"Seharusnya kamu malu dan tersinggung kalau sampai saudaramu pinjam uang kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhannya sedangkan kamu hidup dalam keberkelimpahan."
Astaghfirullah.
Kalimat itu tergiang jelas sampai pagi. Itu jelas sekali diucapkan almarhum
bapak dalam mimpiku semalam. Aneh, biasanya aku lupa apa mimpiku ketika bangun
tidur. Tetapi mengapa kali ini justru sangat lekat dalam ingatan dan terus
terngiang-ngiang di telinga, ya? Memangnya, ada apa dengan Mas Koen dan Mbak Tien,
ya? Barangkali mereka tengah kesulitan sekarang. Kalau tidak, mana mungkin
bapak sampai hadir di mimpiku dan berpesan seperti itu. Pasti mereka sedang
butuh bantuan. Aku telepon mereka sekarang.
Pondok butuh bantuan. Mukafaah para asatidz belum mampu disampaikan tepat waktu. bila biasanya dikirim tanggal tiga atau lima setelah bulan berjalan, bulan ini nampaknya akan jauh lebih buruk kondisinya. Bagian personalia sudah mengumumkan, bahwa mukafaah akan dibuat bertahap. Tahap pertama untuk seluruh karyawan nonguru, guru dan pimpinan, terakhir manajemen. Semoga yayasan segera mendapatkan Solusi, karena mereka pasti mengerti bahwa para asatidz punya keluarga yang kebutuhannya harus dipenuhi. Mereka harus memenuhi pos-pos tetap yang tidak boleh tidak harus terpenuhi karena berhubungan dengan pihak lain, seperti bayar iuran rt, bensin motor, pulsa listrik, pam, spp anak, ongkos ojol, gas buat masak, air minum, dan lain-lain.
Pertanyaannya, mengapa
pondok sampai mengalami kesulitan keuangan? Apakah ada kesalahan dalam
pengelolaan? Atau memang karena pendapatan pondok berkurang? Apakah pengeluaran
lebih besar daripada pemasukan? Sejatinya, dari mana saja sumber pendapatan
pondok? Selain SPP, dari mana lagi pondok bisa mendapatkan penghasilan? Apakah
pondok boleh berbisnis? Kalau boleh, bisnis apa yang paling mungkin
dikembangkan di pondok? Apakah itu artinya pondok harus punya unit bisnis
sendiri di luar struktur yayasan? Apakah berbisnis tidak akan menggangu
konsentrasi pondok dalam kegiatan belajar mengajar? Mari kita diskusikan barang
sedikit.
Makmur
Sejahtera
Ketika berkesempatan
melatih soft skill di sejumlah pondok alumni Gontor, saya selalu
mendapatkan cerita tentang bagaimana sejarah pondok tumbuh. Sejumlah kyai
pondok menuturkan hal yang sama ketika mereka bertemu guru mereka, Kyai Hasan,
di Gontor.
"Santrimu sudah
berapa?" tanya beliau ketika kami bertemu.
"Baru 500 orang,
Kyai," jawab saya setelah mencium tangan beliau.
"Nanti kalau sudah
1000, baru saya mau datang," ujar beliau sambil tersenyum dan menepuk pundak saya.
Ujaran beliau punya sejumlah
makna. Pertama, motivasi. Beliau sedang memberi semangat agar kami lebih giat bekerja dan meningkatkan semua layanan agar banyak santri yang hadir. Biasanya
hanya dengan layanan baiklah para orang tua akan dengan senang hati ikut ketuk
tular ke orang lain. Kedua, mengajarkan logika kesejahteraan. Banyaknya
santri itu berbanding lurus dengan tingkat kemakmuran pondok. Bila pondok makmur, maka insya Allah kehidupan para asatidz pun sejahtera. Bila semua sudah sejahtera,
maka kinerja bagus dan loyalitas biasanya lebih mudah diharapkan. Ketiga,
doa. Itulah doa beliau kepada semua santrinya yang sekarang diamanahi untuk
memimpin pondok. Pondok yang makmur sejahtera adalah cerminan dari keberhasilan
dari semua aspek: proses belajar mengajar, manajemen, maintenance
hubungan dengan para stakeholder, dan tingkat kedekatan serta kepasrahan kepada
Allah SWT. Itulah keberkahan.
Saya lihat ungkapan itu
memang bertuah dan membawa keberkahan pada pondok. Semua pondok alumni semarak
dengan kehadiran banyak santri. Tantangan dan doa Kyai telah berhasil mereka
penuhi dan terwujud. Keberkahan melimpah. Ketika tiba waktunya para kyai pondok mengundang beliau ke acara mereka, Kyai Hasan tersenyum. Beliau bangga
punya santri yang telah berhasil meneruskan kerja dakwah menjadi pimpinan
pondok. Itu artinya, siklus dan mata rantai ilmu sudah tersambung lagi semakin
luas. Keberkahan wilayah seputar pondok pun semakin jelas terasa. Pondok memang sangat diharapkan mampu mewarnai kehidupan masyarakat sekitarnya. Barakallah.
Pendapatan
Pondok
Pendapatan tiap pondok
pasti tidak persis sama. Masing-masing pondok punya skema dan mekanisme yang
berbeda-beda dalam mendapatkan dana pembangunan, operasional, pengembangan, dan
pengayaan. Pada titik tertentu, positioning pondok akan memungkinkan mereka
menciptakan skema dan mekanisme pendapatan yang lebih kreatif dibandingkan pondok
lain. Kedekatan secara personal dan emosional dengan para stakeholder utama akan
lebih membuat sejumlah pondok secara leluasa bisa meng-create skema dan
mekanisme pendapatan lebih beragam dibandingkan yang lain.
Mari kita masuki sedikit
diskusi menarik ini sebagai cermin dan ruang muhasabah untuk semua. Siapa tahu
dari sini kita terpanggil dan tergerak untuk segera memperbaiki atau memoles
sejumlah aspek agar pondok kita ada pada kondisi yang memungkinkan untuk bisa
menawarkan skema yang lebih kreatif. Pertama, uang pembangunan atau
pengembangan. Dua istilah ini bisa saja dipakai berganti-ganti oleh sejumlah
pondok, meskipun sejatinya keduanya agak berbeda pada implementasinya di
lapangan. Yang jelas, ketika dana ini ditarik pada saat pendaftaran murid baru,
maka umumnya orang tua wali santri akan membahasakannya sebagai uang pangkal. Besaran
uang pangkal juga berbeda-beda antara satu pondok dengan pondok yang lain.
Besarnya uang pangkal
sangat bergantung kepada mindset dan niat pemilik dan pengelola pondok. Setelah itu sejumlah aspek bisa menentukan: sarana dan prasarana, pola pendidikan, kurikulum, lingkungan,
dan keunggulan fasilitas yang ditawarkan. Pondok yang merasa fasilitasnya lengkap, mewah, ada di lingkungan yang nyaman, punya kurikulum dan progam yang
keren, tenaga asatidz yang mumpuni, dan jaringan kemitraan yang luas,
umumnya akan berani menetapkan uang pangkal yang lebih besar daripada yang
lain. Meskipun demikian, ada saja pondok yang memilih lebih untuk tetap ada di
wilayah tengah karena mereka sudah merasa nyaman
ada di level itu. Sementara itu, ada juga pondok yang menetapkan uang pangkal dengan
melihat rata-rata besaran uang pangkal sekolah sekelas mereka. Supaya mereka tetap bisa bersaing di
level yang sama.
Kedua,
program pengembangan yang disertakan pada saat pendaftaran santri baru. Progam ini
sesungguhnya adalah program pengembangan dan pengayaan SDM. Ada sejumlah pondok
yang dengan kreatif mendesain sejumlah program agar dilirik oleh para calon orang
tua wali santri, yaitu disodorkan pada saat wawancara orang tua. Program itu
macam-macam, misalnya Program Guru Mas (program memberangkatkan umroh guru),
Program Rumah Guru Qurán, Program Kaderisasi Dakwah Guru Qurán, Progam Bedah Masjid,
dan sejumlah program lainnya. Orang tua menandatangani formulir komitmen untuk berpartisipasi dalam satu atau beberapa program tersebut yang akan mereka
setorkan bersama dengan SPP bulanan dengan besaran sukarela.
Ketiga,
Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). Jumlah besaran SPP sangat
bergantung kepada alur starting point yang telah mereka tetapkan dahulu. Biasanya, SPP
akan naik berkala setiap tahun dengan mempertimbangkan tingkat inflasi dan
kemahalan ekonomi. Dengan SPP yang bertumbuh seperti itu, pondok sejatinya
tengah membangun trust dan komitmen bersama para orang tua wali santri. Mengapa begitu?
Kenaikan SPP di sebuah boarding school itu menjadi salah satu yang
sangat diperhatikan oleh para orang tua wali santri. Bila memang naiknya masuk
akal alias tidak melampaui batas ekspektasi psikologis sebagian besar orang tua
wali, maka kenaikan yang dikenakan sama sekali tidak menimbulkan gejolak karena
orang tua wali santri sudah memahami dan masih dalam tahap wajar. Tetapi, ada
juga sejumlah sekolah yang masih bingung menetapkan pergerakan besaran SPP-nya
karena sejak awal mereka telah memulai dari angka tinggi. Jadi, ketika animo
masyarakat terhadap sekolah itu kurang signifikan, mereka tidak bisa menarik
minat masyarakat dengan jalan menurunkan besaran SPP. Mengapa? Menurunkan besaran
SPP cukup berisiko terhadap citra sebuah sekolah. Lain halnya bila ada
mekanisme keringanan dan itu tidak terpublish ke publik.
Keempat,
donasi. Program fundraising sebagai aktivitas penggalangan atau penghimpunan
dana dari individu, kelompok, organisasi, perusahaan, dan instansi pemerintah merupakan
aktivitas lumrah sebuah lembaga dakwah. Oleh karena itu, lembaga dakwah yang umumnya
berbentuk yayasan dan salah satu kegiatannya adalah mengelola unit pendidikan dapat mendesain
corak dan bentuk organisasi fundraising yang sesuai dengan organisasi mereka. Hal
itu mereka sesuaikan dengan pengalaman dan pemahaman atas budaya organisasi
mereka, kemampuan mereka menyiapkan infrastruktur dan SDM, serta kesiapan teknis
dan nonteknis dalam mendesain organisasi tersebut.
Di sejumlah lembaga dakwah, divisi fundraising
hadir setelah lembaga pendidikan didirikan dan berjalan. Ada dua nama yang lazim
mereka pergunakan, yaitu charity dan peduli. Ruang lingkupnya sama: menghimpun
dana dan menyalurkannya. Nah, pada fase penyaluran inilah ada proses yang cukup
unik. Ada yang menghimpun dana dari masyarakat semata-mata untuk disalurkan
kembali untuk kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti renovasi masjid di satu
wilayah, tanggap bencana alam, recovery desa terdampak bencana, trauma
healing, beasiswa, hingga relokasi permukiman. Sebagai lembaga filantropi, orientasi
berbagi mereka sudah eksternal. Tetapi, sebagian lembaga masih berjuang untuk bisa ke arah
sana. Orientasi fundraising mereka masih internal, yaitu mereka menghimpun dana
masyarakat untuk menopang operasional lembaga pendidikan mereka. Ini proses pendewasaan
menuju makna charity dan peduli tingkat selanjutnya.
Kelima,
unit usaha. Ada pondok yang sudah sadar, bahwa dengan hanya mengandalkan SPP
untuk menjalankan operasional pondok dengan segala kebutuhannya, itu artinya pondok
rela untuk senantiasa ada dalam kondisi yang tidak menentu. Mengapa? Tidak sedikit
dana yang diperoleh dari SPP itu jumlahnya tidak pernah sama setiap bulan. Bukankah
kita sering mendengar bahwa angka penunggakan juga tidak sedikit? SPP yang
dibayar tepat waktu saja belum cukup untuk menjalankan operasional pondok,
apalagi dengan sejumlah kasus penunggakan. Tentu ini cukup memprihatinkan. Oleh
karena itu, sejumlah pondok ingin keluar dari ketidakpastian itu yaitu dengan
cara memulai mendirikan unit usaha. Memang, tidak semua pondok siap untuk itu. Namun,
tentu kita punya sejumlah role model yang bisa kita amati, tiru, dan modifikasi
(ATM) dari sejumlah pondok yang sudah memulai lebih dulu menjalankan unit usaha mereka.
Sekadar menyebutkan di
antara sejumlah pondok yang telah sukses mengembangkan unit usaha, kita bisa
melihat, Pertama, Pesantren Sidogiri. Pondok ini punya unit-unit bisnis modern seperti
swalayan, air mineral, konsultan bisnis, dan apotek. Swalayannya ada 250 dengan brand "Basmalah" dan tersebar di
berbagai daerah di Jawa Timur. Bisa jadi, Basmalah menjadi bisnis retail
terbesar di kalangan pesantren di Indonesia. Mereka juga mengembangkan pabrik
pengolahan air kemasan dengan kapasitas produksi antara 300-500 ribu karton dan
gallon setiap bulan. Air kemasan mereka dengan merek “Santri” cukup populer di
pasar muslim, terutama di Jawa Timur. Oleh karena kiprah bisnisnya, mereka dikenal dengan slogan: Tradisinya
Sarungan, Bisnisnya Miliaran.
Kedua,
Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman di Bogor. Setidaknya, ada 59 unit bisnis pondok
ini yang dikenal dengan Halal Value Chain. Bisnis yang
dikelola mulai dari daur ulang sampah, pabrik roti, pabrik tahu dan tempe, konveksi,
agribisnis dari hulu hingga hilir mencakup pertanian, perikanan, peternakan,
pupuk, dan pakan, dan masih banyak lagi. Seluruh santri turut berpartisipasi langsung menjalankan bisnis yang ada.
Ketiga,
As-syifa Al-Khoeriyyah. Yayasan mengembangkan berbagai usaha ekonomi, antara
lain usaha pertanian, peternakan, minimarket dan kantin, radio, klinik, travel,
toko bangunan, kemitraan operasional manajemen sekolah, As-Syifa Learning
Center (ALC), dan pengolahan susu dan yogurt. Semangat kemandirian tercermin
dari visi awal mereka: “Menjadi Lembaga Non Pemerintah (NGO) yang Kokoh dan
Mandiri dalam Membangun, Membina dan Melayani Masyarakat”.
Tentu masih banyak
pondok yang telah sukses mengembangkan unit usaha mereka untuk menjadi sumber
penghasilan agar operasional pondok dapat berjalan optimal sesuai dengan apa
yang telah mereka niatkan. Jangan sampai visi, misi, dan roadmap yang sudah keren dan
mentereng harus surut dan susut hanya karena kekurangan modal untuk melangkah. Tentu,
untuk itu kita memerlukan SDM yang kuat dalam bidang entrepreneurship. Bila ini
mampu dikonsep dan dijalankan dengan baik, maka akan bertambah ladang dakwah
santri pengabdian kita, yaitu magang di unit usaha pondok. Bukankah sudah lama
kita mendengar istilah santripreneur?
Dalam konteks pembicaraan kita, apa kabar pondok kita masing-masing? Ada di kondisi seperti apa hari ini pendapatan pondok kita? Semoga tetap sehat di tengah agenda akhir semester yang tentu memerlukan banyak anggaran. Tentu tak putus-putusnya kita bersyukur atas semua kemudahan yang telah Allah hadirkan di tengah semua gelombang dalam perjalanan pondok. Kita berharap keberkahan senantiasa melingkupi setiap langkah dakwah pendidikan kita.
Selanjutnya, dengan berbekal network antarpondok yang kita miliki, beranikah kita melangkah untuk ada dalam satu barisan dan bersedia membuka diri untuk bisa saling sinergi dan kolaborasi, terutama untuk hal yang nampaknya masih belum banyak dijajaki: membuka unit usaha bersama yang saling membesarkan dan memberdayakan. Bila selama ini network kita telah berhasil untuk saling belajar dan bertukar informasi dalam hal pengasuhan dan pendidikan pondok, selanjutnya beranikah kita untuk memasuki satu wilayah kerja sama bisnis? Berani dan siapkah para mudir dan direktur dari sejumlah pondok duduk bersama untuk sepakat membentuk unit usaha bersama?
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Depok,
Juni 2024