Tak berapa lama
kemudian, muncul sepasang kupu-kupu dari dalam makam itu. Kedua kupu-kupu itu
terbang indah dan memperlihatkan kemesraan yang memesona, seperti San Pek dan
Eng Tay ketika masih bersama dulu. Rombongan pengiring pun makin takjub, karena
kemudian kedua kupu-kupu itu terbang bebas di angkasa dan tidak pernah terpisah
untuk selamanya.
Itulah cuplikan cerita San Pek Eng Tay. Di cuplikan itu tokohnya adalah sepasang kupu-kupu. Anda pasti senang melihat kupu-kupu yang indah terbang di antara bunga-bunga yang bermekaran. Kata seorang teman, jangan kaukejar kupu-kupu karena ia akan terbang tinggi meninggalkanmu. Tetapi, buatlah taman yang indah, niscaya kupu-kupu akan datang.
Memasak
Telur Mata Sapi
Ini fase menarik. Kelas
disuguhi sebuah simulasi sederhana tetapi seru. Peserta kembali bekerja dalam
kelompok. Kali ini tantangannya sangat sederhana: dalam satu putaran lagu,
mereka harus mendaftarkan semua bahan dan alat yang dipergunakan dalam
pembuatan telur mata sapi, dan menuliskan cara memasaknya.
Ketenangan pun pecah.
Suasana berganti menjadi hiruk pikuk dalam gumam tertahan karena dalam satu
putaran lagu yang tidak lebih dari 3,45 menit tiap kelompok harus menyelesaikan
tugasnya. Ada yang terburu-buru; ada yang terpaksa terlibat diskusi. Yang
pasti, semua berusaha mengembalikan kertas plano buram yang telah mereka tulis
kepada mentornya masing-masing. Akhirnya, presentasi kelompok siap dimulai.
Tiap kelompok pasang
kuda-kuda. Mereka berusaha menampilkan presentasi menarik dengan presenter yang
tak kalah atraktif. Tiba-tiba urusan memasak telur mata sapi menjadi sedemikian
hebohnya karena setiap langkah harus detail, runtun, dan tertulis sebelum
dipresentasikan. Kelompok yang meremehkan soal ini pasti akan keteteran
menanggapi sejumlah komentar, pertanyaan, dan sanggahan. Mereka umumnya bisa
menyebutkan dengan runtun, tetapi luput menuliskannya sebagai langkah-langkah
memasak. Padahal, yang diinginkan adalah semua langkah harus tertulis dan
itulah yang dipraktikkan dengan runtun. Maka, tidak aneh jika suasana menjadi
ramai oleh saling lempar pertanyaan, jawaban, sanggahan, kritikan, dan pujian
dari para peserta di setiap kelompok.
Drama di atas menarik
direnungkan. Memasak telur mata sapi yang untuk sejumlah peserta merupakan
sebuah aktivitas biasa atau bahkan sangat biasa hari itu tiba-tiba menjadi
sesuatu yang sangat menarik sekaligus rumit. Sejumlah hal yang dianggap mapan
dipertanyakan. Sejumlah hal yang dulu dianggap sebagai informasi yang taken
for granted hari itu ramai-ramai digugat. Kebiasaan lama yang dianggap
sebuah kebenaran dan kewajaran hari itu menjadi sangat relatif. Ruang dialog
pun terbuka dan menjadi sangat menarik.
Barangkali Anda tidak
percaya, dalam sesi itu mulai dipertanyakan sejumlah hal dari aspek bahan dan
alat, cara memasak, dan aspek bahasa. Sebuah pertanyaan yang umum tentang
bahan, biasanya berkisar seputar, mengapa telur yang disiapkan selalu telur
ayam, kalau telur bebek bagaimana? Apakah ada bedanya? Lebih baik, enak, dan
sehat mana, menggoreng dengan minyak goreng atau dengan mentega? Mengapa
demikian? Apakah perlu menggunakan garam beryodium?
Cara memasak pun tak
luput dari komentar dan pertanyaan serta gugatan. Apa perbedaan telur mata sapi
yang matang dengan cipratan minyak panas dengan yang dibalik? Apakah betul
memasak telur mata sapi itu tidak perlu dibalik? Lalu, kalau ada kelompok yang
ingin membaliknya, apakah hal itu salah dan tidak dapat dikatakan telur mata
sapi? Apakah ada ukuran yang tepat dan tegas untuk ungkapan
"secukupnya" untuk minyak dan garam? Kalau tidak ada, bagaimana
caranya menerangkannya kepada orang yang belum pernah memasak telur mata sapi
sebelumnya? Bagaimana ukuran matang untuk telur mata sapi ini? Apakah kita
harus berhati-hati sekali dalam memecahkan dan menuangkan telur ke atas
penggorengan agar kuning telur tidak pecah dan rusak? Apakah bila rusak atau pecah
tidak dapat disebut telur mata sapi?
Gugatan dan kritik
lainnya, misalnya, berkenaan dengan isu hemat energi: sebaiknya, menyalakan
kompor dahulu sebelum meletakkan penggorengan atau meletakkan dahulu
penggorengan (wajan) di atas tungku, menuangkan minyak goreng secukupnya ke
wajan, dan menyalakan kompor? Selanjutnya, mengapa tidak ada kelompok yang
menuliskan "mematikan kompor" setelah selesai memasak telur mata sapi
pada lembar kerja mereka?
Pelbagai hal menjadi
mungkin dalam setiap kelompok. Tiba- tiba setiap orang tergerak untuk berpikir
detail, runtun, dan holistik. Tidak soal apakah itu adalah kebiasaannya
sehari-hari atau atau bukan. Pada saat simulasi dan presentasi, seluruh potensi
maksimal dalam memasak telur mata sapi yang baik, menarik, higienis, inovatif,
dan sehat, sangat kentara. Pelbagai ide bertemu dengan sejumlah kondisi
praktis. Sejumlah wacana normatif yang cenderung kaku dan template kini harus
bersanding dengan sikap dan kondisi pragmatis. Ini sangat bagus untuk proses
berpikir dan penerapannya.
Tiga
Pelajaran Bermakna
Setidaknya, ada tiga
pelajaran bermakna dari simulasi di atas. Pertama, sesederhana
apa pun sebuah pekerjaan, pasti membutuhkan proses. Sesi ini tanpa disadari
menawarkan pengalaman untuk memaknai setiap langkah dalam sebuah aktivitas.
Aktivitas sesederhana apa pun akan memberikan pengalaman yang sama: tidak ada
yang simsalabim abrakadabra atau instan di dunia ini. Semua ada prosesnya, ada
alur terjadinya. Memasak telur mata sapi yang lazim dibuat orang saja butuh
proses yang demikian banyak apalagi untuk mewujudkan fokus kita untuk menjadi
wartawan, diplomat, guru besar, menteri, pengusaha kakao, auditor, chef,
designer, psikolog, trainer, akuntan publik, advokat, aktor, dan lain-lain.
Tentu prosesnya lebih kompleks dan panjang serta tak bisa instan.
Runtunan aktivitas dari
tahap awal sampai akhir memperlihatkan seberapa concern kita terhadap hal
tersebut; seberapa besar kita menguasai aktivitas tersebut; seberapa besar
minat kita untuk terus belajar di bidang tersebut. Bila runtunan dan
kelengkapan tahapan sudah tidak bermasalah, yang perlu diper- hatikan
selanjutnya adalah kualitas. Bagaimana kita menjaga dan meningkatkan kualitas
setiap tahapan yang kita lakukan? Hasil memuaskan seperti apa yang ingin kita
selesaikan di tiap tahap- an tersebut?
Kedua,
banyak cara untuk mencapai tujuan. Hal ini sudah terasa manakala satu persatu
kelompok mempresentasikan hasil kerjanya. Setiap kelompok tampil dengan
pendekatan dan caranya sendiri-sendiri. Mereka sangat bersemangat untuk menampilkan
sesuatu yang berbeda.
Ini sama dengan seorang
sarjana Indonesia yang melanjutkan kuliah ke luar negeri dengan sejumlah cara:
mengakses beasiswa, menabung dari hasil kerja sambilannya, memenangkan salah
satu lomba riset dari salah satu perguruan tinggi di luar negeri, atau sambil
menjadi guru bahasa Indonesia di luar negeri. Seorang pegawai dapat
meningkatkan performa kerjanya dengan pelbagai cara: meningkatkan kemahiran
berbahasa asing, mengikuti kursus di bidang khusus tugasnya, mempelajari rekam
jejak sejumlah senior terbaik, atau melanjutkan kuliah di bidang yang relevan
dengan tugas pokoknya.
Ketiga,
untuk melakukan sesuatu perlu langkah-langkah gradual dan tidak bisa saling
tindih. Kondisi ini mensyaratkan kepada kita untuk secara tertib menyelesaikan
setiap tahapan perjalanan dengan hasil terbaik. Jalur zig zag apalagi semau gue
pasti tidak ada gunanya bahkan mungkin saja justru akan semakin membuat sulit
mencapai sesuatu. Lompatan (kuantum) yang dimaklumi pun adalah lompatan
terencana bukan lompatan sembarangan tanpa perhitungan.
Graduasi pada hakikatnya
merupakan penghargaan terhadap kesiapan. Pengalaman mental dan keterampilan
hanya akan menjadi sesuatu yang berharga dan membentuk bangunan utuh bila ada
dalam sebuah graduasi wajar. Penguasaan dari hal paling sederhana, meningkat
pada langkah-langkah terbaik dengan tingkat kesulitan menengah, sampai tingkat
tertinggi dengan bangunan pengetahuan serta keterampilan yang lebih kompleks,
merupakan satu garis lurus. Ini hal wajar. Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi
bukit. Graduasi yang sama kita lihat pada skema pendidikan: TK, SD, SMP, SMA,
dan Perguruan Tinggi. Kalau pun ada kuantum di situ, tidak akan melampaui
batasan skema tadi. Sistem akselerasi, misalnya.
Berproses adalah menikmati perjalanan perkembangan mental kita di setiap inci waktu dalam rangkaian sejumlah aktivitas berjenjang dan bertahap. Akumulasi pelbagai pencapaian dalam tahapan-tahapan perjalanan kita akan menjadi sarana untuk melakukan yang terbaik dalam menyelesaikan satu pekerjaan. Dengan sikap mental seperti ini, sejumlah kesulitan dalam proses adalah pintu-pintu hikmah untuk mencapai tujuan yang telah kita tetapkan. Mari kita nikmati setiap proses dalam mewujudkan apa pun mimpi terbaik kita. Jadi, ayo kita berproses, Kawan!
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Depok,
Juni 2024