“Bund, bilang sama kakak, bikin bakpaonya agak banyakan, ya!”
“Lho, Abang buat apa? Memang bakal habis?” Tanyaku heran.
“Biasa, Bund…buat makan bareng di kamar.”
“Oo, gitu. Oke. Bikin berapa, Bang?”
“Lima belas atau dua puluh, deh…biar kalo ada yang mau nambah masih
ada.”
“Siyaaap, Abang!”
Sepotong dialog seorang anak lelaki
dan ibunya pada kesempatan bertelepon di Ahad pagi itu menarik. Santri
laki-laki itu minta dibuatkan bakpao lebih banyak agar dapat berbagi dengan sesama
teman kamarnya. Fenomena lazim dan sangat biasa untuk sebuah kehidupan asrama:
saling berbagi. Masya Allah. Indahnya tinggal bersama di asrama.
Asrama adalah bangunan wajib di
pondok. Biasanya, satu ruang kelas berbanding dengan tiga kamar asrama. Itu
artinya, 30 orang di kelas belajar akan menempati tiga kamar. Ini perbandingan
wajar. Jadi, bila pondok membangun empat kelas untuk satu angkatan, maka
sebaiknya mereka menyiapkan 12 kamar. Luas kamar biasanya cukup untuk menampung
lima tempat tidur tingkat (bunk bed), 10 lemari pakaian, 10 container
plastik ukuran sedang, dan ruang terbuka untuk aktivitas bersama. Bagaimana
dengan pondok Anda?
Romantisme
Berasrama
Setiap pondok punya gaya dan
keunikannya sendiri-sendiri. Ada yang bangunan asramanya berupa satu bangunan
bertingkat sehingga kamar-kamarnya terkonsentrasi dengan sejumlah fasilitas
umum berupa kamar mandi, lapangan bulu tangkis di tengah bangunan, tempat cuci
dan jemur pakaian, sentra air minum, ruang olah raga tenis meja, kantor asrama,
kamar musyrif, dan ruang tamu. Ada juga yang berupa rumah-rumah terpisah dengan
dua atau tiga kamar di dalamnya. Ada juga yang kamarnya tidak berisi tempat
tidur, tetapi ruang terbuka sebagai tempat untuk menggelar kasur lipat bila
malam dan lemari pakaian sejumlah santri. Tentu perbedaan ini adalah salah satu
bentuk layanan yang diberikan kepada orang tua wali santri sesuai dengan konsep
pendidikan yang menjadi ciri khas pondok.
Romantisme berasrama tentu tidak akan dirasakan
oleh mereka yang tidak pernah mondok. Berasrama ketika SD, tentu suasananya
berbeda dengan ketika SMP; Berasrama ketika SMP pasti berbeda dengan ketika
SMA; Berasrama ketika SMA juga pasti sangat berbeda ketika di perguruan tinggi.
Yang umum memang pondok level SMP dan SMA, sedangkan level SD dan perguruan
tinggi masih sedikit. Hanya beberapa saja pondok yang menyelenggarakan perguruan
tinggi berasrama, termasuk sejumlah sekolah kedinasan.
Cerita tentang asrama adalah cerita
tentang bagaimana hidup bersama dengan mereka yang usianya relatif sama; Cerita
tentang asrama adalah cerita tentang belajar hidup jauh dari orang tua; Cerita
tentang asrama adalah cerita tentang bagaimana hidup untuk tumbuh bersama
dengan mereka yang berangkat dari titik berbeda tetapi dengan tujuan yang sama.
Kabar baiknya, tidak ada yang hadir di asrama dengan perasaan superior atau
imperior, merasa sangat diperhatikan atau sebaliknya. Semua hadir ke titik nol.
Tidak ada previlege. Tidak ada diskriminasi. Semua hadir dengan hak dan
kewajiban yang sama. Semua akan menekan tombol start yang sama sejak hari
pertama. Mereka yang adaptif memang akan lebih cepat menguasai diri dan
lingkungannya; Mereka yang kurang gaul pasti punya kesempatan untuk mengeja
suasana. Setiap orang belajar dari sisi kanan dan kirinya. Pada gilirannya, asrama
menuntut mereka untuk knowing by name, knowing by face, dan knowing
by heart agar kebersamaan mereka lebih berwarna dan bermakna. Selebihnya,
hidup akan mengalir dalam semua kemungkinan.
Diskusi kita kali ini tentang asrama. Anak
Gontor menyebutnya rayon. Bangunan inilah yang menjadi salah satu pembeda utama
sebuah boarding school dengan sekolah non-boarding. Inilah bangunan
yang pada saatnya nanti menjadi salah satu yang paling dirindu oleh para santri
setelah lulus dari pondok. Betapa tidak! Di asrama itulah mereka menghabiskan waktu
bersama. Tumbuh bersama. Merangkai asa untuk masa depan bersama. Sejatinya, membersamai
sekelompok remaja yang penuh gejolak dan energi besar adalah sebuah tantangan sangat
menarik. Lalu, pengalaman apa saja yang mereka dapatkan di asrama? Apakah
asrama di pondok-pondok kita hari ini sudah ideal? Sejujurnya, apakah asrama di
pondok kita sudah nyaman untuk dalam arti yang sesungguhnya? Apakah asrama di
pondok kita sudah membuat para santri betah? Apakah asrama di pondok kita sudah
menjadi tempat yang paling dirindukan? Mari kita diskusi barang sedikit.
Pembentukan
Karakter
Mereka seumur. Berbagi ruang dan waktu
yang sama dengan sembilan atau sebelas teman dalam satu kamar dalam kurun waktu
tertentu merupakan pengalaman masa muda yang tidak mungkin terlupakan. Banyak
cerita seru yang kalau diurai dan diuntai akan menjadi rangkaian keindahan
dalam episode masa remaja mereka. Mereka tidak pernah janjian akan tidur di
kamar yang sama. Tetapi sekarang, mereka berbagi bunk bed dan saling
bersisian. Mereka tidak pernah janjian untuk saling berbagi ruang. Tetapi sekarang,
mereka saling mengerti dan maklum di mana lemari, container tambahan,
alat olah raga pribadi, dan sejumlah peralatan sekolah lainnya diletakkan dan disimpan.
Mereka tidak pernah janjian untuk bergerak bersama demi sebuah kenyamanan.
Tetapi padatnya agenda membuat mereka untuk saling bantu dan menguatkan. Mari
kita tengok keasyikan mereka.
Pertama, asrama adalah kawah
candradimuka pembentukan karakter. Bersama masjid dan sekolah, asrama menjadi
salah satu tempat untuk pengenalan, pemahaman, dan penguatan tiga aspek utama
dalam Islam: akidah (iman), syariah (hukum dan ibadah), dan akhlak (sikap
mental dan perilaku). Dasar-dasar pengetahuan tentang ibadah, misalnya, mereka
dapatkan di kelas, kemudian dipraktikkan dan dikuat di masjid. Begitu pula
dengan bab akidah, hukum, dan akhlak. Nah, di kamar asrama, aspek akhlak
(sikap mental dan perilaku) lebih mengemuka untuk dipraktikkan, dikuatkan, dan
dibiasakan. Tinggal sekamar dengan sembilan orang yang baru saja dikenal tentu merupakan
sesuatu yang exciting dan menantang.
Dari empat kecerdasan yang wajib
mereka miliki—spiritual, emotional, intelligence, dan adversity quotient—maka
asrama adalah wadah yang sangat tepat untuk mengasah emotional quotient.
Betapa tidak! Di asrama, seorang santri dididik untuk empati dan peduli, sabar,
tidak baperan, terbuka, kolaboratif, belajar menerima (konaáh), tidak
mengganggu yang lain, murah senyum, siap memimpin dan dipimpin, dan lain-lain. Kecerdasan
emosional ini akan semakin terasah lewat berbagai pengalaman berinteraksi satu
sama lain dalam berbagai peristiwa dan situasi. Di kamar asrama, berbagai
kemungkinan bisa terjadi bila satu sama lain tidak saling menjaga dan
menghormati. Setiap santri belajar menekan egosentrisme sampai pada batas yang
mungkin. Setiap santri akan mendapatkan berbagai pengalaman yang sama tetapi
dengan tingkat penerimaan dan reaksi yang berbeda-beda sehingga melahirkan feedback
serta follow-up yang juga beragam. Mereka yang cerdas emosionalnya pasti
akan tetap berusaha menjadi pemenang, bukan hanya untuk dirinya tetapi untuk
pertemanan, persahabatan, dan ukhuwah di antara mereka. Sejatinya,
mereka memang sedang dalam masa pertumbuhan dan perkembangan yang tengah
berproses menuju tingkat kematangan yang optimal sebagai pribadi yang dewasa.
Sampai di sini, pondok harus berusaha
sekuat tenaga mendesain dan menghadirkan suasana asrama yang memungkinkan
tumbuh suburnya berbagai pemahaman di atas. Tanpa kehadiran dan intervensi pondok
yang kreatif, inovatif, dan akomodatif melalui penunjukan musyrif yang
berkualitas, maka kecerdasan emosional para santri bisa jadi tidak akan
berkembang sebagaimana seharusnya. Tingkat kematangan seorang musyrif sangat
dibutuhkan karena mereka harus membimbing para remaja dengan berbagai dinamika
dan energi mudanya. Ini tentu tidak mudah dan penuh tantangan yang tidak
sederhana. Oleh karena itu, pondok harus terus meningkatkan kualitas layanannya
di sektor penting ini. Kita tidak bisa berhenti pada keadaan sekarang. Harus
ada komitmen untuk menghadirkan suasana asrama yang bukan hanya ramah terhadap
gen-z, tetapi juga akomodatif terhadap berbagai proses pengoptimalan tingkat
kecerdasan mereka yang lain.
Kedua, asrama adalah
ruang perjumpaan dengan berbagai perbedaan. Sebagaimana halnya dengan takdir
sebuah kehidupan, mereka tidak pernah berniat akan bertemu dan berproses dengan
siapa pun. Tetapi, takdir telah membuat mereka menerima itu sebagai sebuah
keberkahan yang harus disyukuri. Bersyukur tingkat pertama atas perjumpaan itu
adalah dengan menyadari bahwa setiap santri berasal dari keluarga, kelompok
suku bangsa, status sosial, dan kebiasaan berbeda. Kabar menariknya adalah
mereka yang berbeda-beda itu bertemu dan akan terus berproses bersama dalam
sebuah kamar asrama dalam rentang waktu tertenu.
Pengalaman berproses bersama sejumlah
orang yang berbeda adalah modal penting untuk menjadi Indonesia. Masyarakat
multikultural menuntut setiap individu untuk memahami kodrat perbedaan sebagai
elemen penting untuk kenyamanan hidup bersama. Ketika sejak belia santri
terbiasa bertemu, berteman, dan berproses bersama dengan orang dari sekolah,
kota, kelompok suku bangsa, dan status sosial yang berbeda itu akan menumbuhkan
rasa percaya diri, kesataraan, keberterimaan, dan suasana kebangsaan yang
sangat positif. Sikap saling memahami satu sama lain atas berbagai hal yang
muncul karena perbedaan telah tertanam sejak belia. Atas dasar ini, kita boleh
berharap para santri kita akan lebih mudah mencerna pentingnya memiliki rasa
dan semangat nasionalisme. Konsep negara bangsa menemukan salah satu proses pembentukannya
di asrama dan aktor utama dari semua itu adalah para santri kita.
Ketiga, asrama adalah
kesempatan untuk mandiri. Mengapa disebut kesempatan? Karena ketika di rumah,
para santri bisa jadi tidak sempat menjadi pribadi yang mandiri karena semua
aktivitas yang seharusnya menjadi kewajibannya “terpaksa” dikerjakan oleh orang
lain. Wujud dan ekspresi rasa sayang orang tua kepada anaknya memang kadang
berlebihan dan absurd. Mereka ingin anak mereka tahan banting, tetapi
tetap saja diberikan semua keinginan dan kemudahan dengan berbagai fasilitas.
Mereka ingin anak mereka mandiri, tetapi tidak pernah memberi kesempatan mereka
untuk bertanggung jawab atas sejumlah hal yang memang menjadi kewajibannya. Nah,
di asrama semua merasakan hal yang sama. Tidak ada privilege. Anak kiyai,
pendiri pondok, ustadz, walikota, bupati, kepala dinas, direktur, dokter,
pengusaha, artis, youtuber, guru, atau dosen berbagi tanggung jawab yang
sama sebagai warga sebuah kamar. Mereka dapat giliran piket yang sama. Mereka wajib
menjaga kebersihan, kenyamanan, dan keteduhan kamar. Mereka harus menyelesaikan
semua hajat sendiri: mencuci pakaian dalam, menjemur kasur dan perlengkapan
tidur, merapikan tempat tidur, lemari, countainer, alat makan,
meletakkan alat mandi dan mencuci pada tempatnya, menyimpan alat-alat olahraga,
membuang sampah sisa makan, dan lain-lain.
Keempat, ruang berbagi
kegelisahan, kegembiraan, dan keberhasilan. Kamar adalah satuan terkecil dari
sebuah asrama. Kekompakan sebuah kamar adalah energi yang harus dibentuk dan
dipertahankan setiap saat. Kamar tidak mungkin steril dari gesekan. Tetapi,
musyrif yang baik dan profesional pasti akan punya seribu macam cara agar semua
itu menjadi sesuatu yang berguna untuk kembali mengompakkan mereka. Misalnya
dengan sejumlah permainan inspiratif, reflektif, dan kolaboratif. Bila kamar
sudah menjadi ruang yang nyaman untuk berbagi kegelisahan, kegembiraan, dan
keberhasilan, maka setiap anggota kamar akan lebih leluasa mendesain catatan
prestasi apa yang ingin mereka persembahkan untuk kedua orang tua mereka.
Artinya, pada titik itu, seorang santri sudah mulai memahami bahwa mereka ada
di situ untuk menjadi remaja yang kuat, tawadhu, Ikhlas dalam beribadah, dan
siap melesat dengan berbagai pencapaian. Kekompakan itu adalah sebuah modal dan
proses yang harus terus dikawal dengan baik oleh semua warga kamar bersama dengan
musyrif mereka tercinta.
Belajar Cara
Belajar
Siapa yang pernah merasakan, apa yang
terjadi di malam pertama seorang santri tidur di asramanya? Adakah yang gelisah,
tidak bisa tidur, dan kemudian lamat-lamat memanggil mama atau papanya dengan
lirih sambil berlinangan air mata? Dari sekian banyak santri yang ada di pondok
kita, bisa saja ada yang begitu. Tetapi, Allah akan memberikan
kemudahan-kemudahan dan kekuatan hati untuk mereka yang membersihkan niatnya dalam
menuntut ilmu. Di awal kehadirannya di asrama, santri akan bertanya pada
dirinya: di mana saya sekarang? Harus apa? Bagaimana? Semua pertanyaan itu
adalah bagian dari self talk seorang santri. Potensi intrapersonalnya
kemudian aktif. Sebagai makhluk berakal, mereka akhirnya belajar beradaptasi,
menyesuaikan diri dengan semua hal: ruangan, perlengkapan, hawa kamar, suasana
kamar, dan orang-orang yang ada di dekatnya. Setelah itu, maka potensi
interpersonalnya pun aktif. Ia mulai tersenyum, menyapa, dan kemudian mulai
berkomunikasi.
Selanjutnya, ia akan mulai belajar
bagaimana cara mandi yang efektif, karena harus antre dan tidak boleh terlalu
lama. Padahal, ia harus gosok gigi, keramas, pakai sabun, dan berbilas. Ia
belajar bagaimana meringkas proses berpakaian sehingga tidak terlambat masuk
kelas. Ia sudah harus punya strategi kapan harus bagi waktu antara mandi dan
makan. Jangan sampai telat mandi dan telat makan. Jangan sampai tidak mandi dan
tidak sempat makan. Semua itu menjadi bagian dari pelbagai item yang
harus diketahui, dimengerti, dan dipraktikkan agar ia bisa menjadi pribadi yang
mandiri di asrama. Untuk urusan belajar, ia harus mulai mencari di mana tempat
belajar yang paling nyaman: di tengah kamar, di atas kasur, di selasar asrama,
di tangga, di tepi lapangan bulutangkis, atau ngeriung bersama
teman-teman yang lain. Seorang santri akan dihadapkan pada begitu banyak
situasi yang menuntutnya untuk cepat dan cermat dalam mengambil keputusan. Itu
dilakukannya sendiri. Ia memang harus belajar bagaimana cara belajar yang
paling pas untuk karakter dan kebiasaannya.
Bila pondok ingin memberikan layanan
cinta, inilah salah satu titik krusial yang menarik. Terutama untuk santri
kelas VII yang baru saja lepas sekolah dasar. Musyrif di asrama kelas VII
haruslah master musyrif bukan musyrif baru atau santri pengabdian. Dia harus
yang sudah matang sehingga lebih sabar, memahami psikologi anak, banyak
pengalaman, dan penuh cinta. Yang dihadapinya adalah seorang anak yang biasanya
ada di rumah dengan segala fasilitas dan kemudahan, tiba-tiba harus
mengupayakan berbagai hal sendiri. Perasaan tidak nyaman pada santri kelas VII
harus dipahami sebagai sesuatu yang wajar. Pondok harus punya treatment
khusus untuk ini. Mengapa? Karena, sekali mereka menguasai bagaimana cara
belajar yang benar, mengelola waktu dengan cermat, berhasil menerapkan disiplin
yang tepat tanpa kehilangan keceriaan dan kejenakaan masa remaja, maka mereka
akan merasa sangat terbantu. Mereka akan sangat berterima kasih. Mereka akan
sangat mengapresiasi. Selebihnya, mereka akan betah ada di pondok karena telah
menemukan cara bagaimana menjadi diri mereka yang baru.
Asrama adalah ruang konstruksi,
dekonstruksi, dan rekonstruksi berbagai nilai. Santri hadir tidak dari
kesenyapan. Mereka hadir dari berbagai koridor masa lalu yang sangat beragam.
Mereka hadir dari berbagai macam latar belakang, sehingga harus di-blend
lebih dulu menjadi satu. Mereka harus menjadi satu tubuh dan satu rasa yang
utuh. Pondok yang hari ini mengelola siswa SMP, yakinlah bahwa mereka ada di
usia transisi yang sangat krusial. Hati-hati dengan masa-masa ini, karena
sekali saja kita menunjukkan ketidakkonsistenan dalam menerapkan berbagai
regulasi, maka seumur hidup mereka akan ingat. Selanjutnya, mereka tidak akan
percaya dengan apa pun yang kita terapkan. Masa mereka memang masa eksplorasi
dan kreativitas. Orang tua akan sangat mendukung berbagai aktivitas menuju arah
itu. Namun, bila pondok Anda hari ini meng-handle siswa SMA, ada satu
tantangan menarik: mendesain asrama sebagai sebuah laboratorium penyemaian
kader dakwah. Para santri di level SMA sudah bisa diklasifikasi sesuai dengan
bakatnya. Berdasarkan hasil asesment tersebut maka pola pembinaan yang
diberikan kepada mereka sudah mengacu kepada kekuatan masing-masing agar mereka
dapat berperan optimal di masyarakat.
Namun, jangan lupa, orang tua wali
santri SMA umumnya punya standar ganda: anak mereka harus tetap kreatif seperti
ketika mereka di SMP, tetapi di ujung perjalanan mereka juga harus diantarkan
untuk mendapatkan perguruan tinggi impian. Tidak harus PTN, kan? Betul. Tetapi
pembekalan untuk sejumlah alternatif terbaik harus sudah tersusun rapih. Oleh
karena itu, pondok harus mampu bermain cantik menghadapi standar ganda itu.
Kita tidak harus kehilangan marwah untuk bisa memenuhi tuntutan dan target para
orang tua wali santri, tetapi kita juga harus berupaya sekuat tenaga untuk menuhi
semuanya dengan elegan dan penuh kehormatan.
Pondok memang tidak bisa main-main.
Ratusan keluarga mempercayakan pertumbuhan dan perkembangan intelektual,
spiritual, emosional, dan kegigihan anak-anak mereka pada Anda. Kepercayaan dan
amanah itu harus ditunaikan dengan segenap strategi terbaik yang selama ini
telah diyakini sebagai ciri khas pondok. Tidak boleh ada sedetik pun yang luput
dari pengawasan penuh cinta para musyrif. Pondok tidak boleh abai atas sekecil
apa pun kejadian, complain, atau ketidaknyamanan yang ada di asrama.
Pondok harus responsif dan gercep bila ada sesuatu yang membuat santri
kurang semangat dalam beribadah dan belajar. Ini memang amanah yang berat.
Namun, dengan hadirnya Anda di pondok itu artinya Anda sudah siap menunaikan
kepercayaan dan amanah itu dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya. Mari
kita balas kehormatan dengan kehormatan. Semoga Allah ridho dengan segala upaya
sadar ini. Aamiin.
Wallahu
a’lam bi al-shawab.
Depok, Mei 2024