“Bagaimana sesungguhnya seseorang bisa ditunjuk jadi pimpinan?”
“Ya, karena prestasi, kapasitas, dan loyalitasnya.”
“O, begitu. Loyalitas ukurannya apa, ya? Apakah dia selalu ada setiap pembina yayasan membutuhkannya? Apakah karena dia sudah bekerja cukup lama dan tidak pernah mangkir? Atau karena dia selalu mendukung apa pun keputusan pembina yayasan?
"Bisa jadi begitu."
"Kalau benar begitu, dia selamanya ada di bawah bayang-bayang pembina, dong, ya? Apakah karena dia utang budi karena sudah ditunjuk jadi pimpinan? Yang menunjuk itu orang yang paling tinggi posisinya di organisasi,
kan? Nah, kalau begitu, selamanya dia akan menjadi subordinat.”
“Masa seserius itu?”
“Justru ini sangat serius. Pimpinan yang ditunjuk
sering kali terjebak pada praktik ABS. Asal Bapak Senang karena ia merasa
berutang budi pada yang menunjuk.”
“Tambah pusing, saya. Jangan over thinking-lah.”
“Selain itu, ia akan selalu berusaha menjadi pelayan
bagi yang menunjuknya. Ini berita buruk untuk sebuah organisasi karena
pimpinannya sudah tergadai kemandirian dan kemerdekaannya. Bukan saja untuk
bertindak, tetapi juga untuk berpikir. Ia sangat sungkan bila harus
berseberangan pendirian dengan yang menunjuknya. Kalau pun berani, paling hanya
di belakang dan itu pun tidak lebih hanya sebagai ungkapan dari
ketidakberdayaannya saja. Ia tidak akan pernah serius dengan itu karena
sesungguhnya ia sangat membutuhkan orang yang menunjuknya menjadi pimpinan.”
Itu sebuah kewajaran,
kan? Tepat. Proses menjadi pemimpin adalah titik berangkat yang menarik. Apakah
dia akan menjadi pribadi yang merdeka atau sekadar petugas. Ini bukan sarkasme,
tetapi sekadar gambaran suasana psikologis yang berbeda antara seseorang yang
ditunjuk dengan mereka yang jadi pimpinan setelah melewati serangkaian ujian
independen. Kalau saja mereka yang ditunjuk bisa mempunyai posisi tawar yang
baik, perlahan ia akan lepas dari bayang-bayang itu. Tetapi, jelas itu butuh
perjuangan.
Sebentar, memang apa
salahnya ada di bawah bayang-bayang orang yang kita hormati karena kedudukan,
ilmu, dan kebijaksanaannya? Bukankah justru kita harusnya bangga dipercaya oleh
seseorang yang punya kedudukan dan kapasitas seperti dia? Bukankah tidak setiap
orang bisa mendapatkan amanah dan kepercayaan serta kemampuan untuk menjadi
orang kepercayaannya? Apa memang ada manusia yang sepenuhnya merdeka dari
pengaruh orang lain? Apakah setelah jadi pemimpin seseorang akan bebas ingin
dikenal sebagai siapa oleh mereka yang dipimpin? Apakah salah bila ada
manipulasi dalam proses dan dinamikanya?
Ini hal menarik: menjadi pemimpin. Setiap kita memang pemimpin. Yang kita bicarakan kali ini pemimpin sebuah organisasi pendidikan. Tentu menjadi spesial karena pimpinan lembaga pendidikan itu haruslah juga seorang guru, yang digugu dan ditiru. Tidak setiap orang mampu dan layak jadi pimpinan sebuah lembaga pendidikan karena para guru dan civitas akademika tidak hanya melihat siapa yang memerintah, tetapi juga apa perintahnya, bagaimana proses perintah itu lahir, untuk apa, dan dengan cara seperti apa perintah itu disampaikan. Agak rumit memang, tetapi itulah dunia pendidikan. Seorang pemimpin tidak hanya cakap dalam ilmu dan praktik manajemen, tetapi juga harus layak diteladani karena puncak dari proses belajar dan mendidik adalah akhlak. Mari kita diskusi sedikit.
Antara
Inspirator dan Mentor
Seorang sahabat yang
pernah mengidolakan Rhoma Irama menuturkan, masa kecil dan remaja awalnya
sangat akrab dengan lagu-lagu Bang Haji. Lima belas tahun lalu, ketika kami
masih sering bersama-sama melatih di Aceh, ia menuturkan, "Hampir semua
lagu Bang Haji saya hafal. Setiap kali Bang Haji manggung di Solo, saya dulu
selalu nonton, meskipun mesti jalan kaki malam-malam karena jauh di kampung sebelah.
Pokoknya, nonton Bang Haji konser itu bagian dari jihad." Saya tertawa
terpingkal-pingkal mendengar ceritanya. Sampai sebegitunya, ya…
Sebagian kita mungkin
juga demikian. Bisa jadi kita tidak menolak hadirnya rasa itu dengan dalih
rasionalitas, karena memang rasa itu tidak "menyerang" rasio semata
tetapi "perasaan. Karena itu, dapat dimaklumi ketika seseorang yang sangat
mengidolakan Bang Haji menutup semua dinding kamarnya dengan poster dan
pernak-pernik Soneta Group, membuat ikal rambut lurusnya, dan memakai kalung
tasbih hitam sebagai aksesorinya. Atau, bagi orang yang mengidolakan Iwan
Fals, segala yang berhubungan dengannya akan dibeli. Kaos yang sering dipakai
istri dan anak-anaknya semua bergambar Iwan Fals. Sering kali juga perkataan
Iwan Fals dianggap petuah. Wah! Itulah rasa.
Ada sejumlah hal yang
memungkinkan hadirnya rasa itu. Pertama, pertemuan dan
intensitasnya. Perjumpaan langsung atau komunikasi tatap muka dengan seseorang
yang kita kagumi adalah pintu masuk paling efektif. Ada getaran dan nilai
apresiasi yang tak mungkin terjelaskan dengan gamblang soal ini.
Kedua,
bacaan. Inilah "pertemuan nonfisik". Ini juga pintu masuk kedua
yang sangat personal. Bacaan memungkinkan terjadinya dialektika antara dunia
penulis dan dunia pengalaman di satu sisi, dengan dunia pengetahuan pembaca
di sisi lain. Bila penulis melalui teks mampu menghadirkan sesuatu yang
dibutuhkan atau bahkan melampaui ekspektasi pembaca, ketertarikan pun akan
muncul. Sebuah teks yang mampu membuat pembacanya jatuh hati akan menambah
simpati kepada sang penulis.
Ketiga,
cerita orang. Rasa simpati itu menular. Meski tidak sampai mewabah, tetapi
ketuk tular atau komunikasi dari mulut ke mulut berpotensi menghadirkan kondisi
seperti itu pada diri seseorang. Bila seseorang menjadi buah bibir dan
ditanggapi dengan terbuka dan positif, sangat mungkin membuat pendengar
bersimpati terhadap cerita tersebut. Selanjutnya, simpati itu akan bermetamorfosis
menjadi kekaguman bila sang pendengar tadi sempat dan mampu membuktikan sendiri
kebenaran cerita itu.
Keempat, tontonan. Media komunikasi dan hiburan masyarakat modern, khususnya sosmed, telah membuat seseorang dikenal secara masif. Apalagi bila ada channel youtube atau Instagram menghadirkan podcast lebih intensif, setiap orang punya banyak kesempatan menyaksikan sosok-sosok yang dikagumi. Mereka bisa mengenal apa prinsip-prinsip hidupnya dan apa yang menjadi idealismenya.
Bila ditilik lebih
dalam, idola atau role model dapat dibedakan menjadi dua tipe: inspirator dan
mentor. Dua tipe ini akan memengaruhi proses dan relasi yang terjadi antara
idola dengan pengidola. Sejumlah hal memengaruhi tipe relasi ini, di antaranya
akses dan ketersambungan komunikasi dalam frame interpersonal. Kesempatan dan
kemauan mengambil peran menjadi pembeda.
Sang
Inspirator
Inspirator adalah
seseorang yang karena kapasitas dan kapabilitasnya mampu menumbuhkan dan
mengembangkan sejumlah sifat dan sikap baik seseorang. Dengan inspirasi itu
sang pengidola beranjak dari satu titik diam menuju titik leburnya yang lebih
baik. Idola pada kondisi ini ditempatkan sebagai inspirator. Jalan hidup sang
idola, dengan pelbagai kisah perjuangannya, menjadi sumber inspirasi utama dan
tak pernah kering bagi para pengidola.
Para inspirator ini
adalah para idola yang hidup di tempat dan waktu yang jauh dari tempat tinggal
para pengidola. Jarak, tempat, dan waktu di antara keduanya tidak dapat
dimanipulasi. Di kelompok ini kita temui sejumlah tokoh seperti Nabi Muhammad
dan empat Khalifah penerus beliau, Umar ibn 'Abd Al- 'Aziz (Tabi'in),
Al-Syafi'i, Malik, Ahmad, Zaid ibn Haritsah, dan tokoh-tokoh lainnya.
Ada pula idola yang
hidup sezaman dengan para pengidola. Tetapi, jarak dan ketiadaan akses
memperkecil kesempatan mereka untuk saling berkomunikasi langsung secara
intensif. Selain itu, sejumlah aspek seperti biaya, waktu, dan pertimbangan
teknis juga berpengaruh. Hal ini membuat sosok idola tetap "tak
tersentuh" dan hanya mungkin berperan sebagai inspirator. Dalam sebuah kelas pelatihan, peserta umumnya
menuliskan Bill Gates (AS), Elon Musk (AS), Rafael Nadal (Spanyol), Mohammad Yunus (Bangladesh), Michael Jordan (AS), Recep Tayyip Erdogan (Turki), Cristiano Ronaldo (Portugal), B.J. Habibie (mantan
presiden), atau Sandiaga Uno (pengusaha) sebagai bagian dari kelompok
inspirator kedua ini.
Banyak orang
terinspirasi dari idola mereka. Sejumlah fenomena mengindikasikan hal tersebut.
Pertama, pemberian nama anak. Sebagai ungkapan doa, nama yang
diberikan kepada seorang anak biasanya terinspirasi dari tokoh idola. Ada seorang pemuda bernama Agus
Salim, mahasiswa berprestasi UI 2005, misalnya. Ayahnya sangat terinspirasi dari tokoh Agus
Salim, pejuang kemerdekaan Indonesia. Kita juga menemukan nama-nama seperti
Muhammad, Ahmad, Daud, Yahya, Idris, Zakaria, Ridwan, Aisyah, Fatimah, Zainab,
Hamzah, Habibie, atau Fadel. Mereka adalah tokoh-tokoh inspiratif.
Sebagai doa, orangtua
berharap agar anak yang diberi nama demikian bisa memiliki karakter seperti
yang dimaksud. Doa awal itulah yang kekak akan bertemu dengan pola asuh, pola
didik, dan lingkungan terdekatnya. Bila semuanya fokus membantu anak tersebut
mewujudkan doa orangtuanya lewat nama itu, insya Allah akan bertemu dengan
takdir dan skenario Allah.
Kedua,
jejak pencapaian. Seorang bapak peserta pelatihan bercerita, anak lelakinya
yang lulus SMP mengotot minta disekolahkan ke Pondok Modern Gontor, Ponorogo.
Ternyata, selama beberapa bulan terakhir ia intensif chatting dengan Ahmad
Fuadi, penulis Negeri 5 Menara. Dari chatting itulah sang anak sangat terobsesi
untuk bisa merasakan dan mendapatkan pencapaian seperti yang diceritakan Fuadi
lewat novelnya tersebut. Akhirnya, sang anak bisa tersenyum karena kedua
orangtuanya menyetujui. Kini, ia telah menjadi santri di sana.
Jejak proses dan
pencapaian seorang idola menarik untuk ditelusuri dan diikuti. Dari situ kita
akan mendapatkan sejumlah wawasan baru tentang bagaimana berproses dan
bertingkah laku dengan cara yang benar. Ini merupakan antitesis bagi sejumlah
pernyataan seperti: Anda adalah apa dan di mana Anda makan; Anda adalah apa
yang Anda pakai; Anda adalah apa yang Anda pelajari di tempat kursus.
Seharusnya, kita menggunakan per- nyataan yang lebih baik, misalnya: Anda
adalah apa yang Anda baca; Anda adalah apa yang Anda pikirkan (ide); Anda
adalah apa yang Anda hasilkan (karya).
Sang
Mentor
Mentor adalah orang berpengalaman banyak yang memberi masukan dan membantu orang berpengalaman sedikit dalam waktu tertentu. Dengan kata lain, mentor adalah pembimbing. Intensitas komunikasi antara seorang mentor dengan orang yang dimentorinya adalah sebentuk komunikasi produktif yang sangat khas. Mereka memang harus mampu menemukan pola komunikasi yang paling tepat di antara keduanya, karena apa yang menjadi subjek pembicaraan mereka bukan hanya sesuatu yang bersifat teknis, tetapi juga termasuk yang filosofis. Dengan demikian, tingkat kenyamanan antarkeduanya menjadi sangat penting diperhatikan.
Kekaguman dan semangat
mencontoh yang tumbuh pada sejumlah orang mendorong mereka untuk menjadikan
idola mereka sebagai pembimbing (mentor). Mereka belajar sejumlah hal yang
menjadi keahlian dan spesialisasi sang mentor. Inilah pola komunikasi dua arah.
Kegiatan mentoring yang berlangsung kemudian adalah proses komunikasi yang
mereka sepakati satu sama lain. Dengan demikian, pada proses tersebut ada
penetapan target yang ingin dicapai bersama.
Idola yang
"berpotensi" dijadikan mentor adalah yang dekat dan terakses oleh
sang pengidola. Selain itu, sikap saling menerima di antara keduanya juga
menjadi faktor penting. Karena, tidak semua orang nyaman menjadi mentor.
Kebutuhan untuk belajar
dari mereka yang sukses di bidangnya selanjutnya melahirkan relasi
mentor-mentee. Sejumlah orang kemudian menemukan mentornya dalam bidang bisnis,
menyanyi, penulisan kreatif, politik, kesehatan, olahraga, dan sebagainya.
Mekanisme relasi yang terbangun pun memperlihatkan tingkat intensitas yang
tinggi. Seorang mentor akan "mengikuti" perjalanan mentee-nya, karena
ada tanggung jawab di situ. Ia merasa penting mengetahui sejauh mana komunikasi
produktif yang dibangunnya bersama mentee mampu menghasilkan sesuatu yang
bermakna. Ia tertantang untuk mengetahui apa saja kekuatan dan kelemahan dari
sistem mentoring yang telah mereka sepakati.
Nah, sebagai pemimpin, sejatinya Anda lebih dekat tipe inspirator atau mentor? Mengingat pola relasi yang terbuka dan langsung, maka tipe yang kedua yang nampaknya akan lebih efektif. Menjadi seorang mentor adalah menjadi murobbi atau seperti seorang coach dalam dunia olahraga. Coba tengok bagaimana pola, cara, dan gaya kerja para manajer atau coach kelas dunia seperti Carlo Ancelotti, Pep Guardiola, Zinedine Zidane, Jose Mourinho, Cus Dámato, Toni Nadal, Abdulmanap Nurmagomedov, atau Valentino Rossi. Kapasitas, amanah, dan tanggung jawab Anda harus lebih lengkap dibandingkan mereka karena mereka hanya bertanggung jawab kepada pemilik klub, sedangkan Anda bertanggung selain kepada yayasan, orang tua, dan Allah SWT. Semoga Allah mampukan kita semua berproses menjadi pemimpin yang pantas diteladani dalam semua aspek yang mungkin. Semoga.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Depok,
Juni 2024