Cerdas atau culas bermula dari kelas, begitu judul sebuah pengantar penyadur pada buku Cerdas di Kelas Sekolah Kepribadian (John P. Miller, 2002). Secara tersirat memberi kabar kepada kita semua, kelas sangat penting dalam proses pembelajaran di sekolah, kampus, dan tempat pelatihan. Kelas menjadi sentral setelah guru dan siswa. Inilah ruang tempat terjadinya dialektika antar berbagai individu dengan segala kepentingan dan maksudnya.
Menurut Miller (2002) proses sosial dan ruang kelas itu ditentukan oleh sikap guru, fasilator pelatihan, orang tua,dan atau pengelola lembaga pendidikan. Proses ini dimulai ketika si anak memasuki atau dimasukkan ke lembaga pendidikan. Seringkali, pembagian kelas ini tidak didasari suatu rancangan sosial. Namun, hal ini “memaksa” si anak mulai memahami orang lain, dan bagaimana posisi dan peran yang harus mereka mainkan. Dari sini proses demokratisasi dan pemanusiawian manusia dalam kehidupan sosial lebih luas atau kenegaraan itu berlangsung.
Sadar Ruang
Ada sejumlah catatan menarik
tentang ruang kelas. Pertama, ruang kelas adalah ruang imajiner
dalam kesadaran penggunanya. Ruang berbatas dinding yang memang khusus
disediakan layaknya yang ada di sekolah, tak selamanya ada dan berterima. Ruang
kelas untuk para pelajar di sejumlah tempat di Papua tidak berdinding. Mengapa?
Karena satu ruangan kayu dan pelepah sagu untuk dua kelas. Kelas dan papan
tulis pun untuk berdua.
Ruang kelas unik ini kerap saya
kunjungi dalam rangka penelitian saya di Perkebunan Varita, Tofoi, Babo,
Manokwari, Irian Jaya (Saat itu—1997—Manokwari masih menjadi salah satu kabupaten
dari Provinsi Irian Jaya). Sekolah yang dikelola oleh sebuah Yayasan Katholik
itu berdinding papan dan beratapkan seng. Sekolah itu hanya punya tiga
ruangan yang berfungsi menjadi enam ruang kelas. Satu ruangan digunakan untuk
dua kelas dengan satu papan tulis. Kelas tiga dan empat, misalnya, bersama-sama
menempati satu ruang. Itu pun hanya ditemani seorang guru, yang
pada Kamis sampai Sabtu pergi mencari ikan atau berburu. Itu artinya sekolah
libur. Keberadaan dan kondisi ruang kelas berkorelasi dengan ketersediaan guru
atau sebaliknya. Itulah kondisi terbaik saat itu di Tofoi, Babo,
Manokwari.
Kedua, ruang kelas adalah ruang
kesepakatan. Pada awal 2002, saya melatih kader-kader penggerak
pembangunan pertanian di Kalibening, sebuah kecamatan yang berjarak sekitar 26 Km dari
ibukota Kabupaten Banjarnegara. Ruang itu berukuran kira-kira 4 x 6 meter dengan
sejumlah meja dan kursi kayu dengan dua buah lemari di dua pojok depan. Ada dua
daun jendela yang dapat terbuka lebar di dinding kanan. Sebagian temboknya
sudah mengelupas, sehingga cat abu-abunya sudah tidak rata dan mulai memudar.
Penerangannya dengan dua bola lampu yang mulai redup. Tidak ada proyektor
dan layar. Yang ada hanya papan tulis berkaki tiga yang sudah tidak lagi hitam
dengan sejumlah kapur. Di ruang itulah tidak kurang 20 orang petani penggerak
itu belajar.
Ketiga, ruang kelas adalah ruang yang unik.
Itu kami temui ketika kami melatih para penerima beasiswa LPDP Angkatan ke-2
pada Juli 2013. Tempat yang dijadikan ruang kelas adalah Geladak Helly KRI
Banda Aceh-593 yang tengah sandar di Dermaga Kolinlamil, Tanjung Priok, Jakarta
Utara. Kapal Perang Republik Indonesia bertipe Landing Platform Dock buatan PT PAL dan mulai beroperasi Maret 2011
itu memang kerap digunakan untuk sejumlah acara, termasuk sholat Jumát. Ketakjuban akan megah dan gagahnya kapal perang itu menjadi daya tarik tersendiri untuk para peserta. Angin laut,
suasana kapal, dan materi pelatihan yang tersaji menciptakan suasana belajar
yang unik dan khas.
Ruang kelas unik selanjutnya adalah
ketika kami melatih birokrat, tokoh
masyarakat, dan pelaku ekonomi Provinsi Gorontalo pada 2004. Fadel Muhammad
sebagai Gubernur baru pada saat itu membuka kelas pelatihan kami di sebuah
restoran Padang “Nyiur”. Kabarnya, Gorotalo belum punya aula yang representatif
saat itu. Pelatihan “segi tiga” pilar pembangunan daerah itu pun berlangsung sangat
antusias dan penuh energi.
Kejadian yang mirip terjadi beberapa tahun kemudian. Yaitu ketika saya melatih guru-guru di sebuah kabupaten hasil pemekaran Provinsi Sulawesi Utara, yaitu Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Bolmut) pada medio 2007. Pelatihan yang dibuka kepala dinas pendidikan itu diadakan di sebuah rumah makan Padang yang sangat sederhana. Sebagai sebuah kabupaten baru, semangat para guru dalam berlatih memberikan harapan yang sangat cerah untuk Bolmut.
Sejumlah kelas pelatihan memang
menjadikan beragam tempat dan ruang sebagai ruang kelas. Kesepakatan dalam
ruang imajiner itu justru membuat kami sama-sama menjaga agar keutuhan “ruang
kelas” menjadi milik bersama. Ruang rehat di tepi danau, ruang tengah sebuah
losmen, pelataran sebuah penginapan, dan taman bunga sebuah bungalow pun pernah
menjadi ruang kelas dalam batas kesadaran dan imaji. Semua berjalan dengan
keasyikan dan keseruannya sendiri-sendiri. Pada akhirnya, bukan ruang dalam
arti sesungguhnya yang penting, tetapi makna dan pemaknaan atas seluruh
interaksi atas dasar kesungguhan dan keikhlasanlah yang telah menghidupkan
semua tempat itu sehingga menjadi “ruang kelas” yang hangat dan menyenangkan.
Ruang Perjumpaan
Ruang
kelas adalah ruang perjumpaan sejumlah orang dalam satu bahasan dan tujuan
bersama. Ini soal mereka yang berusaha konsentrasi dengan segala tantangan
lingkungan dan zamannya. Persoalannya bukan soal jumlah tetapi sejumlah faktor
yang membuat mereka mampu menerima dengan baik apa yang dihadirkan pengajar
atau fasilitatornya.
Saya
memulai karier dengan mengajar di sebuah sekolah yang hanya berisi 16 orang
siswa di setiap kelasnya. Mudah? Katanya, begitu. Namun, gambaran itu sirna.
Karena, hingar-bingar dan energi kelas itu sama dengan ruangan yang terisi 48
orang. Energi mereka sangat luar biasa. Sedikit saja Anda lengah, Anda
bisa kehilangan arah ke mana kelas itu akan Anda arahkan di hari itu. Siswa
tingkat menengah pertama itu akan selalu menantang Anda untuk memberikan yang
terbaik sebagai jaminan perhatian dan antusiasme mereka.
Tantangan lain adalah ketika mengajar kelas gabungan di
STIE Jayakarta, Jakarta. Anda bisa bayangkan, kelas biasanya dimulai 19.30
dengan mahasiswa yang 90% pegawai yang baru pulang dari kantornya. Satu kelas berisi 90-an orang lebih. Dengan
fasilitas satu layar dan satu Over Head Proyektor (OHP)
saya harus menerangkan materi kuliah dengan modal lembaran plastik transparan.
Mereka adalah pegawai yang tengah berjuang untuk mendapatkan
gelar S1 agar dapat menunjang karier mereka di sejumlah instansi pemerintah dan
perusahaan swasta di Jakarta. Merekalah para pejuang tangguh. Pagi berangkat
dari rumah. Sore, pulang kerja langsung kuliah sampai 21.10. Besok pagi sudah
harus siap berangkat kerja lagi. Sungguh, pertemuan takdir yang menarik ketika bertemu
para pejuang hidup yang luar biasa. Hasilnya? Optimalisasi versi mereka menjadi
jaminannya.
Kelas besar selanjutnya adalah ketika pada 2005 diberi kesempatan memberikan pembekalan kepada para santri kelas VI Pondok Modern Gontor, Ponorogo (PMDG). Santri yang mengikutinya sekitar 1000 orang yang dkumpulkan di Aula Trimurti. Mereka sangat tertib. Semua berjas dan berdasi. Sangat gagah dan terpelajar. Mengajar satu kelas dengan seribu santri dari seluruh Indonesia yang sangat tertib adalah sebuah pengalaman yang mengasyikkan. Energi dan antusiasme mereka membakar semangat, membangkitkan adrenalin saya, dan menciptakan atmosfir belajar begitu dahsyat. Semua memancarkan semangat yang luar biasa.
Kelas
besar berikutnya adalah ketika melatih para mahasiswa baru Universitas Halu
Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara (2012-2015). Saya selalu mendapatkan kelas
terbesar, yaitu Auditorium Mokodompit yang berkapasitas 1600 orang lebih. Para
mahasiswa baru dari Kabupaten Bombana, Wakatobi, Kolaka Utara, Konawe Selatan, Konawe Utara, Buton Utara, Kolaka Timur, Konawe Kepulauan, Buton Tengah, Buton Selatan, Muna Barat, Muna,
Kendari, dan Baubau berkumpul menjadi satu. Jebolan putih abu-abu itu dengan
gegap gempita mengikuti pelatihan pembentukan mindset dan
karakter sebagai pembekalan untuk kuliah yang sebentar lagi akan mereka ikuti.
Kelas
terbesar yang pernah saya handle adalah
kelas pelatihan mahasiswa baru Universitas Airlangga, Surabaya. Jumlah
mahasiswa baru Unair setiap tahun sekitar 7000 orang. Mereka memiliki Aula
Besar di Kampus C yang dapat menampung sekitar 3500 orang. Mereka membuat dua
gelombang. Berbicara dan memberikan materi di hadapan 3500 orang di satu aula
menjadi tantangan tersendiri. Suara dan sosok saya tenggelam di lautan
mahasiswa baru tersebut. Mereka jelas bukan seperti santri Gontor yang seragam, tetapi mahasiswa yang sangat beragam. Keberagaman tingkat antusiasme mereka bercampur dengan kegemuruhan di setiap sesi yang mengharuskan mereka saling berbagi.
Dari kelas dengan 16 orang dengan satu mata pelajaran sampai harus memberikan materi pelatihan di hadapan 3500 orang menjadi tantangan sendiri yang menurut saya unik dan menarik. Inilah sebuah connecting dot. Ketika menghadapi dan diamanahi kelas dengan 16 orang siswa, saya tidak terbayang kalau suatu saat akan diamanahi kelas dengan ribuan orang peserta. Sebuah perjalanan kesadaran, kemampuan, keterampilan, di samping amanah dan tanggung jawab. Kesiapan dan persiapan menjadi mutlak. Pertama, penguasaan materi menjadi hal utama yang tidak dapat ditoleransi. Kedua, kesiapan mental karena pengalaman untuk itu sudah terpupuk sejak pertama kali bertemu kelas dengan peserta yang sedikit. Masya Allah. Sungguh sebuah rahasia dan skenario indah dari Allah.
Ruang Dialogis
Ruang
kelas adalah ruang dialogis, bukan sekadar ruang protagonis apalagi antagonis. Kelas
homogen adalah kelas pada umumnya. Ketika mengajar di sekolah menengah, kampus,
atau kelas in-house training, kita
akan bertemu mereka yang homogen (usia, status sosial, status pendidikan,
jabatan, tempat kerja, atau profesi). Di kelas model ini, kita cenderung
terdorong untuk menggunakan pendekatan dan pola serta cara berkomunikasi yang
nyaris seragam. Mengapa? Karena boleh jadi issue yang berkembang di antara
mereka umumnya seragam. Dengan demikian, menghadapi kelas jenis ini, kita dituntut
lebih sabar untuk bisa menghadirkan suasana yang menyenangkan, berbeda, dan
inspiratif.
Di satu
sisi, bila menghadapi kelas heterogen, seperti kelas pelatihan umum, kita
dituntut untuk bisa menentukan atau memilihkan suasana yang mampu mengikat
perhatian mereka yang beragam. Cara ungkap, sense of
humor, dan interest mereka yang berbeda harus mampu kita
jadikan energi agar suasana kelas terjaga kehangatan dan kedinamisannya. Kelas
beragam seperti ini senantiasa membawa dan memberi tantangan tersendiri untuk
para tranier.
Di dua jenis inilah pada umumnya kita bertemu
para murid, mahasiswa, atau peserta pelatihan. Dua-duanya berpeluang menjadi
kelas yang antusias, hangat, dan inspiratif. Semua bergantung pada kesiapan dan
persiapan yang kita lakukan di samping keberterimaan kita atas segala dinamika
kelas yang bisa saja terjadi.
Namun,
apakah benar kelas homogen sudah pasti lebih antusias dan hangat karena mereka
umumnya sudah saling kenal? Apakah kelas pelatihan umum yang heterogen termasuk
kelas yang sangat sulit dibentuk dan dikendalikan karena mereka berasal dari
berbagai latar belakang? Ternyata, jawabannya adalah tidak. Tidak jarang untuk meng-handle kelas homogen justru
membutuhkan effort yang
jauh lebih besar daripada kelas heterogen. Tidak jarang kelas homogen menuntut kita
untuk lebih sabar daripada kelas heterogen. Nampaknya, banyak faktor yang
membuat hal itu terjadi.
Sebaliknya,
tidak sedikit kelas heterogen justru mau dan mampu menjadi kelas yang sangat
hangat dalam kebersamaan. Padahal, mereka belum saling kenal dan berasal dari
latar belakang sosial, pendidikan, dan minat yang berbeda. Dengan demikian,
kita harus selalu optimis dan positif di semua perjumpaan kelas. Setiap
perjumpaan adalah pengalaman unik dan mandiri. Tidak ada yang persis sama
meskipun kita bertemu dengan kelas paralel dari sebuah instansi yang sama. Oleh
karena itu, beruntunglah guru, dosen, atau trainer yang tetap mempersiapkan
setiap perjumpaan kelas dengan sebaik-baiknya.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Depok,
Juni 2024