Kalau Anda bertanya seperti apa hubungan antara guru dan aktivitas menulis, lihatlah sebuah koin. Sisi yang satu menjadi ada karena sisi yang lain; Sisi yang satu menjadi penegas sisi yang lain. Begitu pun guru dan aktivitas menulis. Guru yang menulis sesungguhnya adalah mereka yang menghargai kapasitas dan kapabilitas mereka sebagai penyampai pengetahuan, keterampilan, dan tata nilai.
Lalu, mengapa guru tidak menulis? Pertanyaan
sederhana ini akan tidak sederhana jawabannya. Kompleksitas akan beragamnya tingkat
keterampilan berbahasa antara guru yang satu dengan yang lain menjadi salah
satu sebab. Selain itu, kesadaran bahwa menulis adalah aktualisasi dari
kedalaman dan keluasan pemahaman guru atas sebuah disiplin ilmu juga berperan.
Kesadaran akan pentingnya berkomunikasi dengan dunia luas dengan menulis masih
menjadi utopia untuk sebagian besar guru. Akhirnya, dengan berat hati kita bisa
mengatakan ada situasi mau dan mampu dalam hal ini. Tidak sedikit guru yang
belum mau memasuki wilayah berbagi ini dan terakhir ada jarak yang cukup
signifikan antara keterampilan berbicara mereka sebagai guru dengan
keterampilan menuangkan ide dan gagasan dalam media tulisan. Dengan kata lain,
sebagian guru belum memiliki keterampilan dalam menulis yang sesungguhnya
sangat vital untuk profesi yang mereka geluti.
Oleh karena itu, untuk memendekkan jarak antara
guru dengan keterampilan menulis banyak bermunculan workshop dan pelatihan
menulis. Tidak sedikit guru yang sudah memiliki kesadaran akan pentingnya
memiliki keterampilan menulis ikhlas merogoh koceknya beberapa kali dan semakin
dalam untuk dapat mengikuti sejumlah pelatihan. Tidak sedikit pula yang
akhirnya mempersenjatai dirinya dengan setumpuk buku cara menulis. Tujuan
mereka sama, agar segera mendapatkan keterampilan menulis yang memadai sebagai
cara untuk meluaskan kebermanfaatan ilmu dan keterampilan mereka serta
memperpanjang usia silaturahim mereka di dunia keilmuan.
Sejatinya, keterampilan menulis tidak dapat
kita pisahkan dari tiga keterampilan berbahasa yang lain: menyimak, membaca,
dan berbicara. Kita sering lupa, bahwa keempat keterampilan tersebut merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ketika banyak guru
berbondong-bondong membeli sejumlah buku bagaimana cara menulis dan mengikuti
berbagai kelas pelatihan menulis mereka lupa bahwa keterampilan yang ingin
mereka dapatkan adalah satu mata rantai yang tidak terputus dari tiga
keterampilan berbahasa yang lain. Saya yakin, bila di tiga keterampilan
berbahasa ini mereka baik, maka keterampilan keempat, yaitu menulis, akan lebih
mudah mereka peroleh.
Sejalan dengan semangat itu, tidak sedikit sekolah
yang cukup gelisah dengan tingkat keterampilan menulis para sivitas
akademikanya. Sejumlah pelatihan menulis pun digelar sejak beberap tahun yang
lalu, baik online maupun offline, baik yang menghadirkan para penulis dari luar
lingkaran sekolah maupun yang dibimbing dengan waktu dan suasana khusus dari
sejumlah penulis dari dalam lingkungan sekolah. Hasil dan indikatornya memang
sejalan dengan apa yang terjadi di sekolah lain: ada yang tergugah, ada yang
lengah; Ada yang tambah gelisah, ada yang pasrah; Ada yang melesat, ada yang
terlambat. Namun, apa pun hasil dari sejumlah workshop dan pelatihan itu adalah
dinamika yang harus disyukuri dengan penuh kesadaran.
Ternyata, kehidupan akademik di sekolah dengan
segenap program dan aktivitasnya adalah mata air penulisan yang tidak pernah
kering. Mengapa saya bisa sampaikan begitu? Sejumlah tulisan yang hadir di sejumlah
buku antologi yang banyak beredar sekarang adalah bukti nyata akan hal itu. Beragam
topik menarik dapat mereka hadirkan dengan gaya penulisan yang sangat khas.
Pengalaman edukatif adalah mata air topik yang sangat menarik dan unik apalagi untuk sejumlah boarding school dengan berbagai kekhasan tersendiri,
tentu pengalaman para gurunya pun akan sangat berbeda dengan guru-guru dari sekolah lain yang tidak
berasrama. Interaksi antarcivitas akademika dalam hitungan waktu dan kesempatan
yang panjang pasti akan menjadi hal-hal unik untuk direfleksikan dan dikabarkan
kepada mereka yang ingin tahu, rindu, dan penasaran dengan kehidupan sekolah
berasrama. Apalagi dengan sejumlah program yang memang tidak akan sama dengan
sekolah yang tak berasrama.
Apresiasi yang tinggi untuk sahabat-sahabat guru yang sudah memaksa diri dan terus berupaya sekuat tenaga untuk dapat menuliskan apa yang mereka terima sebagai nilai dan pengalaman edukasi yang berharga di sekolah dan asrama. Saya yakin setelah proses menulis dinikmati dan terlewati, pasti ada rasa yang tidak dapat diwakili oleh sejumlah kata. Semua guru akan semakin menyadari, bahwa setiap detik kehidupan di boarding school akan menjadi semburat cahaya keindahan ketika interaksi nilai-nilai luhur Al-Qurán dan Hadits yang selama ini menjadi pusat aktivitas bertemu dengan kesungguhan dan kesadaran untuk terus berbagi melalui tulisan. Upaya untuk merekam apa yang menjadi aktivitas kita dalam keseluruhan kehidupan ruang kelas, asrama, dan ruang-ruang perjumpaan lainnya di lingkungan kampus pasti akan menjadi oase yang sangat menyejukkan untuk mereka yang merindukan kehidupan akademik dan asrama yang nyaman, menenangkan, dan menantang pencapaian. Wa Allah A'lam bish-shawab.
Depok, Februari 2024