Layanan Cinta di Sekolah

    Sebagai organisasi atau lembaga yang menawarkan jasa, sekolah atau pesantren harus mampu memberikan service excellence. Saya menyederhanakan dengan sebutan layanan cinta. Mengapa cinta? Biasanya, cinta itu tidak pamrih, tulus, sepenuh hati, rela berkorban, dan senang melihat yang dicintainya bahagia. Oleh karena itu, wajarlah bila mereka yang enjoy berkiprah di bidang pendidikan adalah mereka yang berbakat developer, belief, dan responsibility.

    Setiap sekolah atau pesantren punya budaya organisasinya masing-masing. Apa yang menjadi unggulan di satu sekolah, belum tentu serta merta bisa menjadi keunggulan di sekolah lain. Apa yang efektif diterapkan di satu pesantren, belum tentu efektivitasnya sama bila diterapkan di pesantren yang lain. Mengapa begitu? Poinnya sangat gamblang. Tidak ada satu organisasi pun yang berangkat dari ide, niat, pendekatan, proses, dan metodologi yang sama. Aktor, lingkungan, dan konsep pembentuk budaya organisasi yang berbeda dan pada akhirnya melahirkan gaya kepemimpinan, pendekatan pengajaran, relasi dengan orang tua, prioritas program, strategi pemasaran, standar kelulusan, skema pembiayaan, dan aspek lain yang juga berbeda. Nah, tentang ini nanti kita bahas tersendiri.

     Namun, seberbeda apa pun satu sekolah dengan sekolah lain, satu pesantren dengan pesantren lain, ada satu aspek yang nampaknya tidak bisa ditawar-tawar dan akan selalu menjadi prioritas bersama: standar pelayanan prima, layanan cinta. Mari kita diskusikan serba sedikit.

Berkomunikasi dengan Hati

     Organisasi atau lembaga penyedia jasa itu core budayanya adalah pelayanan. KPI-nya adalah kepuasan pelanggan (stakeholder) dengan kesempurnaan layanan. Tentu makna kesempurnaan di sini adalah optimalisasi. Ini pasti akan sangat berkaitan dengan sejumlah faktor domestik yang dimaklumi bersama.

     Soal jasa, saya punya cerita cukup unik. Ketika kami melatih para aparatur negara (ASN) di Indragiri Hilir pada 2006-2009. Yang dilatih saat itu sejak dari para kepala dinas, kepala badan, seluruh camat, lurah, pegawai rumah sakit, sampai para kepala sekolah. Mereka yang dilatih adalah para aparatur sipil negara yang core pekerjaannya adalah pelayanan. Nah, ini cerita ketika kami melatih para pegawai RSUD di Tembilahan.

     Suatu ketika, Pak Bupati mendapatkan laporan kalau pelayanan RSUD kurang baik, tidak ramah, dan pada gilirannya membuat kurang nyaman pasien. Beliau pun akhirnya melakukan inspeksi diam-diam. Dari penyamaran itu, beliau memang mendapatkan fakta bahwa laporan-laporan masyarakat ada benarnya. Oleh karena itu, beliau pun akhirnya memberikan peringatan dan arahan. Saya masih ingat apa yang beliau sampaikan.

”Kalau orang berobat ke Penang, yang sakit jantung pun jadi seperti sakit flu biasa saja. Mengapa? Karena pelayanan. Para perawat di sana ramah dan menyenangkan. ‘Assalamuálaikum, Pak Cik. Apa kabar? Senang bertemu Pak Cik.’ Sapa perawat kepada pasien yang baru datang dengan senyum ramah dan gesture yang menenangkan. ‘Mari, Pak Cik sini. Kita timbang dulu, ya, Pak Cik. Pak Cik sehat, nih…besok juga pulang, nih.’ Berbeda sekali kalau orang berobat di RS kita. Yang flu atau pusing-pusing sedikit justru akan jadi sakit jantung karena mendapatkan pelayanan yang kurang ramah. Rasa dihargai dan diorangkan itulah yang membuat para pasien di sana merasa nyaman dan itu sangat membantu proses pengobatan mereka. Itulah makanya banyak masyarakat yang lebih senang berobat ke sana daripada ke RS kita di sini.”

     Dari kasus di atas, bila diambil hikmah oleh penyedia jasa pendidikan, tentu sangat related. Intinya adalah pelayanan. Lalu, apa yang nampak dari cerita pak bupati di atas? Aspek dominan apa yang dihadirkan oleh sosok perawat di Penang tersebut? Apa yang menjadi kekuatan rumah sakit itu sehingga banyak orang Indonesia (setidaknya di seputar Riau) lebih nyaman berobat ke sana daripada ke rumah sakit lokal? Betul. Faktor utamanya adalah komunikasi. Komunikasi yang menyentuh dan sepenuh hati. Berarti, tidak ada layanan cinta tanpa komunikasi efektif. Berarti, para penyelenggara jasa harus memiliki communicative competence yang baik.

     Awal mula sebuah layanan cinta adalah komunikasi sepenuh hati. Kompleksitas proses komunikasi memang menjadi sesuatu menarik dan menantang untuk para civitas akademika di sebuah sekolah atau pondok. Tantangannya bukan hanya soal knowledge (kognitif), tetapi juga emosional (afektif) dan skill (psikomotor). Untuk itulah pentingnya ruang berlatih dan saling mengingatkan. Mengapa? Karena tidak sedikit persoalan di sekolah atau pondok bermula dari kurang cerdas dan kurang piawainya sejumlah civitas akademika dalam berkomunikasi, baik pimpinan kepada staf dan guru-gurunya, maupun sebaliknya. Kualitas dan etika komunikasi yang kurang bagus juga terjadi antara keduanya kepada orang tua wali murid. Di titik ini, kita pasti sudah menyadari, bahwa keterampilan berkomunikasi bukan semata keterampilan menyusun kata menjadi kalimat, kalimat menjadi paragraf, dan paragraf menjadi wacana yang akan diujarkan, tetapi lebih kompleks daripada itu.  

Yang ingin dapat respek sebagai penyedia jasa yang baik, maka harus terus berupaya memperbaiki kualitas komunikasi (layanan). Mereka yang merasa besar atau pura-pura punya nama besar dan seakan-akan tidak membutuhkan murid, pasti lambat laun akan ditinggalkan dan dilupakan. Lalu, bagaimana wajah layanan di sekolah-sekolah kita hari ini? Mari kita diskusi sedikit.

Pertama, layanan cinta itu bukan privilege. Tidak boleh ada hak istimewa untuk individu atau kelompok. Semua civitas akademika harus berusaha sekuat tenaga agar marwah dan keindependensian sekolah atau pondok terjaga dengan baik. Salah satu caranya adalah dengan tidak bergantung sepenuhnya pada pihak-pihak yang berpotensi menurunkan sikap netral dan merongrong kemerdekaan dalam bertindak dan mengambil keputusan. Mengapa demikian? Karena, mereka yang terlanjur mendapatkan privilege pun sesungguhnya tidak akan mungkin mampu mencintai pondoknya sebagaimana mereka yang jatuh bangun bersama ketika berproses dalam suasana pondok dengan semua dinamikanya.

Kedua, layanan cinta itu bukan permisif. Menghadirkan kenyamanan tidak berarti membolehkan dan menerima semua cara berpikir, merasa, dan bertindak sesuai keinginan para murid (dan juga orang tua). Akomodatif boleh, tetapi tidak permisif. Pihak sekolah dan pondok harus punya prinsip dan kode etik yang wajib ditaati oleh semua penghuni pondok. Jangan mentang-mentang ingin menyenangkan murid (dan mungkin juga orang tuanya) apa yang diinginkan mereka harus semua dituruti. Bila katakanlah demi kenyamanan para buah hati mereka, para orang tua meminta atau bahkan menyediakan sejumlah perlengkapan kamar atau pondok yang sejatinya tidak sesuai dengan prinsip pendidikan yang disepakati, maka ketegasan dalam kelembutan harus tetap diperjuangkan. Keistiqomahan pada akhirnya akan bertemu dengan kepengertian yang melegakan dan menentramkan.

Ketiga, layanan cinta bukan area kompromi abu-abu. Ia harus lahir dari kelenturan terukur atas garis kesepakatan bersama yang terkodifikasi lewat semua aturan dan tata tertib. Dinamika dan pasang surut tentu ada dan juga harus diperhatikan agar kenyamanan hidup bersama di sekolah dan pondok terjaga dengan baik. Ruang kompromi abu-abu yang situasional dan personal sebaiknya dihindari, mulai dari yang kecil, sehingga pada waktunya nanti sejumlah orang yang ada di garis depan kepengasuhan tidak terjebak situasi pakeweuh dan rikuh atas permintaan seseorang yang sudah sangat dekat dan dikenalnya. Oleh karena itulah, sejumlah sekolah dan pondok menerapkan aturan yang ketat dalam hal menerima hadiah, bingkisan, atau bentuk ucapan terima kasih lain dari orang tua murid. Celakanya, bila yang menerima dan menganggap hal itu sesuatu yang biasa adalah pimpinan, maka situasinya akan menjadi rumit. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.

Keempat, layanan cinta itu bukan lips service. Ia juga bukan hanya sekadar konsep, narasi, atau janji marketing. Ia seharusnya adalah harmonisasi dari keselarasan antara ucapan dan tindakan, antara yang ditawarkan dan yang dihadirkan. Bila yang disampaikan kepada stakeholder berkesesuaian dengan apa yang mereka dapatkan, itulah kewajaran dan keharusan. Tetapi layanan cinta seharusnya lebih dari itu. Bila yang diperoleh para stakeholder itu lebih tinggi, lebih bagus, atau lebih memuaskan daripada ekspektasi mereka, itu baru layanan cinta. Berat? Mungkin untuk mereka yang tidak terbiasa melayani atau yang hanya terbiasa tebar janji. Tetapi itu akan menjadi sesuatu yang membahagiakan dan menyenangkan untuk mereka yang tulus dan ingin menjaga kehormatan dan marwah mereka sebagai pondok yang menjaga integritas. Layanan cinta seharusnya jadi buah bibir, bukan menjadi bahan untuk dicibir. Anda siap? Pasti Anda ingin menghadirkannya lebih dari sekadar cinta.

Mari kita bermuhasabah. Apakah selama ini kemampuan komunikasi kita masih menjadi salah satu kendala utama untuk bisa memberikan layanan cinta kepada para stakeholder sekolah atau pondok? Apakah selama ini layanan yang kita berikan adalah sebentuk cinta bersyarat? Apakah kita termasuk pribadi yang terlalu akomodatif dan gak enakkan apalagi bila berhadapan dengan orang tua wali murid yang banyak berjasa atau banyak memberikan bantuan untuk sekolah? Apakah dalam perjalanan sekolah atau pondok kita selama ini, ada praktik-praktik privilege yang tidak mampu kita tolak karena berbagai sebab? Apakah sebagai pimpinan atau civitas akademika kita terpaksa harus tutup mata terhadap sejumlah hal yang sejatinya tidak cocok dengan hati nurani atau akal sehat tetapi terpaksa harus terjadi karena sekolah atau pondok tidak punya bargaining position yang baik?

Target PPDB

     Satu hal yang pasti Anda sepakat: layanan cinta akan berpengaruh terhadap prestasi penerimaan peserta didik baru (PPDB) sebuah sekolah atau pondok. Layanan cinta berpengaruh terhadap level of satisfaction. Tingkat kepuasan yang dirasakan oleh para stakeholder dalam hal ini orang tua wali murid memungkinkan terjadinya  word of mouth marketing. Nah, inilah strategi marketing yang dahsyat karena yang memasarkan adalah mereka yang tingkat kepuasannya terpenuhi dan mereka ingin saudara, kenalan, kolega, dan orang-orang yang mereka kenal untuk juga bisa merasakan kebahagiaan seperti yang mereka rasakan.

Sebaliknya, bila orang tua wali murid pernah kecewa atau merasa tidak puas atas layanan yang diperolehnya, bisa jadi inilah awal mula tumbuhnya kesan kurang baik terhadap sekolah atau pondok. Kondisinya akan semakin rumit, bila ternyata yang merasakan ketidaknyamanan atas pelayanan yang kurang pas itu tidak hanya satu orang. Mereka dalam kondisi diliematis bila ingin merekomendasikan sekolah atau pondok tersebut kepada keluarga, saudara, kolega, atau tetangga. Mereka khawatir pihak yang direkomendasikan juga akan mengalami kekecewaan seperti yang pernah dialaminya. Bila sudah seperti ini, butuh waktu untuk menyembuhkan “luka” tersebut.

Oleh karena itu, mari kita diskusi. Pertama, bila setiap civitas akademika telah berusaha sekuat tenaga untuk menunaikan amanahnya masing-masing dengan sepenuh hati, maka perwujudan layanan cinta tinggal menunggu waktu. Mengapa? Kita pasti sepakat, tidak ada proses layanan yang melibatkan begitu banyak orang dengan latar belakang berbeda akan berjalan sempurna dalam waktu singkat seperti yang dibayangkan. Intensitas dan derajat keberhasilan tiap tahap layanan pun harus dikawal oleh pimpinan, bukan sebagai bos, tetapi sebagai mitra agar jarak antara pemahamannya tidak berbeda jauh dengan titik sukses yang dibayangkan mereka yang dipimpin. Ukuran terdokumen adalah standard operating procedure tiap bagian layanan dan KPI dari tiap anggota civitas akademika.

Kedua, layanan cinta adalah ekspresi budaya. Standar ramah dan sopan santun tiap daerah bisa jadi tidak selalu sama. Tetapi, senyum tulus, tatapan mata yang berbinar antusias, serta gesture yang trengginas hikmat pada mereka yang dilayani adalah bahasa universal keramahan. Apalagi bila yang bersangkutan piawai dalam memilih diksi, tempo, dan nada ketika berbicara akan menambah mereka yang diajak komunikasi nyaman atas semua penerimaan. Dengan demikian, tiap civitas akademika juga harus cerdas memahami adat kebiasaan yang lazim diterima dan dipraktikkan masyarakat setempat. Bila sekolah atau pondok punya kode etik yang sudah tersosialisasikan di awal pertemuan, tentu akan jauh lebih menarik.

Ketiga, layanan cinta adalah implementasi dari visi dan misi sekolah atau pondok. Sehebat apa pun konsep visi-misi sekolah, tetapi bila tidak mampu diterjemahkan menjadi tuntunan berpikir dan bertingkah laku, maka konstruksi itu gagal sebagai a set of knowledge dan a set of value yang wajib diketahui, dipahami, dan dijalankan oleh seluruh civitas akademika. Demikian pula halnya, bila pimpinan sudah mengajak para stafnya berlari tetapi para anak buahnya, jangankan berlari, bisa berjalan tanpa tertatih pun sudah bagus, maka gap itu perlu segera direduksi. Kesenjangan antara apa yang diinginkan pimpinan dengan apa yang dipahami bawahan sebaiknya tidak boleh terlalu lebar, terlalu sering, dan terlalu lama. Bila itu yang terjadi, maka gaya dan strategi kepemimpinan sudah perlu diubah demi kenyamanan dan keberhasilan bersama.  

Baca juga: Membentuk Budaya Pondok

Keempat, layanan cinta adalah keistiqomahan. Tingkat konsistensi adalah gambaran kematangan. Derajat keistiqomahan adalah implementasi kecerdasan. Mereka yang konsisten dan istiqomah adalah mereka yang sadar betul bahwa apa yang direncanakan dan dijalankan dengan sepenuh hati merupakan sesuatu yang lahir dari pemikiran dan perenungan yang dalam. Sesuatu yang hadir tanpa kontemplasi dan pemikiran mendalam biasanya seperti buih di lautan. Ini memang sesuatu yang sulit. Banyak orang tergoda untuk improvisasi. Improvisation is fine. Namun, bila wajah program dan layanan sering berubah-ubah, maka stakeholder akan bingung dan tidak bisa utuh meng-capture wajah pondok kita. Konsisten dalam program dan layanan justru memungkinkan pondok melakukan berbagai inovasi berkelanjutan. Inilah keindahan.

Kelima, layanan cinta adalah maintenance. Memelihara dan merawat adalah pancaran cinta. Mereka yang mengerti pentingnya memelihara adalah mereka yang menghargai upaya, waktu, dan tenaga ketika mendapatkannya. Memelihara hubungan baik dengan stakeholder adalah sesuatu yang wajib dilakukan pondok. Tentu di dalamnya ada kerendahhatian, kesabaran, dan kepedulian dengan segala dinamikanya. Pondok yang mengerti pentingnya membina hubungan baik dengan stakeholder, pasti akan mengembangkan strategi komunikasi yang konstruktif dan kolaboratif. Keterlibatan mereka dalam sejumlah program belajar dan pengayaan untuk para santri adalah buah dan berkah dari pola komunikasi yang telah dibangun. Di samping itu, pondok juga harus tetap berbesar hati menerima saran, masukan, bahkan kritikan mereka. Namun, tentu pondok harus tetap menjaga kesetaraan dalam semua prosesnya. Setiap pondok pasti punya cara dan strategi terjitu dalam memelihara dan merawat loyalitas para stakeholder-nya. Termasuk pondok Anda, kan

Bila kelima aspek di atas diperhatikan dengan penuh kesungguhan, maka evaluasi atas sejumlah hal yang belum terwujudkan akan lebih mudah dilakukan. Untuk itu diperlukan dialektika antara apa yang belum dikuasai oleh seluruh civitas akademika dengan apa yang diinginkan pimpinan harus bertemu di titik kebersamaan. Tentu kita tidak ingin berbagai improvement dan pelatihan diprogramkan dengan intensitas yang luar biasa tetapi belum (untuk tidak menyebut tidak) berkorelasi positif dan signifikan terhadap pencapaian PPDB yang diinginkan. Bila program sekolah telah bagus dan punya diferensiasi menarik dan SDM-nya pun berkompeten, tetapi belum mampu mendongkrak keberhasilan dalam PPDB, maka pasti ada sesuatu yang salah. Kesalahan itu bisa bersifat filosofis, tetapi bisa juga sangat teknis. Yang jelas, harus ada kesadaran bersama agar layanan cinta yang diinginkan pimpinan dan telah disepakati sebagai sebuah standar operating procedure mampu dipahami dan dilaksanakan oleh seluruh civitas akademika. Bukankah kita ingin mewujudkan kenyamanan yang mampu membangkitkan daya juang?

Wallahu a’lam bi al-shawab.

  

Depok, Maret 2024

 

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form