Ke Pondok Apa yang Kaucari?

     “Pondok ini adalah pondok serius, bukan pondok main-main. Kami sungguh-sungguh dalam mendidik dan mengajar santri: pol-polan, habis-habisan. Bondo bahu pikir lekperlu sak nyawane pisan. Korban harta, korban pikiran, korban perasaan, dengan seluruh jiwa dan hati. Kami berdoa keras, bekerja keras, dan berpikir keras untuk mencetak mereka—kader-kader umat ini—menjadi manusia yang bisa bergerak dan juga menggerakkan, mampu berjuang dan memperjuangkan, mampu hidup dan menghidupi, dan menjadi manusia yang banyak manfaatnya: kaya zakatnya, kaya amalnya, dan kaya karyanya.”

“Pondok ini bukan pondok main-main, yang hanya sekadar menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran, asal siswa diajar dan dididik lalu mereka menyelesaikan jenjang yang ada. Hanya begitu saja? Bukan. Pondok ini adalah pondok nilai—yang mengemban amanat untuk menyebarkan risalah kenabian—dan untuk memperjuangkan nilai-nilai besar itu. Tidak akan pernah ada keberhasilan tanpa kesungguhan, kerja keras, keseriusan, dan niat yang benar. Cita-cita pondok kita besar, karena itu niatmu juga harus besar. Harapan kita tinggi, karena itu hatimu harus kokoh dan kuat! Tinggikan cita-citamu! Kuatkan niatmu!”

Begitulah Ustadz Hasib Amrullah menulis bagaimana KH Abdullah Syukri Zarkasy menerangkan makna di balik kalimat “Ke Gontor Apa yang kaucari?” yang dapat kita jumpai ketika memasuki kampus Gontor di mana pun. Lalu, mengapa tiba-tiba kita membahas soal ini? Saya tergelitik dengan serangkaian pembicaraan di sebuah group WA perihal diperlukannya naskah dan dokumen serupa ‘’Pakta Integritas” agar civitas akademika komitmen dengan tugasnya sebagai bagian dari pengajar dan tenaga kependidikan pondok. Pakta itu akan ditandatangani oleh semua civitas akademika yang ada di pondok. Mereka juga akan mencetak spanduk agar komitmen yang telah mereka tanda tangani itu selalu diingat. Oleh karena itu, spanduk itu akan dipasang di tempat-tempat strategis yang biasa dilalui oleh semua civitas akademika. Nah, sampai di sini sudah mulai jelas, ya, mengapa kita hadirkan kembali nasihat Pak Kyai di atas. Inilah konteksnya.

Makna Bekerja

Ini fenomena menarik. Tak ayal berbagai tanggapan menarik bermunculan di group. Topiknya adalah bagaimana mengingatkan para guru atau asatidz tentang komitmen mereka untuk bekerja dengan penuh tanggung jawab. Bila kita kaitkan apa yang disampaikan KH. Syukri di atas, maka kita akan mematung menahan malu. Hujjah itu tertancap di hati apalagi diucapkan oleh sosok yang Ikhlas berjuang karena Allah, bukan oleh mereka yang berlumuran metafor karena mencari reputasi dan sesuap nasi dalam berbagai macam bentuknya. Namun faktanya, hal itu tidak (lagi) cukup hari ini. Barangkali pondok membutuhkan pendekatan lain agar pemahaman dan kesadaran para asatidznya berbuah menjadi aksi nyata.

Lalu, apa sejatinya makna bekerja hari ini sehingga di pondok yang dikenal sebagai lembaga dakwah dan pendidikan pun masih membutuhkan sesuatu yang sifatnya lebih profan (bila dibandingkan dengan hujjah spiritual) ketika berhubungan dengan aspek kerja dan tanggung jawab? Apakah kondisi sosial ekonomi kita hari ini telah mendesak kita sampai ke tepi kesabaran tentang bagaimana caranya berkomunikasi yang efektif dengan para gen-z yang jadi asatidz hari ini? Apakah pandangan rasio melebihi pemahaman spiritual dalam memaknai kerja dan tanggung jawab? Atau ada gap atau kesenjangan pemahaman tentang makna keduanya antara para asatidz yang gen-z dengan para pimpinan mereka hari ini? Mari kita diskusi barang sedikit.

Pertama, niat menjadi guru. Siapa di antara Anda yang memang bercita-cita jadi guru? Mengapa Anda ingin menjadi guru? Apakah karena ada di antara keluarga Anda yang jadi guru? Apa yang Anda perhatikan dari sosok dan kehidupannya sehingga Anda terinspirasi ingin jadi guru? Kalau tidak, lalu siapa yang menginspirasi Anda untuk mau jadi guru?

Anda yang tidak pernah bercita-cita menjadi guru, mengapa akhirnya Anda memutuskan untuk menekuni profesi guru? Apa asyiknya menjadi guru? Pertimbangan strategis apa yang melatarbelakanginya? Ada motif apa di balik keputusan penting tersebut? Peristiwa apa yang menyebabkan akhirnya Anda bersedia menceburkan diri sebagai guru? Anda terpaksa atau terjebak?

Untuk Anda yang memang sejak kecil bercita-cita jadi guru, pasti ada sesuatu yang begitu melekat dalam alam bawah sadar Anda tentang luhur dan menariknya menjadi seorang guru. Pasti orang itu adalah seorang guru yang hebat. Guru yang menginspirasi. Guru yang mampu menggerakkan pengalaman persona menjadi sesuatu yang hidup dalam alam visual dan imajinasi. Tentu sosok itu masih lekat dalam benak Anda semua. Saya yakin, kalau saat ini Anda diminta untuk menuliskan tentangnya, pasti puluhan lembar dapat Anda tulis.

Untuk Anda yang tidak pernah bercita-cita menjadi guru, tetapi sekarang memutuskan dan nekat menjadi guru, tentu ada sesuatu telah terjadi dalam hidup Anda mengapa keputusan itu Anda ambil. Saya tidak berniat dan berhak menebak peristiwa apa itu. Namun, saya yakin keputusan itu dilatarbelakangi oleh sejumlah pertimbangan yang mungkin saja—untuk sejumlah orang—tidak  pernah dengan gamblang dan rinci Anda ceritakan kepada siapa pun selama ini.

Baik. Saya tidak ingin membicarakan masa lalu Anda. Saya juga tidak berhak menghakimi Anda atas sejumlah keputusan itu. Faktanya, Anda sekarang sudah menjadi guru. Mari kita bicara sebagai sesama guru. Mari kita bicara tentang guru, tentang kehidupan kita. Tentang apa yang selama ini menjadi napas keseharian dan gerak hidup kita.

Nah, dialog dari hati ke hati seperti ini masih sempatkah dilakukan oleh para pimpinan? Atau mereka semua sibuk memoles diri di berbagai kontes kepintaran? Atau mereka menganggap soal motivasi adalah soal sepele sehingga tidak perlu dianggap terlalu serius? Bukankah yang perlu diurus adalah pundi-pundi pondok agar semua program bisa berjalan lancar dan pondok semakin kinclong dengan berbagai fasilitas dan program yang keren? Atau para pimpinan merasa bahwa aspek psikologis yang umumnya menghantui para guru dan asatidz seperti misalnya burn out, low job satisfaction, uncomfortable work environment, unclear career path, atau low salary sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja atau bahkan terlalu didramatisasi? Faktanya hari ini, mereka bingung menghadapi fenomena itu dan memerlukan naskah pakta integritas.

Kedua, budaya organisasi. Setiap pondok pasti punya budaya organisasinya sendiri-sendiri. Apa yang berhasil di satu pondok belum tentu sama hasilnya di pondok yang lain. Apa yang efektif di satu pondok belum tentu juga begitu di pondok lain. Menariknya, pakta integritas atau pancang niat adalah instrumen untuk menjadi sarana pengingat (reminder) atas apa yang sudah dikomitmenkan di awal mereka bergabung atau pada saat momen tertentu.

Yang disasar oleh pakta integritas atau pancang niat adalah aspek moral. Bukankah hujjah dari Al-Qurán dan hadits juga sama? Lalu, apa bedanya? Inilah uniknya manusia dalam relasi pekerjaan (sosial). Kita selalu seja membutuhkan wasilah sebagai bridging untuk bisa sampai ke aspek yang sebenarnya sama. Silakan Anda protes, tetapi faktanya demikian. Karena saya yakin, bila dikatakan mengapa hujjah al-qurán dan hadits tidak cukup kuat untuk men-drive motivasi seseorang untuk menjadi pendidik yang dapat dicontoh kinerjanya, nanti jadi masalah. Oleh karena itu, kita terima saja fakta bahwa kita memerlukan sesuatu yang sifatnya adminstratif dan juga atraktif untuk bisa sampai kepada pemahaman dan destinasi yang ingin kita tuju. Apakah tidak berputar-putar namanya? Tidak apa-apa yang penting semua happy.

Pertanyaannya, apakah sudah ada penelitian terhadap kinerja sebuah lembaga dakwah atau pendidikan sebelum dan sesudah penandatanganan pakta integritas atau pancang niat itu? Semoga nanti ada, agar diskusi kita semakin ilmiah dan dapat dijual di seminar-seminar pendidikan. Sejatinya, kita bisa membuat eksperimen menarik soal itu, terhadap dua lembaga yang diberikan pakta integritas dengan yang tidak. Meskipun pasti sangat bias, tetapi paling tidak ada sejumlah aspek yang dapat tercapture dan memberi Gambaran kurang lebih di antara keduanya.

Mengapa penelitian tersebut dirasa penting? Karena tidak sedikit anggota group yang merasa bahwa instrumen seperti itu tidak diperlukan. Mereka berpandangan, pertama, bila pakta integritas itu diberlakukan maka mereka khawatir nanti motif orang bekerja baik itu bukan dari dalam dirinya, tetapi lebih karena tekanan atas tanda tangan pakta tersebut. Kedua, sebaiknya pendekatan edukatif tentang pentingnya berlomba-lomba dalam kebaikan atau amal soleh lebih dikedepankan. Para asatidz diajak berpikir dan merasa apa untung dan ruginya bila begini dan begitu. Ketiga, sebaiknya bila memang sudah komitmen ingin bekerja, ya bekerja saja tidak usah neko-neko. Pondok harus tegas terhadap asatidz yang seperti ini. Jadi belum perlu pakta tersebut. Nah, bila sudah ada hasil penelitian tentang itu, maka diskusinya pasti lebih konstruktif dan solutif serta inovatif.

Tetangga Sebelah

Ada baiknya kita tengok sebelah. Bukankah biasanya rumput tetangga lebih segar dan hijau daripada rumput di halaman rumah kita. (ups…ini khusus yang rumahnya ada halaman rumputnya, lho…). Ini cerita tentang satu lembaga dakwah di Bandung yang beberapa hari lalu kami kunjungi. Ketika kami bertemu dan mereka memaparkan apa saja yang menjadi program kerja dan apa saja pencapaian mereka sampai saat ini serta bagaimana mereka mewujudkannya. Dalam sesi tanya jawab, saya mencoba memberanikan diri bertanya perihal motivasi kerja mereka.

Saya tanyakan, apa kira-kira yang membuat mereka masih bertahan di lembaga dakwah (yang juga mengelola sejumlah unit sekolah) tersebut. Mendapat pertanyaan selugas itu salah seorang pimpinan di satu unit kerja yayasan itu tersenyum dengan jembarnya. Sambil menoleh ke arah dua rekan kerja yang menjadi stafnya, sang ustadz bercerita, bahwa yang membuat ia dan dua rekannya itu masih bertahan, pertama, di situ mereka dapat leluasa beribadah, tidak hanya diingatkan, tetapi justru disuruh. Tim IT yayasan telah berhasil mengembangkan satu sistem aplikasi untuk memantau mutabaah yaumiah (kegiatan evaluasi amal sehari-hari baik wajib maupun sunnah) setiap asatidz. Jadi, yang didulukan untuk diukur bukan KPI tetapi pencapaian mutabaah yaumiah-nya. Bila kurang dari 90 persen, maka asatidz yang bersangkutan dapat teguran. Pernah satu waktu, siapa yang tidak mencapai target 90 persen, didenda perhari. Bila ada satu bagian atau divisi kurang berkembang atau lambat majunya daripada yang lain, maka salah satu yang diperiksa adalah catatan mutabaah yaumiah semua asatidz yang ada di situ. Inilah alasan pertama mengapa mereka bertahan sejak 20 tahun yang lalu. Bila di sejumlah kantor orang sulit sekali untuk ibadah, justru di situ ibadah menjadi salah satu aspek penting dalam penilaian kinerja.

Kedua, ilmu yang berlimpah. Alasan kedua mengapa mereka betah karena di lembaga dakwah itu hari-hari mereka penuh dengan siraman ilmu. Gratis. Dari sejak pagi sampai malam. Dari tahsin sampai tafsir. Kajian juga beragam tema dari berbagai perspektif. Yang menyampaikannya juga para ahli di bidangnya. Di tempat kerja yang mana yang ibadahnya terjamin bahkan dapat reward serta setiap hari bisa belajar banyak ilmu? Nampaknya tidak semua tempat kerja bisa begitu.

Ketiga, tentu gaji. Penghasilan. Ini yang mereka bawa pulang untuk keluarga. Kalau mereka sudah bertahan sampai lebih dari 20 tahun, maka bisa disimpulkan bahwa penghasilan mereka lebih dari cukup. Alhamdulillah. Bahkan menurutnya, ada pegawai staf biasa gajinya bisa sama dengan pimpinan. Ini jelas sangat membuat penasaran. Bagaimana caranya? Sayang yang satu ini tidak bisa ditulis di sini karena jawaban beliau yang diringi dengan gelak tawa dan gesture yang khas saya khawatir akan membuat sejumlah pembaca berusaha mencari informasi untuk bisa pindah ke sana. Tetapi, yang jelas, Allah memberikan mereka amanah di jalan dakwah, maka mereka nikmati prosesnya sampai sekarang. Oleh karena itu, tiga hal itulah yang telah membuat mereka mampu bertahan untuk tetap bersama-sama di medan dakwah.

Barangkali tidak setiap orang yang berkhidmat di lembaga pendidikan memiliki keberuntungan seperti itu. Di satu sisi, lembaga pun merasa beruntung memiliki SDM yang telah memungkinkan mereka mampu mendapatkan pengharkatan yang lebih daripada yang lain karena pencapaian bersama. Pada banyak kesempatan, apa yang telah diceritakan oleh aktivis dakwah itu termasuk sesuatu yang tidak masuk akal para gen-z. Mereka juga tidak mengerti mengapa kakek dan ayah atau ibu mereka rela bekerja sejak lulus kuliah sampai pensiun di satu tempat. Itu sangat tidak masuk akal. Absurd. Barangkali begitu menurut mereka.

Jadi, sangat mungkin makna dan wujud sebuah kesetiaan dan catatan kinerja antara mereka yang gen-x dan milenial agak sedikit berbeda dengan gen-z. Mengapa? Gen-z tidak mengerti mengapa seseorang harus berkarier di satu tempat berpuluh-puluh tahun dengan berbagai usaha menekan gejolak hipokrit mereka demi dinilai baik atau loyal. Itu sangat tidak masuk akal untuk mereka. Yang rasional adalah bila ada kesempatan untuk tidak selalu di situ, mengapa harus menyiksa diri? Bila masih ada kesempatan untuk bisa mencoba tempat lain, mengapa harus tetap ada di satu tempat? Asatidz yang gen-z punya pandangan dan batasan yang berbeda tentang loyalitas dan dedikasi. Kalau semua atribut itu menyusahkan, mengapa kita harus mengambilnya untuk menjadi bagian dari hidup kita? Begitulah kira-kira.

Kalau pening, mari kita cari waktu, ajak mereka menikmati temaramnya suasana senja sambil menyodorkan secarik kertas kecil dan pulpen: to do list! Silakan tulis apa yang ingin kamu selesaikan besok. Mereka akan bergegas untuk mengonstruksi rencana kerja esok hari saat itu dan merekonstruksinya esok hari dengan seluruh semangat yang paling mungkin. Tetapi kalau pun pada akhirnya semua pencapaian itu harus mereka dekonstruksi lagi, itu tidak jadi soal karena mereka merasa akan tetap punya waktu untuk memulai prosesnya dari awal.

Jadi, ke pondok apa yang kaucari, sahabatku? Carilah sesuatu yang tidak diberikan Allah kepada setiap orang. Jangan habiskan waktumu hanya untuk mengejar sesuatu yang pasti Allah berikan kepada semua orang. Biarlah Rasulullah dan orang beriman tahu bagaimana kita telah berjuang untuk sesuatu yang dijanjikan Allah kepada mereka yang istiqomah di jalan dakwah meneruskan risalah rasul-Nya. Hari ini, esok, dan nanti, pondok akan tetap terbuka untuk mereka yang siap menerima tantangan besar itu. Pada akhirnya, pondok punya logikanya sendiri untuk bertahan di tengah gejolak zaman sekeras dan sekejam apa pun. 

Ah, ternyata, memang rumput di halaman rumah tetangga lebih hijau daripada kemarin. Buktinya, setelah dialog dengan sejumlah asatidz itu seorang sahabat berseloroh,"Saya jadi ingin pindah kerja ke situ, deh." Ha ha ha. Semoga saja tadi siang, ketika sang suami pergi mengajar, rumput di halaman depan sudah diganti dengan rumput sintetis sehingga hijaunya berbeda dan tidak perlu lagi mengguntingnya di akhir bulan. Aya aya wae…

Wallahu a’lam bi al-shawab.

Depok, Juni 2024

 

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form