Memperjuangkan Keseimbangan

Bila kita ditanya, “Siapakah Anda?”, apa yang akan kita jawab? Pertanyaan sederhana itu ternyata membutuhkan jawaban yang tidak bisa sederhana dalam benak kita. Oleh karena itu, umumnya, kita akan menjawab, “Saya pegawai ...........”   Kita sering ambil simple-nya saja. Identitas itu menurut sejumlah orang adalah identitas yang lumrah dan paling gampang disebut. Dalam semangat memperjuangkan keseimbangan atas multidimensinya hidup tulisannya hadir di hadapan kita semua.

Mengidentifikasi diri dengan perusahaan atau organisasi tempat kita bekerja adalah satu bentuk identifikasi parsial terhadap peran dan tanggung jawab kita sebagai manusia. Keterbatasan dan keengganan pada sejumlah kondisi memberi ruang pelarian yang nampaknya nyaman. Namun, ketika kehidupan menghadirkan wajah yang sesungguhnya, tidak sedikit di antara kita gamang untuk menyebutkan sejumlah peran yang sesungguhnya begitu dekat dengan kehidupan kita.

Begitulah adanya. Tanpa kita sadari, itulah yang menjadi pola identifikasi yang melekat dalam benak kita. Kita akan lebih dulu atau bahkan spontan menjawab kedudukan kita sebagai pegawai ketika ada orang bertanya tentang siapa diri kita. Apakah memang karena sebagian besar waktu kita sehari-hari habis di kantor lalu kita dengan serta merta  mengaitkan keberadaan dan identitas kita dengan urusan dinas? Atau apakah peran lain selain status kepegawaian dan kedinasan tidak lebih pantas atau dianggap kurang prestise? Barangkali pula bukan demikian. Tapi, bisa jadi itu sudah menjadi kebiasaan, apabila ditanya identitas, kita langsung mengaitkannya dengan kedinasan atau pekerjaan. 

Siapa kita hari ini? Pertanyaan sederhana ini ternyata membutuhkan jawaban yang membuat sejumlah peserta pelatihan gelagapan. Betapa tidak! Kita selama ini hanya mengenal istilah peran ganda dan itu pun sangat beraroma gender. Kita luput menyadari bahwa sesungguhnya secara fitrah kita tidak mungkin hanya memiliki satu atau dua peran saja. Sangat tidak mungkin.

Setiap peserta pelatihan diajak untuk menyelami siapa dirinya di hadapan realitas kehidupan. Seseorang tidak mungkin mampu membatasi peran sosial yang inherent bersama keberadaan dan kedudukannya sebagai makhluk pribadi dan sosial. Sangat lazim bila sebagai makhluk, seseorang adalah hamba dan khalifah Allah; Dia seorang anak dari kedua orang tuanya; Bisa jadi seorang kakak atau adik dari sejumlah adik dan kakak-kaknya; Dia mungkin juga seorang suami atau istri dari seseorang; Seorang paman dari sejumlah keponakan; Seorang karyawan dari sebuah perusahaan; Dia juga seorang ayah untuk anak-anaknya; Dia kyai dari sebuah pesantren; Guru ngaji di masjid komplek rumah; Dia mungkin jamaah sebuah majelis Dzikir; Atau dia juga seorang mahasiswa program doktor di sebuah universitas. Begitu selanjutnya.

Namun, derap kehidupan seringkali menempatkan kita pada banyak kondisi yang sangat tidak menguntungkan dari kacamata keseimbangan. Multidimensi hidup tidak berbanding lurus dengan ketersediaan waktu, tenaga, dan kesempatan serta kemauan kita untuk memenuhinya. Oleh karena itu, kita seringkali dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit dalam hal pemanfaatan waktu, tenaga, dan kesempatan itu. Pada banyak kasus, sejumlah orang kemudian lebih memilih bermain di zona aman, yaitu yang memang langsung berhubungan dengan aktivitas bekerja yang notabene-nya aktivitas berkarier dan mencari uang untuk keberlangsungan kehidupan.

Di sejumlah kelas pelatihan, potret ini tanpa disengaja membuat banyak orang sadar kalau selama ini mereka banyak mengabaikan sejumlah hal yang memang alamiah dalam hidup mereka. Tidak sedikit juga di antara kita yang terlalu sibuk atau asyik di satu dimensi saja dan melupakan dimensi yang lain. Asyik mengejar karier boleh saja, tetapi mesti diingat bahwa semua ada takarannya. Alangkah bijaksana bila sambil sibuk bekerja dan mengejar karier seseorang juga memberi ruang dalam hidupnya untuk menikah dan membangun sebuah rumah tangga sebagai sebuah kewajaran manusiawi.

Bukankah akan menjadi oase yang menyejukkan, manakala kita juga menjadwalkan diri untuk sholat berjamaah di mesjid, menyempatkan diri mempelajari tafsir Al-Qur’an dan menargetkan hafalan beberapa juz. Alangkah menyenangkan, bila kita tetap punya slot waktu untuk sholat berjamaah bersama keluarga, mengunjungi rumah atau makam orang tua bersama mereka, atau menikmati makan siang di antara hamparan rumput hijau di sebuah kaki bukit favorit keluarga. Kita pasti senang, bila di hari libur, dapat menghadiri rapat RT dan bersama dengan para tetangga membersihkan saluran air dan membuat taman bermain untuk anak-anak di kompleks perumahan tempat tinggal kita. Subhanallah.

Seorang peserta pada sebuah pelatihan di Indragiri Hilir, Riau, tertegun setelah mengisi lembar kerja tentang potret masa kininya. Ia merenung. Terlihat dari pohon keseimbangannya rimbun di beberapa bagian tapi kering kerontang di bagian yang lain. Bahkan yang paling meranggas justru kehidupan bermasyarakat. Ia lalu berujar,”Waduh, nanti kalo saya meninggal, yang akan gotong saya ke kuburan siapa, ya?” Pertanyaan yang terkesan agak miris itu meluncur begitu saja ketika beliau menyadari bahwa selama ini ia hampir tidak punya waktu untuk bersosialisasi di lingkungan rumahnya.

Adakah itu juga potret kita juga, Saudaraku? Kehidupan dengan segala agendanya hampir-hampir meminta lebih daripada porsi yang seharusnya. Sejumlah sendi lumpuh di hadapan kesibukan.

Sesungguhnya penyeimbangan dimensi hidup adalah sebuah kebutuhan. Memang, pada sejumlah kasus hal itu nampaknya dapat disubstitusikan dengan hal lain, tetapi tetap saja kerinduan dan kebutuhan akan keseimbangan itu tak bisa dinegasikan begitu saja. Ini memang kondisi ideal-normatif. Tidak ada yang berani mengatakan hal ini adalah sesuatu yang mudah. Tetapi jelas, yang terpenting bukanlah keseimbangan semata, tetapi nilai pada proses usaha tiap individu untuk mendekatinya.

Sebuah Kerinduan

Malang, Agustus 2005. Kami mendapatkan fenomena menarik bagaimana pentingnya pemenuhan kebutuhan keseimbangan dimensi kehidupan.

Begini kisahnya. Malam itu hari pertama pelatihan. Seorang pengusaha sukses dari Jawa Tengah dengan sangat antusias berbagi soal keberhasilan bisnis perusahaannya yang meroket. Beliau nampak sangat bahagia, bangga, dan semangat. Mata beliau berbinar-binar ketika berbagi cerita tentang keberhasilan lembaga keuangan yang dipimpinnya.

Namun, apa yang terjadi pada pagi ketiga sungguh berbeda 180 derajat. Saat itu, beliau minta waktu untuk menyampaikan sesuatu. Namun, meskipun mikrofon sudah di tangan, beliau tidak kunjung mengucapkan sepatah kata pun. Suasana pun senyap. Menunggu. Dan ketika kemudian beliau mulai berbicara, ternyata beliau hanya sanggup mengucapkan dua kata: anak yang soleh. Setelah itu beliau tenggelam dalam haru dan tak mampu lagi berkata-kata. Kesunyian seketika menyergap dan menghanyutkan kami semua.

Fenomena itu menjadi i'tibar bagi kami semua yang hadir (dan kita semua hari ini). Keberhasilan dalam karier dan pekerjaan memang sesuatu. Tetapi kebutuhan dan kerinduan akan hadirnya seorang anak dalam keluarga adalah sesuatu yang lain. Betapa yang pertama tidak mungkin menutupi kebutuhan akan yang kedua. Gelombang kehampaan itulah yang nampaknya tengah kami rasakan bersama isak tangis beliau pagi itu. Betapa kerinduan akan hadirnya seorang putra setelah 16 tahun berumah tangga tidak mungkin tergantikan. Kerinduan itu hampir saja menempatkan kesuksesan karier menjadi nothing dalam kehidupan beliau. Kini, di usia yang hampir 60 tahun keseimbangan itu pun hadir dengan putranya yang belum genap 10 tahun.

Wasiat Suci

Lain di Malang, lain lagi di Lembang.  Cerita ini terjadi di kelas Reguler Lembang 2006. Ini pun cerita tentang seorang pengusaha. Kali ini tentang seorang pengusaha sukses asal Bandung. Beliau berlatih bersama istri dan seorang anak gadisnya yang kelas 1 SMA.

Sebut saja pengusaha sukses itu Kang Agus. Kang Agus selalu berkeinginan untuk meningkatkan derajat keimanan dan keikhlasan sebagai upaya lebih merimbunkan pohon keseimbangan hidupnya. Sang Pengusaha berusia sekitar 50 tahun ini telah membuat seisi kelas terpana dalam syukur dan haru.

Apa pasal? Pagi itu, di hari ketiga pelatihan, beliau meminta waktu untuk bicara. Kemudian, dengan perlahan, bening, dan tegas beliau kemukakan sebuah wasiat penting kepada istrinya. Dengan disaksikan anak gadisnya yang terbalut bisu, beliau berwasiat bahwa mulai bulan depan zis 20% akan diambil dari seluruh keuntungan 9 perusahaan miliknya. Ia berwasiat, kalau ia harus lebih dahulu meninggal dunia hal itu tetap diteruskan oleh istri dan anak-anaknya. Subhanallah.

Istrinya pun tidak mau kalah. Beliau angkat bicara untuk menyatakan siap menunaikan wasiat suaminya. Luar biasa. Sejurus kemudian, anak gadisnya menghambur ke pelukan ayah dan bundanya di ruang pelatihan itu. Sungguh, sebuah adegan yang benar-benar menjadi sarana pendidikan berharga untuk semua peserta pelatihan. Betapa kerinduan untuk lebih merimbunkan aspek spiritual, emosional, dan hidup bermasyarakat dari keseluruhan dahan dan ranting dimensi hidup menjadi oase yang tak pernah kering. Betapa nilai-nilai keimanan dan kemanusiaan telah mengejawantah dan terus bersemi dalam jiwa setiap insan yang mau menerima sinyal-sinyal keilahian sebagai jalan takwa yang dipilihkan dan dipilihnya.    

Nah, bagaimana dengan cabang dan ranting dari pohon keseimbangan kita hari ini? Akankah kita biarkan ia meranggas di tengah kerimbunan cabang dan ranting yang lain? Semoga kita senantiasa diberikan kesadaran, kesabaran, dan kekuatan untuk senantiasa memperjuangkan keseimbangan atas amanah hidup yang Allah berikan. Aamiin. Wallahu a’lam bi al-shawab.

                                                                      Depok, Februari 2024

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form