Geliat Komunitas Belajar SMAN 37 Jakarta

             Ruang guru SMAN 37 Jakarta mendadak menjadi ruang workshop menulis. Tidak kurang 30 orang guru serius mengikuti “Workshop Menulis: Kiat Sukses Menulis Nonfiksi”. Dengan memanfaatkan waktu di Jumát siang sampai sore, para guru berupaya sekuat tenaga untuk bisa menikmati workshop yang sejatinya sangat dekat dan penting untuk profesi mereka sebagai pendidik. Oleh karena itu, di antara tumpukan buku tugas murid di sejumlah meja, mereka mengikuti workshop ini dengan penuh semangat dan harapan.

Apa yang disampaikan Kepala Sekolah, Ibu Lilik Setyoharyanti, pada saat membuka workshop bisa jadi dapat membesarkan hati para guru. Apa pasal? Beliau menyampaikan bahwa sertifikat keikutsertaan dan tulisan yang nanti akan dibukukan bisa diunggah di PMM (Platform Merdeka Mengajar). PMM memang didesain untuk menunjang implementasi Kurikulum Merdeka agar dapat membantu guru dalam mendapatkan referensi, inspirasi, dan pemahaman tentang Kurikulum Merdeka. 

Platform Merdeka Mengajar memang disediakan Kemendikbud untuk menjadi teman penggerak bagi guru dan kepala sekolah dalam mengajar, belajar, dan berkarya. Ada sejumlah menu yang dikelompokkan berdasarkan manfaatnya: Pengembangan Diri, Mengajar, Inspirasi, dan Tentang Kurikulum Merdeka. Nah, workshop Menulis ini dapat masuk ke menu, pertama, “Pengembangan Diri”, khususnya “Pelatihan Mandiri” dan “Komunitas”. Materi workshop dapat menjadi sarana pelatihan mandiri dan workshop ini adalah salah kegiatan yang diadakan oleh Komunitas Belajar (Kombel) SMAN 37 yang diketuai oleh Bapak Muhammad Asfani. Kedua, di menu “Inspirasi”. Dengan tulisannya, para guru bisa masuk lewat kanal “Bukti Karya” dan “Ide Praktik”.

Memendekkan Jarak

Profesi guru dan keterampilan menulis tidak boleh dipisahkan. Guru juga tidak boleh menganggap bahwa keterampilan menulis adalah sesuatu yang berjarak dengan tugas utamanya. Mengapa demikian? Sebagai pendidik, guru adalah profesi intelektual, menulis juga demikian. Semestinya, keterampilan menulis sublim dalam aktivitas seorang guru. Dengan kata lain, aktivitas menulis inheren dalam seluruh aktivitas edukasional seorang guru. Jadi, profesi seorang guru dan keterampilan menulis adalah dua sisi dari sekeping koin. Mereka tidak dapat dipisahkan.

Lalu, mengapa hari ini kedua entitas itu nampak saling berjauhan? Jawabannya adalah karena ada puzzle yang dilupakan atau terlupakan. Begini. Profesi guru seharusnya adalah profesi yang sangat dekat dengan praktik pengokohan empat keterampilan berbahasa: menyimak dan membaca (reseptif) serta berbicara dan menulis (produktif). Seorang guru dengan mindset bertumbuh adalah mereka yang tidak pernah sepi dan berjarak dengan praktik empat keterampilan berbahasa ini. Pertama, seorang guru yang baik harusnya yang banyak menyimak apa yang dibutuhkan murid, lingkungan sekolah, dan dunia pendidikan. Buah dari menyimak ini adalah ide dan gagasan untuk menajamkan materi pengajarannya.

Kedua, membaca. Guru yang berhenti membaca sama dengan guru  yang berhenti belajar. Guru yang berhenti belajar, sejatinya tidak pantas mengajar. Apa yang harus dibaca oleh seorang guru? Tentu pendalaman dan penajaman serta pengayaan materi ajarnya sehingga terus up to date agar mampu menjawab kebutuhan dan tantangan zaman. Oleh karena itu, seharusnya tidak ada guru yang berhenti membaca. Kalau guru berhenti membaca, bisa diartikan ia berhenti belajar. Dengan demikian, mereka selalu membutuhkan keterampilan membaca karena hal itu memang sangat dibutuhkan. Lagi pula, bukankah ini perintah pertama Allah SWT kepada kita?

Ketiga, berbicara. Inilah keterampilan berbahasa genuine milik seorang guru. Guru yang baik adalah mereka yang keterampilan berbicaranya sangat baik. Dengan keterampilan itulah mereka menjalankan proses dan fungsi pengajaran dan mendidik. Seorang guru dengan keterampilan berbicara yang baik tentu akan menghasilkan kualitas pengajaran yang baik juga. Lalu, apa yang dibicarakan dan bagaimana cara mengartikulasikannya? Inilah apa yang mereka miliki dari dua proses reseptif sebelumnya (mendengarkan dan membaca). Bila apa yang mereka dengarkan dan baca adalah segala sesuatu yang sangat berhubungan dengan subjek atau disiplin ilmu mereka, maka itu artinya mereka punya bahan yang cukup dan menarik untuk diartikulasikan dengan baik di kelas. Dengan penguasaan materi itu pulalah, mereka bisa mengelola dan mempesona kelas dengan baik. Dari titik inilah kualitas pengajaran dan pendidikan boleh kita harapkan.

Dari tiga praktik keterampilan itu, seorang guru sejatinya harus sampai pada kesadaran bahwa ia membutuhkan satu keterampilan lagi untuk menopang dan mempercantik performance-nya: keterampilan menulis. Persiapan, hasil, dan proses pembelajaran dan pendidikan pasti sangat membutuhkan dan tidak akan lepas dari penguasaan keterampilan menulis. Bila saja seorang guru jujur dengan dirinya sendiri, pasti ia akan mengakui dan menyadari, bahwa untuk dapat tampil sebagai pengajar dan pendidik yang handal mereka pasti membutuhkan keterampilan menulis. Artinya, keterampilan menulis adalah salah satu keterampilan yang sangat “seksi” dan strategis untuk prestasi dan prestise seorang guru dalam seluruh aktivitas edukasionalnya.

Workshop Menulis yang diadakan SMAN 37 Jakarta ini adalah salah satu upaya memendekkan jarak antara aktivitas pengajaran dan pendidikan yang telah dijalankan selama ini dengan aktivitas menulis. Inilah gagasan yang sangat menarik. Mengapa begitu? Pasti semua guru menyadari bahwa setiap hari adalah unik dan spesial, seperti halnya mereka. Oleh karena itu, agar umur, energi, dan pengalaman unik dan menarik dalam seluruh aktivitas mengajar dan mendidik tidak menguap begitu saja bersama waktu yang melesat, ayo kita bersinergi untuk memendekkan jarak antara artikulasi dan tindakan berpola yang terarah selama ini dengan aktivitas menulis yang mengasyikkan.

Educational Experience

Pengalaman mengajar adalah pengalaman yang spesial. Tidak semua orang berminat jadi guru. Tidak semua yang berminat bisa menjadi guru. Tidak semua yang bisa jadi guru bersedia berjuang untuk menjadi guru yang baik. Tidak semua guru yang baik akan tetap menjadi guru untuk mereka yang membutuhkan pengalaman, keterampilan, dan kecerdasannya. Oleh karena itu, mari kenali diri kita, benarkah kita ini guru? Konsep guru seperti apa yang kita yakini untuk menjalani profesi ini? Guru yang baikkah kita? Apa kekuatan dan kekurangan kita sebagai guru? Jadi, kita guru yang seperti apa?

Pertama, ambil jarak. Mari hampiri dunia kita sebagai guru dalam jarak aman dan nyaman. Sudut pandang akan memungkinkan kita untuk dapat memilih pendekatan, sikap, dan strategi terbaik. Yang sublim biasanya sulit untuk menilai. Kesubliman tidak selalu berbanding lurus dengan apresiasi dan rasa syukur. Rasa syukur yang benar adalah tindakan nyata, gerak perbaikan, dan karya inovatif. Mari syukuri kesubliman yang tetap memberi ruang kritis demi kreativitas. Seorang guru yang tidak mau dan tidak mampu “keluar” dari kesubliman pekerjaan, akan terjebak pada rutinitas dan gagal mendapatkan impresi tentang makna kehadirannya.

Kedua, sadari betapa berharganya diri dan pekerjaan kita. Mari kita surut sejenak. Apakah kita tidak perlu berjuang untuk mendapatkan profesi sebagai guru? Tentu harus berjuang, bukan? Apa yang kita dapatkan hari ini adalah buah dari perjuangan dan proses panjang yang telah kita jalani. Untuk lebih meyakinkan betapa kehadiran dan peran kita begitu berharga, cobalah tatap mata-mata murid kita setiap pagi kala mereka akan memulai belajar. Sejatinya, sorot dan tatapan mata mereka mengabarkan sebuah harapan bahwa hari itu mereka akan mendapatkan informasi, penjelasan, nasihat, dan arahan tentang sesuatu yang penting dan akan menjadi bekal mereka mengisi hidup dan menggenapkan takdir penciptaan mereka sebagai manusia. Sorot dan tatapan harap itu hanya akan terpuaskan bila bertemu dengan kejernihan dan keikhlasan hati kita. Wahai guru, hadir dan masukilah ruang-ruang perjumpaan dengan dunia muridmu. Bukan untuk lebur dan larut, tetapi untuk mengenal dan memahami artikulasi zaman dan kecenderungan mereka. Itu artinya, engkau harus siap dan berani, juga harus sabar dan penuh cinta.

Ketiga, kita adalah apa yang kita yakini. Di kelas, kita adalah manusia merdeka. Boleh saja kita dapat pendidikan dan pelatihan tentang manajemen dan pengelolaan kelas dari sejumlah pakar, akademisi, atau praktisi. Berbagai konsep, pendekatan, dan metode mereka sampaikan. Tetapi, ketika sampai di kelas, akan sangat mungkin kita akan tetap menggunakan cara-cara lama dalam mengajar mereka. Bisa jadi karena sesungguhnya kita belum menguasai berbagai pendekatan dan metode tersebut. Atau mungkin saja kita belum atau tidak merasa nyaman dengan sesuatu yang baru. Namun, beranikah kita mencoba cara-cara baru untuk mengganti cara-cara lama yang mungkin sudah puluhan tahun kita praktikkan? Cukup beranikah kita menemukan sejumlah kejutan dalam kelas ketika mencoba pendekatan dan metode baru yang katanya lebih berterima untuk murid kita yang Gen-Z? Percayalah, semua berpulang kepada kita.

Keempat, ada naluri-naluri pendidik yang harus tetap ada dalam profesi seorang guru: mendidik, memberi ruang untuk berkembang, ingin anak didiknya sukses, dan lain-lain. Naluri itu lebih dari sekadar tuntutan profesi dan sebuah proses pembelajaran. Naluri itu akan terus terejawantahkan melalui sikap mental dan tingkah laku yang tidak menoleransi pembiaran atau berani menerapkan sikap permisif ketika mengajar. Guru tidak bebas nilai. Mereka harus berpihak: berpihak pada nilai-nilai luhur, ajaran agama yang hanif, dan prinsip-prinsip pendidikan yang membuat mereka tetap memiliki marwah sebagai pendidik. Mereka tidak mungkin memilih menjadi sosok oportunis dan pragmatik. Mereka seharusnya menjadi ilmuwan atau teknorat yang moderat. Dengan demikian, sosoknya senantiasa dapat mewarnai zaman bukan sebaliknya, tertelan dan tenggelam oleh zaman. Ia harus jadi cahaya alternatif bagi jiwa murid-murid. Jiwanya tidak boleh lebih redup daripada kemurnian jiwa para muridnya. Ia harus mampu mengatasi kegelapan.

Seorang guru yang baik adalah seorang pembaca yang baik. Seorang pembaca yang baik adalah calon penulis yang baik. Guru penulis adalah sebuah keniscayaan dan tuntutan zaman. Topik apa yang ingin diajarkan hari ini? Mengapa topik itu penting? Bagaimana cara mengajarkannya? Apa yang diharapkan setelah murid mempelajarinya? Apa saja aktivitas pengayaannya? Bagaimana cara mengevaluasinya? Adalah rangkaian aktivitas mental dan fisik yang pasti akan sangat mudah ditulis oleh seorang guru karena itu adalah aktivitas yang melekat dalam tugas kesehariannya. Bila seorang guru hadir seutuhnya untuk tugas dan peran tersebut, maka mustahil ia tidak dapat menuliskannya. Proses persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi sebuah pembelajaran akan sangat gamblang untuk ditulis. Sejumlah best practice yang selama ini telah dipraktikkan adalah sesuatu yang sangat menarik. Apalagi yang berkenaan dengan materi yang mampu mengikat dan melibatkan keikutsertaan, keaktivan, dan mendorong munculnya ide-ide inovatif di antara murid, tentu itu sebuah bahan tulisan yang sangat menarik karena original dan otentik.

Selamat surut sejenak dan mengambil jarak, Sahabat-sahabat Guru. Selamat menikmati proses dalam kesubliman yang disadari. Tulislah praktik baik yang telah, sedang, dan akan diterapkan di kelas. Bayangkan, murid-murid kita akan antusias dan bersemangat menyelaminya. Dan tulisan kita akan menjadi legacy untuk mereka yang akan menempuh jalan yang sama. Bismillah!

Verba volant, scripta manent!

Wallahu a'lam bishawab

Depok, September 2024

 

 

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form