The Power of Planning

Kita bertemu raker lagi. Seperti tahun lalu dan tahun-tahun yang sudah. Tahun ajaran baru sudah tiba. Kita tentu tidak ingin memberikan pelayanan yang itu-itu saja setiap tahun. Kita ingin berinovasi. Kita ingin menyajikan nilai dan filosofi pondok yang ajeg dengan kemasan dan wajah yang lebih segar dan menantang. Untuk itulah kita perlu berencana. Mengapa berencana itu penting untuk pondok kita?

Apa yang terbetik di benak Anda ketika melihat Golden Gate Bridge yang menghubungkan San Francisco dengan Marin County Utara? Terbayangkah bagaimana sebuah impian dan perencanaan matang agar jembatan dengan panjang keseluruhan 2.727 m, jarak antarmenaranya 1.280 m, dan ketinggiannya 230 m di atas permukaan air dapat terentang indah? Menyaksikannya berdiri tegak menemani pelbagai macam suasana hati masyarakat San Fransisco dan sekitarnya melintas, terbayangkah kalau jembatan tersebut mesti menghabiskan waktu tujuh tahun (1930-1937) untuk pembuatannya? Luar biasa.

     Pasti ada perencanaan dan persiapan luar biasa untuk membangun sebuah jembatan yang sudah berdiri selama 85 tahun lebih itu. Ialah ikon cantik San Fransisco. Ia telah menjadi landmark untuk sedemikian banyak foto, lukisan, dan sinema. Ia dirancang sebagai jembatan baja dengan prinsip bentang gantung. Ia terikat pada 2 kabel baja yang dikaitkan pada dua menara setinggi 211 m. Setiap kabelnya diperkuat oleh 27.572 utas kawat baja. Ada 1,2 juta rivet tertanam di sana. Arsiteknya, Irving Morrow, memilih warna bata agar tetap natural dan tetap terlihat dalam cuaca berkabut yang kerap menyelimuti wilayah teluk tersebut.

     Setelah menentukan fokus, mari kita menyusun rencana. Fokus dan rencana ibarat dua sisi dari sebuah koin: tak dapat dipisahkan. Bila ingin merebut dan mendapatkan apa yang menjadi fokus kita, mutlak harus membuat rencana.

     Rencana adalah seperangkat pendekatan, metode, teknik, dan cara. Bisa juga merupakan strategi taktis dan praktis bahkan pragmatis. Semua bergantung kepada kepribadian pemilik fokus. Namun, sangat sedikit orang yang punya keinginan atau cita-cita mau dan mampu menulis rencana. Jadi, wajar bila banyak orang bermimpi tapi berakhir sebagai ilusi alias tidak jadi kenyataan karena tidak punya rencana.

Allah mengingatkan kita pentingnya perencanaan, Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan (QS. Al-Hasyr [59]: 18). Allah mengisyaratkan ketakwaan sebelum menyusun rencana. Menyusun rencana adalah salah satu potensi yang Allah berikan kepada kita. Kemampuan memvisualisasi dan mengonstruksi sesuatu yang abstrak di benak kita tentang sesuatu yang akan dan harus dilakukan di masa depan hanya mungkin dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan berpikir yang baik.

Sun Tzu—ahli strategi militer dan filsuf China—mengatakan, siapa mampu menyusun rencana dengan seksama, akurat, dan detail, dia akan memenangkan peperangan. Jadi, wajar Abraham Lincoln dan TD Rooselvet menegaskan,Jika kamu gagal berencana, berarti kamu berencana untuk gagal.

Metamorfosis Rencana

Menyusun rencana bukanlah sesuatu yang aneh. Kita melakukannya sehari-hari. Stephen R. Covey pernah menulis, selama ini kita sudah berencana dalam banyak hal. Sebelum bepergian, misalnya, kita menentukan tujuan, rute, dan alat transportasinya. Sebelum berkebun, kita memikirkan apa yang ingin ditanam. Sebelum berpidato, kita mengonsep draftnya. Kita sudah biasa berencana untuk hal yang sederhana dan jangka pendek. Tantangannya sekarang adalah bagaimana berencana untuk karier, bidang pengabdian, dan target masa depan di empat dimensi (spiritual, emosional, intelektual, dan adversity quotion).

     Hal ini menarik dibicarakan. Pertama, kita bermain di wilayah ide. Dia tak nyata, setidaknya untuk saat ini.  Membayangkan sesuatu yang belum nyata memang butuh energi lebih karena belum ada pengalaman. Kalau pun ada pengalaman orang lain, pasti tidak sama karena sudah beda tempat, waktu, dan aktornya.

     Kedua, yang kita visualisasikan bukan sesuatu yang pernah kita alami dan bukan sesuatu yang biasa kita lakukan. Yang dapat membantu adalah pengalaman dalam bidang yang sama meskipun dimensinya berbeda. Kebiasaan kita berpikir yang sekadar untuk sekarang, kekinian, dan kebendaan harus sudah dilatih untuk terbiasa berpikir tentang sesuatu yang transendental dan visioner.

     Ketiga, kekuatan visual mensyaratkan pemahaman mendalam tentang sesuatu yang kita bayangkan. Kenal dan tahu harus naik menjadi paham dan mengerti. Sebelum merencanakan sesuatu dengan detil, kita harus memiliki informasi dan pengetahuan yang cukup agar bisa mengimplementasikan konsep yang disarankan oleh Covey tentang perlunya “mendahulukan yang utama (first thing first)”.

     Keempat, keterampilan visualisasi memerlukan kesabaran. Biasanya, untuk mengetahui dengan baik sesuatu yang belum kita kenal memunculkan rasa penasaran. Rasa penasaran menjadi energi lebih, tetapi tidak boleh membunuh kesabaran. Biarlah proses itu kita nikmati. Jangan terburu-buru dan asal-asalan. Rasulullah mengatakan,“Perlahan-lahan (sabar) itu dari Allah, sedangkan tergesa-gesa itu dari setan.” (HR. Abu Ya’la dan Al-Baihaqi)

     Kelima, visualisasi mensyaratkan realisasi. Rencana tetap ada di benak dan di atas kertas, belum nyata. Orang yang ingin menjadi dokter tidak akan menjadi dokter tanpa aksi, tanpa melakukan segala rencana yang telah ditulisnya. Orang yang sebatas ingin, berarti meremehkan dirinya sendiri. Yang puas hanya pada tataran rencana, justru ia telah menipu nuraninya dan berkhianat pada kemampuannya berbuat. Realisasi membutuhkan kerja dan aksi. Jangan bermalas-malasan.

     Setelah menentukan fokus, Covey meminta kita “merujuk pada tujuan akhir”. Ini sejalan dengan peribahasa Bugis Makassar,“sebelum berangkat tiba dulu, sebelum mulai selesai dulu”. Sebuah rencana bukanlah sesuatu yang kosong dan sendiri, tetapi sarat pemahaman tentang titik fokus dan target yang telah ditentukan.

                                                         Tiba Masa Tiba Akal

Kira-kira, apa yang akan terjadi andaikata sebelum pesawat lepas landas, pramugari mengumumkan,”Bapak, Ibu, pelanggan kami yang terhormat. Selamat datang di Boeing 737 seri 900-ER, Lion Air. Kita akan terbang ke Kualanamu Medan. Waktu tempuh Jakarta-Medan selama 2 jam. Tidak ada perbedaan waktu antara Jakarta dan Medan. Kita akan terbang 37.000 kaki di atas permukaan laut. Mudah-mudahan bahan bakarnya cukup!”

     Ups! Saya yakin, meskipun tiket yang kita beli itu lebih mahal dua kali lipat daripada harga normal, kita akan berebutan menuju pintu keluar. Saya juga yakin, ada yang akan nekad membuka pintu darurat dan melompat ke luar. Ini masalah hidup! Mana mungkin kita korbankan hidup yang cuma sekali dan sangat berharga ini hanya untuk sebuah penerbangan nekat tanpa persiapan dan rencana.

     Jangan-jangan selama ini kita hidup seperti itu. Jangan-jangan juga organisasi kita seperti itu. Yang penting jalan. Yang penting hidup. Padahal, hidup begitu sangat berharga untuk disia-siakan.

     Hal seperti itu tampaknya meluas di masyarakat kita. Setidaknya ada sejumlah hipotesis tentang itu. Pertama, merasa aman dan nyaman dalam alam yang meninabobokan. Kita hidup di sepanjang garis khatulistiwa. Di wilayah ini matahari bersinar sepanjang tahun, sehingga sumber daya alam sebagai sarana hidup menjadi sangat bersahabat.

     Kedua, belum mau berpikir jangka panjang. Fenomena “ingin cepat”, main trabas, dan serba instan mengindikasikan kondisi ini. Sejumlah pelanggaran hukum, norma, dan tata nilai terjadi ketika penyakit “ingin cepat” ini terjadi. Sejumlah aktivitas konyol dan tidak masuk akal dipaksa normal dalam benak dan pandangan kita. Ketika ini dianggap wajar, maka orang tidak lagi membedakan mana benar mana salah.

     Peribahasa “berakit-rakit ke hulu berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian” jangan-jangan sudah tidak menarik lagi. Orang akhirnya lebih senang berprinsip, kalau bisa cepat mengapa harus lama, kalau ada yang mudah mengapa cari yang susah”. Rasa malu telah menjadi omong kosong.

     Sejumlah pribadi boleh menjadi role model tentang ini. Matshusita, misalnya. Ia telah memberikan contoh tentang pentingnya berpikir jangka panjang. Ia punya visi 250 tahun yang diterapkannya di Panasonic, Jepang.

     Ketiga, merasa powerfull dan kreatif bila kepepet. Benarkah terdesak atau kepepet itu sangat positif sehingga menjadi salah satu kondisi yang tidak perlu dihindari apalagi ditakuti? Pengalaman menunjukkan fenomena menarik: semakin kepepet dan terdesak, kita (merasa) semakin pintar dan kreatif. Benarkah demikian?

     Padahal, Jaya Setiabudi yang menulis buku berjudul The Power of Kepepet (2008) mengatakan, buku itu tidak mengajarkan kita untuk mencintai situasi kepepet. Tetapi, mengabarkan kepada kita sejumlah hal yang perlu diperhatikan untuk menjadi seorang entrepreneur, di antaranya adalah menciptakan kondisi kepepet.

     Jadi, hidup “gimana besok aja”, bukanlah gaya hidup sehat dan modern. Itu gaya hidup kuno dan jahiliyah yang harus ditinggalkan demi kehidupan yang lebih baik. Bukankah hidup hanya sekali, tidak bergaransi, dan tak mungkin kembali?

         Wallahu a’lam bi al-shawab.

                                                                 Depok, Juli 2024

 

  

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form