Totalitas Sebuah Perjalanan

Perjalanan seperti apa yang paling menarik dan penting dalam hidupmu? Apakah perjalanan itu senantiasa memperoleh atensi terbesar dari kesadaran dunia yang kita bangun atas dasar pemahaman yang serba terbatas tentang hakikatnya? Apa pun itu, sejatinya ketika kita sublim dalam sejumlah perjalanan, kita justru ada dalam frame dunia yang kita konstruksi sendiri. Namun, mencermati apa yang menjadi bagian dari perjalanan Rasulullah, kita senantiasa masuk sebagai bagian dari konstruksi yang dibangun peristiwa itu dalam keseluruhan aspek kehidupan kita.

Dalam catatan sejarah, perjalanan Rasulullah merupakan rangkaian teladan penuh hikmah yang  menempati urutan pertama dan utama sebagai role model dalam keseluruhan episode hidup kita. Pada bagian ini, mari kita tengok kembali sebagian dari cerita perjalanan beliau sebagai seorang manusia yang pernah hidup di dunia ini.

Pertama, perjalanan Rasulullah berdagang (motif ekonomi). Pada usia 12 tahun, Rasulullah SAW diajak pamannya, Abu Thalib, pergi ke Syam untuk berdagang. Negeri Syam kini kita kenal sebagai Damaskus, ibukota Syria. Pada saat perjalanan dagang itu, Rasulullah juga berkunjung ke Bashra (Bosra) yang sekarang merupakan salah satu kota kuno yang terletak di selatan Syria dan berjarak kurang lebih 108 km dari Damaskus yang arahnya berbatasan dengan Jordania. Kota inilah yang terkenal sebagai pusat perdagangan di zaman Romawi. Di kota ini pulalah Rasulullah bertemu dengan pendeta Buhira yang kemudian memberikan informasi tentang tanda-tanda kenabian beliau kepada Abu Thalib.

Perjalanan pertama Rasulullah menjadi satu hal yang sangat menarik untuk dicermati. Pada usia 12, Rasulullah telah berjalan jauh sekitar 1.383 km melintasi batas wilayah kelahirannya untuk kerja magang. Perjalanan ini sangat penting artinya ketika kelak beliau pada gilirannya mengelola bisnisnya sendiri.

      Ketika menjelang dewasa, Rasulullah memutuskan berdagang sebagai kariernya. Pertama, beliau ingin meringankan beban pamannya yang bukan orang kaya namun memiliki beban keluarga  yang cukup besar. Kedua, sebagai salah seorang anggota keluarga besar suku Quraisy yang umumnya pedagang, Rasulullah pun diharapkan menjadi pedagang pula.

     Setelah merintis kariernya dengan berdagang kecil-kecilan di Mekkah, Rasulullah pun mulai menerima modal dari sejumlah investor, para janda kaya, dan anak-anak yatim yang tidak dapat menjalankan sendiri dana mereka. Berbekal kejujuran, keteguhan memegang janji, dan sifat-sifat mulia lainnya dalam menjalankan bisnis itulah yang pada akhirnya membuat Rasulullah mendapatkan banyak kesempatan. Sifat-sifat mulia itu pulalah yang pada akhirnya mempertemukan Khadijah sebagai pemodal (shahibul mal) dan beliau sebagai pengelola (mudharib).

     Setidaknya, 28 tahun Rasulullah menekuni profesinya sebagai pedagang. Selama itu, ia telah berdagang ke Yaman, Syria, Busra, Iraq, Yordania, Bahrain, dan kota-kota perdagangan di Jazirah Arab lainnya. Bahkan sebelum menikah, beliau adalah manajer perdagangan Khadijah yang telah memimpin ekspedisi dagang ke pusat perdagangan Habashah di Yaman dan setidaknya empat kali memimpin ekspedisi dagang ke Syria dan Jorash di Yordania. Yang disebut terakhir adalah kota tua peninggalan Romawi yang setiap tahun menyelenggarakan Jerash Carnival. Bisa jadi, keramaian ini pula yang mendorong beliau berdagang di kota tersebut. 

     Rasulullah adalah pedagang tangguh dan sukses. Dalam artikulasinya, Hodgson (1999:223) mengatakan Abu al-Qasim Muhammad b. ‘Abd Allah adalah seorang pedagang yang penting dan dihormati di Mekkah. Ia telah menunjukkan kecakapannya sebagai seorang pedagang yang mengabdi kepada seorang janda kaya, Khadijah. Dalam hal ini Antonio (2007:83-84) mencatat bahwa Muhammad SAW telah melakukan perjalan dagang atas nama Khadijah sebanyak lima kali. Muhammad SAW menjual barang dagangannya di pasar-pasar di Busra dan memperoleh keuntungan dua kali lipat dibanding pedagang-pedagang lain. Ketika Khadijah mendapati Muhammad SAW mendapatkan keuntungan yang sangat besar, yang belum pernah di dapat oleh siapa puhn, ia memberikan bagian keuntungan yang lebih besar daripada yang telah mereka sepakati sebelumnya.

     Nilai-nilai luhur yang diterapkan Rasulullah dalam berdagang telah memberikan hasil yang luar biasa. Bukan untuk mengejar pundi-pundi materi, tetapi penerimaan dan kenyamanan mitra dagang yang tak mungkin ditukar oleh apa pun. Sekali lagi dapat kita catat, Rasulullah telah meninggalkan kampung halaman untuk berdagang (mencari nafkah). Motif ekonomi yang melatarbelakangi perjalanan beliau adalah satu hal yang memang halal dilakukan dan merupakan rahmat dan nikmat Allah untuk hambanya. Justru dalam aktivitas itulah Allah akan memberikan kemudahan berupa rezeki kepada yang menekuninya dalam tuntunan Allah:  “Dialah Dzat yang telah menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (Q.S AI-MuIk [67]:15).

     Kedua, perjalanan Rasulullah ke Tha’if. Perjalanan ini adalah perjalanan dakwah. Pada tahun kesepuluh kenabian, Nabi dirundung duka mendalam. Apa pasal? Pada tahun itu, Abu Thalib (paman) dan Khadijah (istri) meninggal dunia. Padahal, merekalah sosok pelindung dan penolong terbaik bagi perjuangan beliau.

     Menyadari hal itu, kaum musyrikin Quraish semakin bertambah berani mengganggu beliau. Oleh karena itu, Nabi mulai menghubungi kabilah-kabilah yang berdekatan dengan Makkah. Untuk itu, beliau bersama Zaid bin Haritsah pergi ke Tha'if untuk mendakwahi kabilah Tsaqif. Namun, apa yang terjadi?  Kabilah Tsaqif menolak dakwah beliau. Mereka pun mengusir dan melempari Rasulullah dengan batu. Rasulullah pun akhirnya kembali ke Makkah dengan perlindungan Al Muth'im bin 'Adiy.

Ketiga, hijrah ke Madinah. Inilah perjalanan paling fenomenal dan sangat penting dalam perjuangan dakwah Rasulullah. Peristiwa ini terjadi pada tahun ke-13 kenabian.

     Hijrahnya Rasulullah ke Madinah merupakan babak baru dalam perjalanan dakwah Rasulullah. Setelah mengalami rangkaian pemboikotan dan penyiksaan selama tiga belas tahun oleh kaum kafir Quraish, maka Nabi memutuskan untuk hijrah ke Madinah yang berjarak 600 km sebelah utara Mekkah. Madinah adalah harapan. Madinah adalah ladang baru. Madinah adalah titik sentrum baru peradaban dunia setelah Rasulullah di sana.

     Sahabat sukses yang dirahmati Allah,  peristiwa penting ini menjadi tonggak sangat berarti untuk dunia. Namun, kita pasti sepakat, tentunya peristiwa tersebut tidak berdiri sendiri. Dia mestilah bagian dari sejumlah peristiwa yang melatarbelakanginya. Imtiaz Ahmad menuturkan, ada sejumlah peristiwa penting sebelum peristiwa hijrah ke Madinah terjadi. Pertama, adanya kerinduan komunitas Yahudi di Madinah akan kehadiran Rasulullah. Mereka berharap, Rasulullah akan membantu mereka meruntuhkan kekuasaan suku Aus dan Khazrij di Madinah. 

    Kedua, ketika musim haji tahun kesebelas kenabian, enam orang suku Khazrij menjumpai Rasulullah dan memeluk Islam. Mereka berharap dapat menghukum orang-orang Yahudi dengan pertolongan Rasulullah. Umat Islam di Madinah bertambah karena tujuh orang Madinah kembali memeluk Islam. Untuk memperoleh informasi yang tegas dan jelas tentang kondisi umat Islam di Madinah, Rasulullah pun mengutus Musaab bin Umair sebagai duta Islam pertama sekaligus juru dakwah. 

    Ketiga, pada tahun ke-13, 75 orang dari Madinah mengundang Rasulullah untuk datang ke Madinah. Mereka berjanji akan memberikan jaminan perlindungan dalam keadaan bagaimana pun juga.

     Keempat, umat muslim Madinah juga berjanji, bahwa saudara-saudara mereka dari Mekkah yang akan pindah nanti akan memperoleh  ‘tanah-kelahiran’ baru untuk memulai pengembangan masyarakat Muslim di sana. Hijrah telah melahirkan ukhuwah Islamiyah yang sangat kuat antara kaum Muhajirin dan Anshor. Dari sinilah lahir tatanan masyarakat Madani yang menjadi role model pembentukan masyarakat Islam di seluruh dunia. Atas jaminan dan kepercayaan kepada kaum Anshor pulalah, Rasulullah memberi izin kepada umat muslim Mekkah untuk hijrah ke Madinah. Allah pun telah menegaskan, “Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak……” (QS. An-Nisa’ [4]:100)

                                         Bepergian, Belajar, dan Berkarya

Bepergian, belajar, dan berkarya adalah senyawa menarik untuk sejumlah orang.  Sejumlah muslim terkemuka di zamannya menjadikan ini sebagai bagian tidak terpisahkan dalam jihad mereka di jalan Allah. Dalam semangat keimanan dan kekuatan niat untuk meraih ridho Allah menjadikan setiap jengkal perjalanan mereka—betapa pun sulit dan sakitnya—menjadi tonggak penting pencapaian kemanusiaan dalam balutan keimanan. Dengan demikian, yang lahir dari itu semua adalah karya-karya monumental yang menyertai derap langkah umat.

     Sahabat sukses yang dirahmati Allah, mari kita tengok beberapa jenak para muslim terkemuka dengan perjuangan mereka dalam belajar dan berkarya. Ketika setiap detak jantung dan satuan waktu menjadi sesuatu yang sangat berharga, hanya ada kerja keras dan ketekunan yang menemani hari-hari mereka. Para penembus batas di zamannya itu telah berhasil menorehkan tinta emas untuk umat. Mereka pun kini tercatat sebagai muslim-muslim terkemuka dalam sejarah peradaban manusia. Meskipun demikian, setidaknya, ini bukanlah pencatatan runtun, tetapi sebuah tinjauan terhadap beberapa di antara mereka. Dengan demikian, kita bisa mulai dari mana dan dari siapa pun.

     Pertama, mari kita mulai dari Gaza, Palestina. Pada tahun 150 H/767 M, telah lahir Abu Abdullah Muhammad bin Idris As-Syafii atau yang lebih dikenal sebagai Imam Syafii. Beliau hidup di masa kekhalifahan Harun Al-Rasyid, Al-Amin, dan Al-Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah. Ia termasuk keturunan bangsawan Quraisy.

     Setelah hafal al-Qur’an (9 thn), Imam Syafii menekuni kesusasteraan Arab. Untuk itu ia tinggal di dusun Badui, Banu Hudail, selama beberapa tahun. Imam Syafii pun telah hafal al-Muwatta. Oleh karena itu, ia sangat berkeinginan menemui penulisnya, Imam Maliki, di Madinah. Setibanya di Madinah, justru ia diminta tinggal di rumah Sang Imam sambil memperdalam ilmunya dan bertugas mendiktekan isi kitab Al-Muwatta kepada murid-murid Imam Maliki.

     Beberapa lama kemudian, Ia bertolak ke Irak untuk berguru kepada Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan, keduanya sahabat Imam Abu Hanifah. Setelah dua tahun di Irak, Syafii melanjutkan pengembaraannya ke Persia, Hirah, Palestina, dan Ramallah. Dari sana, ia pun bergegas ke Madinah dan tinggal kembali bersama Imam Maliki.

     Kecintaan Imam Syafii kepada ilmu dan semangat belajarnya yang luar biasa telah menjadikannya seorang pengembara. Di mana ada guru-guru terbaik di bidangnya, akan didatanginya. Ada yang menyebut gurunya hampir mencapai seratus ulama terkenal di masanya. Itulah sebabnya, Ibnu Hajar Asqalani secara khusus menulis buku tentang guru-guru Imam Syafii (Tawali at-Ta’sis). Guru-guru Imam Syafii di antaranya adalah Imam Muslim bin Khalid, Imam Ibrahim bin Said, Imam Yahya bin Hasan, Imam Waqi’, Imam Fudail, dan Imam Muhammad bin Syafi’.

     Lalu, bagaimana Imam Syafii melewati hari-harinya dalam pengembaraan menuntut ilmu? Ternyata Sang Imam hidup serba kekurangan dan penuh penderitaan. Ia terpaksa mengumpulkan kertas-kertas bekas dari kantor-kantor pemerintah dan mempergunakan tulang untuk mencatat pelajarannya. Keprihatinan tersebut diikuti dengan sikap hidup yang teguh untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT.

     Kepandaian dan ketinggian ilmu kemudian membawanya menetap di Yaman, Baghdad, Mekkah, dan Mesir untuk mengajar. Kemasyhuran beliau telah menjadi magnet tersendiri di mana pun beliau mengajar. Di samping mengajar, ia pun aktif menulis buku. Sejumlah buku karyanya yang sampai hari ini tetap menjadi bahan kajian di antaranya adalah Ar-Risalah (ushul fikih), Al-Umm (fikih komprehensif), Al-Musnad (kumpulan hadits), dan Ikhtilaf al-Hadits (penjelasan tentang perbedaan-perbedaan yang ada dalam hadits).

     Kedua, mari kita ke Baghdad, Irak. Pada abad ke-8, tepatnya tahun 780 M, telah lahir Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang biasa kita kenal dengan panggilan Imam Hambali. Sampai berumur 16 tahun, ia belajar al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama kepada ulama-ulama ternama di Baghdad. Setelah itu, ia mengembara ke Kufah, Basra, Syam, Yaman, Mekkah, dan Madinah. Di kota-kota itulah Imam Hambali belajar kepada Hammad bin Khalid, Ismail bin Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walin bin Muslim, dan Musa bin Tariq.  Dari mereka Imam Hambal belajar dan mendalami fikih, hadits, tafsir, kalam, dan bahasa.

     Imam Hambali sangat cinta kepada kegiatan belajar dan ilmu. Setiap kali mendengar ada ulama terkenal di suatu tempat, ia rela meninggalkan kampung halamannya untuk menempuh perjalanan jauh dalam waktu yang lama asal bisa menuntut ilmu kepadanya. Bila demi ilmu dan belajar Imam Syafii rela hidup kekurangan dan menderita, maka Imam Hambali rela untuk tidak menikah di usia muda. Imam Hambali baru menikah setelah berumur 40 tahun.

     Kecintaan dan ketekunannya dalam menuntut ilmu menjadikan Imam Hambali tumbuh menjadi ulama besar yang sangat dimuliakan. Sejumlah ulama besar di zamannya pernah berguru kepadanya. Para ulama yang pernah belajar kepada Imam Hambali di antaranya adalah Imam Hasan bin Musa, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Abu Zur’ah ad-Dimasyqi, Imam Abu Zuhrah, Imam Ibnu Abi, dan Imam Abu Bakar al-Asram.

     Selain mengajar, Imam Hambali adalah penulis buku yang baik. Sejumlah karyanya hari ini masih tetap menjadi bahan kajian penting di kalangan umat. Di antara karya tulis beliau adalah Musnad Ahmad bin Hanbal, Tafsir Al-Qur’an, Kitab an-Nasikh wal Mansukh, Kitab Jawaban Al-Qur’an, Kitab Tarikh, Kitab Taat ar-Rasul, dan Kitab al-Wara.

     Ketiga, kini kita ke Gilan atau Jailan, Iran. Di daerah selatan Laut Kaspia ini pada tahun 470 H/1077 M, telah lahir Muhyi al Din Abu Muhammad Abdul Qadir ibn Abi Shalih Al-Jailani atau yang biasa kita kenal sebagai Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani. Dialah ulama besar yang mampu memadukan antara syariat dan tarekat.

     Pada usia 17 tahun (488 H), Abdul Qadir berangkat ke Baghdad untuk belajar. Tetapi, ia tidak dapat langsung masuk kota selama 7 tahun dan harus menetap di tepi sungai Tigris. Perjuangan berat selama itu dilewatinya dengan penuh kesabaran dan tawakal. Setelah mendapatkan petunjuk untuk masuk Baghdad, ia pun masuk. Di kota itu ia berjumpa dengan para Syaikh, tokoh-tokoh sufi, dan para ulama besar yang kemudian menjadi gurunya.

     Di Baghdad, Abdul Qadir belajar tasawuf dari Syaikh Yusuf al Hamadani. Ia pun bertemu dengan Syaikh Hammad ad-Dabbas. Darinya ia belajar ilmu Tariqah yang berakar dari Syari'ah. Ia juga menjadi murid Abu Zakaria Tabrezi, Rektor Jamiat Nizhamiah, salah satu perguruan tinggi Islam terkemuka saat itu. Delapan tahun ia belajar di sana. Setelah itu, ia belajar kepada Syekh Abu Said al- Mukharimi, ulama termasyhur pada masa itu. Dari beliaulah Abdul Qadir menerima khirqah (jubah kesufian). Khirqoh itu turun-temurun berpindah tangan dari beberapa tokoh sufi agung, di antaranya Syaikh Junaid al-Baghdadi, Syaikh Siri as-Saqati, dan Syaikh Ma'ruf al Karkhi.

     Selain itu, Syaikh Abdul Qadir juga memperdalam ilmunya dengan berguru kepada Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein Al Farra, dan Abu Sa’ad Al Muharrimi. Guru-guru Syaikh Abdul Qadir adalah para ulama besar yang ilmu agamanya sangat luas. Oleh karena itu, tidak heran jika kemudian Syaikh Abdul Qadir menjadi ulama besar menggantikan peran para gurunya tersebut.

     Perjuangan panjangnya dalam belajar adalah satu teladan untuk kita semua. Kegigihan, kedisiplinan, dan ketangguhan Syaikh Abdul Qadir dalam belajar berkelindan dengan pengorbanan dalam banyak hal yang pasti dirasakan oleh siapa pun yang sedang belajar. Kalau pun pada akhirnya ia berhasil, itulah janji Allah untuk mereka yang bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu.

     Selama 25 tahun Syeikh Abdul Qadir menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu secara turun temurun dipimpin anaknya, Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), Abdul Salam (611 H/1214 M), dan Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M ketika diserang tentara Mongolia.

     Syeikh Abdul Qadir Jaelani juga dikenal sebagai pendiri sekaligus penyebar salah satu tarekat terbesar di dunia, Tarekat Qadiriyah. Ia wafat pada 9 Rabiul Akhir di daerah Babul Azajwafat, Baghdad pada 561 H/1166 M. Sejumlah karya besar beliau di antaranya, Tafsir Al Jilani, al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, Futuhul Ghaib, Al-Fath ar-Rabbani,  Jala' al-Khawathir, Sirr al-Asrar,  Asror Al Asror, Malfuzhat,  Khamsata "Asyara Maktuban, Ar Rasael, Ad Diwaan, Sholawat wal Aurod, Yawaqitul Hikam, Jalaa al khotir,  Amrul muhkam, Usul as Sabaa, dan Mukhtasar ulumuddin.

     Sahabat sukses yang dirahmati Allah, mencermati perjalanan dan perjuangan tiga ulama besar, cendekiawan, dan ilmuwan muslim terkemuka di atas, nampaknya mereka memang memiliki sejumlah kesamaan. Mereka adalah pribadi yang mencintai ilmu dan kegiatan keilmuwan. Totalitas mereka ada di ranah itu dan pada akhirnya mereka menuliskan karya-karya pemikiran mereka di bidang yang digelutinya.

     Pergumulan mereka di pusat-pusat keilmuwan pada zamannya memberikan gambaran tentang gairah memperoleh derajat pengertian yang paling hakiki dalam bidang tertentu. Ketotalitasan mereka pada satu atau sejumlah bidang keilmuan menunjukkan kemampuan dan potensi yang luar biasa. Pada titiknya, pengakuan atas karya pemikiran mereka adalah apresiasi tulus atas pencapaian tertinggi dalam ilmu pengetahuan dan kepedulian serta keberpihakan mereka terhadap mutu kehidupan manusia secara keseluruhan. Jadi, wajar bila mereka dan hasil karya mereka menjadi rujukan dan barometer penting peradaban manusia.

Wallahu a’lam bi al-shawab.

Depok, Juni 2024

  

Daftar Pustaka

Antonio, Muhammad Syafii. Muhammad SAW: The Super Leader Super Manager. Jakarta:

      ProLM Center, 2007.

Hodgson, Marshall G.S. The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia.

      (Buku Pertama: Lahirnya Sebuah Tatanan Baru) Jakarta: Paramadina, 1999.


Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form