Guru dan Bakat

Guru yang baik itu dilahirkan atau dibentuk? Begitu biasanya kita menyikapi relasi antara pilihan profesi atau pengabdian. Kita pasti sepakat, tidak ada guru yang tidak dilahirkan. Akan halnya pembentukan seseorang menjadi guru, ini sangat bergantung kepada sejumlah faktor yang tidak dapat disamaratakan. Banyak guru yang baik dan bagus memang dari perguruan tinggi calon guru, tetapi itu bukan berarti yang tidak dididik di sana tidak bisa menjadi guru yang baik dan bagus, kan? Bukankah sebagian besar dosen kita yang keren-keren juga tidak dididik di perguruan tinggi khusus untuk menjadi guru dan dosen?

Berarti, ada hal lain yang berpengaruh di sini. Hal itu bisa sangat universal tetapi juga sangat unik. Keuniversalan itu merujuk kepada kesamaan kita sebagai sesama manusia dengan segala kelengkapan yang diberikan Tuhan, sedangkan keunikan kita merujuk kepada semua perbedaan yang melatarbelakangi dan melingkupi keberadaan kita sampai hari ini. Keunikan itulah yang pada akhirnya mengajak kita sampai pada pembahasan tentang bakat.

Bakat telah menjadi perbincangan dan perdebatan hangat sejak lama. Misteri tentang bakat manusia dan hubungannya dengan hidup dan kehidupan senantiasa dan tetap menarik untuk diteliti. Dalam konteks pendidikan, misalnya, bakat seringkali menjadi pokok acuan untuk sejumlah agenda. Mengapa bakat tetap relevan untuk dibicarakan?

Integrity Development Flexibility (IDF)  melaporkan bahwa  87% mahasiswa di Indonesia salah jurusan. Anda kaget? Saya rasa tidak, karena bisa jadi ada kita di dalamnya. Fenomena ini sangat luas dampaknya dalam proses dan prestasi kuliah serta karier mereka nanti. Mengapa hal itu bisa terjadi? Pertama, mereka kurang diasistensi untuk mengenal bakat, potensi, dan minat ketika memilih jurusan. Kedua, terlalu dominannya campur tangan orang tua.

Ketika mengajar di sebuah SMA di Jakarta, ada dialog menarik antara seorang anak dengan ibunya yang seorang dokter. Anak itu dimarahi karena ingin masuk IPS dan kuliah di FISIP. Sang Ibu keukeuh anaknya harus masuk IPA agar nanti bisa kuliah di kedokteran seperti dirinya. Namun yang menarik, kini anak itu justru sedang menyelesaikan program doktor hukum di Harvard University.

Ada satu lagi cerita tentang salah jurusan. Ini cerita seorang murid saya yang menghadap ibunya setelah tiga bulan kuliah di jurusan hukum salah satu universitas terkenal di Depok. Dia mengatakan bahwa dunia yang tengah dimasukinya ternyata tidak sesuai dengan jiwanya. Ibunya menolak permintaannya untuk berhenti karena jurusan itu pilihannya. Dia harus bertanggung jawab atas keputusannya tersebut.

Dia pun menyerah. Diselesaikanlah dulu kuliahnya dengan baik, setelah selesai, ia Kembali menghadap ibundanya. Ia katakan, kuliah sudah ditunaikan dengan baik. Sekarang, ia minta izin untuk ke Belanda: sekolah musik. Sekarang, ia sudah menjadi salah seorang pemusik jazz berbakat Indonesia.                                                                                                                                                                           Itu dua cerita tentang keberadaan bakat dalam diri seseorang. Sekarang, mari kita bahas serba sedikit tentang bakat melalui penemuan fenomenal seorang Rama Royani, yang dikenal dengan panggilan Abah Rama oleh para santrinya.

Abah Rama terpanggil di “dunia” bakat. Keterpanggilannya bermula ketika ada seorang mahasiswa bertanya kepadanya bagaimana cara mengenal potensi diri. Abah pun banyak membaca buku, di antaranya Now, Discover Your Strength (Donald O. Cliffton dan Marcus Buckingham, 2001). Inspirasi dari buku itulah, pada 2002, Abah berhasil menemukan metode Talents Mapping yang kini banyak digunakan oleh para akademisi, praktisi, profesional, pengusaha, dan ibu rumah tangga untuk mengetahui bakat keluarga, kolega, dan diri mereka sendiri. 

Menurut Abah, bakat adalah sifat (personality) yang produktif. Kapankah sifat dikatakan produktif? Ketika sifat itu dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk menghasilkan sesuatu. Oleh karena itu, maka setiap orang pasti berbakat (berpotensi) karena setiap orang memiliki sifat. Dengan demikian tidak relevan lagi ujaran “saya tidak punya bakat apa-apa”. Mengapa? Karena setiap orang unik. I am not perfect, but I am very special and limited edition, begitu Abah membuat kutipan.

Ada dua prinsip yang ditawarkan Abah untuk dapat bersaing dengan modal potensi, yaitu AKU. Pertama, andalkan kekuatan. Tunjukkan potensi kekuatan Anda dengan cara fokus, konsisten, dan terus menerus berada di jalan lurus. Inilah fase pengelolaan bakat. Di titik inilah kita akan bertemu betapa pentingnya formula yang tepat dan seimbang antara bakat (talents), sikap (attitude), keterampilan (skill), dan pengetahuan (knowledge).

Kedua, akui keterbatasan. Ini fitrah karena tidak ada orang yang sempurna. Yang ada adalah mereka yang dengan hati lapang menerima dirinya secara utuh. Siasati keterbatasan. Yang penting, jangan berfokus pada keterbatasan, tetapi pada kekuatan. Justru dengan begitu setiap orang akan punya banyak ruang dan kesempatan untuk memumpunkan energi menjadi kekuatan dan keunggulannya. Inilah Energi Satu Titik!

Dengan demikian, alurnya kita dapat: temukan bakat dominan, kelompokkan menjadi potensi, lalu kelola potensi itu menjadi kekuatan. Kekuatan ini kemudian dikembangkan Abah menjadi sebuah rumusan yang menarik: kuadran aktivitas (4E= enjoy, easy, excellent, dan earn). Kuadran ini menjadi dasar seseorang untuk meniti karier dengan cara menyenangkan bukan hanya sekadar bekerja. Kuadran ini memungkinkan setiap orang berusaha menemukan dan mengelola potensi terbaik mereka agar dapat bermanfaat untuk hidup dan kehidupan sesuai fitrah penciptaannya sebagai manusia.

Seseorang akan menikmati (enjoy) setiap aktivitas dan pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan kekuatannya. Ia pun melakukannya dengan energi minimal (easy) dan berulang-ulang sepenuh hati. Mengapa bisa asyik dan sepenuh hati? Karena ia mengasah bagian tertajam dari bakat dan kekuatannya dan tidak terganggu sedikit pun dengan sejumlah keterbatasannya. Ia hanya fokus pada keunggulan dan sekuat tenaga menyiasati keterbatasannya. Akhirnya, ia semakin mahir dan ahli (excellent). Aktivitas jenis inilah yang akan mendatangkan hasil (earn)  maksimal.

Abah memberi tantangan dan ruang renungan untuk kita semua. Apakah selama ini hidup kita sudah bermakna? Manfaat apa yang telah kita berikan untuk hidup dan kehidupan di sekitar kita? Bila hari ini kita sedang menekuni satu profesi, benarkah profesi itu merupakan manifestasi dari fitur unik yang telah Allah berikan untuk kita? Mari asyik dan bermakna di setiap profesi. Abah memberikan gambaran tentang 34 sifat produktif manusia (Tema Bakat).  Kita bisa membacanya dengan saksama dan menyesuaikannya dengan diri kita (Royani, Abah Rama, 2016).  Abah berharap dengan mengenal bakat yang “gue banget” kita dapat memaksimalkan peran kita di dunia (pendidikan) ini menuju meaningful life .

Kita akan lanjutkan diskusi kita dengan menampilkan bakat-bakat dominan pada diri seseorang yang membuatnya lebih mudah menjadi guru yang keren, inspiratif, dan dirindukan murid-muridnya. Ditunggu artikelnya, ya…

Wallahu a’lam bi al-shawab.

 

Depok, Maret 2024

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form