Kita Tak Pantas Miskin

    

Nenek moyangku orang pelaut
Gemar mengarung luas samudera
Menerjang ombak tiada takut
Menempuh badai sudah biasa
Angin bertiup layar terkembang
Ombak berdebur di tepi pantai
Pemuda berani bangkit sekarang
Ke laut kita beramai-ramai

Kita Tak Pantas Miskin

Menjadi perantau itu pilihan, sama halnya dengan mereka yang tetap bertahan di kampung halaman. Dalam konteks keindonesiaan, merantau untuk sejumlah kelompok etnis adalah panggilan tradisi dan tantangan menyenangkan. Sejarah Indonesia pun tidak dapat dilepaskan dari proses migrasi penduduk antarpulau, antarprovinsi, maupun antarkota. Fenomena kependudukan itulah yang menjadi salah satu entitas sosial dalam masyarakat Indonesia.

Dalam konteks ini, kita kenal istilah urbanisasi dan transmigrasi. Transmigrasi barangkali agak bernuansa politik. Urbanisasi, meskipun kurang akrab di telinga, sebetulnya banyak terjadi di masyarakat. Pergerakan seseorang dari dusun, ke kota kecamatan, lalu ke kota kabupaten, lalu ke ibukota provinsi, dan sampai ke ibukota Indonesia dipandang sebagai bagian dari pencapaian dan prestasi.

Sesungguhnya, apa makna merantau bagi nilai kemanusiaan kita? Tanpa kita sadari, daya adaptif kita akan teruji bila kita bertemu dan berada di tempat dan suasana baru. Lingkungan dan orang baru akan memberi peluang kepada kita untuk saling memberi dan menerima. 

Indonesia Negara Besar

Beberapa perjalanan saya ke pelbagai tempat di negeri ini memberi kesan sangat kuat dalam diri bahwa sejumlah kecil anak bangsa menyadari negerinya begitu besar dan kaya. Mereka bergegas meninggalkan tanah kelahiran untuk belajar, bekerja, dan mencari peruntungan dan menetap di satu titik di negeri ini. Tidak sedikit di antara mereka yang mesti boyongan dengan seluruh anggota keluarganya.

Ketika melakukan penelitian antropologi di Babo, Manokwari, Irian Jaya (Sekarang Papua Barat) pada 1997, saya berkenalan dengan Saharuddin. Lelaki asal Buton, Sulawesi Tenggara, yang mengadu nasib di Kampung Tolak, Kecamatan Babo, Manokwari. Ia tertarik merantau ke Kampung Tolak karena mendengar ada investor dari Jakarta yang membuka perkebunan sawit dan Departemen Transmigrasi yang akan membuka satuan permukiman (SP). Minimnya pemahaman penduduk lokal tentang seluk beluk pengadaan bahan-bahan pokok dan perlengkapan rumah tangga sehari-hari menjadi peluang untuknya. Ia dan istrinya rela meninggalkan kampung halaman untuk berdagang dan membuka toko di “kampung orang”. Mereka merintis dan membuka kios yang menjual rupa-rupa kebutuhan masyarakat sekitar.

Dengan ketekunan dan kesabaran, Saharuddin berhasil memiliki sebuah toko kelontong. Ia juga menjual berbagai macam pakaian jadi yang didatangkan dari Surabaya. Selisih harga yang cukup signifikan membuatnya tambah semangat menekuni usaha tersebut. Perlahan namun pasti, dari orang rantau yang tidak punya tempat berteduh, pada 1997 mereka akhirnya memiliki sejumlah aset dengan cara membeli rumah penduduk asli di daerah pesisir dan pedalaman.

Saharuddin punya strategi agar usahanya berjalan lancar. Misalnya, ia tak memberikan utangan kepada sebarang orang. Yang boleh berutang di kios “Semangat Baru” miliknya hanya mereka yang dikenal baik dan punya penghasilan tetap yang memadai. Selain itu, harus tunai. Sebagai pendatang, ia harus pandai-pandai mengatur itu semua agar kiosnya dapat terus menyediakan kebutuhan sehari-hari warga kampung Tolak.

Pelajaran yang dapat kita petik, pertama, peluang tidak hanya hadir di lingkungan terdekat, tetapi juga di ratusan bahkan ribuan kilometer dari tanah kelahiran kita. Menjadi perantau adalah pilihan sadar. Sejumlah keputusan strategis dalam hidup seorang perantau adalah keputusan untuk hidup seutuhnya.

Kedua, keberanian dan kesiapan untuk bekerja sama dengan siapa pun di tanah rantau. Tidak ada pilihan lain kecuali membuka diri. Di mana kaki berpijak, di situ langit dijunjung. Kearifan, kesabaran, dan ketegasan sangat dibutuhkan.

Ketiga, di mana ada kemauan, pasti di situ ada jalan. Bahkan, inovasi dan kreativitas akan hadir dalam intensitas. Kesungguhanlah yang akan menjadi pembeda, man jadda wa jada (siapa yang sungguh-sungguh, maka ia akan mendapatkan). Semangat untuk bertahan hidup di tanah asing menjadi energi dahsyat untuk melakukan dan mendapatkan yang terbaik.

Cerita sukses orang rantau adalah cerita menarik tentang bangsa besar ini. Sejumlah suku bangsa di Indonesia terkenal akan tradisi merantaunya yang kuat. Setidaknya, ada penyebutan BBM untuk suku bangsa yang senang merantau, yaitu Batak, Banjar, Bugis, dan Minang. Wajah dan suasana seperti itulah yang tercermin dari lagu “Pelaut” karya Ibu Sud  yang sering kita nyanyikan ketika kecil.

Kesadaran akan luasnya Indonesia dan dunia ini tidak serta merta dimaknai sebagai peluang oleh setiap orang. Berbagai hambatan psikologis dan geografis masih menjadi momok untuk mengkristalkan kesadaran tersebut menjadi sikap mental untuk siap hadir dan hidup di tempat berbeda. Apalagi untuk menjadi pioneer perubahan dan pembangunan di sejumlah titik wilayah yang memang sangat membutuhkan sentuhan perubahan.

Ada sejumlah hal yang membuat fenomena tersebut terjadi. Pertama, mental block. Program pikiran ini mendominasi otak bawah sadar yang menghambat keinginan untuk pergi jauh dari keluarga, tanah kelahiran, atau kota kesayangan. Program pikiran yang semula positif tentang kampung halaman tanpa kita sadari menjadi penghambat kemajuan. Dia menghalangi kita untuk dapat melihat kesempatan dan peluang “menjadi” di tempat lain.

Kedua, hambatan budaya (culture block). Tidak jelas benar apakah pepatah “mangan ora mangan sing penting kumpul” berpengaruh terhadap sikap mental sejumlah masyarakat kita dalam menyikapi peluang menjadi pioneer perubahan di sejumlah titik wilayah Indonesia. Yang jelas, tidak semua orang merasa nyaman untuk tinggal dan menetap di tempat baru yang jauh dari tempatnya dilahirkan atau tempatnya berbiak dalam keriuhan kota.

Keengganan itu justru menutup peluang untuk “menjadi” di titik berbeda atau bahkan terjauh dari posisi kita saat ini. Apakah ini melulu berhubungan dengan keberanian atau semata-mata berkaitan dengan tata nilai budaya? Yang jelas, hanya orang-orang yang beranilah yang dapat melihat dan memanfaatkan peluang lingkungan dengan mengikutsertakan dengan tegas potensi dasar yang dimilikinya. Bukankah mereka yang telah menurunkan layar dan bergegas menuju wilayah baru yang akan menemukan sesuatu yang baru dan menjanjikan? Ada proyeksi menarik di antara keberanian memutuskan untuk mencoba berbiak di tempat yang baru. Anda berani tantangan?

Indonesia Negara Kaya

Nusantara

kuharap kau tidak akan cemburu, melihat hidupku
hidupku bebas selalu kawanku, tiada yang memburu oh
di Nusantara yang indah rumahku, kamu harus tahu
tanah permata tak kenal kecewa di khatulistiwa
hutannya lebat seperti rambutku
gunungnya tinggi seperti hatiku
lautnya luas seperti jiwaku
alamnya ramah seperti senyumku

(Koes Plus, 1972)

Sejak dulu, Indonesia yang dikenal sebagai jamrud khatulistiwa adalah negara kaya  sumber daya alam (SDA). Jadi wajar, bila dikatakan sesungguhnya kita ini adalah bangsa yang beruntung.

Sejumlah literatur menyebutkan, SDA Indonesia terbentuk karena sejumlah faktor. Pertama, secara astronomis, Indonesia terletak di daerah tropis dengan curah hujan tinggi yang menyebabkan aneka ragam jenis tumbuhan dapa tumbuh subur. Kedua, secara geologis, Indonesia terletak pada pertemuan jalur pergerakan lempeng tektonik dan pengunungan muda yang menyebabkan terbentuknya berbagai macam sumber daya mineral. Ketiga, laut Indonesia mengandung berbagai macam sumber daya nabati, hewani, dan mineral.

Bukankah semua  itu membuktikan bahwa negeri ini dilimpahi nikmat yang tiada tara oleh Allah SWT? Untuk itu, tidak ada cara lain kecuali mensyukurinya dengan cara memanfaatkannya dengan bijak untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.  Allah menegaskan, Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, manusia itu sangat dzalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah) (QS. Ibrahim [14]: 34).

Tanpa ingin terbuai romantisme masa lalu, penting untuk kembali diungkap sekadar mengingatkan kembali betapa gugusan pulau di sepanjang  LU - 11°08'LS dan dari 95°'BT - 141°45'BT adalah gugusan pulau yang kaya. Dalam sejumlah naskah kuno, inilah yang pernah tercantum dan menjadi pengetahuan dunia tentang Indonesia:

  1. Sumatera dalam bahasa Sansekerta dikenal sebagai Suwarnadwipa (“pulau emas”) atau Suwarnabhumi (“tanah emas”).
  2. Jawa dikenal dengan nama JawaDwipa ("Pulau Padi").
  3. Kepulauan Sunda Kecil (Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, dan Timor) sejak abad VIII dikenal sebagai daerah wisata karena keindahan alamnya yang menakjubkan.
  4. Kalimantan dikenal sebagai Warunadwipa (Pulau Dewa Laut). Inilah salah satu lumbung energi: batubara, minyak, gas, gambut, uranium, dan geothermal.
  5. Sulawesi konon berasal dari kata ‘Sula’ yang berarti pulau dan ‘besi’. Sulawesi sejak dahulu adalah penghasil besi.
  6. Maluku (Jazirah al-Mulk) dikenal sebagai the three golden from the east, yaitu Ternate, Banda, dan Ambon. Dahulu, ‘the spices island’ tersebut adalah penghasil rempah-rempah seperti cengkeh dan pala.
  7. Papua (isla del oro atau pulau emas) adalah pulau terbesar kedua di dunia. Kandungan tembaga, emas, dan hasil tambang lainnya disebut-sebut sebagai yang terbesar di dunia. Papua memang surga kecil yang jatuh ke bumi.


Memperhatikan ini semua, kita semakin menyadari betapa Rahmat dan kasih sayang Allah kepada bangsa Indonesia tidak dapat kita nafikan. Allah berfirman, tidakkah kamu memperhatikan bahwa Allah telah menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untuk (kepentingan)mu dan menyempurnakan nikmat-Nya untukmu lahir dan batin. (QS. Lukman  [31]: 20)

Pertanyaannya, mengapa Indonesia yang begitu luas dan kaya masih ada 25,90 juta orang yang miskin? Garis kemiskinan pada Maret 2023 tercatat sebesar Rp550.458,00/kapita/bulan. Mereka yang konsumsinya di bawah itu termasuk berada di bawah garis kemiskinan. Miskin saja belum. Mereka masih harus berjuang untuk mendapatkan status miskin. Angka yang dirilis BPS tersebut adalah per Maret 2023. Setahun yang lalu. Jangan-jangan tahun ini kembali meroket karena kondisi ekonomi kita memang nampaknya belum membaik. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran. Aamiin.

Wallahu a’lam bi al-shawab.

Depok, Juni 2024

 

 

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form