Pada bagian awal pelatihan, kami memfasilitasi peserta melakukan journey ke dalam diri dan kehidupannya. Ini menjadi dasar untuk pembicaraan lebih lanjut kepada topik lain yang lebih spesifik dan mendalam. Ada pertanyaan pembuka (ice breaking) yang cukup sering kami ajukan kepada salah seorang peserta. Kami tanyakan sesuatu yang memang agak pribadi sifatnya, meskipun demikian itu semua dalam rangka mendekatkan dan mempersiapkan perhatian peserta latih untuk secara alamiah masuk ke suasana kelas. (dan ini memang dimaksudkan hanya sebagai “starter question” saja).
Setelah hadir di depan kelas seorang voulenter, maka mengalirlah dialog singkat berikut ini:
“Pak, mohon maaf, pertanyaan ini agak pribadi sifatnya. Tidak keberatan, kan, Pak?
“Tidak. Silakan saja.”
“Baik, Pak. Terima kasih. Nah, Pak, Tentunya Bapak punya rekening di salah satu Bank, ya, Pak? Nah kira-kira apakah jumlahnya ada 100 juta?”
Setelah hadir di depan kelas seorang voulenter, maka mengalirlah dialog singkat berikut ini:
“Pak, mohon maaf, pertanyaan ini agak pribadi sifatnya. Tidak keberatan, kan, Pak?
“Tidak. Silakan saja.”
“Baik, Pak. Terima kasih. Nah, Pak, Tentunya Bapak punya rekening di salah satu Bank, ya, Pak? Nah kira-kira apakah jumlahnya ada 100 juta?”
“Ada. Tapi kayaknya gak ada sebanyak itu, deh.”
“Atau 500 juta, Pak?”
“Apalagi segitu, Pak...”
“Nah, kalau ada yang mau ngasih uang 500 juta, Bapak mau?”
“Mau!”
“Benar, mau? Tapi mata Bapak yang sebelah kiri diambil.”
“Wah, kalau kayak gitu, gak mau, ah!”
“Lho, katanya mau...Oke, ditambah jadi 700 juta, deh.”
“Enggak mau!”
“Benar, nih, gak mau...bagaimana kalau 1 milyar?”
“Gak, gak mau!”
“Kalau 100 milyar, mau, Pak?”
“Gak. Saya tetap gak mau!”
Subhanallah. Maha suci Allah yang telah menciptakan sebaik-baiknya bentuk kepada manusia dan memberikan rasa keimanan di hati manusia yang dikehendaki-Nya. Ternyata selama ini kita terjebak pada pola pikir yang salah. Tanpa kita sadari selama ini sering sekali kita berprasangka buruk atas nikmat Allah. Tidak jarang kita merasa miskin dan tak berdaya. Padahal, ketika menyimak dialog singkat di atas, kita diajak merenung dan menyadari bahwa sebenarnya kita sangat “kaya”. Bayangkan saja, sang bapak tetap tidak mau memberikan matanya meskipun hanya yang kiri. Padahal, ia ditawari sejumlah uang yang sangat boleh jadi belum pernah dilihatnya selama ini. Betapa nikmat Allah berupa kesehatan dan kelengkapan seluruh anggota badan kita merupakan rezeki yang tidak dapat dibandingkan dengan uang berapa pun. Semakin jelas buat kita, kalau pun saat ini kita tidak memiliki uang, itulah sebenarnya yang terjadi, bukan karena kita miskin. Tidak punya uang tidak sama dengan dan langsung berhubungan dengan miskin.
Allah yang maha rahman dan rahim telah memberikan seluruh kebutuhan kita untuk hidup dengan segala kemudahannya. Keberadaan organ tubuh dengan segenap fungsinya dan kesehatan yang prima sering tidak kita sadari sebagai rezeki yang mesti kita syukuri. Betapa kita lebih sering tertipu dengan menganggap sejumlah hal artifisial sebagai sebagai sesuatu yang hakiki.
Sahabat sukses yang dirahmati Allah, sekarang mari kita lanjutkan. Ada satu dialog lagi yang cukup menarik. Cukup sering pertanyaan ini saya lontarkan di depan kelas. Mari kita ikuti.
“Sahabat-sahabat, menurut Anda, siapa yang lebih pintar, Pak Habibie atau Iwan Fals?”
(pertanyaan diajukan kepada seluruh peserta agar semua punya kesempatan yang sama untuk menjawab)
Seorang peserta langsung menjawab pasti sambil mengangkat tangan, “Jelas Pak Habibie, dong, Pak!”
“Oya? Alasannya apa, Pak?”
“Pak Habibie, kan, bisa buat pesawat, Pak!”
“O, begitu, ya...?”
“Nah, kalau Iwan Fals?”
Bapak yang tadi begitu yakin dengan jawabannya kini terlihat ragu-ragu. Dari mimik wajahnya, jelas beliau agak bingung dalam ketidakyakinannnya. Kelas pun riuh.
“Iwan Fals juga pintar, Pak!” sahut yang lain.
“Iya, Pak. Iwan Fals jago bikin lagu...!”
“Betul...Jadi, bagaimana?”
“Dua-duanya pintar, Pak. Pak Habibie pinter bikin pesawat, Iwan Fals pintar bikin lagu dan nyanyi, Pak.”
“Sepakat! Dua-duanya pintar...”
(Kelas memberikan kesempatan seluruh warganya untuk bisa saling memberi dan menerima. Bentuk kesadaran itu pulalah yang telah memberi ruang kepada seluruh semangat belajar dalam kebersamaan).
Sahabat sukses yang dirahmati Allah, ini sebuah kondisi klasik yang senantiasa menghantui pola pikir kita. Kutipan dialog di atas memberikan gambaran kurang lebih kepada kita bahwa konstruksi persepsi kita soal pintar itu masih senantiasa berhubungan dengan aspek akademis, bahkan diganggu oleh wacana dikotomis antara eksakta-sosial.
Fenomena ini mengingatkan penulis pada suasana yang kerap terjadi di sekolah menengah tempat penulis mengajar sekitar 15 tahun yang lalu. Pemandangan yang kerap terjadi adalah sejumlah orang tua 'ribut' dengan putra mereka ketika pemilihan konsentrasi studi: IPA atau IPS. Satu hal yang kita maklumi bersama, banyak orang lebih bahagia, bangga, dan senang memilih jurusan IPA. Mereka beranggapan, dengan masuk jurusan itu, mereka yakin masa depan lebih terjamin, sedangkan banyak orang memandang jurusan IPS adalah satu pintu menuju ‘madesu’ (masa depan suram). Meskipun untuk sejumlah kasus hal itu tidak terpungkiri, namun itu bukanlah sesuatu yang mutlak. Meskipun demikian, anak IPS terlanjur dipandang sebelah mata dan ditempatkan sebagai siswa ‘kelas dua’ oleh sebagian mereka yang tidak memahami hakikat fitrah penciptaan.
Mengapa begitu? Tidak sedikit orang beranggapan, dengan masuk IPA, seseorang bisa masuk jurusan ‘elite’ di perguruan tinggi: kedokteran dan teknik. Dengan kuliah di jurusan itu pulalah, mereka merasa akan mendapatkan pekerjaan idaman dengan penghasilan tinggi. Anak IPS? Gak masuk itungan. Ah, ada-ada saja!
Semoga situasi yang kurang menguntungkan untuk perkembangan anak itu sudah berakhir sekarang. Pendikotomian itu tidak menyisakan apa-apa kecuali menumbuhkan kebanggan semu dan rasa imperior. Padahal, Allah memberikan kesempatan yang sama kepada siapa pun. Keberuntungan tetap milik siapa pun dengan tingkat usaha mereka masing-masing sebagai pribadi.
Inilah yang sering menjadi paradoks: kita kenal teori Gardner soal Multiple Intelegent; Kita fasih melafalkannya, bahkan dengan rinci dapat kita terangkan sejumlah hal yang mendukung teori itu dengan segala kemungkinan penerapannya. Tetapi, ketika sampai pada tataran praksis—kita yang harus mengalami dan mengambil keputusan—kita seakan-akan ingin dengan sempurna menegasikan semua pengetahuan itu. Kita belum atau tidak siap menerima konsekuensi dari apa yang selama ini telah kita ketahui sebagai bangunan pengetahuan yang benar. Kita seakan-akan sedang mempersiapkan konstruksi pemahaman yang berbeda agar penolakan penerapan teori itu pada diri kita adalah sesuatu yang dapat diterima. (Maaf, dalam derajat dan intensitas yang berbeda, adakah ini pernah kita alami, Sahabat?)
Sahabat sukses yang dirahmati Allah, mari kita lanjutkan perjalanan. Sekarang, siapa di antara kita yang tidak punya pusar? Pasti tidak seorang pun yang angkat tangan. Kita semua punya. Apa artinya itu? Artinya, suatu waktu dulu, kita pernah mendiami rahim seorang perempuan, yaitu ibu kita, umumnya selama 9 bulan 10 hari. Siapa pun kita, pasti pernah mengalami hidup di alam rahim.
Kita tumbuh dan berkembang dalam suasana dan lingkungan yang berbeda. Namun, kita tetap dibekali potensi dasar yang sama: pendengaran, penglihatan, dan hati. Selain itu, kita masing-masing diberikan potensi khusus yang berbeda. Atas dasar inilah pembicaraan tentang potensi menjadi sangat menarik karena sangat personal dan spesial.
Oleh karena itulah, setelah kita kembali menyadari bahwa kita ini makhluk unggul, spesial dan unik, dan diberikan tiga potensi dasar yang (relatif) sama oleh Allah, maka pada langkah awal, kami mengajak para peserta untuk menuliskan keunggulan, bakat, atau potensinya. Pertanyaan sederhana ini merupakan pertanyaan yang sangat mendasar dan menarik. Betapa tidak! Upaya menemukan “siapa diri kita” dapat kita mulai dari titik ini. Aktivitas pertama ini merupakan aktivitas yang memecahkan “kesunyian” wilayah sadar dan ketidaksadaran kita tentang diri sendiri yang masih tetap merupakan misteri.
Dari sejumlah kelas pelatihan selama ini, ketika kami mengajak para peserta untuk menemukan dan menuliskan potensi dirinya, setidaknya ada tiga kelompok besar peserta yang menarik untuk kita bicarakan di sini:
Kelompok pertama, mereka yang setelah diberikan penjelasan tentang potensi, bakat, dan keunggulan dengan lancar dapat menuliskannya. Meskipun belum seluruhnya langsung spesifik, tetapi umumnya kelompok ini memperlihatkan bahwa tidak ada hambatan yang signifikan dalam dirinya untuk menuliskan potensinya.
Kelompok ini merasa tertantang untuk “belajar” menuliskan keunggulan diri mereka. Sebagian dari mereka awalnya kurang menyadari bahwa keberadaan mereka di dunia ini diberikan potensi khusus oleh Allah. Dengan berbagai pengalaman hidup selama ini setidaknya kurang memberikan stimulan yang cukup untuk mereka melihat bahwa episode kegagalan—kalau pun itu pernah menghampiri mereka—adalah sesuatu yang tidak termasuk paket untuk jeli melihat segenap potensi.
Tidak sedikit peserta yang menitikkan air mata, setelah secara sadar melewati “titik kritis” untuk menginsyafi bahwa selama ini belum maksimal dalam menggali potensi diri sebagai bagian dari rasa syukur atas semua karunia Allah kepada mereka. Banyak juga di antara mereka merasa tergugah untuk “kembali on the track” setelah mereka memberi ruang yang cukup untuk merenungi segenap perjalanan untuk menjadi. Mereka sadar telah diberikan sejumlah potensi, tetapi tidak cukup kuat dan sabar untuk menggenapkannya menjadi sebuah jalan untuk melahirkan karya besar yang sebenarnya sudah waktunya lahir dari semua itu.
Kedua, mereka yang relatif menemukan kesulitan dalam menuliskan potensi mereka. Sama halnya banyak di antara kita yang belum terbiasa “jujur” dan atau tidak terbiasa berpikir tentang keunggulan, mereka membutuhkan waktu lebih lama untuk itu. Mereka mesti dibimbing cukup intens untuk menemukan, meyakinkan, dan menuliskan potensinya. Keraguan sangat nampak. Meskipun demikian, tidak banyak di antara mereka yang mendapatkan jawaban, mengapa mereka mengalami hal seperti itu.
Sahabat yang ada di kelompok ini umumnya mengalami culture and mental block. Mereka umumnya terengah-engah untuk escape dari belengggu pola pikir yang memenjara bahwa menyebutkan dan menuliskan keunggulan dan potensi diri adalah setali tiga uang dari sebuah kesombongan. Mereka berpendapat, biarlah hanya orang lain yang menilai diri mereka. Selama ini, mereka cukup merasa nyaman memilih pola pikir, bahwa keunggulan bukanlah sesuatu yang mesti disebutkan dan apalagi mesti dituliskan tetapi cukup disyukuri. Memilih sikap mental semacam ini sesungguhnya telah memberikan ruang sempit bagi jiwa mereka sendiri untuk secara lugas mengakui sesuatu keberbedaan. Padahal justru, dengan pemahaman itulah sebuah cikal bakal relationship menjadi mungkin terjalin dengan baik.
Untuk “menjadi’ dan memperbesar rasa syukur atas segala karunia Allah atas diri kita, ternyata dituntut sebuah sikap mental yang secara jujur melihat diri dalam kacamata yang lebih jernih dan positif. Sikap positif ini diperlukan untuk menempatkan aktivitas menyebut dan menuliskan potensi diri adalah bagian tidak terpisahkan dari upaya menemukan dan memetakan nilai kemanusiaan. Tidak lebih, tidak kurang. Manakala aktivitas ini mampu ditempatkan pada porsinya yang sebenarnya, sejujurnya ia akan steril dari sentimen yang menyebutkan bahwa aktivitas ini adalah sebagian dari sikap arogan dan sombong. Insya Allah.
Ketika seseorang merasa kesulitan untuk menuliskan potensi dirinya hanya karena hambatan ini bisa jadi hal itu sebenarnya lebih didasarkan ketidakmampuan mereka untuk melihat keutuhan kehadirannya. Ketidakmampuan menemukan potensi dalam diri (karena memang tidak atau belum dibiasakan dalam kehidupan keluarga, sekolah, dan masyarakat) menyebabkan mereka merasa tidak “bersalah” bila mereka tidak sadar apa sebenarnya yang menjadi keunggulannya. Mereka tidak merasa aneh bila tidak tahu apa sebenarnya yang Allah titipkan kepadanya sebagai potensi agar nilai kemanusian dan hidupnya menjadi lebih berharga. Meskipun demikian, kami tetap memberikan ruang yang nyaman untuk proses pencarian. Menemani setiap pribadi menemukan dan berani menuliskan apa yang menjadi potensi dirinya adalah sebuah kesempatan mengenal lebih dekat dengan segenap kekuasaan Allah pada diri manusia.
Ketiga, mereka yang tidak mau menuliskan. Kelompok ini termasuk yang cukup ekstrem. Mereka berpendapat, menuliskan apa yang menjadi potensi itu sama dengan perbuatan riya' atau sombong. Butuh trik dan waktu menghadapi peserta seperti ini. Mereka merasa, tidak pantas menuliskan kelebihan dan potensi, kecuali kalau yang memberikan penilaian adalah orang lain kepada mereka.
Kami katakan kepada kelompok terakhir ini, bahwa ketika menuliskan potensi, bakat, dan kemampuan itu, niatkan dan tanamkan di dalam hati, itu semua dilakukan dalam kerangka syukur. Bukan untuk pamer, apalagi untuk menyombongkan diri dan riya'. Kita bersyukur kepada Allah karena tidak semua manusia diberikan potensi seperti kita. Nah, pendekatan seperti itulah yang kami berikan kepada mereka. Beberapa peserta akhirnya menyadari dan mulai belajar menuliskan apa potensinya. Namun, sebagian yang lain masih kuat dengan prinsip mereka.
Sejumlah sahabat pada kelompok ini setidaknya menemui hambatan dari paham nilai keagamaan (religion block). Tidak jarang kami temui peserta yang enggan menuliskan keunggulannya karena alasan tidak ingin riya’. Mereka berpendapat bahwa menuliskan keunggulan diri adalah sebagian dari rasa sombong, padahal menurut mereka sifat itu tidak pantas dimiliki manusia.
Pada titik tertentu, kami sependapat dengan sahabat pada kelompok ini dan kami menghormati pendapat mereka. Memang berbahaya, bila menyebutkan dan menuliskan potensi diri bila tidak dilandasi oleh rasa syukur atas segala karunia Allah. Bila kita tidak berhati-hati bisa jadi kita akan terjebak kepada sifat riya’ yang dilarang Allah. Kami juga sependapat, bahwa manusia tidak berhak sombong sama sekali karena sehebat apa pun manusia ia tetap seorang makhluk dengan segala sifat lemah yang melingkupi hidup dan kehidupannya.
Namun demikian, marilah kita niatkan dalam hati: menuliskan segala yang kita sadari merupakan sesuatu yang Allah titipkan kepada kita sebagai potensi, kita awali dan kita kawal dengan sikap tawadlu. Kita balut semua itu dengan rasa syukur. Kita menyadari bahwa setiap kehadiran kita bermakna. Dan makna itu pastilah sesuatu yang bermanfaat untuk hidup dan kehidupan. Dengan apa semua itu menjadi lebih bermakna dari sudut penciptaan kita? Pasti dengan peran. Nah, peran itulah yang kita jalankan dengan sebaik-baiknya berdasarkan potensi dan keahlian yang Allah tanamkan dan kita asah lewat belajar. Oleh karena itu, menjadi sesuatu yang menarik untuk mengetahui apa sebenarnya yang Allah titipkan kepada kita dan kita maksimalkan penggunaannya.
Sahabat sukses yang dirahmati Allah, pada dasarnya ketiga kelompok di atas bukanlah kategorisasi yang kaku dan determinitif. Semua bersifat sangat alamiah dan saling bersinggungan dengan tentunya telah melewati proses yang tidak sebentar. Meskipun terdengar sangat sederhana, tetapi ternyata menemukan dan menuliskan potensi diri masih terasa asing buat sebagian besar peserta pelatihan di sejumlah kelas (atau barangkali, hal ini juga merupakan sesuatu yang belum lazim dimunculkan di antara kita orang Indonesia).
Sebuah asumsi dapat diajukan di sini: hal tersebut terjadi karena selama ini, kita belum terbiasa mengidentifikasi dan menuliskan potensi dan keunggulan diri sendiri dengan gamblang. Umumnya, kita nampak canggung, malu-malu, dan ragu. Bahkan tidak sedikit di antara kita yang sangat tidak yakin.
Dari segenap perjalanan waktu yang sudah kita habiskan, kita memang belum terbiasa "jujur" pada diri sendiri dan mencoba menghargai diri sendiri. Kita lebih sering memaksakan diri untuk tampil low profile dengan enggan menyebutkan apa potensi diri kita. Padahal sangat boleh jadi sesungguhnya memang kita belum tahu bahkan belum yakin atas potensi dan keunggulan kita sendiri. Jadi wajar, ketika diminta mengisi lembar kerja untuk menuliskannya, umumnya tidak langsung terisi namun dibolak balik saja dalam kebimbangan.
Selain itu, bisa jadi selama ini kita lebih sering terjebak untuk lebih risau memikirkan apa yang menjadi kelemahan kita. Kita sibuk dengan kelemahan dan habis waktu hanya untuk tambal sulam memperbaikinya. Memang, semua ini bukan mutlak kesalahan kita. Sangat boleh jadi, semua itu juga kontribusi lingkungan. Tidak jarang lingkungan justru menjadi penguat perasaan itu. Dalam dunia pendidikan, misalnya. Coba kita ingat-ingat, lebih sering mana orang tua kita dipanggil ke sekolah, apakah karena prestasi atau kekurangan kita? Semoga mimpi buruk itu tidak selamanya ada dalam dunia pendidikan kita.
Sahabat sukses yang dirahmati Allah, menemukan dan menuliskan potensi diri belum merupakan sesuatu yang terbiasa untuk sebagian besar kita. Berbagai hambatan (block) ternyata masih memaksa kita untuk tetap tidak tertantang untuk dapat menuliskannya.
Kita membutuhkan waktu untuk dapat memahami bahwa ada baiknya bahkan sudah merupakan sebuah kewajiban kita menyadari apa yang Allah titipkan kepada kita. Hal ini akan membuat kita bersyukur di satu sisi dan di sisi lain memberikan ruang kepada diri kita untuk mengembangkannya dengan maksimal sebagai bagian dari amanah. Justru karena tidak setiap orang menerima amanah yang sama, di situlah keragaman yang ingin diperlihatkan Allah kepada kita. Hal itu karena, Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu (Siapa yang mengenal jiwa (nafs)-nya, ia akan mengenal Rabb-nya)
“Atau 500 juta, Pak?”
“Apalagi segitu, Pak...”
“Nah, kalau ada yang mau ngasih uang 500 juta, Bapak mau?”
“Mau!”
“Benar, mau? Tapi mata Bapak yang sebelah kiri diambil.”
“Wah, kalau kayak gitu, gak mau, ah!”
“Lho, katanya mau...Oke, ditambah jadi 700 juta, deh.”
“Enggak mau!”
“Benar, nih, gak mau...bagaimana kalau 1 milyar?”
“Gak, gak mau!”
“Kalau 100 milyar, mau, Pak?”
“Gak. Saya tetap gak mau!”
Subhanallah. Maha suci Allah yang telah menciptakan sebaik-baiknya bentuk kepada manusia dan memberikan rasa keimanan di hati manusia yang dikehendaki-Nya. Ternyata selama ini kita terjebak pada pola pikir yang salah. Tanpa kita sadari selama ini sering sekali kita berprasangka buruk atas nikmat Allah. Tidak jarang kita merasa miskin dan tak berdaya. Padahal, ketika menyimak dialog singkat di atas, kita diajak merenung dan menyadari bahwa sebenarnya kita sangat “kaya”. Bayangkan saja, sang bapak tetap tidak mau memberikan matanya meskipun hanya yang kiri. Padahal, ia ditawari sejumlah uang yang sangat boleh jadi belum pernah dilihatnya selama ini. Betapa nikmat Allah berupa kesehatan dan kelengkapan seluruh anggota badan kita merupakan rezeki yang tidak dapat dibandingkan dengan uang berapa pun. Semakin jelas buat kita, kalau pun saat ini kita tidak memiliki uang, itulah sebenarnya yang terjadi, bukan karena kita miskin. Tidak punya uang tidak sama dengan dan langsung berhubungan dengan miskin.
Allah yang maha rahman dan rahim telah memberikan seluruh kebutuhan kita untuk hidup dengan segala kemudahannya. Keberadaan organ tubuh dengan segenap fungsinya dan kesehatan yang prima sering tidak kita sadari sebagai rezeki yang mesti kita syukuri. Betapa kita lebih sering tertipu dengan menganggap sejumlah hal artifisial sebagai sebagai sesuatu yang hakiki.
Sahabat sukses yang dirahmati Allah, sekarang mari kita lanjutkan. Ada satu dialog lagi yang cukup menarik. Cukup sering pertanyaan ini saya lontarkan di depan kelas. Mari kita ikuti.
“Sahabat-sahabat, menurut Anda, siapa yang lebih pintar, Pak Habibie atau Iwan Fals?”
(pertanyaan diajukan kepada seluruh peserta agar semua punya kesempatan yang sama untuk menjawab)
Seorang peserta langsung menjawab pasti sambil mengangkat tangan, “Jelas Pak Habibie, dong, Pak!”
“Oya? Alasannya apa, Pak?”
“Pak Habibie, kan, bisa buat pesawat, Pak!”
“O, begitu, ya...?”
“Nah, kalau Iwan Fals?”
Bapak yang tadi begitu yakin dengan jawabannya kini terlihat ragu-ragu. Dari mimik wajahnya, jelas beliau agak bingung dalam ketidakyakinannnya. Kelas pun riuh.
“Iwan Fals juga pintar, Pak!” sahut yang lain.
“Iya, Pak. Iwan Fals jago bikin lagu...!”
“Betul...Jadi, bagaimana?”
“Dua-duanya pintar, Pak. Pak Habibie pinter bikin pesawat, Iwan Fals pintar bikin lagu dan nyanyi, Pak.”
“Sepakat! Dua-duanya pintar...”
(Kelas memberikan kesempatan seluruh warganya untuk bisa saling memberi dan menerima. Bentuk kesadaran itu pulalah yang telah memberi ruang kepada seluruh semangat belajar dalam kebersamaan).
Sahabat sukses yang dirahmati Allah, ini sebuah kondisi klasik yang senantiasa menghantui pola pikir kita. Kutipan dialog di atas memberikan gambaran kurang lebih kepada kita bahwa konstruksi persepsi kita soal pintar itu masih senantiasa berhubungan dengan aspek akademis, bahkan diganggu oleh wacana dikotomis antara eksakta-sosial.
Fenomena ini mengingatkan penulis pada suasana yang kerap terjadi di sekolah menengah tempat penulis mengajar sekitar 15 tahun yang lalu. Pemandangan yang kerap terjadi adalah sejumlah orang tua 'ribut' dengan putra mereka ketika pemilihan konsentrasi studi: IPA atau IPS. Satu hal yang kita maklumi bersama, banyak orang lebih bahagia, bangga, dan senang memilih jurusan IPA. Mereka beranggapan, dengan masuk jurusan itu, mereka yakin masa depan lebih terjamin, sedangkan banyak orang memandang jurusan IPS adalah satu pintu menuju ‘madesu’ (masa depan suram). Meskipun untuk sejumlah kasus hal itu tidak terpungkiri, namun itu bukanlah sesuatu yang mutlak. Meskipun demikian, anak IPS terlanjur dipandang sebelah mata dan ditempatkan sebagai siswa ‘kelas dua’ oleh sebagian mereka yang tidak memahami hakikat fitrah penciptaan.
Mengapa begitu? Tidak sedikit orang beranggapan, dengan masuk IPA, seseorang bisa masuk jurusan ‘elite’ di perguruan tinggi: kedokteran dan teknik. Dengan kuliah di jurusan itu pulalah, mereka merasa akan mendapatkan pekerjaan idaman dengan penghasilan tinggi. Anak IPS? Gak masuk itungan. Ah, ada-ada saja!
Semoga situasi yang kurang menguntungkan untuk perkembangan anak itu sudah berakhir sekarang. Pendikotomian itu tidak menyisakan apa-apa kecuali menumbuhkan kebanggan semu dan rasa imperior. Padahal, Allah memberikan kesempatan yang sama kepada siapa pun. Keberuntungan tetap milik siapa pun dengan tingkat usaha mereka masing-masing sebagai pribadi.
Inilah yang sering menjadi paradoks: kita kenal teori Gardner soal Multiple Intelegent; Kita fasih melafalkannya, bahkan dengan rinci dapat kita terangkan sejumlah hal yang mendukung teori itu dengan segala kemungkinan penerapannya. Tetapi, ketika sampai pada tataran praksis—kita yang harus mengalami dan mengambil keputusan—kita seakan-akan ingin dengan sempurna menegasikan semua pengetahuan itu. Kita belum atau tidak siap menerima konsekuensi dari apa yang selama ini telah kita ketahui sebagai bangunan pengetahuan yang benar. Kita seakan-akan sedang mempersiapkan konstruksi pemahaman yang berbeda agar penolakan penerapan teori itu pada diri kita adalah sesuatu yang dapat diterima. (Maaf, dalam derajat dan intensitas yang berbeda, adakah ini pernah kita alami, Sahabat?)
Sahabat sukses yang dirahmati Allah, mari kita lanjutkan perjalanan. Sekarang, siapa di antara kita yang tidak punya pusar? Pasti tidak seorang pun yang angkat tangan. Kita semua punya. Apa artinya itu? Artinya, suatu waktu dulu, kita pernah mendiami rahim seorang perempuan, yaitu ibu kita, umumnya selama 9 bulan 10 hari. Siapa pun kita, pasti pernah mengalami hidup di alam rahim.
Kita tumbuh dan berkembang dalam suasana dan lingkungan yang berbeda. Namun, kita tetap dibekali potensi dasar yang sama: pendengaran, penglihatan, dan hati. Selain itu, kita masing-masing diberikan potensi khusus yang berbeda. Atas dasar inilah pembicaraan tentang potensi menjadi sangat menarik karena sangat personal dan spesial.
Oleh karena itulah, setelah kita kembali menyadari bahwa kita ini makhluk unggul, spesial dan unik, dan diberikan tiga potensi dasar yang (relatif) sama oleh Allah, maka pada langkah awal, kami mengajak para peserta untuk menuliskan keunggulan, bakat, atau potensinya. Pertanyaan sederhana ini merupakan pertanyaan yang sangat mendasar dan menarik. Betapa tidak! Upaya menemukan “siapa diri kita” dapat kita mulai dari titik ini. Aktivitas pertama ini merupakan aktivitas yang memecahkan “kesunyian” wilayah sadar dan ketidaksadaran kita tentang diri sendiri yang masih tetap merupakan misteri.
Dari sejumlah kelas pelatihan selama ini, ketika kami mengajak para peserta untuk menemukan dan menuliskan potensi dirinya, setidaknya ada tiga kelompok besar peserta yang menarik untuk kita bicarakan di sini:
Kelompok pertama, mereka yang setelah diberikan penjelasan tentang potensi, bakat, dan keunggulan dengan lancar dapat menuliskannya. Meskipun belum seluruhnya langsung spesifik, tetapi umumnya kelompok ini memperlihatkan bahwa tidak ada hambatan yang signifikan dalam dirinya untuk menuliskan potensinya.
Kelompok ini merasa tertantang untuk “belajar” menuliskan keunggulan diri mereka. Sebagian dari mereka awalnya kurang menyadari bahwa keberadaan mereka di dunia ini diberikan potensi khusus oleh Allah. Dengan berbagai pengalaman hidup selama ini setidaknya kurang memberikan stimulan yang cukup untuk mereka melihat bahwa episode kegagalan—kalau pun itu pernah menghampiri mereka—adalah sesuatu yang tidak termasuk paket untuk jeli melihat segenap potensi.
Tidak sedikit peserta yang menitikkan air mata, setelah secara sadar melewati “titik kritis” untuk menginsyafi bahwa selama ini belum maksimal dalam menggali potensi diri sebagai bagian dari rasa syukur atas semua karunia Allah kepada mereka. Banyak juga di antara mereka merasa tergugah untuk “kembali on the track” setelah mereka memberi ruang yang cukup untuk merenungi segenap perjalanan untuk menjadi. Mereka sadar telah diberikan sejumlah potensi, tetapi tidak cukup kuat dan sabar untuk menggenapkannya menjadi sebuah jalan untuk melahirkan karya besar yang sebenarnya sudah waktunya lahir dari semua itu.
Kedua, mereka yang relatif menemukan kesulitan dalam menuliskan potensi mereka. Sama halnya banyak di antara kita yang belum terbiasa “jujur” dan atau tidak terbiasa berpikir tentang keunggulan, mereka membutuhkan waktu lebih lama untuk itu. Mereka mesti dibimbing cukup intens untuk menemukan, meyakinkan, dan menuliskan potensinya. Keraguan sangat nampak. Meskipun demikian, tidak banyak di antara mereka yang mendapatkan jawaban, mengapa mereka mengalami hal seperti itu.
Sahabat yang ada di kelompok ini umumnya mengalami culture and mental block. Mereka umumnya terengah-engah untuk escape dari belengggu pola pikir yang memenjara bahwa menyebutkan dan menuliskan keunggulan dan potensi diri adalah setali tiga uang dari sebuah kesombongan. Mereka berpendapat, biarlah hanya orang lain yang menilai diri mereka. Selama ini, mereka cukup merasa nyaman memilih pola pikir, bahwa keunggulan bukanlah sesuatu yang mesti disebutkan dan apalagi mesti dituliskan tetapi cukup disyukuri. Memilih sikap mental semacam ini sesungguhnya telah memberikan ruang sempit bagi jiwa mereka sendiri untuk secara lugas mengakui sesuatu keberbedaan. Padahal justru, dengan pemahaman itulah sebuah cikal bakal relationship menjadi mungkin terjalin dengan baik.
Untuk “menjadi’ dan memperbesar rasa syukur atas segala karunia Allah atas diri kita, ternyata dituntut sebuah sikap mental yang secara jujur melihat diri dalam kacamata yang lebih jernih dan positif. Sikap positif ini diperlukan untuk menempatkan aktivitas menyebut dan menuliskan potensi diri adalah bagian tidak terpisahkan dari upaya menemukan dan memetakan nilai kemanusiaan. Tidak lebih, tidak kurang. Manakala aktivitas ini mampu ditempatkan pada porsinya yang sebenarnya, sejujurnya ia akan steril dari sentimen yang menyebutkan bahwa aktivitas ini adalah sebagian dari sikap arogan dan sombong. Insya Allah.
Ketika seseorang merasa kesulitan untuk menuliskan potensi dirinya hanya karena hambatan ini bisa jadi hal itu sebenarnya lebih didasarkan ketidakmampuan mereka untuk melihat keutuhan kehadirannya. Ketidakmampuan menemukan potensi dalam diri (karena memang tidak atau belum dibiasakan dalam kehidupan keluarga, sekolah, dan masyarakat) menyebabkan mereka merasa tidak “bersalah” bila mereka tidak sadar apa sebenarnya yang menjadi keunggulannya. Mereka tidak merasa aneh bila tidak tahu apa sebenarnya yang Allah titipkan kepadanya sebagai potensi agar nilai kemanusian dan hidupnya menjadi lebih berharga. Meskipun demikian, kami tetap memberikan ruang yang nyaman untuk proses pencarian. Menemani setiap pribadi menemukan dan berani menuliskan apa yang menjadi potensi dirinya adalah sebuah kesempatan mengenal lebih dekat dengan segenap kekuasaan Allah pada diri manusia.
Ketiga, mereka yang tidak mau menuliskan. Kelompok ini termasuk yang cukup ekstrem. Mereka berpendapat, menuliskan apa yang menjadi potensi itu sama dengan perbuatan riya' atau sombong. Butuh trik dan waktu menghadapi peserta seperti ini. Mereka merasa, tidak pantas menuliskan kelebihan dan potensi, kecuali kalau yang memberikan penilaian adalah orang lain kepada mereka.
Kami katakan kepada kelompok terakhir ini, bahwa ketika menuliskan potensi, bakat, dan kemampuan itu, niatkan dan tanamkan di dalam hati, itu semua dilakukan dalam kerangka syukur. Bukan untuk pamer, apalagi untuk menyombongkan diri dan riya'. Kita bersyukur kepada Allah karena tidak semua manusia diberikan potensi seperti kita. Nah, pendekatan seperti itulah yang kami berikan kepada mereka. Beberapa peserta akhirnya menyadari dan mulai belajar menuliskan apa potensinya. Namun, sebagian yang lain masih kuat dengan prinsip mereka.
Sejumlah sahabat pada kelompok ini setidaknya menemui hambatan dari paham nilai keagamaan (religion block). Tidak jarang kami temui peserta yang enggan menuliskan keunggulannya karena alasan tidak ingin riya’. Mereka berpendapat bahwa menuliskan keunggulan diri adalah sebagian dari rasa sombong, padahal menurut mereka sifat itu tidak pantas dimiliki manusia.
Pada titik tertentu, kami sependapat dengan sahabat pada kelompok ini dan kami menghormati pendapat mereka. Memang berbahaya, bila menyebutkan dan menuliskan potensi diri bila tidak dilandasi oleh rasa syukur atas segala karunia Allah. Bila kita tidak berhati-hati bisa jadi kita akan terjebak kepada sifat riya’ yang dilarang Allah. Kami juga sependapat, bahwa manusia tidak berhak sombong sama sekali karena sehebat apa pun manusia ia tetap seorang makhluk dengan segala sifat lemah yang melingkupi hidup dan kehidupannya.
Namun demikian, marilah kita niatkan dalam hati: menuliskan segala yang kita sadari merupakan sesuatu yang Allah titipkan kepada kita sebagai potensi, kita awali dan kita kawal dengan sikap tawadlu. Kita balut semua itu dengan rasa syukur. Kita menyadari bahwa setiap kehadiran kita bermakna. Dan makna itu pastilah sesuatu yang bermanfaat untuk hidup dan kehidupan. Dengan apa semua itu menjadi lebih bermakna dari sudut penciptaan kita? Pasti dengan peran. Nah, peran itulah yang kita jalankan dengan sebaik-baiknya berdasarkan potensi dan keahlian yang Allah tanamkan dan kita asah lewat belajar. Oleh karena itu, menjadi sesuatu yang menarik untuk mengetahui apa sebenarnya yang Allah titipkan kepada kita dan kita maksimalkan penggunaannya.
Sahabat sukses yang dirahmati Allah, pada dasarnya ketiga kelompok di atas bukanlah kategorisasi yang kaku dan determinitif. Semua bersifat sangat alamiah dan saling bersinggungan dengan tentunya telah melewati proses yang tidak sebentar. Meskipun terdengar sangat sederhana, tetapi ternyata menemukan dan menuliskan potensi diri masih terasa asing buat sebagian besar peserta pelatihan di sejumlah kelas (atau barangkali, hal ini juga merupakan sesuatu yang belum lazim dimunculkan di antara kita orang Indonesia).
Sebuah asumsi dapat diajukan di sini: hal tersebut terjadi karena selama ini, kita belum terbiasa mengidentifikasi dan menuliskan potensi dan keunggulan diri sendiri dengan gamblang. Umumnya, kita nampak canggung, malu-malu, dan ragu. Bahkan tidak sedikit di antara kita yang sangat tidak yakin.
Dari segenap perjalanan waktu yang sudah kita habiskan, kita memang belum terbiasa "jujur" pada diri sendiri dan mencoba menghargai diri sendiri. Kita lebih sering memaksakan diri untuk tampil low profile dengan enggan menyebutkan apa potensi diri kita. Padahal sangat boleh jadi sesungguhnya memang kita belum tahu bahkan belum yakin atas potensi dan keunggulan kita sendiri. Jadi wajar, ketika diminta mengisi lembar kerja untuk menuliskannya, umumnya tidak langsung terisi namun dibolak balik saja dalam kebimbangan.
Selain itu, bisa jadi selama ini kita lebih sering terjebak untuk lebih risau memikirkan apa yang menjadi kelemahan kita. Kita sibuk dengan kelemahan dan habis waktu hanya untuk tambal sulam memperbaikinya. Memang, semua ini bukan mutlak kesalahan kita. Sangat boleh jadi, semua itu juga kontribusi lingkungan. Tidak jarang lingkungan justru menjadi penguat perasaan itu. Dalam dunia pendidikan, misalnya. Coba kita ingat-ingat, lebih sering mana orang tua kita dipanggil ke sekolah, apakah karena prestasi atau kekurangan kita? Semoga mimpi buruk itu tidak selamanya ada dalam dunia pendidikan kita.
Sahabat sukses yang dirahmati Allah, menemukan dan menuliskan potensi diri belum merupakan sesuatu yang terbiasa untuk sebagian besar kita. Berbagai hambatan (block) ternyata masih memaksa kita untuk tetap tidak tertantang untuk dapat menuliskannya.
Kita membutuhkan waktu untuk dapat memahami bahwa ada baiknya bahkan sudah merupakan sebuah kewajiban kita menyadari apa yang Allah titipkan kepada kita. Hal ini akan membuat kita bersyukur di satu sisi dan di sisi lain memberikan ruang kepada diri kita untuk mengembangkannya dengan maksimal sebagai bagian dari amanah. Justru karena tidak setiap orang menerima amanah yang sama, di situlah keragaman yang ingin diperlihatkan Allah kepada kita. Hal itu karena, Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu (Siapa yang mengenal jiwa (nafs)-nya, ia akan mengenal Rabb-nya)
Depok, 18 Februari 2024