Sukses PPDB Kita Semua

    Bagaimana prestasi PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) pondok Anda tahun ini? Sudah mencapai targetkah? Kalau belum, bisakah Anda identifikasi apa penyebabnya? Kalau sudah, kira-kira apa yang mempengaruhinya? Apa yang membuat PPDB pondok Anda tahun ini begitu moncer? Ganti strategi, ya? Apa tiap tahun Anda berganti strategi atau memang pakai “jurus dewa mabok” atau apa saja yang penting ada yang daftar? Apakah Anda menggunakan jasa marketer profesional? Atau Anda menggunakan tayangan berbayar di media sosial? Oya, apakah yang menjadi prioritas jualan Anda? Fasilitas, program, ketokohan, atau gabungan dari semuanya? Apakah Anda menyasar captive market tertentu? Apakah Anda optimis akan meraih kesuksesan yang sama di waktu yang akan datang? Lalu, siapa saja yang Anda ajak sinergi dan kolaborasi untuk itu?

Pasti pertanyaan itu akan semakin banyak bisa kita sampaikan bila bertemu seorang sahabat yang PPDB-nya sukses tahun ini. Ada pondok yang menghadapi PPDB serasa akan mengadakan baralek gadang. Semua disiapkan dengan sangat detil, hati-hati, dan cermat. Semua lini persoalan dan kesempatan mereka perhatikan. Semua resources mereka pergunakan dengan cermat dan optimal: alumni, tokoh, fasilitas, prestasi, program, termasuk tagline dan jargon. Ada juga pondok yang menggelar PPDB biasa-biasa saja karena yakin dengan kharisma tokoh yang dimilikinya. Ada juga yang lebih percaya pada sistem yang mereka siapkan. Ada juga yang sangat yakin dengan unggulan kurikulum yang tidak dimiliki pondok lain. Demikianlah, tidak ada yang persis sama karena masing-masing punya kekuatan dan keunggulannya sendiri-sendiri. Mereka yang lebih tahu, faktor apa yang paling diminati oleh para calon santri dan orang tuanya.

Sebuah Catatan

Setiap pondok punya cerita dan pengalamannya sendiri-sendiri tentang PPDB. Punya pandangannya sendiri-sendiri juga perihal itu. Keunikan tiap pondok menjadi sarana silaturahim satu sama lain agar bisa terus bersyukur dan bersabar. Ada yang sangat ketat waktunya, ada yang sangat longgar bahkan sampai menjelang dimulainya tahun ajaran. Ada yang sangat ketat seleksinya, ada juga yang sangat bersyukur sudah ada yang mendaftar. Mari kita diskusi sedikit.

Pertama, PPDB adalah cermin dan tolok ukur. Dalam satu guyonan, Anda pilih mana: ge-er atau minder? Banyak teman memilih yang pertama. Entah mengapa. Barangkali itu lebih mencerminkan rasa percaya diri. Dalam konteks PPDB, kita pilih yang mana? Inginnya sih pilih yang pertama, tapi kali ini kita mesti hati-hati karena harus realistis. PPDB adalah tolok ukur: seterkenal dan seberterima apa pondok kita di masyarakat? Ada yang terpaksa harus menolak sebagian murid karena keterbatasan fasilitas dan kapasitas. Ada juga yang karena sejumlah alasan terpaksa menunggu sampai titik akhir. Dua ekstrim ini mewakili sejumlah pondok yang terus berjuang mendapatkan format dan komposisi yang paling pas dengan kondisi real yang ada. Gamblangnya, kalau pondok kita sudah dikenal dan diterima masyarakat, indikator yang paling mudah dilihat adalah jumlah yang mendaftar PPDB setiap tahun terus meningkat meskipun mereka sudah tahu daya tampungnya.

Kedua, PPDB adalah titik berangkat dan titik akhir. Sebagai titik berangkat, ia adalah pintu masuk untuk mendapatkan calon santri yang terseleksi: adab, prestasi, pemahaman akademik, tahsin, tahfidz, dan kesehatan juga termasuk finansial. Meskipun demikian, ada sejumlah pondok justru senang untuk tidak terlalu ketat menerapkan standar tinggi pada sejumlah komponen tersebut agar sebagai lembaga pendidikan, mereka bisa dengan tegas melihat hasil dari kurikulum dan proses yang mereka terapkan. Mereka berpendapat, kalau mendidik bibit unggul, semua pondok bisa. Tetapi menjadikan mereka yang biasa-biasa saja menjadi santri unggulan, itu baru luar biasa. Sampai di titik ini, semua berpulang kepada prinsip dan kesiapan masing-masing pondok.

Titik berangkat dan titik akhir adalah juga hulu dan hilir dalam sebuah siklus. Ya, PPDB adalah hulu sekaligus hilir. Keberhasilan sebuah PPDB sangat ditentukan oleh proses dan layanan yang telah dilakukan. Bila santri yang diterima lewat PPDB tahun lalu melewati proses yang sangat menyenangkan, apa yang didapat sesuai dengan apa yang dijanjikan, pencapaiannya sesuai dengan apa yang diharapkan, dan ia dilayani dengan sepenuh hati, maka itu artinya PPDB tahun ini kita tinggal menerima berkahnya. Proses dan layanan yang kita berikan selama tahun ajaran berjalan sesungguhnya adalah kunci sukses PPDB kita untuk tahun ini. Hasil dari proses dan layanan itu bisa berbuah alumni yang diterima di perguruan tinggi negeri, kampus ternama di luar negeri, atau mendapatkan beasiswa belajar di salah satu BUMN, tentu akan menjadi amunisi untuk PPDB yang sukses. PPDB sesungguhnya adalah wajah proses dan layanan. Proses dan layanan terbaik akan berkorelasi positif dengan sukses PPDB.

Ketiga, PPDB adalah apa yang mereka pikirkan, bukan apa yang kita harapkan. “Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya, terserah Anda”. Tagline ini tidak tepat buat PPDB sebuah pondok. Kita tidak bisa menukar kualitas proses dan layanan hanya dengan sebuah pencitraan. Oleh karena itu, mereka yang memoles kondisi dan proses pondoknya supaya terlihat seakan-akan asri, teduh, ramah lingkungan, banyak program, kampung santri, atau kampus peradaban tidak bisa terus-menerus bersembunyi di balik topeng. Impresi atau kesan para stakeholder itu terekam sejak pertama kali mereka hadir untuk survey, mendaftar, mengikuti tes masuk, pengumuman, dan melewati proses belajar sampai bertumbuh bersama di asrama. Mereka yang berpura-pura dan bersandiwara pada akhirnya akan lelah dan ditinggalkan. Oleh karena itu, testimoni jujur para stakeholder (orang tua wali santri) adalah konstruksi berbagai kesan atas apa yang mereka dapatkan. Akhirnya, mereka merekonstruksi persepsi baru tentang kita dan itulah the best marketing: word of mouth.

Keempat, PPDB adalah soal rasa bukan sesuatu yang ilmiah semata. “Tak Bisa ke Lain Hati”-nya KLA Project tepat untuk menggambarkan kondisi ini. Kesetiaan dan loyalitas stakeholder itu bukan sesuatu yang ilmiah. Itulah rasa. Proses dan layanan itu langsung ke hati. Bila sudah jatuh hati, maka pondok kita akan menjadi pondok keluarga. Bila satu keluarga ada tiga anak, bisa jadi tiga-tiganya disekolahkan di pondok kita. Anda percaya pada pendekatan yang tidak selalu ilmiah, kan? PPDB juga tidak melulu persoalan ilmiah. Sangat boleh jadi di situ ada intuisi dan puisi. Mereka yang rela menyekolahkan anaknya di sebuah pondok yang terletak di tengah hutan, di daerah yang jauh dari sejuk, yang jalan ke pondoknya lebih mirip jalur offroad daripada sebuah jalan masuk ke sebuah sekolah, atau kebersahajaan kondisi kamar yang kalah nyaman dibandingkan kamar tidurnya di rumah adalah mereka yang telah jatuh hati. Bahkan untuk tahun yang akan datang, adiknya pun sudah didaftarkan di program indent. Masya Allah. Itulah keindahan sebuah rasa. Bila hati orang tua wali santri sudah mampu kita sentuh dan rebut, maka penjelasan ilmiah apa lagi yang mampu kita berikan atas sebuah keputusan indah seperti itu?

Kelima, PPDB adalah tentang kejujuran. Anda pernah melihat sebuah flyer atau tayangan iklan satu sekolah dan terpesona dengan kemegahan, kerapihan, dan keasrian gedung, asrama, dan lingkungan sekolah tersebut? Lalu, alangkah terkejutnya para calon orang tua wali santri ketika survey ke sana, ternyata apa yang mereka lihat tidak sesuai dengan apa yang dipromosikan. Termasuk dalam hal ini adalah kurikulum dan program belajar serta ekstrakurikuler yang sekilas sangat wah dan seru, ternyata jauh panggang dari api. Semua hanya untuk kepentingan promosi. Ini bukan sesuatu yang konstruktif untuk sebuah promosi pondok. Prinsipnya adalah kita tingkatkan apa yang menjadi keunggulan dan kita siasati apa yang menjadi keterbatasan. Pasti Anda sependapat, bahwa tidak ada satu pondok pun yang sempurna. Jadi, untuk apa mempromosikan dan menjanjikan sesuatu yang memang tidak bisa dan tidak mungkin Anda penuhi dalam prosesnya? Bukankah itu akan menjadi boomerang dan preseden tidak baik untuk pondok Anda di kemudian hari? Bukankah di ranah ini nama baik dan trust menjadi hal yang sangat penting daripada sekadar prestasi dan reputasi? Jadi, “jujurlah padaku…,” kata Ian Kasela.

Seni Berkomunikasi

      Anda pasti sepakat, PPDB adalah seni berkomunikasi dengan calon stakeholder. Komunikasi efektif dan dialogis seperti apa yang telah Anda lakukan sehingga Anda dapat meraih prestasi PPDB seperti saat ini? Layanan cinta seperti apa yang telah Anda lakukan di pondok sehingga para stakeholder sangat loyal pada pondok Anda? Apa yang telah Anda lakukan sehingga banyak orang tua wali santri jatuh hati pada pondok Anda? Mereka percaya pada janji yang Anda berikan? Mereka percaya anak mereka akan menjadi seperti yang Anda janjikan? Bagaimana cara Anda meyakinkan mereka bahwa anak mereka aman berekspresi, berkreasi, dan punya kesempatan berprestasi maksimal di pondok Anda? Pasti ada sesuatu mengapa pondok Anda sukses luar biasa dan menjadi pilihan utama setiap tahunnya.

     Jadi, banyak kisah sukses di fase ini. Bahkan tidak sedikit pondok yang lima tahun lalu baru punya dua kampus, tahun ini sudah punya empat kampus dengan menghadirkan jenis pendidikan yang berbeda. Tidak sedikit pondok yang tiga tahun lalu, baru mempunyai beberapa cabang saja, tahun ini sangat siap dan antusias dengan tawaran program kerja sama luar negeri yang belum sempat dipikirkan pondok lain. Luar biasa. Mari kita kulik beberapa kemungkinan alasannya.

     Pertama, optimalkan media. Pada beberapa pondok, website dipandang sangat efektif untuk menginformasikan tentang prestasi KSN tingkat nasional, daftar program unggulan, ranking LTMPT Nasional, predikat sekolah terbaik tingkat nasional, provinsi atau kabupaten, foto kampus dengan angel terbaik, foto santri berprestasi, foto dan daftar ekstrakurikuler yang berbeda dari pondok lain, testimoni sejumlah tokoh yang menjadi orang tua wali santri, dan alamat kampus. Untuk pondok yang salah satu nilai jualnya adalah tokoh, maka setiap kali kita buka media promosi mereka, maka kita akan selalu bertemu tokoh itu. Itulah sosok yang mereka jual dan mereka janjikan kepada calon stakeholder. “Kujanjikan aku ada”, begitu kata Once Mekel. Yang jelas, website masih menjadi pilihan utama penyebaran informasi yang lengkap tentang sekolah. Meskipun demikian, sejumlah media sosial juga harusnya dengan bijak dapat dimaksimalkan, misalnya Instagram, tiktok, youtube, twitter (X), atau facebook.

Bila website menjadi salah satu yang dicari para calon orang tua wali santri, apakah Anda telah memaksimalkan penampilan website pondok Anda? Mari jawab dengan jujur, bila Anda calon orang tua wali santri yang ingin mencari sekolah untuk Anak, apakah Anda tertarik dengan tampilan website pondok Anda hari ini? Sudah maksimalkah Anda mengekspos apa yang menjadi keunggulan pondok Anda? Bagaimana cara Anda menyampaikan dengan elegan dan santun semua keunggulan itu? Seperti apa Anda menyiasati keterbatasan yang memang ada di pondok Anda, misalnya fasilitasnya kurang lengkap dan sangat sederhana, muridnya masih sedikit sehingga terkesan sepi, jalan menuju kampusnya cukup membuat debaran jantung, lingkungan pondok yang kurang kondusif, atau prestasi yang belum seberapa?

     Kedua, optimalkan tokoh. Sosok Kiyai atau pengasuh utama sangat kental di pesantren. Tetapi, di boarding school sosok kiyai tidak lagi menjadi faktor utama. Keberadaan dan kehadirannya dipandang sebagai bonus dan nilai tambah. Apa pasal? Karena lebih banyak pondok yang tidak punya tokoh dan mereka biasa-biasa saja alias tidak merasa ada yang kurang. Ketiadaan sosok itu tidak lantas membuat mereka kesulitan mendapatkan murid, bahkan kenyataan di lapangan justru memperlihatkan hal sebaliknya. Sekolah-sekolah tanpa tokoh pada umumnya lebih struggle dan militant karena mereka sadar tidak bisa mengandalkan dan menyandarkan keberhasilan pondok pada sosok tokoh. Oleh karena itulah, umumnya mereka memaksimalkan jaringan, sistem, program, dan layanan terpadu.

Bila pondok Anda punya sosok tokoh yang bisa “dijual”, itu berkah luar biasa. Mengapa? Karena tidak setiap pondok memilikinya. Mereka harus berjuang sekuat tenaga agar dapat memiliki sesuatu yang bisa mereka jual. Bila Anda ada dalam keberuntungan tersebut, apakah Anda sudah mengoptimalkannya? Apakah Anda sudah mengeksplore beliau dengan habis-habisan agar menjadi icon yang tidak terpisahkan dari pondok? Apakah kehadirannya di mana pun telah mencitrakan kehadiran pondok? Apakah nilai ketokohannya telah Anda konversi menjadi magnet paling kuat untuk menarik calon orang tua wali santri? Bila belum, apa sebabnya? Apakah ketokohannya selama ini telah menjadi daya tarik utama para calon orang tua wali santri untuk mendaftarkan anaknya ke pondok Anda? Apakah sistem yang Anda bangun sangat terbantu dengan ketokohannya? Apakah sistem yang Anda bangun bisa saling mengisi dengan nilai ketokohan yang dimilikinya? Apakah pada titiknya nanti Anda siap tanpa kehadiran beliau? Apakah sistem yang telah Anda siapkan cukup kuat untuk melesat sendiri tanpa endorse tokoh tersebut?  

Baca juga: Membentuk Budaya Pondok

Sebagai salah satu insight, cobalah lebih kreatif “memanfaatkan” ketokohan yang ada. Bila tokoh tersebut menjadi bagian dari nilai jual pondok Anda, bisa jadi orang tua wali santri memutuskan untuk menyekolahkan anaknya karena ketertarikan akan tokoh tersebut. Bila demikian, maka ini sudah termasuk janji promosi. Ini harus ditunaikan sebagai layanan. Sebagai pengasuh utama, hadirkanlah beliau sebulan sekali di pondok. Ingat di pondok, tempat para santri belajar. Buatlah program bulanan “Sehari Bersama Kiyai”. Dengan demikian, maka perjumpaan para santri dengan kiyai tidak selalu di acara taklim atau dauroh, tetapi sangat menyenangkan bila setelah Subuh berjamaah yang putra bertemu di lapangan futsal atau basket. Kiyai ikut main sebentar dan kemudian menyaksikan para santrinya berlatih. Atau sengajakan bikin acara team building, sehingga beliau bisa memberikan insight dan nasihatnya dalam suasana yang menyenangkan. Setelah itu, bisa makan bersama kiyai di ruang makan. Pasti sangat akrab, hangat, dan seru. Berita dan cerita “Sehari bersama Kiyai” pasti sampai ke telinga orang tua wali santri dan mereka pasti akan sangat senang dan mengapresiasi.

Akan halnya dengan yang putri, bisa ditemani Nyai di acara “Sehari Bersama Nyai” dengan cooking class di pondok. Atau acara keputrian tidak diisi oleh ustadzah yang biasa, tetapi oleh Nyai langsung. Sentuhan, tatapan mata, dan senyum hangat Nyai kepada para santri akhwat pasti akan sangat membekas lama di hati sanubari mereka. Anda pasti bisa membayangkan, betapa bahagia dan menyenangkan, bukan? Inilah keberkahan yang seharusnya dimaksimalkan oleh pondok yang diberikan rezeki memiliki sosok tokoh. Kalau keberadaan mereka tidak berpengaruh apa-apa terhadap keberhasilan PPDB kita, berarti Anda yang kurang kreatif mengemasnya. Yang kita hadapi hari ini adalah santri gen-z yang memang yang menyukai budaya instan dan kurang peka terhadap esensi privat. Oleh karena itu, ketika keterlibatan kiyai dan nyai mampu dikemas dengan cantik dan elegan, tentu ini akan menjadi salah satu nilai jual yang keren.

Ketiga, optimalkan alasan terkuat: proses belajar mengajar dan layanan cinta. Dua ranah ini sering dilupakan. Padahal, inilah alasan utama mengapa stakeholder utama kita loyal kepada pondok kita. Tingkat kepuasan mereka terletak pada dua hal ini. Tingkat kepuasan dan kekecewaan akan bertempur setiap hari di benak para orang tua wali santri. Siapa yang sering menang itulah yang akan mempengaruhi pencapaian PPDB pondok Anda. Keduanya adalah inti komitmen pondok kepada para stakeholder-nya. Oleh karena itu, ketika proses penyelenggaraannya berjalan lancar pun baru menjadi sesuatu yang wajar, karena itu janji Anda. Tingkat kepuasaan maksimal melebihi ekspektasi dari para orang tua wali santri adalah tujuan utamanya. Ingat, hanya dengan cinta kita bisa melihat cinta.

Baca juga: Layanan Cinta di Sekolah

Anda percaya pada kesaktian dua hal itu sebagai faktor yang sangat dominan keberhasilan PPDB? Apakah Anda sering lupa untuk mempertahankan reputasi di dua ranah itu sehingga pada akhirnya Anda mengalami ketidakmaksimalan pada pencapaian PPDB tahun ini? Apa langkah-langkah konkret yang telah Anda putuskan agar kedua ranah itu tetap bisa maksimal dijalankan oleh seluruh civitas akademika? Apakah Anda memberlakukan reward and punishment pada sejumlah anggota civitas akademika yang lalai menjaga mutu kedua ranah tersebut? Apakah ada induksi khusus yang Anda lakukan kepada sejumlah pimpinan agar kedua faktor itu tetap menjadi prioritas pondok?

      Keempat, optimalkan kekuatan bahasa. Ada tagline dan jargon yang nampaknya harus ditancapkan dalam ingatan dan alam bawah sadar para calon orang tua wali santri tentang pondok Anda. Tagline seperti, misalnya “Mendidik ala Rasulullah”, “Sekolah Paling Unik se-Indonesia: 1 Guru: 6 Siswa”, “Memakmurkan Al-Qurán, Mendamaikan Dunia”, “Mandiri, Berprestasi, dan Berakhlak mulia”, “Active Learning and Islamic Character Integrated”, atau “Sekolah calon ulama yang intelek, intelektual yang ulama” adalah “mantra” sakti sekaligus janji dan goal setting pondok. Bila dalam proses belajar mengajar dan layanannya tidak atau kurang mengarah ke situ, maka “tuah” mantra itu akan berbalik kepada pondok sendiri. Oleh karena itu, merumuskan tagline itu juga perlu ilmu dan pertimbangan yang matang, bukan asal keren untuk promosi, tetapi sangat jauh dari kenyataannya.

     Kekuatan bahasa tetap menjadi salah satu pilihan pondok untuk promosi. Inilah satu satu keahlian seorang copywriter. Pondok dikemas dalam satu frase atau klausa yang mampu membuat pembacanya “tersihir” dan terus mengingat susunan kata indah dan unik tersebut. Tetapi, sesakti-saktinya jargon, ia haruslah secara jujur mewakili kenyataan yang ada. Jadi, jargon itu bukan ruang untuk membual atau asbun, tetapi ekspresi dari kemampuan yang memang dimiliki oleh pondok bukan sebuah utopia. Dengan demikian, pondok juga tidak tersengal-sengal mewujudkannya karena memang tagline tersebut related dengan potensinya dan bukan mimpi kosong di siang bolong.

     Apa pun yang menjadi pencapaian PPDB kita tahun ini, semoga menjadi sarana introspeksi dan apresiasi. Betapa banyak pondok mempromosikan diri di kolam yang sama dan waktu bersamaan dengan program yang kurang lebih sama. Betapa banyak sebenarnya antarpondok terlibat persaingan dan perang dingin secara diam-diam. Yang menarik adalah pondok yang memang sudah punya captive market sehingga mereka cukup percaya diri dengan segmen pasar yang mereka miliki. Misalnya, pondok yang berbasis jaringan sekolah, ormas, atau kelompok tertentu. Biasanya stakeholder di pondok-pondok ini sangat loyal. Namun, pendidikan adalah sesuatu yang dinamis, termasuk segala kemungkinan dalam PPDB. Oleh karena itu, mari kita maintain stakeholder utama kita dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya agar mereka tetap setia setiap saat.

     Wallahu a’lam bi al-shawab.

 

       Depok, Mei 2024

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form