Ruang kelas kita kali
ini adalah Google Meet. Topiknya adalah Bijak
Digitalisasi di Pesantren/Sekolah. Sabtu pagi, 23 Maret 2024, Dr. Edi
Sutarto, M.Pd, Direktur AQL Islamic School, membuka ruang berbagi dan dialog
untuk para asatidz-asatidzah dari berbagai pondok pesantren (boarding
school) yang terhimpun di Group WhatsApp besutan DEA Nusantara: “Sharing
and Problem Solving Kepengasuhan”.
Ruang berbagi ini adalah
jawaban atas sejumlah kegalauan—yang kalau tidak segera diselesaikan dapat
menjadi kegelisahan—sebagian anggota group perihal penggunaan gadget dan
internet di pesantren. Padahal, hari ini, kita sudah tidak bisa lagi menutup diri
atas sebuah keniscayaan zaman. Murid-murid di sekolah atau pondok pesantren
adalah generasi Z yang sejak lahir dan tumbuh di lingkungan yang sublim dalam
aktivitas dan derasnya informasi digital. Jadi, memisahkan Gen-Z dengan dunia
digital sama seperti kita berupaya memisahkan ikan dari air.
Transformasi
Pendidikan
Edi Sutarto mengawali
paparannya dengan menampilkan cerita tentang siklus hidup seekor Rajawali yang
pada usia 40 tahun akan menepi dari hirup-pikuk dunia menuju puncak gunung
untuk kontemplasi. Di kesendiriannya, rajawali yang telah melengkung paruhnya itu
menghantam-hantamkan paruhnya ke dinding batu hingga copot. Dengan menahan
sakit yang tak terperikan, rajawali itu terus menabrak-nabrakan paruhnya ke dinding
cadas agar paruhnya yang menua itu segera tanggal.
Setelah tanggal, ia harus
menunggu beberapa lama sampai paruh barunya tumbuh kembali. Ia menahan lapar
yang sangat karena sulit untuk makan. Setelah paruhnya tumbuh, ia cabuti seluruh
kukunya yang juga sudah mulai menua dan melengkung sehingga sulit untuk menerkam
mangsa. Ia harus Ikhlas menahan sakit yang amat sangat ketika seluruh kukunya
tanggal. Berdarah-darah. Pedih. Perih. Sendiri.
Ia juga harus bersabar
sampai kuku-kuku barunya tumbuh. Ini belum selesai. Setelah kuku-kukunya
tumbuh, kini giliran bulu-bulunya dicabuti. Bulu-bulunya yang sudah sangat
tebal sehingga ia tidak lagi lincah dalam bermanuver di udara pun habis dicabut
tak tersisa. Ia mencabuti seluruh bulu di badannya bukan tanpa penderitaan. Ia kesakitan.
Sungguh. Aaaakkkkhhhhh!!!
Namun, seluruh proses penanggalan
paruh, kuku, dan bulu itu harus Ikhlas dilewatinya agar ia bisa melanjutkan
hidupnya sampai harapan berusia 70 tahun tercapai. Ia menahan segala keperihan
yang luar biasa di tengah kesendiriannya agar ia sukses melewati proses
transformasi siklus hidup seekor rajawali. Setelah melewati itu semua, ia akan
hadir lagi dalam kehidupan normal dengan fisik yang kembali muda, ringan, dan
lincah dengan kuku-kuku dan paruh yang tajam dan bertenaga. Proses tumbuh paruh,
kuku, dan bulu adalah sebuah proses yang dahsyat penuh rasa sakit yang mendera
luar biasa.
Ustadz Edi mengabarkan
beberapa hal penting dalam hal ini. Pertama, itulah gambaran
sebuah proses transformasi. Kata ini nampak indah diartikulasikan, tetapi belum
tentu semua orang bisa dan sanggup melakoninya. Kata itu bisa saja keluar dimodulasikan
oleh seorang pimpinan, mudir, kepala sekolah, atau direktur lembaga sekolah
atau pesantren, tetapi tidak semua civitas akademika sanggup menahan sakitnya
proses tersebut.
Kedua,
itulah respon rajawali terhadap berbagai perubahan dalam diri dan situasi
eksternalnya. Sebagai sebuah keniscayaan, maka perubahan harus disikapi dan
direspon dengan cara yang benar dan bijak. Seluruh bentuk kenyamanan bisa jadi
terganggu. Oleh karena itu, seluruh civitas akademika harus terus menerus
menyediakan wadah dan wajah kelenturan agar mampu terus berselancar di tengah
turbulensi perubahan yang luar biasa. Pasti Anda sepakat, yang berbahaya dalam
hal ini adalah mereka yang tidak mau berubah dan yang selalu berubah-ubah.
Oleh karena itulah,
Ustadz Edi menawarkan dua jenis branding: Leader dan School.
Beliau mengingatkan pentingnya upaya membranding diri untuk para pimpinan
sekolah. Dua langkah ditawarkan: setiap leader harus bertarget ingin dikenal
sebagai siapa ia di mata para staf, orang tua, murid, dan pihak terkait lain.
Selain itu, ia harus menentukan hasil yang ingin dicapai dalam perjalanan
kepemimpinannya di sekolah. Di sinilah ia harus memiliki kemampuan mengakomodasikan
antara harapan dan kenyataan yang ada.
Untuk bisa melakukan
transformasi dengan benar, maka sekolah harus punya strategi. Strategi terbaik
untuk menyikapi ketidaktetapan berbagai situasi yang ada, maka sekolah harus mau
dan mampu serta berani menetapkan roadmap atau blueprint-nya.
Selanjutnya, beliau mencontohkan roadmap AQL Islamic School (AQLIS) yang
dipimpinnya: (2021) Adaptasi dan Alih Kepakaran, (2022) Alih Kepakaran dan Kreativitas,
(2023) Kreativitas dan Kemandirian, (2024) Kemandirian dan Peningkatan Mutu,
(2025) Peningkatan Mutu dan Model, dan (2026) Model dan Adaptasi Kebaruan. Ia
mengingatkan, bahwa bagian terpenting dan krusial dari roadmap tersebut
ada pada kemauan dan kemampuan seluruh civitas akademika untuk mewujudkan dan
mengeksekusinya.
Agar roadmap
dapat dengan mantap dieksekusi, maka perlu media yang tepat. Media yang hari
ini dipandang paling efektif dan sesuai dengan perkembangan zaman adalah digitalisasi.
Ia pun menceritakan bagaimana wacana digitalisasi di AQLIS awalnya bukanlah
sesuatu yang dapat diterima begitu saja. Untuk itulah, ia menggunakan model
proses perubahan yang ditawarkan Kurt Lewin: unfreezing, moving, dan
refreezing. Konsep yang dikenalkan psikolog, peneliti komunikasi, dan
pengembangan organisasi Jerman itu pun kini sudah sangat dikenal oleh semua
insan AQLIS.
Digitalisasi
KBM
Digitalisasi di AQLIS
adalah sebuah terobosan yang berani dan bernas. Mengapa? Sejak awal berdiri,
ide untuk mengembangkan KBM yang paperless telah mengemuka. Para murid
tidak lagi membaca buku cetakan dan mencatat di buku, tetapi sudah pakai tab, chromebook,
atau laptop. Pada kesempatan yang sama, AQLIS pun tertantang untuk
mengembangkan perpustakaan digital yang lengkap agar dapat memaksimalkan
penggunaan teknologi digital tersebut. Pilihan atas ketiganya pun diteliti
dengan saksama kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Dengan demikian,
informasi yang tersampaikan kepada para orang tua wali murid sudah sangat
diperhitungkan dengan matang.
Pilihan untuk menggunakan
tab atau chromebook dalam proses belajar mengajar harus didukung oleh standard
operating procedures (SOPs) yang jelas dan mampu diterapkan. Dengan
demikian, maka harus ada dokumen SOP yang tersosialisasikan dengan baik kepada
seluruh guru agar mereka dapat memaksimalkan peran dalam implementasinya
sehari-hari. Untuk itu, peran guru sangat penting dalam hal ini.
Lalu, bagaimana bila ada
murid yang coba-coba membuka situs yang diizinkan (yang memuat konten dewasa, LGBT,
kekerasan, atau bully)? Selain sekolah telah memiliki sistem pengamanan software
terbaik, mereka juga dibekali dengan kurikulum The Secret of Luqman
(TSoL) yang salah satunya adalah mengajarkan dan menanamkan di hati mereka kesadaran
bahwa mereka selalu diawasi Allah (muraqabatullah). Selain itu, TSol menanamkan
kesadaran untuk senantiasa berbakti kepada ibu bapak, yaitu dengan tidak menyia-nyiakan
kesempatan belajar yang telah diberikan. Oleh karena itulah, para siswa AQLIS terdorong
untuk mempersembahkan prestasi terbaik agar jerih payah kedua orang tuanya
tidak sia-sia.
Ustadzah Nadya Fabarani,
M.Sc, Kadiv Kurikulum, menerangkan sejumlah hal yang berkenaan dengan SOP
penggunaan tab atau chromebook di sekolah. Ia menginformasikan tentang
pelevelan dalam praktik penggunaan gadget. Pelevelan itu berkaitan erat dengan
sejumlah aspek: tingkatan kelas, waktu, dan kebijakan penggunaan. Dengan demikian,
sejumlah jenis pelanggaran—kalau pun itu ada—dapat ditangani dengan proporsional
dan mendidik.
Ustadzah Nadya juga
menginformasikan tahapan-tahapan pemberian sanksi atas pelanggaran penggunaan gadget
tersebut. Mulai dari diminta tobat, dicabut hak penggunaannya untuk beberapa
waktu, tidak boleh menggunakan fasilitas video call dengan orang tua, sampai murid
tersebut harus melaporkan sendiri kesalahannya kepada orang tuanya.
Tahapan-tahapan pemberian sanksi itu jelas ingin memberikan kesempatan para
murid untuk bertanggung jawab atas segala kesempatan dan fasilitas yang telah
diupayakan kedua orang tuanya.
Dialog
Mendalam
Ada tiga orang yang memanfaatkan
kesempatan bertanya dan menanggapi. Pertama, Ustadz Syaifuddin
Malidan. Beliau mengapresiasi dialog tersebut dan menanyakan perihal pelevelan
serta cara mengetahui jejak digital masing-masing murid.
Ustadzah Nadya menjawab,
bahwa setiap kedatangan murid, sekolah menerapkan pelevelan tersebut. Hal ini
agar residu aktivitas digital mereka selama liburan dapat dilokalisasi dan
dibersihkan serta diidentifikasi. Selain itu, gadget mereka memang tidak
ber-password. Mengapa? Karena selama aktivitas KBM, penggunaan gadget
senantiasa dalam pengawasan para guru. Dengan demikian, kedisiplinan dalam
penggunaan media digital di AQLIS dikawal dengan baik.
Kedua,
Ustadz Junaedy Alfan. Pimpinan Islamic Digital Boarding Colloge Kampus Adab (AIDBC
Solo) mengapresiasi kelas berbagi tersebut. Sebagai pimpinan Kampung IT Solo,
beliau berharap agar forum berbagi seperti itu dapat menjadi wadah sinergi dan
kolaborasi antarpondok pesantren. Beliau pun merasa mendapatkan teman dalam
mengembangkan IT dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu, beliau berharap dapat
kesempatan berdiskusi lebih lanjut perihal pemaksimalan digitalisasi di AQLIS.
Pada kesempatan itu,
Ustadzah Nadya juga menambahkan, bahwa para murid memang dibuat sibuk dengan gadget-nya
untuk hal-hal positif, misalnya membuat reel di Tiktok, projek karya
tulis ilmiah, atau pembuatan konten-konten dakwah yang menarik. Selain itu, ada
satu hal menarik yang telah dimulai AQLIS, yaitu laporan hasil belajar secara
digital kepada orang tua. Yang melaporkan perkembangan murid bukan lagi
walikelasnya, tetapi murid sendiri. Pola itu telah mengundang apresiasi dan
tanggapan sangat positif dari para orang tua. Mereka tidak menyangka anak-anak
mereka mampu mengembangkan public speaking yang baik untuk melaporkan
perkembangan belajarnya selama rentang waktu yang ada.
Ketiga,
Ustadz Slamet Santoso dari Yayasan Al-Kautsar 561, Tasikmalaya. Pada kesempatan
tersebut, beliau mengutarakan pendapatnya tentang topik diskusi dalam tiga
sudut pandang. (Satu) Konsep Imunitas. Mereka yang imunitasnya baik,
tidak akan terkontaminasi atas berbagai situasi dan pengaruh buruk yang ada di
sekitarnya. Murid dengan imunitas yang baik, akan memaksimalkan penggunaan
gadget hanya untuk hal-hal yang baik. (Kedua) HOPE worldwide Indonesia
Positive Choice Program. Beliau mengatakan, bila para murid senantiasa
mendapatkan penguatan untuk membuat pilihan positif atas segala keputusannya,
maka pada gilirannya ia akan terbiasa berpikir dan bertindak positif. (Ketiga) Dua
sisi koin. Teknologi informasi ibarat dua sisi koin: ada manfaat dan
mudharatnya. Oleh karena itulah, sebagai insan dewasa yang menjadi guru dan pembina
mereka harus mampu menghadirkan environment terbaik agar aspek manfaatlah
yang mampu dimaksimalkan oleh para murid.
Dialog itu pun ditutup
dengan paparan cerdas oleh Mas Arif Wicaksono, dari Garap Edu. Sebagai lembaga
konsultan IT, mereka berusaha menghadirkan platform transformasi
pendidikan melalui produk-produk terobosan mereka dalam dunia IT. Mas Arif pun
meniupkan angin segar untuk para peserta dialog memberikan kemudahan tertentu
untuk kerja sama yang mungkin dapat terealisasikan.
Semoga dialog “Bijak
Digitalisasi di Pesantren/Sekolah” menjadi embrio terciptanya sinergi dan
kolaborasi antarpondok pesantren untuk sejumlah isu penting dan genting dalam
dunia pendidikan pesantren. Kesediaan sejumlah pihak untuk berbagi dan
berdiskusi di ruang kelas online ini semoga menjadi sebuah jawaban
penting dan strategis untuk para orang tua untuk tetap melihat dunia pesantren
sebagai sebuah pilihan sangat menarik dan cerdas untuk pendidikan putra putri
mereka. Tentu, kesadaran para pimpinan dan asatidz di semua pondok pesantran
untuk senantiasa bergandengan tangan dan saling membesarkan sangat diperlukan. Semoga
semangat kebersamaan ini menjadi energi kebaikan untuk semua. Aamiin.
Wallahu
a’lam bi al-shawab.