Untuk memahami masa kini dan mempersiapkan masa depan, seseorang mestilah memahami akar masa lalunya. Puzzle sejarah akan memberikan pemahaman secara lebih komprehensif tentang siapa kita. Keutuhan itu diperlukan, agar identitas tetap punya makna dalam interval waktu. Masa kini sangat bergantung pada warna masa lalu.
Tidak semua orang bisa dengan leluasa dan nyaman “masuk-keluar” di koridor sejarahnya sendiri. Apalagi ketika sampai pada sejumlah episode “suram” atau abu-abu. Ketidaknyamanan itulah yang seringkali membuat sesi ini menjadi agak sentimental meski tetap menyisakan ruang-ruang romantisme. Kami mesti berhadapan dengan sejumlah pribadi yang cukup “alot” untuk mau dengan suka rela masuk dengan nyaman ke koridor masa lalunya.
Begitu beragam pernak-pernik masa lalu setiap orang: gembira-sedih; tawa-tangis; sempat-sempit; dan pasangan sunatullah lain. Oleh karena itu, para peserta hanya kami ajak menengok beberapa aspek saja.
Arti Sebuah Nama
What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet. Demikian Shakespeare—sastrawan besar Inggris—menuturkannya melalui Romeo and Juliet (1591-1595).
Shakespeare tidak terlalu peduli dengan apa kita ingin menyebut mawar karena yang penting wanginya. Namun untuk kita, nama adalah doa dan harapan (al-ismu ad-du'a). Sebegitu pentingnya nama untuk masyarakat kita, sampai-sampai akhir-akhir ini berjamur buku yang mengupas tuntas sejumlah kecenderungan dan memuat koleksi nama “keren” dalam perspektif tertentu.
Satu langkah awal untuk masuk ke koridor masa lalu adalah dengan
mengingat dan menuliskan arti nama. Banyak hal menarik di bagian ini. Sejumlah
peserta sampai menelpon orang tuanya untuk menanyakan apa arti namanya. Mereka
baru menyadari bahwa nama yang bertahun-tahun dikenakan memiliki arti yang
begitu luar biasa bahkan merupakan gabungan nama ayah dan bundanya. Rasa malu
menyelimuti sebagian dari mereka setelah tahu betapa nama yang disandangnya
memiliki arti yang begitu luhur.
Ketika melatih 480 mahasiswa baru FTUI 2005 di
Depok, maju seorang mahasiswa bernama Muh Agus Salim S, mahasiswa Berprestasi
Madya Teknik UI 2004. Ia bercerita,
suatu hari ia bertanya kepada ayahnya, apa arti namanya. Lalu, ayahnya
menerangkan, nama itu diambil dari nama Haji Agus Salim (1884-1954), mantan
Menteri Luar Negeri ke-3 RI (1947–1949) yang juga pejuang kemerdekaan Indonesia. Beliau menguasai tujuh bahasa asing:
Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Jepang, Arab, dan Turki, dan beberapa
bahasa daerah. Sejak itu, Mahasiswa Berprestasi di Bidang Organisasi &
Kepanitiaan FTUI 2007 itu semakin bersemangat belajar bahasa asing. Kala itu,
ia baru menguasai tiga bahasa asing (Inggris, Jerman, dan Perancis) dan
bertekad untuk terus belajar bahasa asing. Subhanallah.
Orang Berpengaruh
Seseorang dapat berpengaruh kepada orang lain karena beberapa hal. Misalnya, faktor hubungan darah (hubungan orang tua anak), usia, keahlian, pendidikan, karakter khusus, dan penampilan fisik. Tidak semua orang sadar bahwa dirinya berpengaruh terhadap orang lain. Meskipun tidak sedikit pula orang menyengajakan diri untuk itu.
Ada fenomena menarik. Dari catatan dan pengamatan, hampir 90% lebih dari seluruh peserta pelatihan sejak 2005 hingga sekarang menjawab pertanyaan “siapa orang yang paling berpengaruh” dengan “orang tua” (ayah dan ibu). Apa artinya ini? Setidaknya ada beberapa hal dapat diajukan di sini.
Pertama, ternyata orang tua masih merupakan panutan dan pihak yang dengan sadar mempengaruhi perjalanan hidup seseorang. Fenomena ini memiliki konsekuensi logis terhadap peran orang tua. Ternyata, menjadi orang tua tidak bisa sembarangan dan main-main. Setiap gerak dan tingkah laku serta ucapan kita akan direkam sebagai seperangkat nilai yang tanpa kita sadari akan dicontoh oleh anak-anak kita.
Seorang manajer Pertamina yang menjadi peserta pada PPEP (Program Pengembangan Eksekutif Pertamina) IV yang diadakan di Cirebon 2009 sempat tertegun membaca tulisan di lembar kerja kelompok yang tertempel di kelas,
“Coba Pak Rizal perhatikan. Hampir semua peserta menulis bahwa orang yang paling berpengaruh adalah orang tua. Saya berpikir, kami ini generasi yang lahir sekitar tahun 1960-an. Kami ingat, ketika masih tinggal bersama orang tua dan saudara-saudara kandung. Meskipun tidak sama persis, ada sesuatu yang menggelitik hati, orang tua seperti apa yang kemudian bisa memberikan pengaruh kepada anak-anaknya. Sekarang, saya kok, jadi takut, ya. Apa iya, ketika anak saya ditanya, mereka akan menulis orang yang paling berpengaruh terhadap hidup mereka adalah saya dan mamanya? Saya ragu banget. Karena saya sadar, pertemuan saya dengan mereka—karena dinas—sangat sedikit dan sebentar sekali. Waktu habis di kantor. Terus terang saya ragu.”
Saya juga tersentak. Betapa tidak! Dalam derap kesibukan berkarier, tidak jarang kita menghibur diri dengan wacana “pertemuan yang berkualitas”. Kita menganggap semua hak anak dapat kita rapel pada satu waktu. Padahal, pertemuan dengan para buah hati kita tidak sama dengan bertemu dengan seonggok kertas kerja dan mesin pabrik. Mereka adalah manusia yang sama dengan kita, yang setiap hari dan kesempatan butuh direspon dalam kewajaran yang menentramkan.
Allah mengingatkan, “Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS At Tahrim [66]: 6).
Oleh karena itu, tidak sedikit peserta pelatihan—umumnya para ibu—yang menitikkan air mata. Mereka sadar, atas alasan kerja dan karier, selama ini keluarga hanya mendapatkan porsi “osis” alias otak dan tenaga sisa. Anak-anak dititipkan kepada para pembantu rumah tangga dengan kualitas pengawasan dan pengendalian seadanya.
Kedua, kehidupan sosial masyarakat kita masih memungkinkan orang tua mengambil peran sentral dalam kehidupan seorang anak. Oleh karena itu, menjadi orang tua adalah satu fase penting dan tidak bisa sambil lalu. Meskipun nampaknya peran itu semakin banyak tergeser oleh sejumlah pranata hidup modern, tetapi makna kehadiran orang tua bagi seorang anak sejatinya tetap tak tergantikan.
Seorang kawan bercerita, ketika masih tinggal bersama orang tuanya, tidak ada suara lain yang didengarnya ketika bangun tidur selain suara Ibunya yang sedang tilawah Al-Qur’an. Sejuk. Damai. Begitulah bertahun-tahun. Sampai pada waktunya ia menikah dan harus meninggalkan rumah, suasana itu tidak ditemuinya lagi. Kini, ia sangat rindu akan suasana itu. Kerinduan itu muncul begitu saja. Mungkin naluriah. Namun yang pasti, ada sesuatu yang hilang dalam hari-harinya. Ia pun sadar. Begitu kuat kenangan masa lalu itu dalam alam bawah sadarnya.
Atas dasar itulah, ia sekarang berusaha sekuat tenaga agar setiap ba’da subuh bisa tilawah Al-Qur’an. Suasana subuh di rumah kecilnya dulu kini coba dihadirkan di rumahnya. Ia berharap agar pengalaman batinnya ketika kecil juga dapat dirasakan oleh anak-anaknya. Meskipun dengan kualitas yang tidak sama dengan ibunya, tetapi niat untuk menghadirkan suasana damai religius kepada putra putrinya ketika hari baru saja akan mulai, tetap merupakan upaya maksimal yang dapat dilakukannya.
Sejumlah peserta menuliskan nama seorang gurunya sebagai orang yang berpengaruh. Ini satu sinyal menarik. Meskipun profesi ini semakin nampak samar-samar di tengah derap perkembangan dunia tetapi impact-nya bagi perkembangan jiwa seseorang sangat luar biasa. Proses pembentukan karakter seorang manusia salah satunya ada di fase ketika ia bertemu dengan seseorang yang dengan tulus mendidik dan mengajarkannya bagaimana memanfaatkan potensi yang Allah titipkan dengan cara yang baik agar berkembang maksimal. Seseorang yang tulus itu sejatinya adalah seorang guru, di lini manapun ia bertugas.
Oleh karena itu, seorang guru tidak bisa seenaknya berkata dan bertingkah laku. Gerak geriknya direkam dalam alam bawah sadar oleh setiap pribadi yang ditemuinya sebagai murid.
Nilai-nilai
penting
Pada bagian ini, hampir semua peserta menulis sejumlah nilai yang memang mereka dapatkan dari orang tua dan guru-guru pertama mereka. Sejumlah ajaran moral yang mereka tulis antara lain jujur, kerja keras, setia, menghormati orang tua, tekun, pantang menyerah, dan lain-lain.
Orang tua memegang peran utama dalam pembentukan karakter dan kepribadian seorang anak. Dengan menuliskannya, mereka diajak menghadirkan suasana hangat rumah yang penuh dengan cinta kasih. Hari ini, sejumlah nilai baik dari rumah mesti bertarung habis-habisan dengan nilai-nilai lain yang daya destruktifnya lebih besar dibandingkan kekuatan pertahanan yang kita miliki.
Hari ini, nilai lama (dari rumah) cenderung “kalah” atau “dikalahkan”. Nilai baru—dari peer group dan lingkungan lainnya—selalu nampak lebih menarik meskipun belum tentu cocok. Basis pertama dan terakhir kita tetap ada di keluarga (rumah). Di sana, ada cermin yang bagaimana pun buramnya tak akan pernah rela kita hancurkan, karena kita tetap punya ruang yang luas agar dari dan di rumahlah rahmatan lil ‘alamin kita mulai.
Tokoh Idola
Siapa tokoh idola Anda? Sejumlah peserta memberikan jawaban yang sangat beragam. Tokoh idola setidaknya tentang beberapa hal: concern-nya, pandangan hidup, afiliasi politik, prestasi, karya, dan sikap kemanusiaannya.
Ada dua fenomena menarik. Pertama, mereka yang tidak hanya melibatkan aspek emosional, tetapi juga memperhatikan aspek integritas. Terteralah nama Rasulullah Muhammad SAW, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khatab, Bunda Teresa, Soekarno, Helvy Tiana Rosa, Pramoedya Ananta Toer, Komarudin Hidayat, Aa’ Gym, Ary Ginanjar, Sri Mulyani, Bung Hatta, Iwan Fals, Ahmadinejad, B.J. Habibie, Andre Hirata, Habiburahman El Shirazy, Mahatma Gandhi, dan masih banyak tokoh lagi termasuk juga rektornya semasa kuliah, managernya, atau bahkan ayah-ibunya sendiri.
Kedua, kompleksitas
dalam idola-mengidolakan tidak segamblang menyebut dan menuliskannya. Mengapa
demikian? Karena tidak sedikit dari peserta yang sejujurnya tidak paham betul
aspek apa sesungguhnya yang mereka idolakan dan bagaimana cara mengidolakan
seseorang. Satu hal yang menggejala, umumnya mereka mengidolakan seseorang
karena ia seorang public figure atau
orang terkenal. Ketenaran bisa saja menyilaukan, kan? Tapi, syukurlah, kelompok yang satu ini tidak
banyak.
Buku Berpengaruh
The Alchemist (Paulo Coelho, 1988), Catatan Seorang Demonstran (Soe Hok-Gie,1983), Sophie’s World (Jostein Gaarder, 1991), Di Bawah Bendera Revolusi (Soekarno, 1963), Sirah Nabawiyah (Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, 1998), Ihya Ulumuddin (Al Ghazali, 1964), Kumpulan Pidato Mohammad Hatta (I. Wangsa Widjaja dan Meutia F. Swasono [Editor], 1985), atau Mother Teresa: Come Be My Light (Brian Kolodiejchuk, 2008) adalah sebagian kecil dari sejumlah judul buku yang dipilih oleh sejumlah peserta pelatihan sebagai buku yang berpengaruh.
Buku berpengaruh adalah buku yang sanggup menggerakkan. Tidak sedikit peserta yang menuliskan kitab sucinya sebagai buku berpengaruh. Meskipun ritual keagamaan masih terus berselisih dengan gerak lahir sehari-hari, tetapi pada tataran wacana, status formal religiuitas bukan sesuatu yang asing. Ini artinya, sesuatu yang transendental masih dan akan tetap memiliki tempat spesial di hati banyak orang.
Sejumlah buku yang disebutkan umumnya adalah buku yang sarat dengan pembicaraan tentang nilai. Buku-buku tersebut memberikan ruang dialog yang cukup untuk sebagian besar pertanyaan yang menyangkut sesuatu yang immaterial, sesuatu yang dibutuhkan oleh semua orang.
Dengan membaca sebuah buku, seseorang dengan suka rela masuk dalam arena dialogis antara dunianya dengan dunia penulis yang direkonstruksi melalui tulisan. Proses tersebut memberi kesempatan kepada seseorang untuk open mind terhadap sesuatu yang bisa jadi sangat baru dan bertentangan dengan apa yang menjadi a set of value yang selama ini telah menjadi bagian dari dirinya. Namun demikian, tidak mustahil pula proses tersebut memberi peluang kepada yang bersangkutan untuk “percaya” kepada “dunia” yang ditawarkan penulis dan ia berhak untuk menjadi bagian dari khasanah pemikiran dan tindakan tersebut.
Seruan ber-Iqra’ adalah seruan pertama yang disampaikan Allah untuk umat manusia. Iqra’ yang diserukan Allah bukan semata merujuk kepada sebentuk bahan cetakan, tetapi lebih dekat kepada proses “membaca” dalam arti luas. Dengan demikian, proses itu bukan proses tunggal tetapi melibatkan aspek knowledge, afektif, dan psikomotor.
Nilai, orang yang berpengaruh, buku berpengaruh, dan tokoh idola setidaknya mewakili sejumlah hal yang turut berperan dalam proses pembentukan karakter seseorang. Proses ini berlangsung pada tataran kurang lebih, karena sesungguhnya sampai hari ini kami belum mendasarkan diri kepada sejumlah hasil penelitian untuk sampai pada kesimpulan seberapa besar pengaruh masing-masing. Meskipun demikian, beberapa aspek yang kita bicarakan di atas disinyalir ikut memberikan warna kepada “tampilan” kepribadian seseorang. Wa Allah A’lam bish-shawab.
Depok, Februari
2024