Tidak semua anak bisa
menjadi santri. Tidak semua santri bisa menikmati kehidupan pondok dengan
enjoy. Hanya mereka yang sabarlah yang akan sukses. Namun, tidak semua
kesabaran tumbuh dari dalam. Ada juga yang harus di-encourage oleh
orang-orang terdekat selama berproses. Oleh karena itu, first impression
sangat bermakna untuk setiap santri. Di titik inilah waliasrama dan walikelas dapat
berperan sangat besar untuk terbentuknya kekuatan setiap santri. Inilah salah
satu bentuk layanan cinta pondok kepada para santri barunya.
Pondok adalah kawah candradimuka pembentukan karakter baik. Santri tidak berangkat dari titik yang sama. Tetapi, mereka dengan ikhlas ingin berproses bersama untuk tujuan yang sama. Oleh karena itu, ada satu proses yang harus difasilitasi dengan sangat baik, yaitu pembiasaan. Pembiasaan ini adalah pintu masuk untuk mendapatkan karakter baik yang diinginkan.
Pembiasaan
40 Hari
Menurut Covey (1997),
sebuah kebiasaan dibentuk dari titik pertemuan antara pengetahuan,
keterampilan, dan keinginan. Pengetahuan adalah aspek teoretis, apa yang harus
dilakukan, dan mengapa. Sementara keterampilan mengacu kepada bagaimana
melakukannya. Sedangkan keinginan adalah motivasi, kemauan untuk melakukan.
Irisan ketiga aspek inilah yang membentuk kebiasaan tadi. Nah, proses
mempertemukan ketiga aspek tersebut adalah sebuah proses pembiasaan.
Salah satu hal menarik
di AQL Islamic School (AQLIS) adalah layanan pembiasaan 40 hari pertama. Layanan
ini adalah komitmen AQLIS kepada para orang tua wali murid untuk memfasilitasi
dan mendampingi para santri baru untuk memulai pembiasaan baik: ibadah,
bersabar (misalnya, antre di kamar mandi dan pada saat makan), kepekaan sosial
di asrama, dan penanaman adab (kepada Allah, diri sendiri, guru, teman, dan
lingkungan). Para santri dengan penuh keikhlasan memasuki ruang kemudi diri
untuk melakukan proses dan semua pencapaian karakter tersebut dalam upaya
sadar. Yang menjadi ukuran adalah kesungguhan, bukan euforia. Yang menjadi
harapan adalah keselarasan antara apa yang diniatkan, dilatihkan, dengan yang
dipraktikkan dengan penuh kesungguhan. Kesadaran itulah yang menjadi penggerak
utama mereka bisa berkomitmen kepada diri sendiri dan menjadi jejak bermakna
untuk masa depan mereka.
Yang menarik, pembiasaan
ini ternyata memang menjadi kebiasaan baru para santri. Ustadz Fahmi Muhammad
Nurdiansyah—Kepala SMA AQLIS Purwakarta—pada “Seremoni Pelaporan 40 Hari
Pertama” yang digelar online (Jumát, 23 Agustus 2024) menyampaikan beberapa temuan
menarik.
“Alhamdulillah, Ustadz,
selama di AQLIS kami jadi punya kebiasaan baru. Selama ini, kami sulit bangun untuk
qiyamul lail. Sekarang, dengan dibersamai para ustadz di sini, kami
tidak lagi sulit untuk bangun malam.”
“Alhamdulillah, Ustadz,
selama di AQLIS kami terbiasa sholat berjamaah tepat waktu.”
“Kami juga jadi
konsisten membaca dzikir pagi ba’da Subuh dan dzikir sore ba’da Ashar.”
Proses pembiasaan ini
memang terjadi dan dilakukan oleh santri, tetapi kami yakin pada gilirannya
nanti akan sangat berpengaruh pada keluarga, pondok, dan lingkungan
terdekatnya. Pembiasaan itu akan menjadi jejak rintisan untuk sebuah karakter
positif mereka yang akan mempengaruhi cara mereka berpikir, merasa, dan
mengambil keputusan dalam kehidupan mereka nanti. Pembiasaan itu akan mewarnai semua tindakan
berpola yang secara sadar ingin dilakukan setelah 40 hari pertama. Ini penting,
karena proses enkulturisasi dan internalisasi akan menemukan ladang suburnya
pada proses pembiasaan.
Mengapa 40 hari? Ini
juga menarik. Proses pembiasaan ini setidaknya berdasarkan pada hadis
Rasulullah: "Siapa yang mengikhlaskan dirinya kepada Allah (dalam
beribadah) selama 40 hari maka akan lahir sumber-sumber hikmah dari hati
melalui lidahnya." (HR. Abu Dawud dan Abu Nu'man). Juga, hadis,"Siapa
yang shalat karena Allah selama 40 hari secara berjamaah dengan mendapatkan
takbir pertama (takbiratul ihram imam), ditulis untuknya dua kebebasan:
kebebasan dari api neraka dan kebebasan dari sifat kemunafikan" (HR.
Al-Tirmidzi).
Masa 40 hari dianggap
sudah memadai untuk disebut sebagai kebiasaan. Berharap rahmat Allah atas upaya
sadar ini, 40 hari memulai sesuatu yang baru berupa kebiasaan baik dengan
disiplin tinggi akan membuat setiap pribadi mampu beradaptasi dengan komitmen
yang sudah diniatkan. Setelah membiasakan diri selama 40 hari tanpa henti, ia
diharapkan menjadi terbiasa. Jika sudah terbiasa, apa pun akan menjadi mudah
dan ringan dikerjakan. Proses internalisasi dan enkulturasi pun berlangsung
dengan baik.
What
Next?
Seremoni Pelaporan 40 Hari
Pertama sudah selesai. Para murid sudah melaporkan sendiri apa saja yang telah
mereka lakukan dan biasakan selama 40 hari pertama di AQLIS kepada orang tua
walinya masing-masing. Dengan gaya mereka yang unik, mereka sudah bertutur
kepada orang-orang yang mereka cintai, apa pencapaian keren yang telah mereka
peroleh. Tetapi, perjalanan menuju pembentukan karakter baik dalam ibadah,
belajar, pergaulan sesama murid di kelas dan asrama, kedisiplinan, kemandirian,
kerapihan, ketekunan, kegigihan, dan keikhlasan justru baru dimulai ketika
komunikasi online dengan orang tua wali berakhir dan laptop ditutup. Welcome
to the real journey!
Pertama,
berjuang untuk istiqomah. Berpura-pura itu tidak akan lama. Bersandiwara pun
pasti akan berakhir. Orang tidak mungkin betah lama-lama pakai topeng. Bila sudah
demikian, maka wajah, watak, karakter, dan gaya yang aslilah yang akan nampak. Begitu
pun pembiasaan yang dipaksakan dan diprogramkan. Kalau hanya sehari dua hari
orang masih bisa berpura-pura, bersandiwara, dan pakai topeng yang entah dari
mana ia pinjam. Tetapi, kalau sudah 40 hari, maka kita boleh berharap kebiasaan dan
karakter baik yang telah mereka lakukan adalah sebuah kesungguhan dan
kesejatian. Para ustadz ustadzah pasti punya cerita yang sangat menarik perihal
bagaimana orang-perorang berjuang sekuat tenaga untuk bisa mencapai hasil
terbaik yang bisa mereka lakukan dalam proses pembiasaan. Push the limits.
Ustadz ustadzah sebagai
waliasrama dan walikelas sebaiknya mempunyai catatan atas semua pencapaian dan kebiasaan baik mereka. Setiap murid
unik. Tidak semua bagus dan lancar di hafalan, sigap tahajud, ramah dan hangat di asrama, rapih dalam menyimpan atau menjaga kebersihan, tartil dalam tilawah, ulet dan gigih dalam menemukan strategi
belajar, atau takzim pada guru. Setiap murid punya keunggulannya
sendiri-sendiri. Keunikan itu seharusnya berbasis
data. Bukan ingatan semata yang sudah pasti tidak setia. Oleh karena itu,
setiap waliasrama dan walikelas harus punya catatan atau jurnal tentang
pencapaian 40 hari pertama itu dalam berbagai aspek yang mampu tertangkap oleh
kriteria dan rubrik penilaian. Data itu akan menjadi catatan awal setiap
anak agar setiap progres dan perkembangan mereka dapat terpantau, terapresiasi,
dan terekam dengan baik. Bukankah ini menarik sebagai bahan informasi kepada
para orang tua wali murid ketika pembagian rapor dan wisuda nanti?
Kedua,
jangan lelah membersamai mereka. Prinsip pengasuhan di pondok adalah membersamai fase
tumbuh kembang mereka dengan sepenuh hati. Mereka bukan mesin dan robot yang
mati rasa. Ups, robot saja sekarang sudah bisa berekspresi, lho. (Coba lihat Ameca,
robot canggih buatan Engineered Arts Inggris). Ustadz ustadzah juga bukan sekadar instruktur
atau fasilitator, tetapi pengasuh yang harus hadir seutuhnya untuk
mereka. Sejujurnya, Anda memang tidak harus jadi sosok super yang tampil tanpa
cela. Bukan. Tetapi, karena prinsip pendidikan dalam proses pengasuhan adalah harus
siap memberi dan menjadi contoh, maka keteladanan menjadi mutlak
di sini. Pembentukan karakter dan pembiasaan adalah proses mencontoh. Jadi, murid
pasti akan mencari role model terbaik dalam tahajud, tilawah, kerapihan, kegigihan,
keramahan, kesigapan, dan karakter baik lainnya. Role model terbaik adalah yang
dekat dengan keseharian mereka. Nah, dalam konteks pondok, sosok itu adalah Anda.
Oleh karena itu, terimalah amanah tersebut dengan segala keikhlasan dan kesungguhan
karena itu jalan khidmat dan keberkahan untuk Anda.
Sampai di sini, kita
akhirnya menemukan suasana resiprokal yang menarik. Kesabaran dalam proses
pembiasaan bukan monopoli milik murid, tetapi juga untuk pengasuhnya. Kesabaran
untuk menerima para murid yang berbeda-beda dengan segala keunikannya
masing-masing. Untuk itu diperlukan kekompakan sistemik agar kerja bareng ini
menjadi mudah. Ustads-ustadzah tidak bisa soliter atau one man show karena
pasti cepat kehabisan bensin kesabaran dan tentu tidak akan efektif untuk sebuah
proses pengasuhan dan pendidikan. Lalu apa solusinya? Bentuklah sistem. Semua warga
pondok adalah guru, role model, pengasuh, dan orang tua. Meskipun secara administratif
beda-beda, tetapi untuk menciptakan environment yang kondusif dan menyenangkan,
maka pengasuhan di pondok harus memperlihatkan wajah yang sama, senada,
dan selaras. Sangat tidak menyenangkan bila akhirnya suasana yang tersaji sangat
parsial dan temporal. Tentu ini bukan tempat tumbuh dan mengasuh yang subur dan
membahagiakan.
Ketiga,
pembiasaan 40 hari pertama ini ibarat proses pembajakan sawah atau ladang. Pondok
harus menemukan dan mempunyai sistem maintenance dan improvement
yang efektif dan komprehensif. Sekali ini berhasil dan dijaga, maka mereka
adalah lahan subur untuk penanaman karakter baik yang lain. Performance dalam
akademik pasti sangat membutuhkan kesiapan mental sebagai buah dari pembiasaan
ini. Pencapaian dalam berorganisasi akan banyak terbantu dari berbagai nilai
dan sikap yang terbangun dari kebiasaan yang telah terinternalisasi dalam keseharian
mereka. Kedisiplinan, misalnya, yang diperlukan di semua ranah pencapaian pasti
akan dengan mudah kita tanamkan bila lahan gembur itu tetap dalam kondisi
terbaiknya. Oleh karena itu, sistem pembelajaran dan pengasuhan di kelas dan
asrama harus diupayakan sekuat tenaga agar mampu menjaga kesuburan dan kegemburan
lahan tersebut. Bila itu terjaga, maka aktivitas para guru insya Allah hanya
akan mempergunakan energi minimal karena tata nilai atau mother board dari
komponen karakter yang akan di-install sudah ready for use. Masya
Allah.
Ini memang bukan
pekerjaan untuk keperluan seremonial semata. Ini miniatur dari kinerja sistem
pondok yang established. Kita tidak bisa berpura-pura, bersandiwara,
atau pakai topeng ketika program ini selesai karena justru di perjalanan itulah
tingkat keberhasilan kita baru dimulai dan diperhitungkan. Dengan demikian,
maka tidak ada cara lain kecuali bekerja sama menciptakan sebuah environment
kepengasuhan yang kondusif dan ramah untuk para murid kita. Untuk itu,
komunikasi efektif antarbagian menjadi mutlak diperlukan. Apalagi kalau
pencapaian itu sudah bisa dikonversi menjadi angka dengan sistem rubrik, tentu
pondok dengan support sistem IT yang memadai akan dengan mudah mendapatkan profile
setiap murid mereka. Kelak sistem pelaporan kepada orang tua tidak lagi hanya
verbal tetapi juga dilengkapi dengan konversi angka.
Akhirnya, 40 hari
pertama di AQLIS bukan hanya soal rindu antara orang tua wali dengan putra
putrinya atau sebaliknya. Tetapi juga menjadi satu momentum penting untuk
pondok dalam menilai kinerja sistem kepengasuhannya. Ini harus menjadi concern dan
tantangan untuk semua. Keterpanggilan untuk memberikan yang terbaik kepada
sistem yang sudah ada tentu harus menjadi salah satu kebaruan yang berkesinambungan.
Tentu, inilah kebaruan yang dihela dengan penuh kesadaran dan keinsafan tentang
pentingnya keistiqomahan dalam sistem yang paling mungkin dikembangkan. Murid bukan
objek, mereka adalah subjek yang merdeka dan tumbuh. Oleh karena itu, setiap
program yang diterapkan dan diberlakukan harus senantiasa inline
dengan seluruh proses pembelajaran yang menjadikan mereka sebagai manusia Indonesia
seutuhnya.
Ini langkah awal yang
sangat baik dan menarik. AQLIS telah berani menjadi trendsetter dalam
pelaporan 40 hari pertama di pondok. Orang tua wali murid pasti sangat mengapresiasi
dan berterima kasih kepada seluruh sivitas akademika AQLIS yang dengan kesungguhan
hati mempersembahkan program rintisan ini untuk kedua kalinya. Untuk itu, mari
kita terus berupaya agar ini menjadi pintu masuk untuk kebaikan dan keberkahan
langkah-langkah mereka di hari-hari selanjutnya. Semoga ini menjadi amal soleh
yang berkelanjutan. Aamiin.
Wallahu a'lam bishawab
Depok, Agustus 2024