"Wah, kopinya pahit, ya?"
"Iya, Ustadz. Ini untuk keseimbangan..."
"Keseimbangan apa?"
"Karena hidup kami sudah manis, Ustadz..."
"Ha ha ha...gitu, ya..?"
Begitu dialog pendek
antara pembina Yayasan dengan sejumlah pengurus DKM dalam kehangatan Majelis
Kopi di Masjid Al-Ikhlash, Depok Maharaja. Acara rutin yang biasa dilakukan
pekanan di Sabtu pagi itu sesungguhnya wadah strategis untuk membicarakan
berbagai kebijakan dan program DKM, baik yang sudah sebagai evaluasi maupun
yang belum sebagai proyeksi. Bukankah menyenangkan membicarakan agenda keumatan
sambil menikmati kopi hangat dengan sejumlah penganan?
Apakah di pondok Anda ada juga tradisi Majelis Kopi? Mengapa majelis kopi penting diadakan? Siapa saja yang biasanya hadir di sana? Topik apa yang biasanya jadi bahan pembicaraan hangat di antara yang hadir? Kapan dan di mana biasanya majelis kopi itu diselenggarakan? Lalu, apakah dampak positif bagi organisasi dan kemajuan pondok?
Peristiwa
Budaya
Tradisi minum kopi
adalah tradisi lama masyarakat Indonesia. Tidak ada yang spesial dengan minum
kopi, karena semua kalangan punya caranya sendiri dalam menikmati minuman dari
biji kopi yang telah di tanam berapa ratus tahun di seluruh wilayah Indonesia.
Namun, sejak satu dekade terakhir, minum kopi tidak lagi menjadi sederhana.
Minum kopi sebagai aktivitas biasa mengalami kapitalisasi dan imajinasi yang
sangat menarik. Tiba-tiba orang dibangunkan oleh kesadaran sehatnya minum kopi
pahit, tanpa gula. Orang kini lebih senang kopi yang digiling daripada yang
digunting (sachet). Tiba-tiba ngopi menjadi penanda kelas karena
kopi giling yang menghasilkan minuman kopi asli itu umumnya tidak murah. Yang
bisa menikmatinya adalah mereka yang tahu bagaimana caranya menjadi manusia
pecinta kopi sejati. Minum kopi akhirnya menjadi simbol status.
Majelis Kopi muncul dari
fenomena itu. Kumpul bersama menikmati proses menggiling biji kopi menjadi
bubuk; Menimbang bubuk yang akan diseduh; Memanaskan air putih dalam gooseneck
kettle (ketel leher angsa) di kompor listrik portable; Bubuk kopi yang
telah ditimbang tadi dituangkan di filter kopi (kertas saring), seperti V60
atau wave filter; Menuangkan air dari ketel ke kopi yang sudah ada di filter dengan
teknik tuang tertentu. Secangkir kopi manual brew pun siap dinikmati.
Lalu, apa relasi antara Majelis
Kopi dan pondok? Mari kita diskusi. Pertama, majelis kopi adalah sarana
silaturahim yang unik apalagi bila diadakan di serambi masjid ba’da Ashar. Bayangkan
bila direktur atau mudir beserta sejumlah pimpinan pondok hadir. Mereka bukan
mau rapat, tetapi minum kopi sore itu dengan sejumlah pembicaraan ringan tapi bermakna.
Membicarakan perihal kopi Gayo Wine yang sore itu akan disajikan, misalnya. Kopi
arabika dari dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah itu memang sangat terkenal dengan
aroma, perisa yang kompleks, dan kekentalan yang kuat. Sambil memperhatikan
bagaimana kopi disiapkan hingga menikmati tegukan khas Gayo Wine akan membuat
suasana akrab tanpa sekat itu menjadi pertemuan sangat hangat.
Aktivitas manual brew
seperti itu memungkinkan kita untuk saling melayani. Misalnya, di pertemuan
bulan ini yang meracik kadiv SDM dan kadiv keuangan. Pengalaman menjadi peracik
kopi akan memberikan sensasi pelayanan yang tidak biasa. Apalagi, memperhatikan
ekspresi mereka yang baru pertama kali minum kopi tanpa gula dengan tegukan
ragu-ragu tapi mau juga sudah pasti seru. Selain itu, kita bisa saling menyemangati
antarpribadi dengan pencapaian dan sejumlah agenda: mau menikah, kuliah, atau
seputar prestasi-prestasi unik para santri mereka, termasuk mensyukuri
keberhasilan PPDB tahun ini yang sukses besar dan rencana pembangunan ruang
serba guna yang di akhir tahun ajaran dapat digunakan untuk wisuda sehingga
tidak perlu menyewa lagi di tempat lain. Suasana akrab yang terbangun dari majelis
kopi ini insya Allah lebih mengena daripada meeting rutin yang biasanya tidak
berhasil menyentuh sisi-sisi kemanusiaan kita sebagai sesama saudara satu
organisasi. Bukankah ini menjadi modal menarik untuk meningkatkan kinerja?
Kedua,
sarana meeting strategis. Labelnya sangat serius: strategis. Isi
pembicaraan tentang apa dan bagaimana proyeksi pondok dua sampai lima tahun ke
depan. Pasti membutuhkan konsentrasi tinggi dan tak jarang sampai membuat dahi
berkerut-kerut saking kompleksnya topik yang dibicarakan. Tetapi, pernahkan
Anda bayangkan suasana pembicaraan itu ditimpali racikan nikmat kopi Bajawa dari
Ngada, Flores, yang berasa nutty atau kacang-kacangan serta caramel?
Teksturnya yang kental dengan sensasi sedikit asam tetapi masih aman di lambung
itu akan membuat aktivitas berpikir keras menjadi lebih fresh dan nyaman. Aroma
kopi Bajawa akan menstimulus indra penciuman hingga memberikan rasa relax dan
nyaman, cocok untuk penyeimbang aktivitas berpikir yang sedang kita lakukan.
Ketiga,
general practices. Majelis kopi dapat menjadi salah satu alternatif ritual
tempat kita berbagi cerita tentang luhurnya cita-cita pendiri pondok dan para
pendahulu lainnya dalam upaya menguatkan budaya organisasi pondok kita. Ketika sejumlah
sekat komunikasi mampu kita bongkar, maka para asatidz punya PR yang cukup
menarik: bagaimana mengembangkan keterampilan komunikasi organisasi yang sehat
dan konstruktif. Suasana egaliter yang terbangun dalam majelis kopi bisa
menjadi modal dan model, tetapi tentu harus kontekstual.
Keempat,
majelis kopi dapat menjadi salah satu alternatif untuk menjamu tamu. Misalnya
ada rombongan tamu dari pondok lain. Selepas Ashar, kita bisa menjamu mereka dengan
pisang dan singkong rebus serta menikmati racikan kopi Mandailing khas Pegunungan
Bukit Barisan yang kekentalannya bagus, keasamannya medium, punya rasa floral
dengan akhir rasa yang manis atau kopi Toraja dan Kintamani yang kaya akan rasa
buah yang khas. Berbincang dan berdiskusi akan semakin akrab sambil mencium aroma
kopi Toraja yang sangat khas dan harum. Sensori penciuman pada satu titik
tertentu diyakini bisa membuat kita lebih relax, seperti mencium wewangian dari
aroma terapi. Mencium aroma kopi Toraja terseduh tentu akan menjadi sebuah
pengalaman inderawi yang menenangkan, bukan?
Proses
Menjadi
Manual brew
sebagai sebuah proses adalah upacara sakral para barista. Di titik itu bukan hanya
ketepatan dan kecepatan yang dibutuhkan sebagai keterampilan, tetapi juga kecermatan
dan ketajaman rasa. Seorang barista dengan jam terbang tinggi dan menikmati
pekerjaannya akan mampu cerita betapa meracik kopi bukanlah sebuah pengalaman tunggal
dan berulang, tetapi sebuah penjelajahan rasa, aroma, dan estetika yang
bermuara pada kepuasan customer akan hasil racikannya. Meracik sejumlah biji
kopi menjadi sajian secangkir kopi nikmat yang siap dinikmati adalah ungkapan
dari sebuah rasa, cinta.
Sebagai sebuah proses,
ini akan memberikan kita sejumlah nilai menarik. Pertama, meracik
kopi itu bicara takaran. Seorang kawan mengatakan, rasio kopi idealnya adalah
1:17, padahal Specialty Coffee Association of America (SCAA) mengatakan Coffee
to Water Ratio (rasio kopi) ideal adalah 1:18 atau setiap 1 unit kopi harus
diseduh dengan 18 unit air. Itu artinya, setiap orang punya takarannya sendiri
untuk bisa menikmati kopi. Di luar sana, banyak pula yang rasio idealnya 1:13,
1:15, atau 1:16. Selera berbicara. Demikian pula konsep air panas untuk
menyeduh. Para barista tidak akan memanaskan air sampai 100℃ tetapi biasanya cukup 90℃ untuk
menghasilkan rasa kopi yang nikmat.
Dalam konteks pondok, seorang asatidz harus
memperhatikan kadar, takaran, dan ramuan yang pas dalam mengajar agar dapat
diterima oleh para santri dengan nyaman. Di samping itu, para asatidz juga
harus lebih menyadari, bahwa setiap santri punya kadar kesabaran, kegigihan, daya
tangkap, kekuatan menghafal, dan daya adaptasinya masing-masing. Dengan
demikian, maka treatment dan handling yang diberikan kepada
setiap santri harus berbeda sesuai kadar dan takarannya. Sejumlah informasi
penting ini idealnya dimiliki oleh semua walikelas dan kemudian diolah menjadi informasi
berharga untuk seluruh guru agar mereka dapat memperlakukan secara personal
setiap peserta didik. Meskipun klasikal, setiap guru pasti punya cara
tersendiri untuk memberikan penguatan pada sejumlah santri bila diperlukan.
Kedua, setidaknya ada
delapan teknik yang biasa diterapkan dalam manual brew: french press,
tubruk, V60, chemex, aeropress, cold brew, vietnam drip, dan syphon.
Masing-masing teknik mensyaratkan alat, bahan, dan cara yang unik untuk
mendapatkan kualitas seduhan kopi bercita rasa tersendiri. Seorang barista yang
baik tentu akan memilih teknik yang tepat untuk jenis kopi tertentu. Informasi tentang
di mana kopi itu ditanam, umur, dan level roastingnya (light, medium, dan dark
roast). Seorang roaster harus jeli kapan biji kopi siap dikeluarkan
dari mesin dengan memperhatikan perubahan warna, suhu, dan aroma biji kopi
untuk mencapai hasil yang sempurna. Dark roast warnanya paling
gelap dan biasanya berminyak, sementara light roast coklat muda
kekuningan dan paling terang. Karakter biji kopi yang terbentuk dari tiga aspek
tersebut akan bertemu dengan teknik seduh yang tepat akan menghasilkan seduhan kopi
yang terbaik. V60, misalnya, lebih cocok untuk kopi light dan medium
roast, tetapi tidak kurang cocok untuk dark roast.
Dalam konteks pengajaran, setiap guru
harus mengembangkan metodologi pengajaran dengan baik. Tidak ada satu metode yang
cocok untuk semua materi. Guru yang cerdas adalah mereka yang tidak pernah
berhenti untuk terus mencari ramuan yang paling tepat agar proses pengajaran
yang diberikannya efektif. Dengan demikian, proses pengembangan metodologi
pengajaran harus terus berlangsung sesuai dengan tuntutan zaman. Para santri yang
belajar hari ini adalah generasi terbaru dari umat manusia. Oleh karena itu,
seorang guru harus terus berinovasi dan berkolaborasi dengan banyak sumber agar
kehadirannya di kelas, tidak menjadi fosil atau kehilangan perhatian.
Ketiga, setiap jenis
kopi sesungguhnya punya karakter berbeda karena mereka berasal dari wilayah dengan
jenis tanah, suhu, kadar air, dan ketinggian tempat tumbuh yang tidak sama. Kopi
memang terkenal sebagai tumbuhan yang subur di daerah dataran tinggi. Tetapi
perbedaan dataran tinggi di mana kopi tersebut tumbuh juga berbeda unsur hara
tanahnya tentu memberikan nuansa perbedaan rasa pada biji kopi yang dihasilkan.
Jadi, jenis roasting dan metode manual brew yang tepat akan mampu menghasilkan
seduhan kopi yang khas.
Dalam konteks pendidikan, setiap
asatidz harus menyadari bahwa para santri berasal dari keluarga, kelompok suku
bangsa, status sosial, dan afiliasi organisasi
yang tidak sama. Oleh karena itulah, agar proses pembelajaran dan pendidikan di
pondok dapat berlangsung dengan optimal, maka pondok dan asatidz harus memiliki
pengetahuan dan pemahaman yang komprehensif tentang semua nuansa perbedaan
tersebut. Ini bukan semata-mata soal primordialisme, tetapi pemahaman atas
perbedaan kelompok suku bangsa tetap harus diperhatikan dengan cermat sebagai khasanah
kekayaan bangsa kita. Begitu pula karakter setiap anak juga berbeda. Dengan demikian,
maka setiap perkembangan seorang santri akan banyak dipengaruhi oleh cara
pandang dan kekayaan hati guru mereka.
Akhirnya, majelis kopi dalam masyarakat menengah perkotaan telah menjadi salah satu peristiwa budaya yang di dalamnya bertemu sejumlah nilai kearifan dalam menikmati kekayaan alam kita. Pada gilirannya, menikmati kopi tidak lagi menjadi sesederhana yang dibayangkan. Ia telah bertransformasi menjadi sebuah upacara baru dalam kehidupan masyarakat perkotaan. Deru derap masyarakat kota adalah gambaran nyata kekentalan dan aroma kopi. Kopi telah menjelma menjadi kehidupan itu sendiri dengan segala dinamikanya. Selamat bermajelis kopi, Sahabat!
Menikmati Java Preanger dan Atu
Lintang sambil memandang langit Jakarta yang mulai digulung gelap. Satu helai
usia pun selesai...
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Depok, Juni 2024