Boeing 737-400 Adam Air yang kami tumpangi dari Jogya sebentar lagi mendarat. Dari jendela jelas terlihat kawasan Tanjung Priok di bawah, pesawat terus ke Selatan. Mulai nampak deretan apartemen dan jalan raya. Mobil-mobil mulai jelas bentuknya. Itu artinya, pesawat semakin dekat dengan titik landing. Namun, ketika beberapa puluh meter lagi roda belakang menyentuh aspal landas pacu, mendadak pesawat terbang lagi dengan kecepatan tinggi.
“Astaghfirullah…”
Pesawat meninggi lagi. Objek di
daratan mengecil lagi. Suasana kabin pun panik. Semua penumpang tampak
bertanya-tanya dengan tatapan mata mereka. Saling bertatapan tak mengerti.
Belum habis kaget akan apa yang terjadi, para pramugari pun mulai bergerak.
“Bapak Ibu, nanti
kalau ada aba-aba, tangan Bapak Ibu posisinya begini, ya. Badan dibungkukkan mendekat
kursi depan. Tetap tenang dan berdoa,” begitu sejumlah pramugari memberikan
pengarahan dari ruas kursi satu ke ruas kursi yang lain. Sementara itu,
pramugari yang lain sibuk mengemas sejumlah barang yang ada di bawah kursi
untuk dibawa ke belakang.
Sontak suasana
kabin pesawat Adam Air tujuan Jogyakarta-Jakarta menjadi panik. Semua penumpang
saling berpandangan setelah mendapatkan pengarahan.
“Ini ada, apa,
sebenarnya, Mbak?” Tanya seorang Ibu di baris nomor tiga.
“Nanti Captain
yang akan mengumumkan, Bu...,”jawab sang pramugari sambil terus mengemasi
sejumlah barang yang masih berada di bawah kursi.
Sejurus kemudian,
suasana kabin hening...
“Tuan-tuan dan
Nyonya-nyonya sekalian, ini captain Anda berbicara dari ruang kemudi. Kita
sedang dalam masalah. Roda depan tidak dapat terbuka. Kami sedang berusaha
untuk mengatasinya. Mohon dibantu dengan doa. Semoga Allah Tuhan yang maha
kuasa menolong kita semua. Aamiin...”
Seketika, seluruh
wajah penumpang pucat pasi. Berbagai macam perasaan berkecamuk dalam hati. Seketika
kabin penuh dengan suara orang menangis, anak kecil menangis, sejumlah orang
tua terbatuk-batuk, suara orang membaca Yasin, suara orang berdzikir, intinya
semua berdoa. Mencoba mencari jalan keluar atas dada yang sesak dan bayangan
kengerian akan sesuatu yang mungkin saja terjadi. Sejumlah penumpang sudah
saling bermaaf-maafan. Ada dalam suasana seperti itu bukan suasana yang
diinginkan siapa pun.
Suasana merambat
dalam ketidaknyamanan yang sangat: dari senyap mencekam hingga pada titik
pasrah terdalam ketika pesawat pun gagal pada percobaan pendaratan yang kedua.
Berbagai kengerian tentang sebuah pendaratan darurat menerjang seluruh
penumpang. Lamat-lamat terdengar desis dzikir di antara tangis yang tertahan.
Sesak sekali mendengarnya. Pedih, Ngeri.
Antara ragu,
tidak percaya atas apa yang terjadi, dan tidak mengerti pada situasi yang
sesungguhnya sedang terjadi, kami pun
meneguhkan diri dalam sikap pendaratan darurat yang dicontohkan para awak
kabin. Ini percobaan pendaratan ketiga. Kami
di puncak kengerian. Kalau pun pada akhirnya Allah masih menolong dan
melindungi kami dengan sebuah pendaratan
yang sangat mulus karena secara mekanik roda depan terbuka pada saat yang
sangat tepat, tak juga segera mengembalikan darah pada seluruh wajah kami.
Penerbangan yang semestinya hanya 50 menit menjadi sekitar 3 jam dalam
kegentingan rasa masing-masing itu pun pada gilirannya menyisakan begitu banyak
cerita tentang ketidaksiapan kita untuk ikhlas dalam kepasrahan yang otomatik.
Kalaupun kami dapat melewatinya, itu lebih pada proses kami mencoba meneguhkan
apa yang selama ini bersemayam dalam nurani terdalam kami.
Selepas
penerbangan sangat menegangkan itu, saya jadi teringat akan peristiwa pada paruh
kedua 1997. Selepas diterjang badai
selama kurang lebih empat jam dalam perjalanan Sorong-Babo, saya sempat
merenung soal sebuah perjalanan jauh. Perjalanan laut dengan kapal cepat Lailai
7 selama 13 jam menjadi perjalanan laut terdahsyat yang pernah saya alami.
Betapa tidak! Pelayaran panjang dengan medan tempuh yang baru saya kenal,
menyisakan kekurangsiapan. Pada saat itulah, saya merasakan kehidupan ada di
titik nadir antara kesempatan hidup atau karam ditelan Samudera Indonesia.
Badai hebat
selama empat jam telah menguras semua pertahanan fisik dan mental. Daya hidup
menjadi sesuatu yang begitu berharga untuk dipertahankan tetapi ada di situasi
tergawat tanpa bisa berbuat apa-apa kecuali berdoa. Ketidakmengertian akan
sifat laut Indonesia Timur telah meninggalkan daya kejut yang sampai hari ini
masih terasa. Ketika pada akhirnya kami bisa keluar dari empat jam yang luar
biasa dahsyat itu, saya merenung dalam-dalam tentang perjalanan hidup. Jauh
dari kampung halaman. Jauh dari orang-orang tercinta.
Perjalananku
dalam kerangka bekerja dan mencari ilmu telah Allah pertemukan dengan drama
perjalanan yang sedemikian rupa. Sesaat, aku termenung, bagaimana rupanya
tantangan dan ancaman yang dialami oleh rasulullah, para sahabat, dan para
ulama terdahulu ketika melakukan perjalanan jauh dalam mencari nafkah, ilmu,
dan berdakwah? Barangkali tidak semua kita merasa terpanggil untuk lebih
memahami seperti apa tantangan dalam perjalanan para kekasih Allah dan para
sahabatnya. Setidaknya, bila kita mendapatkan informasi tentang itu, kita akan
semakin utuh memahami bahwa perjalanan bukan sekadar fisik dan material semata,
tetapi sebuah totalitas. Sangat boleh
jadi, perjalanan kita selama ini, yang kita anggap luar biasa, ternyata tidak
ada apa-apanya bila dibandingkan dengan apa yang mereka alami.
Ilmu, Perjuangan, dan Keberkahan
Semangat merantau dan mencari ilmu (nyantri) ternyata menjadi sesuatu yang menarik untuk para ulama besar kita di Indonesia. Mereka umumnya telah meninggalkan rumah dan kota kelahiran untuk nyantri di sejumlah pesantren untuk kemudian melanjutkan pengembaraan ilmu ke Mekkah. Mekkah menjadi tujuan utama karena umumnya perjalanan itu mereka awali dengan ibadah haji.
Syeikh Nawawi
Abû Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin ‘Arabi dari Banten.
Ulama yang biasa dipanggil Syeikh Nawawi ini lahir di Kampung Tanara, Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten pada 1230 H atau
1813 M. Ia bernasab kepada keturunan Maulana Hasanuddin Putra Sunan Gunung
Jati, Cirebon.
Sejak kecil beliau terkenal
cerdas. Pada usia 8 tahun ia belajar kepada Kyai Sahal (Banten) dan Kyai Yusuf
(Purwakarta). Pada usia 15 tahun beliau menunaikan haji dan berguru kepada
sejumlah ulama terkenal di Mekkah, seperti Syaikh Khâtib al-Sambasi, Abdul
Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, ‘Abdul Hamîd Daghestani, Syaikh Sayyid Ahmad
Nahrawi, Syaikh Ahmad Dimyati, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Muhammad
Khatib Hambali, dan Syaikh Junaid Al-Betawi. Tapi guru yang paling berpengaruh
membentuk karakter beliau adalah Syaikh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syaikh Junaid
Al-Betawi, dan Syaikh Ahmad Dimyati di Mekah. Sedangkan ulama yang berperan
besar mengubah alam pikirannya, yaitu Syaikh Muhammad Khâtib dan Syaikh Ahmad
Zaini Dahlan di Madinah.
Tiga tahun bermukim di Mekah,
beliau pulang ke Banten. Sampai di tanah air beliau menyaksikan ketidakadilan,
kesewenang-wenangan dan penindasan Belanda. Semangat jihad pun berkobar. Beliau
keliling Banten mengobarkan perlawanan terhadap penjajah. Akhirnya, ia dilarang
berkhutbah di masjid-masjid dan dituduh sebagai pengikut Pangeran Diponegoro.
Pada 1830, Syaikh Nawawi kembali
ke Mekkah untuk memperdalam ilmunya. Beliau tekun belajar selama 30 tahun (1830
- 1860 M). Ia berniat untuk menetap di tanah suci dan menghindari tekanan
penjajah Belanda. Nama beliau mulai masyhur ketika menetap di Syi'ib ‘Ali,
Mekkah dan mulai menerima murid dari berbagai penjuru dunia. Syaikh Nawawi
al-Bantani pun akhirnya terkenal sebagai ulama ahli tauhid, fiqih, tafsir, dan
tasawwuf.
Nama beliau semakin masyhur
ketika menggantikan Syaikh Khâtib al-Minangkabawi sebagai Imam Masjidil Haram.
Sejak itulah beliau dikenal dengan nama resmi ‘Syaikh Nawawi al-Bantani
al-Jawi’ (Nawawi dari Banten, Jawa). Beliau tidak hanya masyhur di Mekkah, tetapi
juga di Madinah dan Mesir.
Syaikh Nawawi tetap mengobarkan
nasionalisme dan patriotisme di kalangan muridnya yang biasa berkumpul di
perkampungan Jawa di Mekkah. Di sanalah beliau menyampaikan perlawanannya lewat
pemikiran-pemikirannya. Kegiatan ini membuat pemerintah Hindia Belanda berang
yang akhirnya mengutus Snouck Hourgronje ke Mekah untuk menemui beliau.
Dari sejumlah pertemuan dengan Syaikh Nawawi, Orientalis Belanda itu pun berkesimpulan: Syaikh Nawawi adalah ulama yang ilmunya dalam, rendah hati, tidak congkak, bersedia berkorban demi kepentingan agama dan bangsa. Banyak muridnya yang kemudian menjadi ulama, misalnya K.H. Hasyim Asyári (Pendiri Nahdhatul Ulama), K.H. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), K.H. Muhammad Khalil (Bangkalan), K.H. Asnawi (Kudus), K.H. Tb. Bakrie (Purwakarta(, dan K.H. Arsyad Thawil.
Kyai Khalil
Muhammad Khalil dari Bangkalan, Madura. Beliau lahir pada 11 Jumada
Al-Tsaniyah 1235 H atau 1820 M.
Ayahnya, ‘Abd Al-Latif, adalah seorang kiai di Kampung Senenan, desa
Kemayoran, Bangkalan, Ujung Barat Pulau Madura. Khalil dididik dengan sangat
ketat. Ia memang menunjukkan bakat istimewa. Kehausannya akan ilmu, terutama
Fiqh dan nahwu, sangat luar biasa, bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham
Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu Nahwu) sejak usia muda. Oleh karena itu,
ia dikirim orang tuanya ke berbagai pesantren.
Kholil muda pun
mulai berguru pada Kiai Muhammad Nur di Pesantren Langitan Tuban. Dari
Langitan, Kholil nyantri di Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Dari sini
Kholil pindah lagi ke Pesantren Keboncandi, Pasuruan. Selama di Keboncandi, ia
juga belajar kepada Kyai Nur Hasan—masih terhitung keluarganya—di Sidogiri.
Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri sekitar 7 Kilometer. Tetapi, demi ilmu, ia
rela berjalan kaki setiap hari.
Khalil sangat
mandiri. Selama tinggal di Keboncandi ia nyambi sebagai buruh batik untuk
memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Ketika hendak belajar ke Mekkah, ia pergi ke
sebuah pesantren di Banyuwangi yang
pengasuhnya punya kebun kelapa yang cukup luas. Selama nyantri, ia nyambi
menjadi “buruh” pemetik kelapa pada gurunya dengan upah 2,5 sen sepohon. Uang itulah yang
ditabung. Untuk makan, ia mengisi bak
mandi, mencuci, dan melakukan pekerjaan rumah lain, serta menjadi juru masak
teman-temannya. Dari situlah ia bisa
makan gratis.
Pada usia 24
tahun, Khalil memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Sebelum berangkat, ia menikah
dahulu dengan Nyai Asyik, anak perempuan Lodra Putih. Ongkos pelayarannya bisa
tertutupi dari tabungannya selama nyantri di Banyuwangi, sedangkan untuk makan,
konon, Khalil berpuasa.
Di Mekkah,
Khalil bertemu dan belajar kepada para
ulama senior yang telah lebih dulu bermukim di sana, seperti Syekh Nawawi
Al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Syekh Muhammad Yasin
Al-Fadani. Ia memang belajar pada para syekh dari berbagai mazhab, tetapi ia
lebih cenderung mengikuti Madzhab
Syafi’i . Oleh karena itu, ia lebih banyak mengaji kepada para Syekh bermazhab
Syafi’i.
Khalil pulang
sebagai seorang hafidz yang ahli Fiqih dan Tarekat. Ia mendirikan sebuah
pesantren di Cengkubuan, 1 km Barat Laut dari desa kelahirannya. Pesantren itu
kemudian diserahkan kepada menantunya, Kiai Muntaha dan ia pun mendirikan
pesantren yang baru di Kademangan, dekat pusat kota Bangkalan. Di pesantren
itu, ia banyak menerima santri, bukan saja dari daerah sekitar tetapi juga dari
jawa. Santri pertama yang datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari,
dari Jombang.
KH. Ahmad Dahlan
Muhammad Darwisy dari Jogyakarta. Ia lahir pada 1
Agustus 1868. Ayahnya, KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka
di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta, dan ibunya adalah puteri dari H.
Ibrahim, penghulu Kasultanan.
Sejak kecil Muhammad Darwisy
diasuh di lingkungan pesantren. Pada usia 15 tahun (1883), ia menunaikan ibadah
haji juga untuk belajar ilmu agama dan bahasa arab. Di sana, ia berinteraksi
dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dunia Islam, seperti Jamaluddin al-Afghani
(1838 – 1897), Muhammad Abduh (1849 - 1905), dan Muhammad Rasyid Ridha (1865 –
1935). Hal itu sangat berpengaruh pada semangat, jiwa, dan pemikiran Darwisy.
Setelah lima tahun belajar di
Makkah (1888), Darwisy kembali ke kampungnya. Ia pun berganti nama menjadi
Ahmad Dahlan. Ia diangkat menjadi khatib amin di lingkungan Kesultanan
Yogyakarta. Pada kurun waktu 1902 – 1904, ia kembali ke Mekkah.
Semangat, jiwa, dan pemikiran
Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan ibn Taimiyah yang diperolehnya
selama belajar di Makkah (1883-1888 dan 1902-1904) diwujudkan dengan
menampilkan corak keagamaan yang sama melalui Muhammadiyah yang didirikannya pada
18 Nopember 1912. KH. Ahmad Dahlan ingin memperbaharui pemahaman keislaman yang
masih kolot. Menurutnya, kekolotan hanya akan menimbulkan kebekuan, stagnasi
dan keterbelakangan. Oleh karena itu,
pemahaman tersebut harus diubah dan diperbaharui melalui pemurnian
ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadits.
Kiai
Hasyim Asy’ari
Hasyim Asy’ari dari Jombang. Ia lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April
1875. Hasyim seumur dan seangkatan
dengan Muhammad Iqbal, seorang filsuf-penyair Abad 20 dari Kashmir, India. Bila
yang pertama belajar di Mekkah, sedangkan yang kedua belajar filsafat di Government College di Lahore, Cambridge University, Inggris, dan
Munich, Jerman. Di kota terakhirlah Iqbal mendapatkan gelar Ph.D di bidang
tasawuf.
Ayahnya, Kiai
Asyari, adalah pemimpin Pesantren Keras
yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu,
Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng), ayah
Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang. Kakeknya, Kiai Ustman, terkenal sebagai
pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya berasal dari seluruh Jawa pada akhir
abad 19. Dan ayah kakeknya, Kiai Sihah, adalah pendiri Pesantren Tambakberas di
Jombang.
Sejak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra
ketiga dari 11 bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan
kakeknya. Hasrat besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan
rajin. Hasilnya, ia diberi kesempatan oleh ayahnya untuk membantu mengajar di
pesantren karena kepandaian yang dimilikinya. Tak puas dengan ilmu yang
diterimanya, semenjak usia 15 tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke
pesantren lain. Mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo),
Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren
Siwalan, Panji (Sidoarjo).
Di Siwalan ia
belajar pada Kyai Jakub yang kemudian mengambilnya sebagai menantu. Pada 1892,
Kiai Hasyim Asy'ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di Mekah. Di sana
ia belajar hadits kepada Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan Syekh Mahfudh
at-Tarmisi. Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia
dan mengajar di sana. Pada 1899, Kiai Hasyim Asy'ari pulang ke Indonesia dan
mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan
terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak 1900, Kiai Hasyim Asy'ari memosisikan
Pesantren Tebuireng sebagai menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam
tradisional.
Sahabat sukses
yang dirahmati Allah, Syeikh Nawawi al-Bantani, Kiai Muhammad Kholil, Kiai
Ahmad Dahlan, dan Kiai Hasyim Asy’ari adalah contoh dari mereka yang hijrah
untuk belajar. Mereka kemudian menancapkan pasak-pasak kokoh ilmu pengetahuan
agama Islam dan mengobarkan semangat pembaharuan Islam di tanah air setelah
pulang dari Mekkah. Dari semangat itulah, kita dapat mengambil pelajaran sangat
berharga tentang keutamaan, kedalaman ilmu, dan perjuangan mereka di basis
masing-masing. Hal itulah yang pada gilirannya membawa keberkahan pada wilayah
perjuangan mereka.
Mencermati
rangkaian waktu yang memungkinkan mereka terhimpun dalam suasana belajar
mengajar, saling bertemu atau bahkan saling pengaruh mempengaruhi dalam
berbagai pandangan keilmuan selama di Mekkah adalah sesuatu yang menarik. Sejatinya, ada tokoh yang menjadi guru Syeikh
Nawawi al-Bantani, yaitu Syeikh Junaid al-Betawi yang telah belajar dan menjadi
tokoh keilmuan di Mekkah pada pertengahan abad ke-18. Syeikh Nawawi al-Bantani
(lahir 1813/14) hadir di Mekkah pada 1829/30. Sekitar tiga puluh tahun setelah
kedatangan Syeikh Nawawi al-Bantani di Mekkah, datanglah Kiai Kholil (lahir
1820) dari Bangkalan. Dua puluh empat tahun setelah kedatangan kiai Khalil,
hadirlah Kiai Ahmad Dahlan (lahir 1868). Sembilan tahun setelah kedatangan Kiai
Ahmad Dahlan, baru hadir Kiai Hasyim Asy’ari (lahir 1875). Sebuah rangkaian
waktu yang sangat cantik untuk sebuah siklus belajar mengajar di antara para
ulama terkemuka Indonesia.
Para ulama terkemuka kita telah memenangkan satu
fase penting dalam perjalanan menimba dan mengembangkan ilmu agama. Mereka
telah menang sebagai musafir dan kembal ke tanah air sebagai sosok yang mumpuni
dalam bidang keilmuannya. Kiprah dan perjuangan mereka menjadi tanda, bangsa
besar ini mestinya menjadi bagian tak terpisahkan dalam peradaban umat manusia.
Lalu, bagaimana kita mengambil pelajaran dari perjalanan suci mereka?
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Depok, Juni 2024