Pondok untuk Gen-Z

Setelah itu saya berkata,”Ayo, bilang sama Abi, supaya Abi tahu apa masalahnya..?"

Dengan suara tertahan dia berkata lirih,"Abi, saya mau minta pindah…keluar dari pondok."

"Oh, begitu…," jawabku pendek. Saya lebih dulu menerka-nerka, apa penyebabnya. Sebelumnya memang ada beberapa temannya yang sudah keluar lebih dulu. Itu salah satu sebab yang saya kira.

"Boleh keluar, ndak apa-apa. Tapi beritahu dulu abi, apa sebab sampai Shafly mau keluar? Kalau memang masuk akal, saat ini pun kita bisa bertemu ustadz minta surat pindah."

“Saya bosan, Abi…jenuh."

Der! Saya kaget mendengarnya, tetapi saya berusaha untuk tetap tenang,"Selain itu apalagi alasannya, Nak?"

"Pelajaran padat sekali. Hafalanku juga tidak sama dengan yang lain. Saya lambat menghafal, Bi"

     Inilah nukilan dari satu postingan yang beredar luas di WA Group beberapa hari lalu. Kontan saja postingan ini menjadi pemicu diskusi di antara anggota group yang umumnya para pimpinan dan dewan asatidz sejumlah pondok. Ending dari cerita di atas memang begitu melegakan. Sang ayah kemudian berhasil menasihati putranya bahwa semua orang juga merasakan jenuh: ayah jenuh dengan pekerjaannya, ibu dengan urusan rumah, kakak dengan urusan kuliah, dan adik jenuh karena harus ke sekolah tiap hari. Singkatnya, setiap orang pasti jenuh, tetapi harus dihadapi agar ia mampu menjalankan peran dan fungsi yang telah Allah amanahkan kepadanya. Akhirnya, santri itu menerima nasihat ayahnya dan ia pun bersedia bertahan di pondok.

     Yang menarik, diskusi di group akhirnya sampai pada salah satu kesimpulan: ini tantangan bagi para pengelola pondok, bagaimana caranya menjadikan pondok sebagai tempat bertumbuh dan belajar terbaik. Sekarang, mari kita mulai dengan mengenali siapa santri kita hari ini. Pondok kita hari ini dipenuhi oleh para Gen-Z (mereka yang lahir antara 1997-2012) akhir. Kelas VII adalah mereka yang lahir pada 2011 dan kelas XII lahir pada 2006. Jadi, seluruh penghuni pondok-pondok kita hari ini adalah Generasi Z.

Tantangannya sekarang adalah bagaimana caranya mewujudkan pondok sebagai tempat bertumbuh dan belajar terbaik untuk para Gen-Z? Apakah kita tidak curiga bahwa rasa jenuh dan bosan yang menghinggapi sebagian santri kita hari ini adalah karena kita kurang peka terhadap karakteristik mereka? Apakah kita tidak curiga, jangan-jangan justru rasa jenuh itulah yang menjadi pokok persoalan mengapa mereka kurang semangat menghafal sehingga hasilnya tidak sesuai dengan target dan harapan? Jangan-jangan, rasa jenuh dan bosan yang tidak kunjung mendapatkan pelepasannya itulah yang menjadi salah satu sebab mengapa santri Anda banyak yang keluar atau pindah pondok? 

Kalau begitu, mari kita introspeksi, apakah dalam kurun waktu satu dasawarsa ini pondok kita telah melakukan sejumlah penyesuaian yang signifikan dengan gaya belajar dan gaya sosialisasi mereka? Apakah pondok kita ramah Gen-Z? Apakah pondok kita tidak mau tahu dengan semua itu dan tetap menjejali santri dengan seluruh idealisme dan padatnya materi belajar sehingga mereka tidak bisa mengambil napas barang sejenak? Atau apakah persoalan ini tidak pernah benar-benar menjadi sesuatu yang penting untuk dibahas di level pimpinan dan manajemen? Apakah para guru dan musyrif tidak pernah diberi pembekalan agar timbul kesadaran bahwa kita hari ini memang tengah sedang berhadapan dengan generasi yang berbeda dengan kita? Mari kita diskusi sedikit.

Pribadi Mandiri

Setiap generasi punya kecenderungannya sendiri-sendiri. Guru dan para musyriflah yang harus lebih dulu memantaskan diri untuk bisa “berjumpa dan mewarnai” dunia mereka. Mereka anak zaman yang bertemu segala idealisme dan keluhuran budimu. Mereka tidak sedang bermain-main dengan hidup, tetapi mereka justru sedang menikmati dan sedang mencari cara, bagaimana mereka hidup. Sosok dan kehadiranmulah yang menjadi salah satu jawaban penting dalam rentang waktu yang ada. Itu artinya, engkau harus siap dan berani, juga harus sabar dan penuh cinta. Hanya dengan itulah, engkau mampu menghidupkan dan menyemarakkan ruang kelas dengan segala catatan emas dalam merayakan keberhasilan dan prestasi mereka.

Anda pasti akrab dengan pemandangan seorang anak yang asyik masyuk dengan gadgetnya ketika bermain game atau menikmati tayangan media sosial. Ia bisa berjam-jam seperti itu. Sendiri tanpa merasa kesepian karena ia terhubung dengan dunia maya yang begitu semarak dan menyenangkan. Lalu, apakah fenomena itu mempengaruhi gaya dan kecenderungan mereka dalam belajar? Mari kita diskusi serba sedikit.

Pertama, digital natives. Gen-Z adalah generasi pertama yang tumbuh dengan akses mudah terhadap teknologi digital: smartphone, tablet, laptop, dan internet. Oleh karena itu, wajar bila mereka lebih senang memilih lingkungan pembelajaran digital dan online. Nah, bagaimana pondok kita merespon, menyikapi, dan menyiasatinya? Apakah ada regulasi dan kondisi khusus yang kita terapkan agar kecenderungan ini bisa terakomodasikan tanpa menegasikan prinsip dan aturan belajar di pondok kita masing-masing? Apakah ada pelatihan khusus untuk guru bagaimana meng-handle proses belajar digital yang memang menjadi kecenderungan mereka?

Kedua, short attention spans. Ciri ini sangat kita maklumi. Coba lihat seperti apa gaya mereka ketika main gadget. Tayangan yang mampu menahan mereka untuk tidak cepat-cepat scroll adalah apa yang memang mereka minati. Bila tidak, maka dengan cepat tayangan itu mereka skip. Mereka jadi terbiasa memberikan atensi mereka per-spot. Mereka sulit diajak konsentrasi dan fokus pada satu situasi untuk waktu yang lama, apalagi mendengarkan ceramah yang berlama-lama. Para guru harus bekerja sungguh-sungguh untuk mendesain materi pembelajaran yang ringkas, interaktif, dan menarik secara visual. Yang masih nekat memberikan materi yang padat, monoton atau one way, dan hanya teks, siap-siap saja dicuekin.

Ketiga, visual and interactive content. Mereka lebih senang belajar dengan materi yang banyak konten visual, seperti video, infografis, dan simulasi interaktif. Teks bisa jadi hanya pilihan terakhir. Oleh karena itu, guru harus berani mendesain metodologi yang dapat menggali dan menghargai pengalaman belajar aktif mereka. Para guru harus memiliki keterampilan mendesain materi dan metodologi yang mampu melibatkan emosi dan perhatian mereka.

Keempat, self-directed learning. Karena terbiasa bergadget sendiri, maka mereka juga cenderung lebih nyaman mandiri dalam belajar, terutama dalam mencari informasi. Oleh karena itu, penting untuk mempergunakan platform online, search engines, dan media sosial dalam mendesain materi dan metodologi belajar. Semoga guru-guru di pondok tidak gaptek dengan sejumlah platform online agar materi dan metodologi yang mereka sajikan untuk para santri mereka mendapatkan perhatian sewajarnya. Di fase ini, guru akan lebih berperan sebagai fasilitator aktif di kelas dan itu sangat inspiratif.

Kelima, multi-modal learning. Mereka cenderung belajar melalui berbagai macam gaya: visual, auditori, dan kinestetik. Mereka memang terbiasa belajar dengan teks, gambar, video, dan latihan interaktif. Oleh karena itu, mereka sangat senang bila menerima materi dan metodologi pembelajaran yang mengakomodasi beragam gaya belajar mereka. Pertanyaannya, apakah guru-guru kita di pondok sudah sadar dan kemudian berusaha sekuat tenaga untuk mengakomodasi hal tersebut?

Keenam, mobile learning. Inilah salah satu ciri inheren mereka: akrab dengan smartphone dan tablet. Oleh karena itu, mereka senang sekali bila materi pelajaran yang diberikan guru dapat mereka akses melalui perangkat seluler yang mereka miliki. Jarak dan waktu menjadi sesuatu yang nisbi untuk mereka.

Ketujuh, microlearning. Inilah generasi yang tidak akan kuat dan nyaman mendengarkan ceramah para guru yang panjang lebar. Mereka tidak terlalu senang berlama-lama duduk, diam, dan mendengarkan orang bicara.  Mereka lebih senang dengan pelajaran yang singkat dan fokus. Oleh karena itu, mereka senang dengan model pembelajaran mikro yang dapat memberikan pengetahuan atau keterampilan yang tidak membebani mereka.

Kolaboratif dan Peduli

Anda pernah memperhatikan apa dan bagaimana Gen-Z bermain game? Atau barangkali Anda juga termasuk yang senang memainkan game yang sering mereka mainkan? Anda pernah melihat mereka bicara sendiri ketika bermain game? Ternyata, mereka sering mabar (main bareng). Sejumlah game memang didesain sebagai ajang bermain bersama, berkelompok, dan berkompetisi. Misalnya, dua orang memainkan satu kesatuan tempur untuk berhadapan dengan kesatuan tempur lain yang dimainkan dua orang yang lain. Mereka bermain berkelompok untuk satu tujuan bersama: menang. Sejatinya, prinsip bermainnya mirip dengan permainan kelompok zaman dulu, seperti karambol, domino, atau bridge. Hanya saja ini online, pasangan satu timnya bisa dari daerah atau negara mana saja.

Lalu, apa relevansi kebiasaan mereka kolab dalam permainan online dengan preferensi mereka dalam belajar? Mari kita tengok.

Pertama, collaborative learning. Kolaboratif adalah salah satu kompetensi abad XXI dan Gen Z sangat menikmati pengalaman belajar dengan cara seperti itu. Mereka nyaman berkolaborasi secara online maupun offline. Oleh karena itu, mereka sangat antusias bila guru memberikan kesempatan bekerja kelompok untuk sejumlah proyek dan berdiskusi di dalamnya. Inilah keunikan mereka: bisa sangat asyik bekerja sendiri tetapi di saat yang sama mereka sangat antusias dalam kerja kelompok yang kolaboratif.

Kedua, immediate feedback. Siapa di antara guru di pondok yang lama atau bahkan tidak mengembalikan hasil quiz atau evaluasi bulanan kepada para santrinya? Bila ini sering terjadi, ketahuilah sesungguhnya itu satu hal yang tidak disenangi mereka. Gen Z sangat menghargai sistem penilaian yang memungkinkan mereka mendapatkan hasil penilaian atas pekerjaan mereka secara instan. Kalau ingin memberikan pelayanan cinta untuk mereka, berikanlah sejumlah catatan secara personal atau kelompok bila hasil pekerjaan mereka masih ada yang harus diperbaiki. Atau berilah penghargaan bila pekerjaan mereka sudah memenuhi target dan harapan. Mereka akan sangat merasa dihargai dengan itu.  

Ketiga, authenticity and relevance. Jangan terlalu banyak berteori kepada mereka. Bukan tidak menghargai temuan ilmiah, tetapi mereka memang lebih senang dengan materi yang related dengan pengalaman dunia nyata yang autentik. Guru yang mereka senangi di antaranya adalah guru yang mampu menghadirkan materi belajar yang related dengan kehidupan nyata dan memberikan inspirasi untuk masa depan mereka. Tantangannya adalah bagaimana kelas punya mekanisme yang cantik untuk menghubungkan materi-materi inti pembelajaran dengan realitas kehidupan yang mereka alami.

Keempat, influence of social media. Karena mereka sublim bersama dunia digital, maka media sosial juga sangat mempengaruhi kebiasaan belajar mereka. Guru yang kreatif dapat memanfaatkan YouTube, Instagram, atau TikTok sebagai sarana yang menarik untuk menyampaikan materi secara singkat. Guru sejumlah mata pelajaran sejatinya dapat berkolaborasi dalam memanfaatkan sejumlah flatform tersebut untuk pembelajaran yang integratif.

Kelima, global perspective. Inilah generasi yang sangat terbuka untuk semua perbedaan dan keunikan. Oleh karena itu, mungkinkanlah mereka untuk tetap terhubung dengan kehidupan global agar kesadaran tentang keberagaman budaya mereka semakin terasah. Program kerja sama dengan sejumlah sekolah di beberapa negara bisa menjadi salah satu alternatifnya. Mengapa ini menarik? Mereka memang akrab dengan sejumlah perspektif yang beragam tentang sejumlah persoalan public maupun domestik. Mereka adalah generasi yang terbuka untuk keberagaman dan tidak alergi dengan sejumlah sudut pandang berbeda. Oleh karena itu, sekolah yang membuka kelas-kelas kerja sama dengan sejumlah negara lain, memfasilitasi keingintahuan mereka akan kehidupan orang di negara lain dengan mengunjungi dan belajar bersama, atau kesempatan magang dengan home stay di negara lain umumnya akan mendapatkan apresiasi yang baik.

Keenam, purpose-driven learning. Bila ada yang beranggapan Gen-Z adalah generasi soliter dan egois, itu tidak benar. Banyak di antara mereka justru sangat termotivasi pada sejumlah esensi kehidupan yang lebih bermakna. Mereka senang berinteraksi satu sama lain di sejumlah organisasi yang memperjuangkan nilai-nilai dan kepentingan masyarakat. Sebagian dari mereka adalah pribadi yang sangat senang berorganisasi. Kebanggaan mereka akan sejumlah pencapaian itu bisa diapresiasi dengan pin, emblem, atau lencana di jaket almamater mereka. (Saya jadi ingat selempang pramuka untuk menempelkan TKK). Mereka bangga akan itu dan ingin berbuat lebih daripada yang sudah dicapai. Tentu bersama teman-teman yang sefrekuensi karena pasti lebih asyik.

Ketujuh, continuous learning. Sejatinya, mereka adalah generasi yang sangat lekat dengan prinsip long live education. Mengapa begitu? Mereka adalah generasi yang sejak kecil hidup dalam kesadaran tentang kesementaraan dan perubahan. Sifat dan gaya mereka dalam menikmati sejumlah sajian di gadget tanpa disadari telah mengajarkan dan menghadirkan kesadaran itu setiap saat. Oleh karena itu, mereka merasa perlu untuk terus meng-upgrade kompetensi diri agar tetap bisa eksis di dunia kerja dan pengabdian. Bila guru di pondok tidak memiliki prinsip yang sama, maka mereka akan “ditinggalkan”.

Tidak ada yang abadi kecuali perubahan. Begitu pun ruang kelas di pondok-pondok kita. Mereka yang hadir di situ hari ini bukanlah mereka yang lahir dari zaman yang sama dengan kita. Mereka hadir di situ hari ini adalah anak zaman dengan gaya dan kecenderungan yang berbeda. Bila kita tetap mengulang-ulang artikulasi usang dari zaman ke zaman, maka bersiap-siaplah kita digulung oleh zaman itu sendiri. Oleh karena itu, seluruh civitas akademika pondok harus menginsyafi hal ini dengan penuh kesadaran sebagai pendidik. Kita tidak boleh mengutuki perubahan karena itu sunatullah dan harus disyukuri dengan keikhlasan.

Kini, setiap guru di pondok dituntut untuk mau dan mampu mendesain materi dan metodologi yang ramah untuk mereka. Penggabungan lebih banyak elemen digital dan interaktif, memberikan umpan balik langsung, dan menciptakan pengalaman belajar yang memenuhi beragam gaya dan minat belajar adalah sebuah keniscayaan hari ini. Kita tidak bisa memakai kaca mata kuda. Pondok harus berbenah agar cerita Shafly yang bosan dan jenuh di pondok tidak lagi terjadi dan terjadi lagi. Innovate or die.

Kesempatan berbiak di ruang-ruang kelas pada satu episode waktu selalu menjadi energi untuk tetap berkontribusi pada peradaban. Mari belajar memaknai artikulasi sehingga ia pantas menjadi representasi dari apa yang mampu kita genapkan. Engkau pasti maklum, kelas tidak lagi ruang keterpesonaan. Ketika dengan terengah-engah kauhadirkan suasana dialogis, mereka justru membawa dunia baru yang belum tentu kaumengerti. Sekarang, masih beranikah kauanggap mereka hadir dari kesenyapan dan menerima apa adanya dirimu? Lalu, adakah oase sejuk tempat bertemunya cintamu dengan kebeningan hati mereka? Sahabatku para pendidik, hanya keikhlasan dan ketulusanlah, energi yang tetap bisa menemani langkah muda mereka: anak zaman merindu sosokmu, guru. Utuh!

Wallahu a’lam bi al-shawab.

                                                                       Depok, Mei 2024

2 Comments

  1. MasyaAllah... Bacaan yang menginspirasi ustaz.. Jazakallahu khairan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Fahrizal MuhammadMay 9, 2024 at 4:50 PM

      Alhamdulillah. Semoga bisa menjadi salah satu bahan diskusi kita di pondok, Ustadz. Wajazakallahu khairan katsira...

      Delete
Previous Post Next Post

Contact Form