Proposal untuk Hidup

             Seorang guru mengangkat tangan ketika kutanya, siapa di antara mereka yang baru-baru ini menjadi panitia sebuah kegiatan. 

“Iya, Ibu...Ibu baru saja jadi panitia kegiatan apa?”

Science Fair, Pak!”

“Wah, hebat sekali. Nah, saya mau tanya soal persiapannya, Bu. Apa yang Ibu persiapkan untuk mengawali kerja sebagai panitia?”

“Kami biasanya membuat proposal lebih dahulu, Pak!”

“O, begitu...baik...Nah, sekarang, berapa kali kira-kira Ibu mengadakan rapat untuk persiapan?”

“Biasanya antara 5 sampai 7, Pak!” jawabnya mantap.

“Nah, proposal dan rapat itu dibuat dan diadakan sebenarnya untuk apa, Bu?”

“Maksud, Bapak?”

“Iya, Ibu membuat proposal dan ngadain rapat itu untuk apa, sih?” tanyaku menegaskan.

“Ya agar kegiatan itu berjalan lancar dan sukses, Pak!” begitu ia menyakinkan.

“O, begitu...baik...baik...Bapak, Ibu, Sahabat-sahabat sekalian, kita dengar sendiri tadi, bahwa untuk melaksanakan sebuah kegiatan, kita perlu membentuk kepanitiaan, membuat proposal, dan mesti rapat berkali-kali. Bahkan kita sering sangat khawatir dengan sejumlah persiapan yang belum rampung. Akhirnya kita berusaha agar semua itu dibuat dan dilakukan agar kegiatan yang telah direncanakan akan dapat berjalan dengan baik dan sempurna. Luar biasa! Nah, sekarang, bagaimana dengan hidup kita? Apakah sudah perlakukan dengan adil dan sangat khawatir seperti halnya kita terhadap kegiatan di sekolah? Apakah kita juga telah punya proposal untuk hidup yang sangat berharga dan hanya sekali ini? apakah kita punya rencana untuk hidup yang tidak bergaransi ini?”

 

Sahabat sukses yang dirahmati Allah, kita sering lupa, bahwa hidup di dunia hanya sekali, tidak bergaransi, dan tak bisa kembali. Dengan begitu, seharusnya, sebelum kita punya proposal atau rancangan tentang sejumlah hal di luar hidup kita, kita sudah punya proposal untuk hidup kita ini. Sebelum kita rapat untuk sebuah kegiatan, ada baiknya adalah juga sebuah pembicaraan sangat serius tentang apa dan bagaimana hidup kita ke depan. Bukankah pada akhirnya kita harus mempertanggungjawabkan hidup ini di hadapan Allah ketika kita pulang kampung yang sesungguhnya nanti? Bukankah hanya dengan hidup inilah kita bisa menjalani semua rencana tentang berbagai hal yang kita konstruksi dalam setiap lembar pengabdian kita?

     Sebagian besar peserta terpana. Dalam diamnya mereka berfikir. Selama ini belum sama sekali terlintas tentang pentingnya membuat proposal untuk hidup. Tentang hidup yang singkat, semua nampaknya menyadari. Bahwa hidup hanya sekali dan tidak bisa kembali, semua sudah maklum. Namun, ketika pembicaraan tentang apa yang sudah kita siapkan dan seperti apa hidup ini akan kita design nampaknya mereka baru saja tersadarkan. Hidup belum pernah mereka tempatkan sebagai sebuah entitas yang sama dengan aspek apa pun dalam rangkaian nafas mereka. Aset berupa nafas dan waktu belum disadari sebagai sesuatu yang fana. Selalu saja menyelinap rasa, keduanya masih akan tetap menjadi bagian dari hidup kita sampai kapan pun. sampai yang kita kehendaki. Sampai kapan? Kita pun tak mampu menjawabnya, karena sejatinya kita tidak pernah tahu (dan tak pernah mau) kapan kedua aset itu terenggut dari hidup kita.

     Proposal yang ingin kita buat untuk hidup kita sesungguhnya merupakan penjabaran dari fokus hidup yang telah kita tetapkan sebelumnya. Proses dari akhir ke awal mengajak kita berfikir secara runtun tentang berbagai hal yang perlu kita siapkan agar fokus kita menjadi sesuatu yang mungkin untuk dicapai. Ada rasa aman dan optimis manakala kita menyadari bahwa mimpi dan fokus kita adalah sesuatu yang mungkin dapat kita wujudkan. Justru dengan rencana itulah kita ingin semakin membumikan apa yang selama ini menghuni dunia ide kita tentang hidup yang ingin kita wujudkan.

     Puluhan pasang mata berbinar-binar. Mereka bersyukur karena sudah berkesempatan untuk memikirkan hidup mereka yang sangat berharga itu. Bila selama ini waktu mereka habis tersita untuk berdinas dan pekerjaan, kini saatnya mereka mengambil jarak dari semua itu untuk secara komprehensif menempatkan hidup sebagai sesuatu yang nyata bukan sekadar sesuatu yang sublim bersama kehadiran kita di dunia ini. ketika hidup kita tempatkan sebagai sebuah aset berharga tentu kita banyak belajar bagaimana kita menghargai aset utama ini. karena hanya dengan aset inilah sejumlah aset kita yang bersertifikat dan bersurat akan berguna dan bisa termanfaatkan. Tanpa aset yang satu ini justru semua aset kita yang bersurat itu pasti akan berubah menjadi sesuatu absurd dan tak berguna sama sekali untuk kita.

     Ada sejumlah sahabat yang merasa menyesal: mengapa hal ini baru mereka ketahui sekarang, ketika usia sudah mulai merangkak senja. Mengapa pembicaraan tentang hidup yang sangat gamblang ini baru mereka dapatkan justru ketika mereka merasa sudah berada di ujung karir? Mengapa ini tidak mereka dapatkan dulu ketika mereka baru saja memulai “hidup”? Namun, akhirnya setelah berdiskusi, mereka pun menyadari: inilah hikmah silaturahim. Inilah makna pencarian kita di antara kesibukan menjadi dan melakukan. Ini pulalah yang sempat kita dapatkan di antara gegap gempitanya semangat memiliki. Alhamdulillah...

                                             Kemaslahatan sebuah Rencana

Ada sejumlah temuan menarik ketika menemani kelas inhouse training sebuah BUMN di Jogyakarta. Ketika itu kami bertemu dengan para managernya. Fenomena tersebut di antaranya adalah, pertama, sejumlah peserta merasa kesulitan menemukan kegairahan dalam berencana. Hal ini, menurut mereka, karena kondisi pekerjaan dan posisi mereka yang tidak memungkinkan untuk itu. Mereka merasa menjadi individu yang tidak merdeka ketika harus berencana dan menjadi individu yang larut dalam sistem. Selama ini, kalau saja mereka mampu menjalankan 20% dari rencana mereka itu sudah bagus. Oleh karena itulah, mereka kurang yakin bila diajak berencana karena mereka merasa sulit untuk dapat menepatinya.

     Salah seorang dari mereka pernah bercerita betapa seringkali menjadi orang yang serba salah. Mengapa? Dari rumah, ia sudah merencanakan sejumlah hal harus dikerjakan dan harus selesai hari itu. Tetapi, apa daya, ketika tiba di kantor, tanpa pemberitahuan sebelumnya, ia dijadwalkan menemani direksi untuk meeting di sejumlah tempat sampai sore hari. Begitu kejadiannya berulang. Akhirnya, dia merasa hopeless dan pasrah. Kemudian lahirlah statement: “hidup kami tergantung direksi, Pak. Kami tidak bisa punya rencana sendiri.”

     Luar biasa! Sebegitu parahkah? Sampai-sampai sejumlah orang mengatakan tidak lagi nyaman ketika diminta untuk membuat rencana, karena pada kenyataannya rencana tinggal rencana karena yang ada adalah pemenuhan kewajiban taat kepada atasan. Kompromi semacam ini sesungguhnya membuat sejumlah orang merasa gerah: mau larut, mereka tidak mau; mau menentang arus, mereka tak punya bargaining position yang memungkinkan untuk itu. Pada akhirnya, sikap apatislah yang muncul.

     Memang, hanya pribadi luar biasa yang kemudian mampu keluar dari suasana negatif seperti itu. Salah seorang manager kemudian bercerita. Ia termasuk yang sangat setuju dengan prinsip perencanaan dan dia selalu punya rencana setiap hari. Lalu, bagaimana dengan kondisi kantor yang seringkali “mematikan semangat” untuk menunaikan rencana itu karena selalu saja ada agenda dadakan dari direksi? Ia kata santai,”itu bukan halangan. Saya akan tetap berusaha agar rencana itu tuntas. Kalau harus pulang malam, tidak apa-apa. yang penting, rencana saya terselesaikan untuk hari ini.” subhanallah. Andai saja sebagian besar koleganya mau belajar istiqomah seperti itu, tentu perusahaan itu sangat beruntung memiliki mereka.

     Selalu saja ada jalan untuk sebuah keistiqomahan. Mendramatisasi keadaan hanya akan menjauhkan kita dari potensi kita sesungguhnya. Pada akhirnya, yang kita cari adalah tempat sembunyi yang sempurna. Bila sedikit saja kita bertemu, maka di situlah berbagai alasan kita muarakan sehingga seakan-akan itulah yang harus dipercaya orang tentang kondisi yang sesungguhnya. Padahal, kita sedang membohongi diri kita sendiri dengan menyembunyikan ketidakmampuan kita melepaskan diri dari kekerdilan tak berkesudahan.

     Kedua, sejumlah peserta merasa kesulitan menyumbangkan buah pikiran apa yang akan mereka rencanakan untuk perusahaan. Mereka berpendapat bahwa sepuluh tahun ke depan adalah rentang waktu mustahil untuk dapat mereka rencanakan. Mengapa? Mereka yakin sudah tidak lagi berada di posisi sekarang sehingga mereka bimbang apa masih ada manfaatnya mereka merencanakan sesuatu untuk perusahaan.

     Suatu saat kami berlatih bersama para manager sebuah BUMN. Ketika sampai pada sesi menyusun rencana, saya sempat bertanya kepada salah seorang manager, “Pak, apa rencana Bapak setahun yang akan datang?” Lalu sebuah jawaban yang membuat saya berpikir mengalir,”Pak Rizal, tiga bulan lagi saya sudah dimutasi, kok. So?  Ya, buat apa punya rencana?” Seorang temannya, yang juga seorang manager, dengan sangat yakin berkata,”Betul, Mas, setahun dua bulan lagi saya pensiun. Saya rasa, tugas berencana adalah tugas yang masih aktif saja. Iya, toh?” Mereka berdua tertawa renyah di antara para koleganya yang lain.

     Sepintas masuk akal. Tetapi, benarkah sejatinya begitu? Benarkah kita bangga dengan hanya berpikir parsial dan egosentris? Benarkah kita sudah kehilangan rasa empati dan peduli kita terhadap masa depan anak-anak kita? Mengapa hidup jadi terkesan sangat transaksional?

     Saya terkesima. Ketika saya diskusikan hal tersebut dengan direktur SDM mereka, justru sang direktur tersenyum. “Lho, kok Pak Rizal bingung? Memang tipikal orang kita begitu, kan? Mereka mau melakukan sesuatu bila mereka yakin hasilnya dapat mereka nikmati. Mereka tidak mau melakukan sesuatu yang mereka yakin tidak akan mungkin mereka nikmati, misalnya karena mutasi.”

     Lalu saya merenung, begitukah? Ah, bilakah sebuah pelangi kesadaran muncul dengan indah di cakrawala hati setiap manusia, ketika dia tidak lagi berpikir tentang apa dan berapa yang akan kembali kepadanya atas segala yang dikerjakan atau dihasilkannya? Bukankah seekor sapi tidak akan ambil pusing siapa yang akan minum susu dan menyantap dagingnya? Bukankah seekor ayam atau itik tidak peduli siapa yang akan menikmati telur dan daging mereka?

     Ternyata, berpikir tentang manfaat adalah sebuah cara berpikir yang tidak populer untuk semua orang. Hidup untuk sementara orang adalah sekadar transaksi ekonomi. Transaksional. Tidak ada aktivitas tanpa kalkulasi keuntungan. Setiap gerak mestilah dia. Setiap tarikan nafas harus untung. Lalu, kemana perginya pencerahan selama ini? Naudzubillah...

Wallahu a’lam bi al-shawab.

 

Depok, Juli 2024

 

 

 

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form