Aksi Literasi SMAN 37 Jakarta

            “Pak, apa kalau buat puisi harus pakai diksi yang sulit dimengerti, ya?”

“Pak, kalau cerpen harus ada dialognya, ya, Pak?”

“Apakah puisi yang akan kita tulis harus bisa dinyanyikan, Pak?”

“Kalau menulis cerpen, pakai kata saya, boleh, gak, Pak?”

Begitu contoh sejumlah pertanyaan yang muncul dari peserta “Workshop Penulisan Puisi dan Cerpen SMAN 37 Jakarta” dengan tema ”Semua Tentang 37”. Mereka adalah 90 siswa dari semua kelas yang diseleksi oleh TIM Literasi. Semangat dan antusiasme mereka di bidang literasi memang di atas rata-rata. Hal itulah yang membuat suasana workshop menjadi sangat semarak dan hidup. Sorot mata dan gesture mereka mengabarkan bahwa mereka memang sangat tertarik dengan dunia sastra.

Materi pengenalan puisi dan cerpen mereka terima dengan riang gembira dan sepenuh hati. Semangat mereka mengalahkan rasa lelah ketika harus duduk selama empat jam lebih untuk mendengarkan penjelasan, membaca puisi dan cerpen, menganalisisnya, bertanya-jawab, dan berlatih menulis puisi serta wacana deskripsi sebagai salah satu unsur penting dalam cerpen. Dengan sabar mereka berusaha mengenal sejumlah bentuk puisi, membacanya bersama, menelaah diksi dan tata tulisnya, memperhatikan kaidah kebahasaannya, dan mengenal tipologinya. Dalam proses tersebut, mulai terlihat satu dua mereka yang menonjol dalam keduanya. Sudut penceritaan, diksi, dan tema yang mereka pilih pun sangat menarik.

Menjawab Tantangan

Workshop ini diselenggarakan sebagai jawaban, respon, dan langkah antisipatif pimpinan dan Tim Literasi SMA Negeri 37 atas fenomena penetrasi berbagai nilai dalam kehidupan para siswa dengan semakin derasnya arus informasi melalui gawai mereka. Bila tidak arif dalam memilah dan memilih, maka membludaknya informasi itu sangat mungkin akan mempengaruhi tingkah laku mereka. Untuk itu, setiap siswa harus memiliki kompetensi agar piawai dalam menyikapi dan mengontrol berbagai perubahan sosial yang terjadi sehingga dapat berdampak positif untuk diri dan lingkungan mereka.  

Seiring dengan kemajuan zaman dan tuntutan dunia pendidikan untuk terus berinovasi, maka sekolah harus terus bekerja keras menemukan dan memupuk bibit-bibit unggul Sumber Daya Manusia (SDM) agar mereka memiliki kreativitas, keintelektualan, inovatif, dan akhlak mulia. Untuk itu, setiap siswa harus membekali dirinya dengan ilmu-ilmu yang dibutuhkan untuk masa depannya. Di sekolah, sejumlah hal itu dapat ditumbuhkan dengan memberikan mereka kebebasan beraktivitas dan berkreativitas agar potensi mereka muncul sebagai kompetensi yang akan menjadi bekal kiprah mereka di masyarakat kelak.

Mari kita diskusi sedikit. Pertama, workshop menulis puisi dan cerpen adalah wujud kepedulian sekolah melalui Tim Literasi agar para murid (baca: gen-z) tetap terhubung dan kembali akrab dengan dunia sastra. Seiring dengan belum membaiknya minat baca di negeri ini, gagasan ini sangat patut disyukuri dan diapresiasi. Tentu Ibu Lilik Setyoharyanti (Kepala Sekolah), Pak Muhammad Asfani (Wakil Kepala Sekolah Bidang Akademik), dan Pak Bambang Nurcahyo (Ketua Tim Literasi) punya andil besar dalam hal ini. Kepedulian mereka harus dijawab dengan segala kesungguhan dari para murid untuk tekun berlatih dan memanfaatkan kesempatan untuk punya karya bersama yang dibukukan dengan sebaik-baiknya.

Kedua, Oktober sebulan lagi. Bulan bahasa kali ini, kita akan mengisinya dengan cara yang berbeda: launching buku Kumpulan Puisi dan Cerpen Siswa SMAN 37 Jakarta. Bila saja puncak peringatan Bulan Bahasa akan diadakan pada 28 Oktober, maka itu artinya naskah harus sudah masuk semua pada pertengahan September. Mengapa begitu? Waktu yang ada akan diisi dengan sejumlah aktivitas terjadwal: pengumpulan naskah, editing, finalisasi naskah, pembuatan cover, penyelesaian bagian buku untuk pengurusan ISBN, lay-out, pencetakan, sampai buku siap di-launching. Melihat runtunan kerja ini, maka sesungguhnya waktu kita tidak banyak. Apalagi bila naskah bapak ibu guru juga akan menjadi satu buku tersendiri. Tentu semua harus fokus dulu menyelesaikan naskah agar kerja-kerja teknis segera dapat dilakukan. Bismillah.

Ketiga, program rintisan ini adalah pintu masuk untuk ruang-ruang perjumpaan bersastra dan tulis-menulis yang lainnya. Bulan bahasa tahun ini tentu akan beda rasanya bila kita berhasil me-launching dua buku karya sivitas akademika SMAN 37 Jakarta. Dua buku itu akan menjadi prasasti atas komitmen kita dalam menghargai dan memaknai waktu dan kesempatan yang telah Allah berikan. Itu artinya, kita siap bersinergi dan berkolaborasi untuk memanfaatkan dengan maksimal 24 jam, 1.440 menit, dan 86.400 detik yang telah Allah berikan untuk kita. Setiap anggota sivitas akademika punya kesempatan dan tanggung jawab yang sama untuk menyukseskan program ini. Sebagai kerja intelektual, menulis memerlukan kesungguhan kita semua sekaligus untuk menghidupkan dan membesarkan Tim Literasi kita. Hidup sekali, tidak akan kembali, dan tidak bergaransi ini tentu akan kita isi dengan karya terbaik yang mampu kita wariskan kepada para penerus perjuangan di SMAN 37 Jakarta.

Bersastra itu Asyik

Kita diciptakan Allah untuk mampu mencintai yang sepele dan bermakna, yang kekinian dan transendental, serta yang profan dan sakral. Kompleksitas itu pada akhirnya membawa kita pada kesadaran, bahwa kita adalah makhluk ruhani yang Allah tempatkan pada jasad kasar ini. Sebagai makhluk ruhani, tentu kebutuhan kita sejatinya bukan (hanya) makan dan minum serta kebutuhan kebendaan lainnya, tetapi juga nilai dalam tatanan yang bisa diterima sebagai rasa. Ini bukan soal logika semata, tetapi ruang imaji tentang bagaimana seharusnya kita sebagai makhluk ruhani mampu mengejawantahkan seluruh potensi dalam semua kemungkinan gerak amal dan ibadah.

Mari kita tengok aktivitas seputar membaca dan menulis sastra. Pertama, semua bermula dari empat keterampilan berbahasa: menyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Dua yang pertama adalah keterampilan reseptif—keterampilan dalam menerima simbol-simbol bahasa; Sedangkan yang dua terakhir adalah keterampilan produktif, yaitu keterampilan untuk menghasilkan simbol-simbol bahasa. Tingkat keterampilan kita di dua keterampilan produktif sangat bergantung pada dua keterampilan pertama. Apa yang kita bicarakan dan kita tulis sangat bergantung pada apa yang kita dengar dan kita baca. Bila yang sering kita dengar dan kita baca adalah gosip, maka wajar bila yang banyak keluar dari mulut kita adalah gosip. Bila kita sering mendengar dan membaca kisah-kisah hikmah, maka yang paling sering kita bicarakan dan kita tulis juga berkaitan dengan itu. Jadi, teko memang hanya akan mengeluarkan apa isinya.

Menulis—baik fiksi maupun nonfiksi—adalah keterampilan berbahasa tertinggi. Keterampilan menulis sangat bergantung pada kualitas keterampilan mendengarkan dan membaca. Oleh karena itu, seorang penulis yang baik pada umumnya adalah seorang pembaca yang baik. Demikian pula sebaliknya, seorang pembaca yang baik adalah calon penulis yang baik. Lalu, seperti apa kualitas keterampilan membaca kita selama ini? Mengapa hubungan antara keduanya begitu erat? Apa yang kita tulis adalah apa yang menjadi penghuni benak dan hati kita. Kita menuliskannya dengan mempergunakan medium bahasa yang terdiri atas satuan gramatikal seperti kata, frase, kalimat, paragraf, dan wacana. Semakin sering kita bergelut dan akrab dengan satuan gramatikal tersebut, maka ketika waktunya harus menulis otak kita hanya akan me-recall perbendaharaan dan bentuk-bentuk satuan gramatikal yang sudah kita kenal dengan baik. Kosa kata, frase, bentuk dan pola kalimat, tata paragraf, dan jenis dan pengembangan wacana akan sangat dipengaruhi oleh pengalaman batin kita ketika berhadapan dengan teks yang beragam dalam membaca. Dengan demikian, aktivitas menulis adalah satu mata rantai yang tidak terpisahkan dari aktivitas membaca.

Kedua, bicara tentang membaca dan menulis karya sastra sesungguhnya adalah kesempatan memasuki ruang tentang nilai. Nilai-nilai itu adalah manifestasi dari human being yang terbentuk dari keyakinan agama, budaya, dan sejumlah ideologi yang kita yakini selama ini. Nilai itu bersumber pada sang empunya nilai, yaitu Allah. Mereka yang cerdas adalah mereka yang senantiasa menyediakan waktu dan ruang yang cukup untuk menangkap a set of value dan a set of knowledge yang diajarkan Allah melalui Rasulullah dan kitab sucinya. Dengan demikian, mereka yang cerdas adalah mereka yang dengan kesadaran penuh mengakui bahwa hanya ada satu Rabb dan Illa yang mencipta, menjaga, dan menyayangi mereka. Oleh karena itu, zat itulah satu-satunya yang pantas disembah dan diibadahi. Nah, ketika kita sampai pada kesadaran transendental ini, maka itu artinya kita sudah bersedia menempatkan tata nilai yang hak itu pada jalan darah dan detak jantung kita. Jadi, tata nilai itu adalah sesuatu yang sakral karena ia bersumber dari Dia yang Maha Kuasa.

Sastra adalah pen-capture-an kita tentang hidup, kehidupan, dan tata nilai yang ada di dalamnya. Membaca dan menulis karya sastra sesungguhnya kita sedang menyediakan artikulasi sebagai penyampai tata nilai tersebut. Sebaiknya jangan bercampur dengan segala hal yang profan dan bathil karena hasilnya tidak akan sefrekuensi dengan detak jantung kita. Inilah satu bentuk kesadaran bahwa mengartikulasikan nikmat dan makna kehidupan adalah dengan memilih diksi, frase, kalimat, paragraf, atau wacana yang cocok menjadi wadah sesuatu yang suci tersebut.

Ketiga, setiap kita unik. Respon dan reaksi kita atas pelbagai stimulus dan peristiwa juga berbeda-beda. Kita tidak mungkin mengartikulasikan dengan cara yang sama atas pelbagai peristiwa yang kita alami. Dengan demikian, proses kreatif itu sangat personal. Impresi yang muncul di hati dan benak kita atas sebuah peristiwa tidak akan sama dengan orang lain. Persis seperti reaksi kita atas rasa kecewa, gembira, sedih, atau bahagia yang juga berbeda-beda. Oleh karena itu, menulis karya sastra adalah ruang personal yang coba kita sampaikan kepada orang lain. Kita yakin, semua rasa yang kita alami juga pernah dialami oleh mereka. Dengan demikian, ketika karya kita mengartikulasikan semua itu dengan apik, maka karya itu akan diterima dengan baik oleh orang lain.

Setiap orang punya caranya sendiri mengartikulasikan keindahan rasanya. Bentuk dan substansi karya sangat dipengaruhi seberapa kuat seseorang mampu menghadirkan seluruh rasa dan nalar atas sejumlah peristiwa yang dialaminya. Memang, pada titiknya ada keterampilan linguistik (linguistic competence) yang menjadi faktor penentu, apakah sebuah ide atau nilai itu mampu tersampaikan atau tidak. Mereka yang tinggi jam terbang membaca dan berlatih menulisnya akan mampu menemukan cara dan ramuan yang tepat dalam menghadirkan rasa itu dalam sebuah karya. Dalam pada itu, kepiawaian seseorang dalam mengolah bahasa khasnya akan menjadi daya tarik yang kuat pada karya yang dihasilkan. Di titik itulah kita bisa mengatakan, dunia pembaca telah bertemu dengan lembut dengan dunia yang ditawarkan oleh penulis. Selanjutnya, pembaca merasa perasaannya terwakili oleh karya yang disodorkan penulis. Bila ini terjadi, maka karya itu telah menjadi milik semua orang.

Menemani para penulis belia di SMAN 37 adalah sebuah kenikmatan tersendiri. Dengan pengalaman estetika yang masih muda mereka berusaha mencoba mengenali impresi-impresi yang hadir dalam hati dan benak mereka atas berbagai peristiwa. Mereka sudah mencoba untuk jujur berekspresi. Kalau pun pada akhirnya kita menemukan kegagapan tersendiri dalam mengelola pengalaman estetika menjadi sebuah karya itu hanya karena penjelajahan mereka di jagad bahasa belum terasah benar. Kalau sejak hari ini mereka diberi ruang kesadaran untuk bisa mengartikulasikan apa yang mereka rasakan dan pikirkan dengan ungkapan yang indah, maka dengan sendirinya mereka akan berusaha menemukan bentuk terindah dan terunik yang mampu mereka tuliskan. Yang penting mereka telah jujur dalam berkarya. Bentuk adalah soal waktu bila substansi dari proses perwujudan pengalaman estetik itu mampu mereka hadirkan dengan cara yang paling dekat dengan keunikan pribadi mereka. Suatu saat nanti, kita boleh berharap, mereka akan menjadi penulis yang peka atas semua peristiwa dan piawai mengabadikannya dalam karya mereka. Semoga.

Verba volant, scripta manent!

Wallahu a'lam bishawab

Depok, September 2024

 

 

 

 

 

 

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form