“Ratih mondok di mana, Ustadz?”
“Kayaknya, nggak, Pak. Dekat rumah saja.”
“O, ada boarding school dekat rumah?”
“Bukan, dia ikut home schooling lagi, saja.”
“Lho, jadi, ikut PKBM lagi, Ustadz?”
“Iya, biar di situ aja agar kami bisa pantau terus. Kasihan juga kalau Al-Qur’annya
sampai tidak diperhatikan. Biar di rumah saja.”
“Tapi dia kan sudah SMP, Ustadz. Dia butuh suasana baru…”
“Gpp, Pak. Biar di rumah saja…”
Sebuah Keputusan
Saya jadi ingat dialog di satu sore sepuluh tahun lalu. Kala itu, kami baru saja selesai kerja bakti untuk mempersiapkan sholat idul fitri. Seorang tetangga yang putrinya satu sekolah dengan putri saya bertanya,“Pak Rizal, anaknya jadi sekolah di mana?”
“Insya Allah mondok, Pak.”
“Oya, di mana?”
“Di Subang, Pak.”
“Wah, jauh banget. Memangnya ada saudara di sana?”
“Enggak, Pak….”
“Atau barang kali ada kenalan di sana, ya?”
“Enggak ada juga, Pak.”
“Waduh, kok berani banget. Gak kuatir kenapa-napa, Pak?”
“Insya Allah enggak, Pak.”
Der! Saya termenung juga
dengan lontaran beliau. Saat itu saya juga mencoba bertahan dengan keputusan yang
sudah diambil, yaitu memberi kesempatan putri saya untuk mondok. Jauh dari
rumah. Jauh dari keluarga. Dia pun sudah sangat antusias akan punya banyak teman dan dunia baru.
Saya jadi ingat, ada
beberapa hal kami lakukan sebelum akhirnya keputusan diambil. Pertama,
kami ajak survey. Saya ingat, kami datang ke pondok malam Ahad. Dengan ditemani
oleh seorang sahabat, kami masuk pondok putri malam itu. Suasananya sangat
semarak. Putri saya sangat senang. Matanya berbinar-binar. Senyumnya merekah. Apa
pasal? Ia melihat bagaimana para santri putri aktif berkegiatan malam itu
dengan bebas bersepeda. Mereka bersepeda di lingkungan kampus untuk
berbagai keperluan. Ia juga sempat melihat seperti apa suasana asrama pada
malam itu. Sebuah pemandangan baru baginya. Ia senang dan ketika esok siang
kami pulang meninggalkan kota itu, cerita tentang ketertarikannya tergelar sepanjang
jalan. Alhamdulillah.
Kedua, mengajaknya
untuk mengunjungi pondok lain, daftar, dan ikut tes. Seingat saya, ada empat
pondok yang kami daftar waktu itu. Menariknya, di setiap pondok, kami bertemu beberapa calon orang
tua wali santri yang sama di sana. Kami tertawa mendapatkan fenomena itu. Kami
seperti keluarga pemburu pondok. Daftar dan tes di beberapa pondok
bersama-sama. Tanpa janjian. Tetapi selalu bertemu di pondok berbeda untuk
sama-sama mengantar anak ikut tes. Mengapa ini dilakukan? Kami ingin anak-anak punya
perbandingan yang seimbang. Ia perlu belajar membandingkan sejumlah hal mendasar:
suasana asrama, atmosfer pondok, sarana, kurikulum, program al-Qurán, program asrama, dan sejumlah
informasi penting lainnya yang tidak dapat kami jumpai hanya dengan mengunjungi website mereka.
Ketiga, mencari tahu figur para gurunya. Ini salah satu yang
penting. Mengapa? Sosok dan figur bunda asrama menjadi sangat penting karena
merekalah yang akan menjadi ibunya para santri selama di pondok. Oleh karena
itu, sosok dan figur bunda asrama menjadi salah satu pertimbangan untuk
memutuskan. Sinyal-sinyal kuat itu bisa kami tangkap ketika interaksi dalam
proses pendaftaran, tes masuk, dan wawancara orang tua. Para guru mata pelajaran
pun demikian. Sosok-sosok yang akan membimbing putri-putri kami haruslah mereka
yang kaya akan cinta dan kesabaran karena anak-anak kami adalah Gen-Z yang baru
saja lulus SD dan pertama kali jauh dari keluarga. Mereka pasti akan bertemu dengan teman dan suasana baru yang perlu
diadaptasikan dan itu pasti akan membuat karakter asli masing-masing anak akan
nampak. Oleh karena itu, melihat sosok-sosok muda nan enerjik yang akan menjadi
bunda asrama dan pembimbing akademiknya di sekolah membuat cek list pilihan
akan ditentukan.
Keempat, memperhatikan semua fasilitas dan lingkungan pondok. Pondok yang luas asri dengan fasilitas lengkap dan lingkungan sosial yang mendukung juga menjadi bahan pertimbangan. Ada satu pondok yang akhirnya tidak jadi kami pilih meskipun sudah lulus tes karena kamar dan ruang kelasnya semua ber-AC. Wah, kasihan juga kalau sepanjang hari anak-anak harus beraktivitas di ruangan berpendingin. Ruangan berpendingin sudah pasti tertutup rapat. Itu artinya sirkulasi kurang maksimal. Lebih baik mereka tumbuh di ruangan alami sehingga kebiasaan ada di ruangan berpendingin di rumah ada imbanganya di pondok dan itu sangat mereka perlukan dalam masa pertumbuhan dan perkembangan. Fasilitas yang lengkap adalah salah satu syarat terlaksananya proses belajar mengajar yang maksimal.
Kesempatan berproses
Mari kita kembali ke dialog
awal tulisan ini. Mengapa saya sangat menyayangkan keputusan sahabat itu yang
tidak memberi kesempatan dan membuka opsi agar putrinya bisa mondok. Bukan karena mondok
menjadi satu-satunya hal baik untuk putrinya, tetapi paling tidak berdasarkan
pengalaman dan pengamatan atas apa yang terjadi pada putri saya dan
teman-temannya satu angkatan di SMP dan SMA, maka saya bisa menilai kalau sekiranya
keputusan itu masih bisa digoyang, sebaiknya memang dianulir saja. Mengapa?
Pertama, anak kita akan hidup di zaman yang tidak lagi sama
seperti ketika kita masih menemani dan membersamainya. Ini sering saya
sampaikan ke sejumlah kelas pelatihan, bahwa sangat mungkin kita tidak akan
menemani anak kita seumur hidup mereka. Suatu saat kita akan pulang kampung
duluan ke hadirat Allah SWT. Bila kita cukup memberikan bekal berupa pendidikan
yang sarat akan nilai-nilai tauhid, ibadah, dan muamalah yang tepat kepada
mereka ketika mereka masih remaja, insya Allah itu akan menjadi bekal mereka
menapaki kehidupan dewasa yang akan mereka jalani.
Anak-anak kita akan menghadapi tantangan yang berbeda dengan hari ini. Mereka yang cukup
ter-sibgho nilai-nilai tauhid dan akidah yang benar insya Allah akan jelas keberpihakan
mereka di kemudian hari. Memang tidak ada jaminan, tetapi justru dengan
menghadirkan semua suasana termungkin dari niat itu pada keseharian mereka
dalam kurun waktu tertentu, insya Allah akan dicatat sebagai upaya sadar
dan optimal kita dalam mempersiapkan generasi yang akan datang dengan baik. Bukankah
kita dilarang meninggalkan generasi yang lemah? Terutama lemah iman dan
akidahnya, lemah ilmu dan hikmahnya, juga lemah ekonomi karena kepapaan akan ilmu,
keterampilan, dan network-nya.
Kedua, biarlah anak kita merasakan proses yang dinamis di
pondok bersama peer group-nya. Biarkan ia merasakan pengalaman terbentur dan
terbentur pada banyak situasi yang nyaman, agak sulit, sulit, sampai pada yang
paling rumit dalam perkembangan jiwa mereka sebagai remaja. Biarlah mereka
belajar beradaptasi ketika bertemu banyak orang asing yang baru dikenalnya di
asrama, di kamar, dan di kelas. Itu semua sangat baik dan mereka butuhkan. Insya
Allah mental mereka akan terlatih. Mereka terbiasa berhadapan dengan orang yang
tidak selalu sejalan dengan kemauan dan pendiriannya. Mereka terbiasa bertemu
dengan orang yang tidak selalu menyenangkan untuk diajak komunikasi. Biarlah
mereka beradaptasi dengan semua situasi itu dalam suasana pertemanan yang kondusif dan dinamis.
Kamar, asrama, dan kelas adalah
ruang-ruang perjumpaan mereka pada banyak hal. Mereka bertemu orang-orang dengan
beragam karakter, ide, pendirian, dan cara dalam menghadapi berbagai suasana
yang sangat dinamis. Sejujurnya, tidak ada orang tua wali santri yang persis
tahu bagaimana suasana batin anaknya di pondok ketika harus memutuskan ini dan
itu dalam waktu yang cepat dan tepat. Sejatinya, sebagai orang tua kita tidak
akan persis tahu seperti apa mekanisme pengambilan keputusan yang terjadi di
hati dan benak anak kita di pondok ketika harus memutuskan sejumlah hal yang
berhubungan langsung dengan tingkat kenyamanannya dalam memilih dan menjalani
aktivitas, baik di kamar, asrama, maupun kelas. Itu artinya, ada ruang independen
yang sangat terbuka untuk seorang anak memutuskan berbagai hal yang paling
tepat untuk dirinya. Dia pasti akan ingat sejumlah nasihat kita di saat itu. Dia
justru akan sangat menghargai pertimbangan dan apresiasi kita atas berbagai
keputusan yang telah diambilnya pada banyak situasi dan kondisi. Ini tidak
sederhana. Inilah yang membuat anak kita berkesempatan tumbuh karena ia bertemu
situasi dan masalahnya langsung di depan mata. Misalnya, apakah mungkin ia bisa
memindahkan seorang temannya yang kurang respek padanya ke kamar lain
seenaknya? Tentu tidak. Ia pasti harus mengasah kecerdasan emosionalnya bagaimana hidup dan beraktivitas di kamar dengan sejumlah orang yang bisa jadi kurang
sejalan dengannya. Pengalaman itu sangat penting karena lumrah dan manusiawi. Itulah kesempatan sangat
berharga.
Ketiga, organisasi menjadi sarana efektif untuk menguatkan bakat-bakat mereka dalam sejumlah hal: publik speaking, me-manage sejumlah orang, merencanakan kegiatan, mendesain pelaksanaannya, membuat anggaran, menghubungi sejumlah pihak yang harus diajak kerja sama, negosiasi untuk sejumlah hal, memimpin rapat di tengah kesibukannya ambil nilai dan ujian tahfiz, di samping harus tetap memperhatikan kesehatannya secara mandiri. Coba bayangkan, betapa kesempatan luar biasa ini hanya mungkin mereka dapatkan di pondok dan tidak mungkin mampu dihadirkan oleh sahabat kita di atas tadi. Boleh saja ia khawatir pada pelajaran dan pergaulan putrinya, tetapi justru dengan begitu ia telah menutup kesempatan menarik bagi putrinya untuk tumbuh bersama dalam banyak suasana belajar yang menyenangkan. Bukankah lebih baik putrinya imun daripada steril? Ia tidak menyadari bahwa anaknya membutuhkan teman lebih banyak, bertemu orang lebih banyak, bertemu suasana lebih banyak, dan terlibat dalam berbagai aktivitas lebih banyak. Bukankah ini yang akan membentuk puzzle-puzzle penting dalam proses pengukuhan karakter putrinya?
Kesempatan berorganisasi
ketika remaja akan memberikan bekal cukup efektif bila pada gilirannya mereka melanjutkan belajar di perguruan tinggi. Mereka yang di pondoknya aktif, pasti tidak akan
canggung lagi memasuki arena aktivitas kampus yang penuh dinamika dan pencapaian.
Bukankah di kampus ia akan bertemu lebih banyak orang, suasana, target,
tantangan, dan tanggung jawab serta amanah yang lebih besar dan menantang? Pengalamannya
di pondok akan memberikan kesempatannya untuk cepat beradaptasi dengan suasana
kampus yang kadang penuh ketidakpastian karena kepentingan orang-orang di
sekitarnya sudah jauh lebih kompleks. Oleh karena itu, ini bagian yang belum
tentu bisa kita hadirkan bila mereka hanya di rumah bersama kita sepanjang waktu selama masa remajanya.
Keempat, dinamika kamar yang sangat terasa dampaknya pada
kecerdasan emosional. Aktivitas pindah kamar ketika naik kelas itu menjadi
salah satu fenomena menarik di pondok. Betapa tidak! Mereka akan bertemu dan “tinggal”
sekamar dengan teman baru lagi, yang beda asal sekolah, etnis, hobi, dan
karakternya. Kamar menjadi satuan sosial terkecil di pondok. Di kamarlah
seorang anak akan berhadapan dengan berbagai tantangan psikologis dan sosial
yang sangat terasa. Proses mereka saling mengenal lebih dekat sejumlah teman di kamar dengan berbagai karakternya adalah kesempatan belajar komunikasi, empati, peduli, dan adaptasi yang luar biasa mahal. Dengan berbekal sejumlah nilai yang mereka dapatkan selama ini, mereka dituntut untuk mampu membangun suasana kondusif di kamar seperti apa pun perbedaan yang ada di antara mereka. Mereka harus belajar untuk bisa merasa nyaman di berbagai situasi kamar. Tentu mereka akan mulai lagi untuk saling
mengenal nama, wajah, dan hati setiap teman sekamar. Ini kesempatan berharga untuk
menguatkan mental mereka.
Gesekan antarpribadi di kamar menjadi hal biasa. Tetapi para santri punya caranya sendiri belajar bagaimana caranya menghadapi dan mengatasi suasana dan situasi yang kurang nyaman itu. Bukankah baperan menjadi kontraproduktif dan tidak membuat orang nyaman dengan kita? Oleh karena itu, proses pembentukan karakter sangat dipengaruhi oleh bagaimana mereka berani mengambil sejumlah sikap terbaik sebagai reaksi atas sejumlah stimulus yang muncul. Itulah kesempatan menjadi dewasa dan matang. Bukankah pada gilirannya bahwa setiap orang akan menjadi duta kamarnya. Mereka yang berasal dari kamar yang nyaman, bersih, tertib, dan teratur pasti akan berbeda dengan mereka dari kamar yang tidak seperti itu. Bertambahnya usia dan kelas membuat mereka semakin matang sehingga suasana kamar semakin nyaman dan dirindukan ketika tidak lagi bersama.
Ini memang sekadar upaya
sadar hasil pemikiran yang terbatas. Oleh karena itu, kesuksesan juga tidak
bergantung kepada apakah seorang anak pernah mondok atau tidak. Tetapi justru
di pondoklah kesempatan untuk mengembangkan kecerdasan emosional yang sangat
diperlukan dalam membentuk kompetensi abad ke-21, yaitu komunikasi, sinergi,
dan kolaborasi terbuka lebar-lebar. Yang mageran dan baperan memang tidak akan dapat
banyak. Yang aktif dan semangat membentuk diri biasanya akan berhasil menjadi pribadi yang berbeda. Untuk itu, keikhlasan kita dalam memberi kesempatan untuk mereka mondok
dan senantiasa mendoakan proses dan hasil baiknya adalah kekuatan untuk mereka
dalam melakoni kehidupan pondok yang dinamis. Semoga Allah kuatkan dan
istiqomahkan para santri kita yang sedang berjuang menuntut ilmu. Semoga
kebersamaan selama kurun waktu tertentu di pondok menjadi jalan silaturahim
yang tidak terputus sampai mereka menapaki jalan dakwah mereka masing-masing. Semoga
Allah ridho. Aamiin.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Depok, Juni 2024