang-mentang guru PAUD, TK, atau SD maka kita anggap masalah dan tantangannya pasti kecil. Tidak demikian. Demikiran pula sebaliknya, tidak berarti yang mengajar di perguruan tinggi selalu hebat sehebat tantangannya. Buktinya, saat ini tidak jarang kita temui frekuensi dan kemauan bertanya anak TK dan SD bisa lebih sering dan lebih besar dibandingkan dengan siswa SMA dan mahasiswa.

Kedua, kesempatan seharusnya bermakna perjuangan. Tidak sedikit di antara kita yang menjadi guru karena ada kesempatan, bukan karena kemauan apalagi kemampuan. Tidak mengapa. Tidak masalah. Semua titik berangkat menjadi bermakna ketika selama proses dan akhir perjalanan ada sesuatu yang bisa diimprove dan diinovasikan. Bukankah hasil akan menggambarkan proses yang mengawali dan menyertainya?

Tidak sedikit yang punya kualifikasi tetapi melempem di medan juang. Sebaliknya, banyak pula yang mulanya diragukan karena tidak punya kualifikasi justru berhasil di ranah pendidikan yang diasuhnya. Termasuk juga soal pengharkatan dan penghargaan dari mereka yang ada di sekelilingnya.

Persoalannya bukan karena tidak bermanfaat tetapi sangat boleh jadi hanya sekadar salah kamar dan salah tempat. Seseorang akan cemerlang bila ia memadukan antara kesempatan yang ada dengan kemauan dan kemampuan. Semangat saja tidak cukup. Kita dituntut memiiki potensi dan kompetensi karena yang kita hadapi adalah sesuatu yang dinamis.

Ketiga, mendidik dan mengajar adalah spesial. Ini bagian dari mindset awal. Hadir di kelas dan berhadapan dengan tunas-tunas muda harapan bangsa adalah sesuatu yang tidak dimiliki oleh semua orang. Hanya orang-orang yang dipercayalah yang diberikan kesempatan untuk itu. Jadi, ketika kepercayaan itu hadir untuk kita, maka harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Kehormatan harus dibalas dengan kehormatan.

Mengajar itu perlu waktu. Mendidik pun demikian. Oleh karena itu, seorang guru harus tetap ada di jalur perjuangan apa pun yang dihadapinya. Ini memang kualifikasi mental. Kualifikasi ini berbeda-beda menurut ranah pendidikan yang kita geluti. Mengapa demikian? Karena persoalan tahapan usia peserta didik kita berbeda. Akankah kita lebih baik mengidentifikasi diri seperti mereka? Itu pun bukan sesuatu yang menjadi jalan keluar atas segala persoalan.

Keempat, kemauan dan keberanian untuk move on. Masa lalu sang guru tidak jarang menjadi sesuatu yang memberatkan secara psikologis. Hadir utuh di kelas memang membutuhkan ketulusan. Termasuk ketulusan kita untuk menerima keberadaan kehidupan kita yang sesungguhnya.

Tidak ada guru yang hadir di hadapan muridnya dalam kondisi yang ideal. Kalau ia termasuk yang tidak bersyukur, maka ia akan selalu menggugat keberadaan dirinya yang jauh dari keinginannya.

Sejumlah kasus menarik terjadi. Pada sejumlah sekolah yang muridnya terdiri atas kelompok masyarakat kelas menengah atas tidak jarang membuat sebagian guru merasa minder dan merasa tak sepadan. Ini berbahaya. Sungguh, ini berbahaya. Kompleksitas perasaan itu akan sangat mengganggu performance mereka sebagai guru. Apa jadinya bila seorang guru yang masuk kelas dengan perasaan tertekan karena ia merasa lebih “rendah” dibandingkan dengan para muridnya? Bila kompleksitas perasaan itu terus menghantui dan yang bersangkutan tidak berupaya sekuat tenaga untuk “keluar” dari perasaan tersebut, ia akan jadi bulan-bulanan perasaannya dan tidak akan maksimal dalam mengajar. Bahkan bisa jadi, ia tidak dapat mengelola kelas dan pembelajaran dengan baik.

Pada banyak kesempatan, saya sering mengatakan dan mengingatkan kepada sejumlah guru muda yang baru saja “keluar dan mentas” di sekolah seperti itu,”Anda sekarang guru anak mereka. Sekali lagi, guru anak mereka. Mereka sudah mempercayakan pendidikan anak-anaknya kepada Anda. Jadi, Anda tidak bisa menghindar. Terima amanah itu dengan sepenuh hati dengan terus berupaya meningkatkan kapasitas dan kapabilitas untuk bisa memainkan peran strategis yang diperlukan. Jangan merasa minder dengan status sosial. Kalau Anda terus menerus terganggu dengan itu semua, maka yakinlah, Anda tidak akan lepas dan nyaman dalam mendidik. Anda akan sering dihantui perasaan tidak setara”

Orang tua murid tidak mau tau dengan masa lalu kita. Sesungguhnya, mereka tidak terlalu peduli dengan seluruh keterbatasan kita dalam hidup. Yang mereka tahu, sekarang Anda adalah guru anaknya. Andalah yang akan ditanya tentang perkembangan pengetahuan dan akhlak anaknya. Jangan pernah merasa menjadi bagian dari subordinat. Berdiri dan bersamalah dalam sebuah siklus pendidikan yang telah kita sepakati bersama. Kemampuan dan keterampilan menempatkan diri menjadi penting untuk rasa aman orang tua. Mereka tidak ingin mempercayakan pendidikan anaknya kepada mereka yang memiliki sindrom masa lalu yang belum selesai dan mengganggu kinerja serta prestasi kerja Anda.

Berdamai dengan masa lalu adalah sebuah pelepasan yang bijak. Siapa pun Anda di masa itu, jangan sampai merusak irama perjuangan hari ini dan harapan besar esok hari. Untuk itu, seorang guru memerlukan keberanian dan kejujuran ketika berhadapan dengan masa lalunya.

Guru harus sudah selesai dengan dirinya. Betapa pun berat dan sulitnya. Dia tidak boleh menjadikan pekerjaan dan muridnya sebagai sandera kesulitan masa lalunya. Dia harus berani keluar dari tempurung masa lalu yang tidak kondusif untuk menjadi guru yang baik. Dia harus berani mengambil jarak dari semua keterbatasan dan kesulitan hidupnya. Bukan untuk berpura-pura, tetapi untuk kesehatan mentalnya ketika berhadapan dengan para muridnya dengan utuh.

    Wallahu a’lam bi al-shawab.

  

Depok, Maret 2024

2 Comments

  1. Ma sya Allah Barakallahu fiikum

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wafiik Barakallah. Aamiin. Syukron, Ustadz...

      Delete
Previous Post Next Post

Contact Form