“Ridwan, kabarnya Antum buka pesantren gratis, ya?”
“Betul, Kyai. Alhamdulillah.”
“Bagaimana, maju sekarang?”
“Justru saya ke sini karena ingin bertanya sama Kyai, bagaimana caranya
mengelola pesantren gratis seperti ini, Kyai? Karena tabungan saya dan istri
sudah habis sedangkan donator juga kembang kempis.”
“Ha ha ha, Ridwan…Ridwan…ternyata Antum salah sangka…”
“Salah sangka bagaimana, Kyai?”
“Ini sebenarnya rahasia karena selama ini tidak seorang pun yang dapat cerita ini. Tetapi karena Antum perlu ditolong, maka ana ceritakan. Ridwan, pesantren ini memang benar gratis. Para santri tidak dipungut uang
sepeser pun. Tetapi, seluruh biaya operasional dan semua kebutuhannya perlu uang.
Naah, uang untuk memenuhi seluruh kebutuhan pondok ada yang menanggungnya, Ridwan. Ada
tiga orang yang memang sudah komitmen membiayai pesantren ini dengan dana abadi.
Jadi, kalau Antum belum punya donator tetap dengan dana abadinya, jangan
gegabah. Kasihan anak istrimu. Kasihan juga para asatidz dan santri-santrimu.”
Ternyata, semangat saja tidak cukup. Ustadz Ridwan mengakui kekeliruan dan ketidakpahamannya. Dia pikir pesantren gratis itu ruang jihad semata. Ketika ia dan istri yang mendirikan, maka merekalah yang harus berusaha sendiri membiayai seluruh biaya operasional pondok. Itu benar. Tetapi, jika kekuatan finansial terbatas, maka persoalannya tidak lagi sederhana. Ketika persediaan dana semakin menipis sedangkan kebutuhan pondok justru semakin banyak, maka bingunglah Ustadz Ridwan dan istri. Padahal, mereka belum fokus dalam menjaring dana atau melakukan kegiatan fundraising kepada masyarakat luas. Oleh karena itulah ia rela menempuh perjalanan dari Bogor ke Sulawesi untuk bertanya ke kyai di pondoknya dulu.
Risalah Tiga Pondok
Pilihan atas pola pembiayaan pondok nampaknya menarik untuk ditelisik. Apa pasal? Faktanya, tidak sedikit pendiri dan pengelola pondok masih mendua menerapkan ketiga pola tersebut. Akhirnya, tidak sedikit pula yang terjebak pada idealisme yang keliru dan berdampak pada perkembangan pondok, baik dari jumlah santri maupun pada kualitas kesehatan keuangan mereka. Bila sudah demikian, mereka maju kena mundur kena: mau maju terus dana sudah hampir habis, mau mundur sudah banyak santri yang belajar di pondoknya. Tidak banyak pondok yang mau dan mampu turn back ke track lama dengan selamat. Selebihnya, bersama waktu mereka harus menanggung sejumlah akibat dari pengambilan keputusan penting di masa lalu. Mari kita tengok tiga bentuk pondok tersebut.
Pertama, pondok gratis. Sejatinya penyebutan gratis dalam
konteks pondok agak paradoks. Mengapa? Karena pondok sebagai sebuah entitas
pendidikan berasrama adalah sebuah proses yang kompleks. Penyelenggaraan pendidikan
di pondok melibatkan banyak ranah, orang, bahan, alat, dan tuntutan kewajaran sebuah
siklus kehidupan sehari-hari. Santri tidak hanya sekolah, tetapi juga tinggal. Mereka tidak hanya belajar, tetapi juga butuh makan. Jadi,
yang gratis yang mana? Biaya belajarnya, makannya, baju seragamnya, tidur di
asramanya, atau yang mana? Belum lagi bila terlanjur menyediakan fasilitas laundry. Bila semua aspek itu santri tidak bayar sama sekali,
maka memang sebuah perjuangan besar. Bila mampu dan istiqomah diselenggarakan, maka pahalanya insya Allah besar. Tetapi, itu pasti memerlukan dana yang luar biasa. Pada beberapa
pondok, istilah gratis tidak digunakan, tetapi diganti dengan sebutan “full
beasiswa” dan biasanya hanya untuk jumlah yang sangat terbatas. Oleh karena itu, untuk
dapat masuk pondok ini ada persyaratan dan seleksi yang ketat. Pembiayaan
pondok jenis ini, persis seperti cerita awal tulisan ini.
Kedua, pondok beasiswa. Siapa yang pernah mendapatkan
beasiswa? Dalam konteks umum, beasiswa memang banyak lingkup dan modelnya. Ada yang
dapat beasiswa hanya untuk uang bulanannya saja. Itu pun beragam. Ada yang
dapat 70, 50, atau 40 persen. Di luar itu, tidak ditanggung beasiswa. Ada juga
jenis beasiswa 100 persen dengan penambahan biaya hidup untuk sebuah beasiswa
studi lanjutan. Tetapi, konteks kita adalah beasiswa di pondok. Menariknya,
tidak sedikit pondok yang memakai penyebutan beasiswa tetapi sesungguhnya
adalah program gratis. Padahal, kalau mau beasiswa, maka bisa berjenjang dan
dengan syarat khusus serta sasaran peserta yang terbatas. Bila demikian, maka bisa
dimulai dengan mengembalikan konsep beasiswa yang dimaksud agar tidak salah
penyebutan dan penerapannya.
Ketiga, pondok berbayar. Ini pondok atau boarding school pada umumnya. Tidak ada ambiguitas dalam konteks ini. Yang ada hanya perbedaan besaran dan skema pembiayaan yang diterapkan. Pondok atau boarding school berbayar punya banyak skema yang dapat dipilih. Dari aspek pendapatan, pondok jenis ini sangat jelas, yaitu dari apa yang dibayarkan orang tua wali santri. Pondok jenis ini yang seringkali membuat sebagian masyarakat geleng-geleng kepala karena uang masuknya dianggap tidak masuk akal. Tetapi anehnya, pondok seperti ini justru laris manis. Ternyata, setiap sekolah memang ada pasarnya, termasuk yang berbiaya masuk dan SPP-nya jadi obrolan "kaum mendang-mending".
Sebuah Diskusi
Ketiga jenis pondok itu ada di sekitar kita hari ini. Semua punya
salurannya sendiri-sendiri dalam memperkenalkan diri ke masyarakat. Oleh karena
itu, sangat menarik bila kita sedikit diskusi seputar ketiganya di ruang ini.
Pertama, tentukan pilihan. Langkah pertama yang paling mudah
dan bisa jadi juga yang paling sulit adalah menentukan tipe pondok yang mana
yang paling cocok buat kita. Pilih salah satu sebagai identitas dan branding pondok.
Jangan setengah-setengah. Bila mau jadi pondok gratis, maka istiqomahlah. Demikian
pula bila ingin jadi pondok berbayar, istiqomahlah juga. Agar masyarakat dapat
menempatkan kita di ruang yang tepat. Dengan demikian, masyarakat tidak salah
paham dengan pondok kita.
Mengapa ini penting? Mari kita nalar. Bila kita pilih pondok gratis dan beasiswa, maka pada dasarnya segmen pasar kita sudah sangat jelas: kalangan duafa yang lulus seleksi dengan jumlah yang terbatas. Clear. Dengan demikian, maka yang akan menjadi donaturnya tidak terbatas, tetapi juga tidak tetap. Fenomena inilah yang terjadi pada Ustadz Ridwan dan sejumlah ustadz lain dengan semangat yang sama. Barangkali mereka berpikir: saya berniat baik. Ini sekolah untuk umat. Masa' iya, sih, umat gak mau bantu? Pasti ada jalan. Bismillah. Ceritanya bisa jadi mirip-mirip. Artinya, pengelola membutuhkan donatur tetap seperti yang dituturkan guru Ustad Ridwan di atas. Pondok butuh kepastian-kepastian itu sebagai bagian dari upaya menyehatkan semangat.
Informasi tentang pondok harus bulat agar calon donatur menerimanya juga dengan bulat. Rancangan anggaran belanja untuk kurun waktu tertentu sudah bisa disusun dan kemudian mempertemukan antara kebutuhan pondok dengan kesanggupan donatur. Masing-masing saling memberikan informasi dengan gamblang agar semua terukur. Jadi, wajar bila informasi tentang kesempatan masuk pondok yang gratis (full beasiswa) pada umumnya untuk kalangan dan jumlah terbatas. Oleh karena itulah seleksi ketat diberlakukan.
Perihal beasiswa, silakan kita tentukan. Betulkah kita masih kabur
antara beasiswa dan gratis. Bila beasiswa yang kita
pilih, maka skemanya harus jelas. Yang dibeasiswakan bagian yang mana? Apakah
meliputi uang pangkal dan SPP saja? Berapa persen besarannya? Kalau ada persentase,
maka batasannya harus jelas. Kapan seseorang berhak dapat 70, 50, atau 30
persen? Apa kriterianya? Bila demikian, betulkah logika bahwa kalau beasiswa
yang kita berikan hanya meliputi uang pangkal dan SPP, maka pembiayaan lain harus mereka usahakan sendiri, seperti seragam, buku pelajaran, dan alat-alat
penunjang belajar yang lain. Kalau semua itu kita yang usahakan juga, maka apa
bedanya kita dengan pondok yang gratis. Atau barangkali kita malu (atau ragu?) menyebut
pondok kita gratis sehingga kita pilih penyebutan atau nomenklatur yang lebih
menjual, yaitu beasiswa. Padahal sesungguhnya yang kita berikan adalah
pendidikan gratis. Benarkah demikian? Kalau iya, maka kita sedang bermain-main
dengan pencitraan pondok yang sedang kita bangun. Masyarakat jadi bingung
dengan pondok kita. Yang dikhawatirkan, ada saja pihak yang mengambil
kesempatan dengan ketidakjelasan ini dan memanipulasi sikap mereka atas apa yang kita
tawarkan.
Kedua, positioning menentukan arah dan besaran energi
yang kita berikan dan kelola. Ini berhubungan dengan konsekuensi logis dari
pilihan. Bila kita memilih pondok gratis atau beasiswa, maka segmentasi kita
jelas. Bila kita pilih berbayar, maka segmentasi kita akan berbeda dengan keduanya. Sasaran marketingnya juga berbeda. Pendekatan dan cara
memasarkannya pun harus berbeda karena kita berhadapan dengan kelompok
masyarakat yang memang berbeda. Bila pondok kita termasuk yang menerapkan uang
pangkal dan SPP yang tidak dapat dikatakan murah, maka sasaran kita adalah
masyarakat Islam di kelas menengah perkotaan. Tentu kita harus mencari pola komunikasi yang sesuai untuk menjangkau mereka.
Selanjutnya, bila sejatinya kita adalah pondok berbayar, maka sebaiknya
jangan menjadikan program beasiswa sebagai amunisi marketing. Mengapa? Ini justru
akan mengacaukan identitas dan citra yang ingin kita bangun. Masyarakat jangan
dibuat bingung: kita pondok beasiswa—sesungguhnya gratis—atau pondok berbayar? Kalau
pondok beasiswa jelas ke mana kita bisa menyasarkan proposal dan tawaran kerja
sama. Siapa yang akan menjadi calon donatur kita juga akan jelas. Tetapi, bila kita pondok berbayar, maka sesungguhnya agak kurang elok bila kita membuka peluang donasi meskipun
itu merupakan sebuah program. Mengapa begitu? Sesungguhnya, itu tidak
menguntungkan untuk citra atau brand kita. Bila beasiswa atau gratis, calon
donatur tidak ragu lagi. Tetapi, bila setengah-setengah, maka
dikhawatirkan calon donatur ragu dan kita kehilangan trust dan kredibitas di
mata publik.
Ketiga, kejelasan jenis pondok dan kualitas layanan. Di pondok berbayar, tidak jarang orang tua wali santri punya bargaining position untuk pelayanan yang diterima putranya. Tetapi, tidak dengan pondok gratis atau beasiswa. Pointnya ada di posisi tawar saja. Soal bahan makanan dan jenis menu, misalnya, yang gratis dan beasiswa tidak punya ruang tinjau karena pondok sudah punya takaran dan ukuran sesuai anggaran. Kalau di pondok berbayar saja tidak jarang juga terjadi ketidaksesuaian antara keinginan orang tua wali santri dan pondok, apalagi di pondok gratis? Oleh karena itu, di pondok dengan dua skema (gratis-beasiswa dengan berbayar) standar kualitas layanan adalah yang terbaik, bukan sebaliknya. Bila yang terjadi sebaliknya, maka orang tua wali santri bisa protes atau kalau pun mereka tidak tahu, hati nurani kita pasti terusik karena sudah menurunkan kualitas layanan kepada mereka.
Sejatinya, tantangan untuk pondok yang memadukan dua skema itu sangat berat. Mengapa? Mereka dituntut untuk memberikan layanan terbaik, apa pun yang terjadi. Oleh karena itu, agar pondok tidak keteteran, maka sebaiknya program beasiswa itu dijadikan hidden progam, tidak perlu dipublish dan tidak menjadi jualan kita untuk PPDB. Sesungguhnya, dipublish atau tidak, skema beasiswa akan tetap ada di setiap pondok. Bukankah terhadap anak guru dan karyawan bisa diterapkan skema beasiswa. Tetapi, bila tidak kita publish sebagai alat marketing, tidak mustahil diam-diam sejumlah orang tua wali santri merasa kurang nyaman bila layanan kita ada standar yang rendah dan dinilai di bawah nilai yang mereka bayarkan. Silakan berikan skema beasiswa secara silent karena kita pondok berbayar.
Keempat, partisipasi orang tua wali santri. Anda pasti sepakat, bahwa di sekolah berbayar yang mahal sekali pun partisipasi orang tua wali santri untuk ikut menyumbang pasti besar atau bahkan bisa jadi lebih besar dibandingkan ke sekolah yang abu-abu? Mengapa demikian? Karena mereka merasa nyaman, percaya, dan puas atas layanan pondok. Bukankah mereka juga ingin punya nama di antara keluarga-keluarga kalangan atas? Oleh karena itu, tidak heran bila di sekolah berbayar yang mahal, fasilitasnya bertambah terus. Bisa jadi pembangunan di pondok itu tidak selalu berasal dari program yayasan, tetapi sumbangan dari para orang tua wali santri yang merasa terhormat bisa “hadir” di antara keluarga kelas atas. Ada yang mendirikan perpustakaan lengkap dengan segala isinya. Ada yang mengisi lengkap laboratorium komputer atau sains, misalnya. Masya Allah.
Pertanyaannya, apakah di pondok gratis atau beasiswa tidak ada yang tertarik untuk menyumbang? Tentu ada. Apakah di pondok berbayar tidak ada yang menunggak bayar SPP? Tentu ada. Jadi, pada gilirannya, keseimbangan akan terjadi secara alamiah. Demikian pula dengan subsidi silang, setiap pondok akan punya caranya sendiri untuk menegaskan sistemnya. Namun, untuk sebuah branding, maka kita harus tegas memilih agar bentuk bantuan dan kerja sama yang bisa diberikan masyarakat dan yang akan kita jalin dengan pihak lain lebih tegas dan jelas.
Pada akhirnya, dengan berharap pertolongan Allah SWT atas semua yang telah, sedang, dan akan kita upayakan untuk pondok tercinta, maka kita menyadari semua berpulang kepada prinsip dan budaya organisasi yang telah ditentukan dan akan dikembangkan, tetapi pilihan memang harus ditetapkan. Bila mau jelas
segmentasi dan orientasi sinergi dan kolaborasinya, maka memilih menjadi
sesuatu yang menarik untuk dikaji. Pondok yang masih ada di persimpangan jalan
sesungguhnya pondok yang masih terus berproses mencari bentuk. Hal itu sesungguhnya
menjadi sesuatu yang kurang menguntungkan atau bahkan merugikan. Padahal,
potensi umat sangat besar untuk bisa diajak besar bersama. Kita tidak sedang
mengotak-ngotakkan kelas dalam masyarakat, tetapi lebih kepada keamanan,
kenyamanan, dan kualitas layanan dan peluang untuk berbuat adil untuk semua. Semoga yang belum berani memilih dikuatkan oleh Allah
untuk mau dan mampu memilih sehingga jelas gerak langkahnya di kemudian hari.
Semoga.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Depok,
Juni 2024